Berbagi Rasa Tentang SERTIFIKASI PENULIS

Gambar hanya sebagai Ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari

Saya menuliskan ini, karena menjawab pertanyaan salah satu warga grup WA Penulisan yang saya buat. Tentang Sertifikasi Penulis yang lagi banyak komentar (lagi) belakangan ini. Antara pro dan kontra dengan sejuta alasan dan pendapat masing-masing. Sah-sah aja, berbeda pendapat itu soal biasa. Apalagi di dunia kreatif. Beberapa hal yang ingin saya catatkan di sini:

1. Sertifikasi Penulis itu bukan issue ya. Ini sudah ada sejak sebelum 2018. Sejak itu semua pihak yang berkepentingan dan berkaitan, beributan dan konflik intrik polemik pun terbangun dengan adanya Sertifikasi Penulis dll pekerja kreatif; yang nggak murah tapi celakanya tidak mengcover mereka yang beneran mumpuni di bidangnya.

2. Saya mengikuti Sertifikasi Penulis tahun 2020 dan karena hanya 3 tahun masanya, serta karena tidak ada apapun yang saya peroleh dari Sertifikasi itu, saya tidak mengikuti lagi. Lha duit jutaan lebih (demi kertas yang versi saya nggak nambah untung) mending duitnya saya pake piknik 😀🙏

3. Bahwa saya tidak sepakat dengan Sertifikasi itu urusan pribadi. Karena toh inisiator, penggiat, pelaku, pekerja, dan mereka yang dapat ratusan milyar dari proyek Sertifikasi itu yo kawan kawan saya juga. 😀Bahkan mereka bergembira bahagia karena terima duit-duit sebagai bagian dari kinerja Sertifikasi itu; mulai dari asesor, pengajar pra kerja, admin admin, penyelenggara, mentoring, dll. Cari aja cerita-cerita bahagia mereka karena duitnya segunung dengan penyelenggaraan sertifikasi itu. Bagi saya pribadi, berbeda pendapat dan haluan itu soal biasa. 😀

Anda boleh kok nggak ikut Sertifikasi kalau bekerja penuh menulis di industri kreatif yang nggak berurusan dengan pemerintah. Karena ya sungguh konyol berbagai hal yang berkaitan proyek penulisan dengan pemerintah kudu wajib Sertifikasi. Termasuk mereka yang ikut beragam penulisan buku sekolah, PT, buku referensi yang didanai pemerintah. Lha kalau nggak punya Sertifikasi? Ya nggak usah ikut 😂🙏Tapi duitnya 20 an juta per buku Bu Ari… Nah kalau begitu yo meluwa ikutlah Sertifikasi. Nggak usah ribut. 🙏

5. Versi saya selembar Sertifikasi tidak mengcover semua dari mereka pekerja kreatif yang mumpuni. Lha saya pas tes saja asesornya nulis buku baru beberapa dan saya yo embuh nggak tahu kok… piye jalll… (hanya karena dia itu punya Sertifikasi asesor yang chargenya juta-jutaan itu) 😆🫢Ini juga terjadi di dunia skenario, editor, kameramen, sutradara, dll. 😀🙏Jadi santai saja kalau nggak mau ikutan Sertifikasi. Yo jangan provokasi menolak beribut. Karena setidaknya ada Sertifikasi mengurangi karya-karya yang di bawah standar yang dibiayai pemerintah. 🙏Coba baca aja buku buku yang dirilis pemerintah untuk SD, SMP, SMA, pun PT di masa lalu 😂😁kualitasnya masih embuh dan itu milyaran dananya. Semoga dengan Sertifikasi itu rada mengurangi kebobrokan literasi kita.

6. Jadi saya nggak membahas apapun ketika beributan isu banyak yang menolak Sertifikasi… ya karena ini. Kalau kamu perlu ikutlah, kalau nggak yo wes sini piknik atau nulis saja sama saya 😀🙏

7. Di waktu saya mengikuti Sertifikasi itu, saya pikir nantinya kami ini akan secara otomatis mendapatkan porsi pekerjaan penulisan dari pemerintah bekerja sama dengan Penerbit sesuai major atau bidang yang disertifikasikan. Ternyata enggak tuh.

Mereka yang mo ikutan proyek penulisan pemerintah, masih kudu seleksi administrasi, coaching, dll proses yang jelas lebih ribet daripada sekedar menulis dan menerbitkan buku. Dapat dananya berapa? Range antara 8 sd 50 juta per buku (CMIIW). Tentu saja peminatnya yo membludak melihat angka perolehannya untuk tiap naskah; dibanding katakanlahdi Jogja 1 naskah bisa hanya dihargai 1.5 juta saja. Hei, tapi itu jelas bukan kerja seminggu, berbulan-bulan dan beribet proses yang nggak sederhana. Gayanya saja mereka kayak plesiran piknik di hotel dengan dana pemerintah, yang diambil juga dari bagian pajak-pajak royalti dan buku-buku saya 😀🙏

8. Asesor asesor yang versi saya hanya sekedar punya karya dan ikutan tes dengan charge jutaan itu, mestinya diganti dengan mereka yang direkomendasikan oleh Industri Kreatif, baik Penerbit , PH, dll yang berkaitan; tentang siapa yang layak jadi asesor dan bukannya asal ikut Sertifikasi Asesor 😆🫢Ngenes tenan jadinya kualitas kreativitas kita kalau hanya berdasarkan ujian inyik-inyik bayar lalu bergelar asesor.

Percayalah, gawe disertasi saya di S3 Linguistik FIB UGM itu jauh lebih ekstrem sulitnya daripada sekedar ujian asesor lalu mereka merasa berhak meluluskan atau tidak meluluskan mereka yang mau Sertifikasi Penulis. Nalar logikanya pun nggak jalan di otak saya.

Sekali lagi pro kontra itu biasa. Saya sebagai pribadi nggak memerlukan Sertifikasi Penulis; tapi kalau Penerbit, Media, PH, Sponsor, Klien tempat saya bernaung kerja memerlukan keberadaan Sertifikasi Penulis itu untuk kelangsungan proyek tertentu, pasti saya akan ikuti. Tentu mereka harus sembodo mbayari. Semoga menambah wawasan. Ora usah ribut gegara selembar Sertifikasi. Sertifikasimu bejibun kalau kamu nggak menulis, nggak punya karya yang dijual massal secara bebas; pada hakikatnya di industri kreatif kamu tidak dianggap sebagai penulis, atau pastinya kamu bukan seorang penulis. Naaah….!

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Kalau Kamu Menikah

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com hari Kamis, 23 Juni 2022 dengan link berikut ini. https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063729590/kalau-kamu-menikah

Suatu pagi saya masuk ke ruangan di kampus. Di situ ada 3 atau 4 orang —saya sudah agak lupa detailnya. Saya tidak mengenali mereka dan belum pernah bertemu. Tiba-tiba seseorang ala embok-embok menyeru keras kepada saya, “Gek ndang rabi. Kalau nggak punya pacar atau calon suami, sini takkenalin temenku. Dia duda, baru ditinggal mati istrinya dua bulan lalu. Nggak punya anak dan lagi cari istri baru. Kepenak to duda ra duwe anak.”

 Saya kaget dan menjadi awkward dengan kosakatanya yang kasar. Saya menahan emosi. Sebagai penulis yang tidak hanya kenyang berkarya, tapi juga sudah lebih dari makan asam garam berhadapan dengan fans dan haters, saya merasa wes fans berat ini. Hehe…, kalau dia tidak ngefans, pasti tidak mau repot-repot mencari tahu tentang  saya dan waton muni seperti itu. Lha saya tahu dia saja enggak, ketemu atau interaksi di sosmed juga belum pernah.

Pasti dia dengan pihak lain, wes ngrasani saya. Lalu menganggap saya yang belum menikah sebagai sesuatu yang buruk. Mungkin niatnya baik, tapi jadinya kurang etika karena tidak kenal. Baru kali itu saya berhadapan dengan orang nyinyir model begini.

Saya menurunkan emosi pada grade terendah. Eh, lah kok masih diteruskan nyinyirannya, “Kamu kan tahu, kalau orang Islam menjodoh-jodohkan dan sampai mereka menikah itu sama seperti membangun rumah di surga.”

Wahahaenteng betul dia mengkapling surga untuk dirinya sendiri? Dengan nyinyiran yang mirip pisau jagal sapi? Entahlah. Karena tidak hendak berbalas kata, saya pun pergi. Demi menetralisir energi negatif kiriman si julid, saya bermeditasi sejenak. Saya dengan sadar mendoakan jiwa si embok nyinyir, memaafkan kelakuannya, dan meminta maaf pada diri saya yang masih “terbawa emosi” sesaat. Setelah tenang, saya meneruskan gaweyan.

Dalam fase kehidupan kita yang normal, dari seseorang lahir bayi, anak-anak, remaja, dewasa, kuliah, kerja, menikah, beli rumah-kendaraan, punya anak, membesarkan anak, menikahkan anak, lalu fase hidup kembali berulang. Demikian itu pola kehidupan yang mainstream diterima dan dilakoni masyarakat kita. Lalu mereka yang tidak begitu, dianggap “salah”; terutama kaum perempuan.

Pada saat lebih belia, saya juga berpikir untuk mengikuti pola itu. Namun dengan banyaknya jatuh bangun urusan pernikahan, saya memilih berdamai dan menerima takdir. Saya sempat menduga ada masalah dengan kepribadian saya. Dengan sadar diri saya menemui psikolog, menjalani serangkaian tes dan pemeriksaan psikologi. Hasilnya saya baik-baik saja dengan beberapa keiistimewaan.

Saya juga tidak berlatar belakang keluarga broken home yang bisa membuat orang trauma dengan pernikahan. Ibu bapak saya menikah di usia belia, hingga usia pernikahan 35 tahun saat bapak meninggal. Ibu saya setia tidak menikah lagi hingga sekarang, hampir 20 tahun sejak bapak meninggal. Saudara-saudara saya menikah, punya anak-anak, dan keluarganya baik-baik.

Saya pernah mengadukan persoalan hidup kepada Tuhan. Seperti sebuah keajaiban, Tuhan seolah mengajak saya berbicara. Bagai slide film yang terpampang di depan mata, saya diajak menengok perjalanan hidup saya sejak lahir hingga tiba di depan Ka’bah saat itu. Tergambar berlimpahnya anugerah yang telah saya terima. Saya jadi merasa malu bertanya mengapa Tuhan belum memberikan pernikahan. Saya pun menangis sejadi-jadinya.

Menyadari saya ini mung wayang yang kudu manut dhawuhe sang Dhalang. Sebagai orang yang beriman pada kehidupan dunia akhirat, saat itu saya menyadari terlalu mengurusi satu hal yang belum diberi, dan kurang mensyukuri banyak hal yang sudah dianugerahkan Tuhan.

Sejak itu, saya bertekad untuk menikmati seluruh anugerah yang diberikan Tuhan sepenuhnya. Saya tidak perlu merisaukan apa yang belum atau tidak diberikan kepada saya. Sekembali dari Mekah, hanya dalam 3 tahun; kaki-kaki mungil saya telah menapaki 25 negara dengan berbagai latar belakang: pekerjaan, sponsor wisata, dolan, breakdown lokasi syuting, dll. Perjalanan yang kalau saya tuliskan sebagai novel, butuh sekurangnya 25 tahun.

Dalam waktu 3 tahun juga, negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini telah saya jejaki dengan sempurna. Mungkin kalau tidak terjeda pandemi, lebih banyak lagi tempat yang menjadi catatan rekam jejak saya. Saya mengerjakan banyak sekali pekerjaan penulisan, sehingga memungkinkan saya membeli rumah seperti beli buku saja dan menaruh beberapa hal untuk masa depan.

Alhamdulillah. Saya tidak akan ge-er ada orang yang iri dengki dengan pencapaian saya. Ada banyak orang dengan pencapaian hidup yang lebih banyak, lebih bagus. Tapi bagi saya, semua itu adalah anugerah istimewa. Hidup sejatinya tentang penerimaan semua takdir baik buruk dengan penuh rasa syukur.

Bagi saya ternyata lebih menyenangkan untuk melihat sunset di Papua yang elok, menapaki perjalanan panjang untuk sampai ke Pantai Ora di Maluku, merasakan dingin air bawah Laut Bunaken sementara di atas cuaca sedang panas membara, atau menyaksikan sepasang lumba-lumba meloncat di ketinggian Laut Banda, menyaksikan ikan-ikan hitam besar di kedalaman Danau Toba, dll perjalanan dibandingkan beribet dengan urusan momong anak, beributan membangunkan anak di waktu pagi, mengurusi seabrek gaweyan rumah tangga yang konon tidak ada habisnya.

Bahwa ada banyak perempuan yang berbahagia hidup berumah tangga, yes itu pilihan mereka. Saya tidak berhak menakar kebahagiaan mereka dengan standar saya. Kalau ukuran sepatu saya 40, dipaksa memakai sepatu nomor 37 ya kesakitan, pun kalau diminta memakai sepatu nomor 43 jelas tidak pas.

Saya memahami bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah. Kalau pernikahan itu mudah, pasti tidak banyak kasus perceraian. Tidak akan ada orang-orang yang rumah tangganya terlihat adem ayem, tahu-tahu bercerai. Tidak akan ada banyak LBH-LBH (Lembaga Bantuan Hukum) yang menangani kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) —termasuk di lingkungan terdidik dan terhormat, penipuan janji pranikah, penggelapan warisan mertua, ipar-ipar yang merecoki, mertua yang menjengkelkan, suami/istri yang ternyata tidak sesuai harapan, dll kasus yang berujung pada perceraian dan kasus-kasus pidana.

Coba cek di sekitarmu, berapa banyak perempuan yang bagai sapi perah kerja rodi dalam pernikahan. Sudah bekerja sepagi sore yang melelahkan, dibebani mengurusi anak dan rumah tangga, dengan suami yang ongkang-ongkang seperti benalu masih selingkuh sampai punya anak pula. Betapa banyak istri-istri yang diam-diam menangis darah karena kelakuan suaminya yang tidak beradap. Ada banyak kejahatan rumah tangga dalam bingkai pernikahan yang terasa lebih ekstrim dari kisah pilu sinetron jeritan para istri.

Saya juga menyaksikan banyak pernikahan bahagia. Suami istri yang rukun. Mereka bahu membahu membesarkan anak. Saling menolong, saling menopang. Saling menghormati, terus setia dan saling mencintai —lebih dari selamanya. Banyak dari mereka yang pasangannya sudah meninggal, tetap setia. Rumah tangga orang tua saya pun, versi saya adalah contoh riil sepasang anak manusia bersetia cinta dalam pernikahan; melewati jatuh bangun kehidupan dan membesarkan ketujuh orang anak —jelas perjalanan panjang yang tidak mudah.

Saya pun bersyukur tinggal di lingkungan rumah dengan tetangga-tetangga yang berbahagia seperti ini. Memiliki pernikahan dengan cinta berlimpah. Kalau sang istri sedang repot mengurusi anak, si suami yang sudah lelah bekerja pun tidak segan mengangkati jemuran, membersihkan rumah. Atau sebaliknya. Banyak tindakan yang riil yang menunjukkan betapa mereka bekerja sama menghidupkan pernikahan dengan kasih sayang.

Saya berharap kalau kamu perempuan yang menikah dan bahagia bersama keluargamu, pasanganmu orang baik, hidup sejahtera dengan pekerjaan mapan, anak-anakmu penuh berkat, bersyukurlah dan jagalah semuanya baik-baik. Karena Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang (bisa) mengambil semuanya sewaktu-waktu.

Sementara kalau kamu perempuan yang belum atau tidak menikah dengan beragam sebab, tetap berbahagia dan bersyukurlah. Tidak usah iri dengki dengan mereka yang menikah dan terlihat lebih bahagia. Bahagia itu bukan urusan sudah menikah atau belum menikah; tapi pada keikhlasan menerima dan menjalani takdir kita dengan berlipat syukur. Setiap orang menjalani ujiannya masing-masing, termasuk mereka yang sudah menikah.

Saya belum menikah, iya betul. Kalau dengan keadaan itu hidup saya dianggap salah, bermasalah, atau tidak bahagia, saya menolak sepenuhnya. Hidup saya baik-baik saja. Saya berlatar belakang sekolah tinggi. Memiliki pekerjaan dan karir yang baik sebagai penulis. Masih ditambah pekerjaan sebagai dosen —baik tetap maupun tidak tetap. Memiliki orang-orang dekat dan keluarga yang penuh cinta. Tinggal di rumah yang nyaman dengan tetangga-tetangga yang selayaknya keluarga. Hidup sehat, tenang damai, makmur sejahtera.

Bagi saya sekarang, pernikahan seperti fase kehidupan lainnya. Ada orang-orang yang mendapatkan cepat, ada yang lebih lambat, ada yang memutuskan tidak mengambilnya. Urusan seperti ini saja, kok ada orang yang senggang banget nyinyiri kehidupan saya, yang bahkan kenal juga enggak. Kalau kenal, malah ngomongnya hati-hati karena saling menjaga perasaan.

Saya mungkin sudah tahap pada selesai dengan diri sendiri. Saya menerima diri saya dan orang lain dengan semestinya. Tidak terlalu terganggu dengan omongan orang, apalagi kalau tidak menambah kontribusi baik dalam kehidupan saya.

Seperti suatu pagi tiba-tiba saya disapa seseorang, “Kok Bu Ari tumben ke kampus ngojek?”

Saya berusaha keras mengingat, tapi rasanya belum pernah bersapa sua dengan orang ini. Sepertinya fans saya di kampus ini banyak :D, jadi yang suka nimbrung kepo ini itu —ada saja.  Saya jawab, “Iya, kalau ke sini ngojek.”

Saya tidak merasa bahwa pertanyaan dan jawaban itu menjatuhkan harga diri saya atau terus tiba-tiba berubah jadi miskin. Itu sudah lewat dari hidup saya. Senyatanya kalau mau bawa motor atau mobil ya bisa. Tiap orang memiliki pertimbangan berbeda. Kalau terlalu peduli dengan remeh temeh ginian, habis waktu kita. Kita tidak akan sempat berkarya yang bermanfaat bagi sesama.

Buat kaum nyinyirens, ojo waton muni alias jangan asal bicara. Terlebih pada orang-orang yang tidak kamu kenal. Tidak semua orang memiliki kekuatan hati seperti saya. Bisa saja suatu ketika kamu mencela orang, berbalas ramai dan berbuntut kasus hukum. Terus…, bagaimana nasib embok nyinyirens di atas? Saya berpikir lebih baik menghindarinya. ****

Please follow and like us:

Gelang Emas

Cerkak atau cerita cekak atau cerita pendek dalam bahasa Jawa, Gelang Emas ini sudah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 18 Juni 2022 dengan link berikut ini. https://www.nongkrong.co/apresiasi/pr-4313697649/gelang-emas

Sesore njenggrung, Rosi mumet nggoleki gelange sing mara-mara ilang. Gelang emas sing biyasane dinggo neng tangan tengen, ora ana lan ora cetha neng endi ilange. Dheweke babar pisan ora kelingan. Ngerti-ngerti nalika sore arep adus njur niyat nyopot gelange, tibake gelange wis ora ana.

Rosi njur opyak. “Mboook…! Mbok Jilah….!” celuke Rosi.

Mbok Jilah sing wis setengah tuwa itu nyedhak. “Wonten napa, Mbak Rosi?”

“Rewangana aku, Mbok. Gelangku ilang embuh copot neng endi aku kok ora ngerti. Genah neng ngomah, wong sedina aku ora lunga iki mau,” tambahe Rosi.

Simbok Jilah katon kaget sawetara wektu, ning njur biyasa maneh. “Nggih, Mbak. Kula padosane. Sepuntene yen mboten kepanggih.”

“Ya, Mbok. Pokoke wis digoleki dhisik,” kandhane Rosi karo terus mider mlebu metu kamar nggoleki gelange sing ilang.

Mbok Jilah semono uga. Katon ibet nggoleki gelang emas cilik ning mbejaji kuwi. Rosi ya terus nggoleki gelange neng sajrone omah, sinambi ngeling-eling sedina iku mau neng endi bae. Ning dheweke isih eling mau esuk pas resik-resik taman ngarep isih nganggo gelang. Cetha yen gelange mesthi copot neng kiwa tengene omah, ora mungkin ilang neng nggon adoh.

Nganti kesel ngubengi ngomah, gelang emas sing digoleki Rosi panggah ora ketemu. Rosi njur thenger-thenger. Gelang emas iku dudu sembarangan gelang emas. Gelang kuwi olehe tuku seka nglumpukne dhuit sethithik mbaka sethithik. Nyicil tuku gelang emas neng Toko Emas Bumi nganti genep lan gelange isa digawa bali. Sajeke kuwi, gelang emas kuwi tansah melu neng ngendi bae Rosi. Paling-paling mung dicopot yen arep adus.

Gelang emas kuwi bunder gilig dadi bobote lumayan, watara limalasan gram. Dhuite rada akeh. Gelang kuwi ya wes bola-bali nylametne Rosi yen ana keperluan dadakan rada gedhe. Disekolahne neng pegadaian utawa digadhekne. Njur dheweke isa nyicili sithik mbaka sethithik nganti lunas lan digawe maneh. Ngono terus wis watara rongpuluhan tahun. Dadi gelang kuwi cetha barang wigati banget kanggone Rosi.

Merga nganti meh surup durung ketemu, Rosi akhire mupus. Sesuk maneh arep digoleki. Sapa ngerti isa ketemu. Masiya neng ati ya rada tida-tida, kok isa dheweke ora ngerti gelange copot. Mestine yen gelang kuwi ceblok neng jubin, dheweke ya krasa utawa krungu. Ning Rosi mung gedheg-gedheg, mbokmenawa krana dheweke nyrempeng gaweyan nganti ora krasa yen gelange copot. Mbuh saiki neng endi, Rosi ora ngerti.

“Wis Mbok, nggolekine sesuk maneh bae. Yen isih rejekiku mesthi ketemu, dene yen ora ya kepiye maneh,” kandhane Rosi pasrah. Terang dheweke ra isa nyalahne sapa-sapa. Sing salah ya jelas dheweke dhewe. Mbokmenawa kuncine gelang rada lobok njur ora dibenakne, akhire copot lan ora ngerti.

Merga kekeselan, bubar Isyakan Rosi wis turu angler. Wis ora mikir maneh perkara gelange sing ilang. Gela kuciwa lha ya cetha, lha ning kepriye maneh wong digoleki ora ketemu. Sesuke Rosi isih mbudidaya nggoleki gelange neng saentero omah. Dheweke yo wis njaluk Mbok Jilah rewangi nggoleki, ning ya ora ketemu.

Rosi wes pasrah tenan. Tinimbangane mangkel tansah kelingan gelang sing ilang, akhire Rosi tuku gelang maneh. Bobote padha persis karo gelange sing ilang. Ning modhele ora padha. Saiki tukune langsung bayar lunas, ora ndadak nyicil kaya biyen. Lha wong saiki Rosi wis nyambut gawe mapan dadi pegawai bank pemerintah.

Wedi yen gelange ilang maneh, Rosi mung nyimpen bae gelang sing mentas dituku kuwi. Sing penting yen ana butuh dadakan, dheweke isa nggadhekne gelang kuwi. Masiya rasane wis tetaunan Rosi ora tau maneh nggadhekne gelang utawa priyasan liyane. Malah saiki sregep nabung emas nggo jaga-jaga yen ana kebutuhan ndadak. Yen nabung dhuit, biyasane kecuwil-cuwil terus njur ora nglumpuk.

Perkara gelange ilang kuwi, ya mung Rosi dhewe sing ngerti lan Mbok Jilah. Rosi ya wis ora mikir maneh. Mbokmenawa pancen jatah rezekine gelang kuwi melu dheweke mung nganti semono. Gelang kuwi wis akeh jasane kanggo Rosi. Dadi masiya ilang, Rosi ya wis ora gela maneh. Coba yen ora ana gelang kuwi, dheweke ra ngerti kepriye ngurusi ragat sekolahe sing nambah-nambah luwih saka beasiswane zaman semana.

Esuk kuwi Mbok Jilah gawe sarapan sega goreng kaya biyasane. Ning porsine luwih akeh. “Dingaren nggawe sega goreng akeh, Mbok? Mengko diterke tangga kiwa tengen bae. Kurang enak dinggo mangan awan,” kandhane Rosi.

“Anuu… Mbak Rosi, niki mengke sekedhap malih yoga kula kalih semahe ngriki. Kersane mengke dipangan.”

“Oh, lha kok ndengaren. Ana perlu karo Simbok apa mung kangen?” takone Rosi.

Anak lanange Mbok Jilah pancen kala-kala sesasi utawa rong sasi pisan tilik simboke. Sok-sok yen Rosi ora sepira repot, dheweke sing ngeterne Mbok Jilah mulih nyang Magelang njur baline nyang Yogya diterke anake sepeda montoran. Biyasane Mbok Jilah mulih tilik anak putune sesasi pisan. Mung rong dina. Rosi ya ora kabotan.

Masiya simboke mung rewang, ning anake Mbok Jilah dadi wong kabeh. Anake lanang loro dadi pegawai negeri. Sakjane anak-anake yo wis ngongkon simboke leren mburuh rewang neng nggone Rosi. Ning simboke ngomong yen ora nyambut gawe malah nglangut lan awake lara kabeh.

Tur maneh ngrewangi nggone Rosi ora sepira abot gaweyane. Mung resik-resik omah, umbah-umbah nyetrika, lan nggawekne sarapan esuk sadurunge Rosi ngantor. Mung yen Rosi neng omah, masake ping telu sing entheng-entheng. Gawe sega goreng, gawe sop ayam, lan liyane sing cepet rampunge. Saliyane kuwi, Mbok Jilah isa thenguk-thenguk leyehan sinambi nonton teve.

Ora watara suwe, anake Mbok Jilah sing mbarep karo bojone teka neng omahe Rosi. Merga durung wiwit sarapan, Rosi ngajak kalorone sarapan pisan. Semono uga Mbok Jilah. Rosi ora tau mbedakne rewang lan majikan. Yen sarapan dheweke ya sameja karo Mbok Jilah.

Mung kala-kala Mbok Jilah ora gelem, isih alesan ngurusi iki kuwi. Ning Rosi ngerti, kuwi mergane Mbok Jilah sungkan. Dheweke yo ora tau meksa. Wis ben sakepenake Mbok Jilah. Idep-idep gantine wong tuwa neng ngomah.

Bubar sarapan, mergane dina Minggu, Rosi njur manggakne anak lan mantune Mbok Jilah. Lungguh neng kursi tamu. Mbok Jilah nggawakne wedang jeruk sereh sing anget-anget.

“Mbak Rosi, niki ngapunten sakderengipun. Kula kalih semah kula, ugi simbok kula pun kesalahan kalih panjenengan,” kandhane anake Mbok Jilah sing jenenge Bagus mbukani rembug. Rosi nyawang anake Mbok Jilah, bojone, lan Mbok Jilah genti genten. Katone sajak abot arep rembugan.

“Lha salah apa, Mas, Mbak? Ana apa iki, Mbok Jilah? Kok aku ora mudheng,” kandhane Rosi.

Mantune Mbok Jilah njur ngetokne bungkusan cilik saka tase, diseleh neng ngarepe Rosi. “Niki lho Mbak Rosi. Menika gelang emas panjenengan….,” kandhane mantune Mbok Jilah sing aran Nurma karo nyelehne bungkusan neng ngarepe Rosi.

Rosi kaget lan njur mbukak bungkusan. Isine beneran gelang emas. Gelange sing ilang watara setahunan kepungkur. Lha kok isa neng nggone mantune Mbok Jilah ki larah-larahe kepriye, kuwi sing Rosi ora mudheng.

“Nggih Mbak Rosi, ngapunten saderenge. Ampun ndadosne panjenengan kuciwa penggalih. Dados setahun kepengker, kula kalih semah kula kenging musibah. Kula dituduh nggelapne dhuit kantor watawis kalih dasa yuta. Padahal saestu, kula mboten ndamel lan mboten ngertos,” ceritane Bagus.

“Kantor geger lan duka dospundi pokokne selamine proses pemeriksaan, kula ken nggentosi riyin arta kalih dasa wau, yen mboten kula dikunjara. Kula wis etung wonten arta tigang yuta, nyilih adik kula angsal tigang yuta. Dados taksih kirang patbelas yuta. Lha rekane kula mung ajeng nembung simbok badhe nyuwung ngampil panjenengan. Ning simbok mboten kersa. Kula pun ajenge sowan langsung ngriki, kalih simbok nggih mboten diangsali. Nggih sampun.”

“Lha kok sesuk enjinge simbok criyos nemu gelang emas neng lurung ngajengan ndalem njenengan. Kula njur muni taksilihe masiya embuh niku duweke sinten. Simbok nggih ngolehi, wong mboten ngertos niku gelange sinten. Milane kula ndadak ngriki riyen nggo mendhet gelange niku. Saking ngriki, gelange langsung kula gadhekne nggo nggenepi dhuit kurangane. Pun niku kula bayarne kantor, kasuse lajeng diproses.”

“Alhamdulillah, kula mboten klentu. Dhuite rong puluh yuta pun dibalekne njur langsung kula damel mbalekne utange neng adik kula lan nebus gelang. Lha niki kula aturne kondur. Soale riyin nika dinten bentene simbok nggih kandha kula, yen gelang sing ditemu niku tibakne gelange panjenengan sing ilang. Wah, kula ewa sekel nika, Mbak Rosi. Arep matur bingung yen kon mbalekne, ora matur kok salah lan dudu barange.”

“Inggih, Mbak Rosi,” sambunge Nurma. “Akhire kula iguh teng bapakne lare-lare, menawi pun ditebus mawon matur blaka suta sakwontene teng penjenengan. Ngapunten, menika saestu ingkang kula aturne kalih semah kula.”

Rosi manggut-manggut. “Oalah… dadi gelangku ki pancen ilang copot yo, Mbok. Ning aku ora ngerti. Ya wes, ora apa-apa. Alhamdulillah kabeh wis tlesih. Mbok sarehne simbok sing nemokne, sasi iki gajimu takdobel loro.”

“Maturnuwun, Mbak Rosi,” kandhane Mbok Jilah karo ngepuk-ngepuk pundhake Rosi.  “Sajane kula ajrih pas ngertos njenengan opyak kelangan gelang. Lha dospundi, saderenge mboten ngertos trus pun dibeta anak kula digadhekne. Mengke yen dijaluk rak mboten wonten arta nggo nebus.”

“Ora apa-apa, Mbok. Sesuk maneh kandha bae apa anane. Dadi aku ora bingung,” kandhane Rosi. “Kanggo Mas Bagus Mbak Nurma, wis maturnuwun sanget kersa mbalekne. Taktampa lan ora perlu rumangsa salah. Pancen mbokmenawa lakone gelang kuwi pancen ngono. Nggo tetulung lan ngrampungne urusane sampeyan sakloron. Wis mangga diunjuk, ora apa-apa.”

“Nggih Mbak Rosi, maturnuwun sanget,” kandhane Bagus lan Nurani bebarengan.

Rosi njur langsung nganggo maneh gelang kuwi. Handphone Rosi muni. Bagus lan bojone milih pamitan sadurunge Rosi ngangkat telepon. Mbok Jilah reresik kamar tamu.

Rosi nampa telepon karo mesem nyawang gelange sing wes manggon neng tangan tengene maneh. Batine maturnuwun karo Gusti Allah lan muni yen rezeki pancen tetep balik utuh. ****

Please follow and like us:

Bercermin dari Kisah Eril bin Ridwan Kamil

Artikel ini telah dipublikasi di penabicara.com pada hari Kamis, 16 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063669811/bercermin-dari-kisah-eril-bin-ridwan-kamil

Innalillahi wa’ inna ilaihi raji’un….!

 

Saya tidak mengenal Ridwan Kamil (Pak RK) dan Atalia P (Bu Cinta). Apalagi anak-anaknya. Saya hanya mengidentifikasi Pak RK dan Bu Cinta sebagai Gubernur Jawa Barat. Sebagai orang yang tidak mengidolakan mereka di ranah kepemimpinan, saya tidak pernah mengulik sosmed mereka. Kalau kebetulan postingannya lewat di timeline saya dan menurut saya bagus, saya like saja. Sebatas itulah pengetahuan saya tentang mereka berdua.

Pada saat berita hilangnya Eril anak sulung Pak RK berseliweran di sosmed, saya masih tidak paham. Baru ketika mendengarkan beberapa youtube saya mengerti bahwa Pak RK sedang bertugas di Inggris, Bu Cinta dan kedua anaknya pergi ke Swis. Tujuan mereka ke Swis adalah mengantar Eril untuk mencari sekolah jenjang S-2. Lalu ada kesempatan berenang di Sungai Aare, Eril terjun bersama adik dan temannya. Pada saat hendak naik selesai renang, barulah Eril terseret arus sungai dan hilang.

Sontak berita itu bertebaran di jagad sosmed kita. Tim SAR, polisi Swis, KBRI Swis dll pihak dilaporkan sibuk melakukan pencarian Eril di Sungai Aare. Tidak hanya melalui jalur air, tetapi lewat jalur darat dan udara. Dengan usaha yang luar biasa sampai berhari-hari. Namun tidak ditemukan jejaknya, hingga pihak keluarga mengubah status keberadaan Eril dari hilang menjadi telah meninggal dunia.

Saya bisa membayangkan betapa hancur dan luluh lantaknya renjana hati Pak RK dan Bu Cinta, kehilangan putra tercinta di depan mata. Dengan situasi yang sama sekali tidak terduga. Pada kondisi yang rasanya mustahil seseorang meninggal begitu muda.

Ya, Eril masih muda belia. Sekitar 22 tahun sedang mekar tumbuh dewasa. Tapi dia bukan pemuda sembarangan. Dia atlet renang dan mengantongi sertifikat penyelam. Ketika memutuskan untuk terjun berenang ke Sungai Aare, saya yakin dengan keahliannya dia sudah menimbang situasi. Kondisi cuaca, suhu air, kedalaman sungai, deras arus, dll hingga memutuskan untuk turun berenang. Terbukti dia melarang ibunya —yang semula juga ingin ikut berenang. Petanda bahwa dia seorang anak lelaki yang memikirkan keselamatan orang tuanya.

Mereka yang menyukai olahraga air baik di sungai, danau, waduk, laut —seperti renang, snorkelling, diving, menyelam, pasti tahu bahwa tempat-tempat ini sering tidak terduga. Pada saat keadaan terlihat tenang, bisa berubah ganas seketika.

Itu sebabnya saya termasuk yang melarang “permainan” dengan melempar seseorang ke sungai, danau, waduk, laut —bahkan kalau itu berniat untuk kebaikan, seperti acara ulang tahun, syukuran, dll. Tempat-tempat yang terlihat tenang itu bisa jadi berbahaya dalam sesaat. Terlebih kalau orang yang dilemparkan tidak bisa berenang atau tidak mengenal medan air.

Bagaimanapun ahlinya seorang Eril dalam urusan air, ternyata takdir tidak berpijak pada logika manusia. Hampir selama proses pencarian Eril tersebut, sosmed kita banjir dengan doa-doa keselamatan Eril. Ketika statusnya diubah dari orang hilang menjadi telah meninggal, sosmed kita pun begitu riuh. Banyak pesantren, komunitas, perseorangan yang mengirimkan doa dan sholat gaib untuk Eril.

Kisah Eril pun tidak lepas dari pernyataan dan klaim para dukun, paranormal, peramal, hingga indigo. Mereka tentu berbicara sesuai dengan kemampuan atau kapasitas masing-masing sesuai dengan “ilmunya”.  Bahkan banyak yang berani mengatakan begini begitu, yang versi akal sehat pun terasa ngayawara atau dibuat-buat.

Kita, saya, anda, boleh saja tidak percaya pada mereka dengan segala ramalan dan perbincangan “pemilik ilmu gaib” yang justru mengisruhkan keadaan. Tapi mencela dan memburukkan mereka —tentu bukan hal yang baik. Bagaimanapun kita juga tahu ada orang-orang yangdiberi kelebihan untuk “berkomunikasi” dengan dunia gaib. Ada sosok-sosok yang bisa “membaca” masa depan dengan menghitung radiasi energi. Ada sekelompok orang yang waskita —weruh sadurunge winarah. Mereka yang seperti itu pernah tercatat dalam sejarah leluhur bangsa kita.

Bahwa sekarang ada banyak “oknum” yang mengaku-ngaku memiliki keahlian “berkomunikasi dan membaca yang tidak tampak mata biasa” tersebut demi “popularitas” atau “fulus”, itu tentu hal yang lain lagi. Kita tidak boleh menyamaratakan mereka yang benar ahli dan punya mata batin yang tajam dengan mereka yang mendompleng demi mendapatkan keuntungan pribadi.

Ketika saya bertanya pada seseorang yang saya anggap bisa membaca “sesuatu” yang tidak tampak di mata wajar, beliau hanya berkata singkat. “Dia orang baik. Seperti berita, sudah dinyatakan meninggal. Bapak dan ibunya sangat mencintai. Seperti permintaan ibunya, kalaupun sudah meninggal berharap bisa ditemukan jasadnya. Dibantu doa jutaan orang, selalu ada keajaiban yang bisa terjadi. Insyaallah.”

Tidak memastikan. Tidak menerangkan dengan gamblang. Saat itu saya yakin, dia tahu apa yang akan terjadi. Namun tidak mau mengatakannya kepada saya. Dan benarlah, luar biasa. Setelah 14 hari pencarian, jasad Eril ditemukan oleh Guru SD yang baik.

Jasad Eril dalam keadaan baik dan utuh. Meskipun sudah diterangkan oleh Pak RK bahwa kondisi jasad Eril yang utuh itu karena suhu udara sungai Aare yang dingin dan tidak banyak makhluk hidup di sungai, tetap saja muncul berbagai spekulasi dan hoax untuk meriuhkan sosmed kita. Ada saja pihak-pihak yang meramal dan menghubungkan kondisi itu dengan segala macam klenik dan mitos.

Saya sebagai orang yang beragama, justru ingin tahu tentang keseharian Eril. Pemuda ini bukan sosok yang dikenal atau populer sebelumnya. Saya yakin juga tidak banyak warga sosmed yang tahu bahwa Eril anak Pak RK. Tapi saat berita kehilangan Eril merebak, dia didoakan begitu banyak orang.

Pikiran saya, apa yang menjadi rahasia kebaikannya. Tindakan baik apa yang dilakukan oleh Eril, sehingga dia didoakan jutaan orang. Pasti ada banyak kebaikan Eril tersembunyi dari ruang publik. Kita tahu, ada banyak anak pejabat. Ada banyak yang meninggal mendadak. Mungkin yang mendapatkan doa dan perhatian, rasanya baru sosok Eril.

Pertanyaan saya itu sekurangnya terjawab dari para pelayat tentang amalan kebaikan Eril. Sosok pemuda bersahaja ini senang berbagi dan bersua silaturahmi serta meminta maaf kepada sesama. Hal itu dilakukan Eril secara rahasia. Dia berbuat baik dalam sunyi. Dia tidak hingar bingar. Dia menabur kebaikan dalam kerendahhatian yang dalam. Sosok yang luar biasa, saat kita melihat ada banyak anak pejabat yang kelakuannya berasa anak emas sultan —yang segala sesuatunya minta dilayani.

Eril tiba-tiba mengingatkan saya pada saat pengajian beberapa waktu yang lalu. Salah satu jamaah bertanya kalau ada seseorang yang lahir besar di Indonesia,  ditakdirkan Allah meninggal di India, apakah itu mungkin? Lalu penceramah mengatakan bahwa itu sangat mungkin. Pasti ada kegiatan, cara, atau sesuatu yang membuatnya pergi ke India dan meninggal di sana.

Seperti itulah kematian Eril. Dia lahir di New York-Amerika yang glamour, memiliki darah Indonesia dan banyak menghabiskan waktu di Negeri Khatulistiwa, meninggal di Bern-Swis, dan kembali untuk dimakamkan di Bandung, Indonesia. Kematian Eril mengingatkan pada kita bahwa kematian itu pasti.

Tidak ada yang bisa mengundur atau memajukan kematian. Pun tidak bisa memilih cara mati. Sebaik-baik manusia adalah mereka yang berbuat baik dan bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya umat. Kisah Eril, membuat kita bercermin: sudah berapa umur kita? Sudahkah kita berjuang agar mati khusnul khotimah atau mati dalam keadaan yang baik?

Pembelajaran bahwa kita harus berusaha mendapatkan kematian yang khusnul khotimah saya dapatkan dari Prof. Quraish Shihab. Dalam pengajian Ramadan jelang sahur tahunan silam. Forum itu dibuka interaksi antara pemirsa dan pemateri. Ada salah satu pemirsa yang menanyakan, kalau kematian itu mendadak, tiba-tiba, tidak terduga, lalu bagaimana kita bisa mengusahakan kematian yang khusnul khotimah.

Prof Quraish Shihab menjelaskan dengan mencontohkan dirinya sendiri. Bahwa sehari-hari beliau memiliki aktivitas; dari rumah ke mesjid, ke kampus, ke kantor, mengisi pengajian atau pembelajaran agama Islam, pergi bersilaturahmi, menengok anak yatim, dll. Sehari-hari begitu terus yang dikerjakannya. Maka pada saatnya ia meninggal nanti, pasti ia akan meninggal di antara tempat-tempat yang menjadi rutinitasnya.

Saya pikir, itu adalah ajaran tentang mengusahakan kematian khusnul khotimah yang melekat di hati saya. Kalau kita sehari-hari sudah baik; jangan sekali-kali masuk ke dunia ketidakbaikan. Bagaimana kalau saat anda coba-coba ketidakbaikan itu ternyata saat terakhir hidup anda?

Seperti yang dikatakan oleh Ustadz Wijayanto pada saat saya menulis beberapa buku agama dengan beliau, ada nasihat bijak. Demi memperoleh kematian yang khusnul khotimah, tidak usahlah kita berpikiran dosa pahala atau neraka surga. Kalau kamu terbiasa jadi orang baik, sekalinya coba-coba datang ke tempat prostitusi dan kamu mati di sana —naudzubillah min dzalik, coba pikirkan betapa malu dan hancur hatinya keluarga besarmu. Orang tuamu, saudaramu, pasanganmu, anak-anakmu, dll orang yang mengenal bahwa selama ini dirimu adalah orang baik?

Selamat jalan, Eril. Semoga Allah menempatkanmu di sisi-Nya yang mulia. Semoga kematianmu diganjar sebagai orang yang mati syahid. Sebagaimana yang tertera dalam hadist. Dalam hadist tersebut diterangkan bahwa Rasulullah SAW menguji sahabatnya dengan pertanyaan, “Siapakah orang yang mati syahid di antara kalian?”

“Orang yang gugur di medan peran itulah syahid, ya Rasulullah,” jawab mereka.

 “Kalau begitu, sedikit sekali umatku yang mati syahid.”

“Mereka (yang lain) itu, lalu siapa ya Rasul?”

“Orang yang gugur di medan perang itu syahid, orang yang meninggal di jalan Allah juga syahid, orang yang kena tha’un (wabah) pun syahid, orang yang mati karena sakit perut juga syahid, dan orang yang tenggelam adalah syahid,” jawab Nabi Muhammad SAW. (HR Muslim).

Sungguh, Eril dengan kisahnya telah mengajak kita bercermin, menekuri jalan hidup yang telah kita lalui. Mengingat mati membuat hati kita lebih lembut. Mari kita berusaha terus melakukan kebaikan. Bagaimanapun kita bertanggung jawab pada perbuatan masing-masing. Kalau kita mati, kita tidak bisa mengajak orang kesayangan sekalipun untuk mati bersama. Kecuali dalam kasus bunuh diri massal, tentu ini berbeda lagi. Tapi yang terpenting, sudahkah kita mempersiapkan bekal  kematian yang selalu datang tiba-tiba?

 

Please follow and like us:

Selapanan: Selamatan Bayi 35 Hari

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 11 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313594215/selapanan-selamatan-bayi-35-hari

Selapanan adalah selamatan bayi yang berumur 35 hari. Seperti acara selamatan bayi brokohan maupun sepasaran, selamatan ini pada prinsipnya merupakan acara syukuran dan permohonan doa kepada Tuhan YME demi keselamatan dan kebahagian si bayi.

Pada saat bayi berumur 35 hari, orang Jawa mengadakan selamatan karena menganggap bayi sudah mulai terbiasa hidup di alam dunia. 35 hari yang berarti jumlah pasaran (5 hari —legi, pahing, pon, wage, kliwon) orang Jawa sebanyak tujuh kali atau ping pitu, yang berarti pitulungan atau pertolongan. Artinya si bayi ini dalam pandangan orang Jawa dianggap sudah “selamat” di dunia dan diharapkan akan terus hidup panjang umur mengarungi kehidupan di dunia.

Dalam selamatan selapanan, ubarampe atau perlengkapan yang harus disiapkan tidak hanya makanan, seperti pada selamatan brokohan dan sepasaran. Pada acara ini ubarampe yang harus disiapkan ada sembilan macam, yaitu (1) tumpeng, (2) sayur 7 macam, (3) telur ayam rebus 7 butir, (4) cabai, bawang merah, dan bawang putih, (5) nasi gudangan, (6) kalo ‘saringan santan dari bambu’, (7) buah-buahan sebanyak 7 macam, (8) bubur merah putih 7 porsi, dan (9) kembang setaman  (mawar merah, mawar putih, kembang kanthil, melati, dan kenanga). Setiap ubarampe tersebut menjadi simbol sesuatu dan memiliki makna filosofis yang berbeda-beda.

Pertama, tumpeng.

Secara umum keberadaan tumpeng ini melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Kang Akarya Jagat atau Tuhan YME. Semakin baik dan tinggi tumpeng yang dibuat, menandakan harapan agar hubungan manusia dengan Tuhannya pun dari waktu ke waktu semakin baik.

Tumpeng juga menjadi simbol permohonan manusia kepada Tuhan untuk memperoleh kehidupan yang lebih anteng, hidup yang tenang, damai, sejahtera, bahagia lahir batin dunia dan akhirat. Permohonan itu disuarakan melalui doa bersama, sebelum makan bersama-sama dalam acara kenduri.

Dalam banyak prosesi ritual orang Jawa sering menggunakan tumpeng ini, baik tumpeng yang berwarna putih atau tumpeng berwarna kuning. Selain menyimbolkan permohonan kehidupan yang baik, tumpeng juga dianggap sebagai perwujudan dan pengakuan manusia berada di bawah dan Tuhan berada di atas. Puncak tumpeng yang menjulang melambangkan ketinggian (gunung) dan tempat Tuhan berada. Sementara lauk pauk yang mengelilingnya menunjukkan orang Jawa sebagai masyarakat yang mengelilingi gunung. Tanah di sekitar gunung juga dianggap sebagai tanah yang paling subur dan membawa kemakmuran bagi semesta.

Kedua, sayur 7 macam.

Sayur 7 macam ini bebas jenisnya, tetapi harus ada kangkung dan kacang panjang. Kangkung menjadi simbol permintaan agar si bayi terus jinangkung atau terjaga dalam pemeliharaan Tuhan. Sementara kacang panjang merupakan simbol permohonan agar si bayi panjang umur.

Beragam sayur yang ada biasanya sawi, buncis, bayam, labu, kenikir, dll. Aturannya, semua sayur tersebut dibersihkan dan dipotong sewajarnya, lalu direbus sampai matang dan disajikan bersama nasi tumpeng. Sayur 7 macam ini menyimbolkan agar kelak si bayi dapat hidup seperti sayur-sayuran itu. Mudah tumbuh, mudah membaur di segala situasi, dan bermanfaat bagi banyak orang.

Hal tersebut sepertinya tepat digambarkan dengan sayur mayur. Karena tanaman sayur cenderung mudah ditanam, sering dipanen, dan bermanfaat untuk semua orang. Kalaupun ada orang yang tidak suka sayur, tapi pasti tidak ada orang yang tidak pernah makan sayur seumur hidupnya.

Ketiga, telur ayam rebus 7 butir.

Telur ayam yang digunakan dalam selapanan ini harus direbus sampai matang karena ini memiliki makna tersendiri. Telur ayam saat mentah kondisinya rapuh, mudah pecah, dan membawanya pun harus berhati-hati. Namun setelah direbus, telur ayam cenderung lebih kuat. Tidak perlu terlalu berhati-hati saat membawanya, karena tidak akan pecah.

Telur rebus menandakan agar si bayi kelak dapat menggodog pemikirannya sebelum melakukan sesuatu. Dengan menaikturunkan pandangannya, melihat segala sesuatu dari segala sisi, diharapkan tidak akan menghasilkan pemikiran dan tindakan yang baik dan tidak mudah goyah.

Adanya simbol telur ayam rebus sebanyak 7 butir menjadi penanda bahwa kelak si bayi ini diharapkan menjadi orang yang mumpuni. Dia menjadi orang yang teliti, cermat, berwawasan, dan mau memperhatikan pendapat atau pemikiran orang lain. Intinya, si bayi diharapkan menjadi orang yang berkepribadian baik dan tangguh.

Keempat, cabai, bawang merah, dan bawang putih.

Cabai, bawang merah, dan bawang putih ini nerupakan bumbu dasar di dapur. Kalau sudah ada ketiga komponen ini, memasak apa saja pun akan jadi. Jadi dengan keberadaan ketiga bumbu dapur pada acara selapanan, diharapkan si bayi sekurangnya memiliki manfaat dasar dalam kehidupan. Dia menjadi mandiri, tidak menjadi tanggungan orang lain, dan bermanfaat bagi sesamanya.

Orang Jawa memang lebih senang mengatakan sesuatu dengan simbol-simbol, kiasan-kiasan. Bahkan dalam pitutur luhur pun mereka menggunakan banyak metafora untuk menyampaikan sesuatu. Oleh karena itu, berhadapan dengan orang Jawa kadang kita pun perlu “memikirkan” maksud dari sesuatu. Kadang-kadang yang disampaikan tidak selalu sama dengan yang diharapkan atau diinginkan.

Kelima, nasi gudangan. 

Nasi gudangan terdiri dari nasi putih dan sayur beserta lauk pauknya. Adanya nasi gudangan dalam selamatan selapanan ini melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dalam selamatan selapanan ini, nasi gudangan tetap ada seperti selamatan brokohan dan sepasaran karena pentingnya seseorang untuk tetap urup —simbol dari urap (bumbu gudangan). Seseorang dalam pandangan orang Jawa bisa urup itu kalau urip ‘hidup’ dengan baik, bisa menghidupi dirinya sendiri, saat berkeluarga mampu menafkahi keluarganya. Ini merupakan filosofi yang sangat dalam bahwa orang Jawa pada prinsipnya memegang konsep kemandirian dalam kehidupan.

Keenam,  kalo (saringan santan dari bambu).

Kalo atau saringan santan dari bambu ini menyimbolkan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan itu tidak harus diterima seluruhnya. Seseorang perlu menyaring dengan saringan yang terlihat ringan, tidak berdaya, tidak berat, tetapi sangat bermanfaat seperti kalo.

Segala bentuk pemikiran, pembicaraan, perilaku, dll peristiwa yang terjadi dari luar, sebaiknya diterima dengan hati dan pikiran yang jernih. Semua dapat diterima dengan objektif, lalu dengan pemikiran dan akal budinya yang baik, menyaring, memilah, dan memilih mana saja yang hendak diikuti dan mana yang perlu diabaikan atau ditinggalkan.

Ketujuh, buah-buahan 7 macam.

Buah-buahan 7 macam dalam acara selapanan ini jenis buahnya bebas. Setiap keluarga boleh memilih buah-buahan yang mereka sukai, seperti pisang, pepaya, apel, anggur, jambu, delima, sawo, dll. Buah dalam selapanan menunjukkan harapan bahwa seseorang itu harus “berbuah”. Maksud dari berbuah ini dalam hidupnya, seseorang harus bermanfaat bagi orang lain, menghasilkan “buah” yang bisa dinikmati atau dimanfaatkan oleh orang lain.

Buah dalam hal ini bisa berupa banyak hal, dari pemikiran yang bermanfaat, membuka lapangan kerja untuk orang lain, penemuan-penemuan penting, dll. Prinsip dari “berbuah” tersebut sebenarnya wujud tuntutan dan pengharapan orang Jawa, bahwa setiap orang itu harus menjadi sesuatu yang bermanfaat. Sekurangnya, dia harus mandiri, seterusnya bisa memandirikan orang lain —terutama orang-orang terdekat dan atau keluarganya.

Kedelapan, bubur merah putih 7 porsi.

Bubur merah putih menjadi simbol kehidupan dalam pandangan orang Jawa. Bubur merah putih sering dianggap sebagai adanya hitam putih kehidupan. Ketika seseorang menjalani kehidupan di dunia, tidak selamanya ia berurusan dengan hal yang baik, tetapi juga menghadapi hal-hal yang kurang baik.

Bubur merah putih juga merupakan simbol persatuan, kerukunan antar manusia. Dengan kerukunan yang kokoh, diharapkan manusia dapat menghadapi segala persoalan hidupnya dengan lebih mudah.

Kesembilan, kembang setaman  (mawar merah, mawar putih, kembang kanthil, melati, dan kenanga).

 Kembang setaman atau serangkaian bunga ini sangatlah harum. Semua unsur bunga yang dipilih dalam kembang setaman merupakan bunga-bunga dengan keharuman yang khas. Kembang setaman dalam selapanan merupakan simbol dan pengharapan agar si bayi mewarisi keharuman ilmu dari leluhurnya.

Keharuman ilmu tersebut berupa nasihat, pitutur luhur Jawa, pelajaran dan ilmu kehidupan, berkah, dan kekayaan batin spiritual. Dengan demikian, si bayi ini dalam hidupnya tidak melangkah dalam kekosongan jiwa. Setiap jejak langkah kehidupannya telah mengikuti ilmu warisan dari leluhur. Harapannya dengan ilmu kehidupan itu, si bayi akan menjadi manusia yang lebih baik.

Itulah ubarampe selamatan selapanan bayi. Setelah semua siap, semua akan dihajatkan oleh tetua atau siapa yang dianggap pinisepuh di keluarga tersebut. Si bayi yang hendak diupacara selapanan sebaiknya berada di dekat seluruh ubarampe tersebut. Setelah itu, barulah dibacakan doa dan kemudian makan bersama-sama.

Adapun tata cara membacakan doanya sebagai berikut:

Doa berupa syukur kepada Tuhan YME.  Permohonan doa ampunan kepada Tuhan YME untuk seluruh leluhur keluarga. Kemudian mohon keselamatan si bayi dan seluruh keluarga.

Acara ini sebaiknya dihadiri minimal 7 orang sebagai simbol pitulungan atau pertolongan dari Tuhan YME. Lebih baik lagi kalau 11 atau sewelas yang berarti mendapatkan belas kasih dari Tuhan YME. Kalau memungkinkan jumlahnya minimal 17 orang yang berarti pitulas mendapatkan pitulungan dan kewelasan dari Tuhan YME. Setelah doa dan makan bersama itu, sebagian nasi berkat akan dihantarkan kepada tetangga dan kerabat dekat.

Seperti itulah prinsip-prinsip selamatan selapanan bayi. Semuanya bertujuan untuk bersyukur dan bermohon doa keselamatan bagi si bayi dan seluruh keluarganya. Sebagian besar orang Jawa masih melaksanakan tata cara ini, meskipun banyak yang lebih pada pemenuhan syarat.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Please follow and like us:

Borobudur di Hati Saya

Artikel ini telah dipublikasi di penabicara.com pada hari Kamis, 9 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063583225/borobudur-di-hati-saya

Hari Minggu pagi (5 Juni 2022) saat saya masih berpikir akan lari atau melanjutkan tidur, berseliweran kabar tentang Borobudur di grup-grup WA. Tiket ke Candi Borobudur menjadi 750 ribu (IDR) untuk wisatawan lokal dan 1,4 juta (IDR) untuk wisatawan asing. Karena sudah berulang ke Borobudur, saya tidak memberi tanggapan.

Saya pun bangun dan berbenah untuk lari. Saat siang, keriuhan kenaikan harga tiket Borobudur semakin ramai. Saya menahan diri untuk tidak ikutan share atau membahas apapun tentang kenaikan tiket Borobudur. Bagi sebagian orang, wisata bukanlah prioritas. Ke candi belum tentu jadi tujuan wisata. Beda urusan kalau misalnya harga beras yang semula 10-20 ribu lalu melonjak 500 ribu per kilo, biyuuu… pasti se-Indonesia Raya geger. Beras makanan pokok kita.

Sore hari beredar lagi berita kalau tiket 750 ribu dan 1,4 juta itu untuk mereka yang ingin naik ke candi. Pengunjung akan disertai oleh guide dan beragam teknis aturan. Semuanya demi menjaga kelestarian candi. Biar batu-batu candi tetap awet dan tidak semakin tenggelam (ambles). Beban yang berat di Borobudur menjadikan candi ini mengalami penurunan dasar dari tahun ke tahun. Tiket masuk ke kawasan candi masih sama, 50 ribu. Sedangkan untuk pelajar dibandrol dengan tiket 25 ribu. Harga-harga itu mungkin akan dikoreksi setelah diujicobakan.

Berita tentang tiket Borobudur ini bikin sosmed kita riuh lagi. Beragam pendapat. Beraneka pemikiran. Kalau positif, saya siy oke-oke saja. Tapi yang bikin saya mules, berbanyak caci maki dan hujatan pada pemerintah pun hilir mudik. Secara otomatis ini membuat saya bersih-bersih sosmed kembali.

Saya bukan bersepakat dengan kenaikan harga tiket ke Borobudur. Sebagai penulis yang doyan dolan, saya tentu happy kalau masuk ke tempat wisata itu free alias tidak bayar. Namun sebagai orang yang mengerti bahwa sesuatu itu harus dirawat, dipelihara, dijaga, direnovasi, dll demi tetap baik sekian abad ke depan; tentu menarik tiket berbayar adalah hal yang wajar.

Apalagi untuk mahakarya sekelas Borobudur ini. Bahkan untuk candi-candi lainnya di seluruh Nusantara, sepertinya pemerintah dan pihak terkait perlu merevisi kebijakan tarif tiket masuknya. Sekurangnya dana tersebut akan bermanfaat untuk pembenahan, perbaikan, sehingga wisata candi-candi menjadi lebih berharga.

Candi Borobudur di hati saya sangatlah istimewa. Sejak SMP saya sudah menjejaki candi ini sampai ke stupa tertinggi. Masa SMA, saya kembali lagi mengunjuni candi terbesar di Indonesia ini. Saya berpikir, kalau saya kuliah di Jogja, bisa lebih sering datang ke candi ini.

Begitu kuliah di UGM, hampir selama tiga tahun atau selama saya kuliah S-1, pekerjaan yang paling sering saya lakukan ya dolan ke Borobudur. Bukan sekedar piknik, tapi jadi guide dadakan. Sekarang jelas tidak memungkinkan menjadi “guide liar” di sini. Ya, nasib saya dulu karena kuliah harus mencari biaya sendiri, maka saya memilih gaweyan-gaweyan yang saya senangi, tidak mengikat waktu, dan duitnya lumayan banyak.

Biasanya saya berangkat pagi-pagi dari Bulaksumur naik bus ke Terminal Jombor. Dari Jombor naik bus ke Terminal Borobudur. Dari sini, saya lari ke areal Borobudur. Setelah membeli tiket, saya mulai berburu rombongan yang akan naik ke candi. Makin banyak isi rombongan makin baik. Fee guide saya hitung per kepala seharga tiket masuk. Jadi kalau banyak orang, uang yang saya terima semakin besar. Ada banyak orang baik. Rata-rata mereka memberikan lebih besar dari semestinya. Mungkin karena saya yo merangkap memotretkan mereka.

 Gara-gara pekerjaan ini, sekurangnya saya mengenali Borobudur sedikit detail. Mulai sejarah, relief-relief, hingga hal lain seputaran candi ini. Kalau masa liburan, saya bisa mengawal empat atau lima rombongan. Sebanyak itu pula saya naik turun candi dan berkeliling pradaksina (berjalan searah jarum jam dari timur ke barat). Kalau konsepnya Budha, mereka akan melakukan hal ini tiga kali sebagai persiapan penyucian batin.

Sore hari selambatnya jam empat saya sudah harus keluar dari areal candi. Saya akan lari kembali ke Terminal Borobudur. Ya ampun, sebegitu capeknya lari dan naik turun candi, dulu itu kok ya tidak terasa. Sekarang, lari 5 km pp tiap hari saja saya banyak ogahnya. Hanya karenaingat harus jaga kesehatan, ya tetap lari.

Bus terakhir yang ke Jogja saat itu jam lima sore. Bus akan sampai Jombor jam enam. Lepas Magrib, saya akan kembali naik bus yang ke kampus (UGM). Zaman itu, bus dari Jombor yang ke kampus sampai jam delapan malam.

Masa kuliah S-1 saya memang penuh perjuangan. Saya kok happy saja menjalani. Tidak terlalu mengambil hati beban sehari-hari. Niat saya kuliah sampai lulus. Kalau sarjana, saya bisa bekerja lebih baik.

Pernah juga saya ditegur petugas candi. Saya kalem mengatakan sebagai mahasiswa dan mencari uang untuk bayar SPP. Saya tunjukkan KTM dan KTP. Setelah ditanyain seputar sejarah Borobudur, saya pun dilepas begitu saja. Pernah dapat rombongan bule dan ada orang lokalnya. Saya mo ngomong Inggris, halah bulenya berbahasa Jawa.

Saat itu saya sudah menulis cerpen di media massa. Yach, tapi honor penulisan kan tidak langsung cair. Belum kalau kiriman weselnya kesasar. Pokoknya kalau saya merasa perlu uang cepat, saya pasti lari ke Borobudur. Entah saja, pulang pasti bawa uang banyak.

Saya nyeselnya waktu itu kok belum mikir beli kamera ben ada dokumentasi. Yaelah, jangankan kamera. Bisa terus kuliah bae wes syukur alhamdulillah. Untungnya kuliahnya di Ilmu Budaya. Tugas-tugas tidak seekstrem mereka yang kuliah di Teknik atau Kedokteran.

Setelah saya lulus sarjana, bekerja menetap hanya libur di hari Minggu. Praktis saya tidak menengok lagi Borobudur. Apalagi setelah saya ke Jakarta. Bertahun-tahun tidak lagi menengok peninggalan Dinasti Syailendra ini. Baru ketika saya studi S-2, beberapa kali menengok Borobudur. Persinggungan saya dengan Borobudur lebih dekat saat saya studi S-3.

Pembimbing saya meminta agar saya memeriksa langsung keberadaan sumber data di Candi Borobudur. Saya terdiam sejenak. Memeriksa relief demi relief Borobudur itu tidak bisa sehari. Sekurangnya tujuh hari sampai sepuluh hari berturut-turut. Jelas pengeluaran yang tidak sedikit. Masa jelang studi S-3 saya berakhir itu sungguh berat buat saya. Tabungan semakin menipis, sementara saya tidak bisa bekerja full. Hanya bisa mengerjakan hal kecil-kecil yang uangnya pun tidak banyak.

Setelah kasak kusuk mencari cara untuk meringankan beban saya ke Borobudur berhari-hari dan tanpa hasil, saya pun diam. Bukan tidak punya duit, tapi sudah ada posnya. Observasi ke Borobudur ini tidak termasuk dalam anggaran saya. Juga bukan tipikal saya untuk mengeluhkan uang pada pihak lain, saudara sekalipun.

Tiba-tiba teman jauh yang saya tidak terlalu kenal menelpon. Menanyakan apakah saya bisa menggantikan tugas orang lain untuk membuat narasi. Objeknya foto-foto dari candi-candi di Jawa Tengah, termasuk Borobudur. Dia mendetailkan tugas saya. Begitu mendapatkan keterangan bahwa saya harus ikut ngecek ke lapangan, yang berarti saya ikut ke Borobudur berhari-hari; saya langsung bilang bisa.

Setelah saya menyanggupi, dia segera mengirimkan detail dan contoh pekerjaan. Saya hanya tersenyum. Bikin narasi begitu siy gampang buat saya. Tidak lama dia mengirimkan foto dua orang, satu driver merangkap fotografer, satu asisten yang akan membantu saya. Besok pagi, mereka berdua akan menjemput saya di Jogja dan bersama-sama ke Magelang. Semua sudah diurus. Saya cukup membawa baju secukupnya dan piranti kerja.

Keesokan harinya saya dijemput pagi-pagi. Kami bertolak ke Magelang. Check in hotel, mematangkan rencana kerja yang sudah kami bahas di perjalanan. Kami pun segera turun ke lapangan. Makan siang dan malam di luar. Sarapan pagi ikut di hotel. Saya gembira, hidup terasa nyaman sekali. Kerja pagi sampai sore. Malam kami masih kelayapan sampai jam sepuluh. Kalau saya sedang capek, ya bermalasan saja di hotel. Tidak mengekor mereka dolan.

Saya tetap mengerjakan disertasi di sela-sela pekerjaan. Selama bekerja, dua orang yang dikirim itu mengurusi saya dengan baik. Si asisten ini memberikan amplop kepada saya setiap hari sebagai uang saku —versi saya jumlahnya cukup besar. Semua keperluan, jajan ini itu, bensin, parkir, tiket, dll. dia juga yang membayari karena dia yang bawa uang.

Karena pekerjaan inilah, saya bisa mengakses Borobudur dari ketinggian. Saya beruutung menyaksikan mahakarya ini pagi-pagi di saat fajar, pas siang bolong, saat sore bertabur senja, atau ketika malam gulita. Semuanya indah dan istimewa. Hampir sebulan ketika pekerjaan itu selesai, saya merasa beneran gembira.

Saya tuntas menarasikan Borobudur dan candi-candi lain yang menjadi tanggung jawab pekerjaan. Saya sudah tidak berpikir tentang bayaran lagi. Uang saku yang saya terima harian itu jumlahnya belasan juta. Utuh karena semua keperluan saya selama kerja sudah ditanggung penuh. Pas pekerjaan rampung, saya masih menerima bayaran tunai puluhan juta.

Rezeki nomplok. Alhamdulillah. Saya yang saat berangkat kerja seperti orang sekarat kekurangan darah, langsung segar bugar hidup lagi karena pasokan darah segar. Borobudur turut menyelamatkan studi S-1 dan S-3 saya. Borobudur juga mengajari saya bekerja praktis. Pihak yang berkepentingan harus membereskan biaya-biaya dan aneka urusan, termasuk izin-izin. Saya hanya bekerja sebagai penulis dan menerima fee penuh sesuai kesepakatan.

Keriuhan kenaikan harga tiket Candi Borobudur, memang terasa tidak menyenangkan. Bagi sebagian orang 750 ribu bisa jadi mahal, tapi bagi sebagian yang lain itu tidak lebih dari harga sekali makan di restoran. Saya pun, pasti mikir-mikir bayar tiket segitu kalau tidak ada kepentingan dengan candi.

Toh saya sependapat dengan pembatasan jumlah pengunjung yang naik ke candi. Mekanismenya seperti apa, mungkin bisa dipertimbangkan dan diatur lagi. Tidak sekedar menaikkan harga tiket ke candi. Ada banyak tempat wisata yang lebih mahal toh tetap ramai. Pemerintah dan pihak berwenang perlu merumuskan cara lain di luar kenaikan tiket untuk mendukung program pelestarian Borobudur. Termasuk candi-candi lainnya.

 

Please follow and like us:

Menerima Takdir

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, 2 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063510765/menerima-takdir

Judul di atas saya beri tanda petik “Menerima Takdir” karena ini bukan hal yang mudah. Menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita, butuh jiwa besar dan hati yang lapang. Kadang-kadang perlu waktu untuk bisa menerima kenyataan pahit.

Mari kita ingat peristiwa di sekitar kita atau kejadian yang kita alami. Kita sudah belajar mati-matian, giliran nilai ujian keluar, kita hanya mendapat nilai B. Sementara teman yang kelihatan tidak belajar, justru mendapat nilai A. Kita sudah bekerja sampai lembur-lembur, yang dapat promosi kawan dari meja sebelah. Atau kita sudah berjuang dengan segala cara demi gebetan, hadeuh dianya nikah sama teman semeja kita. Kita menabung sedikit demi sedikit untuk beli mobil, tetangga seberang dapat undian hadiah mobil yang kita inginkan.

Ada banyak lagi hal-hal setipe yang terjadi di sekitar kita. Lalu, secara tidak sadar kita menganggap Tuhan kok rasanya jadi tidak adil. Kita yang kepingin dan berusaha sepenuh jiwa raga, yang dikasih justru mereka yang sepertinya tidak ada usaha atau tidak perlu-perlu amat. Pada saat seperti itu, pasti kita ingin marah, kecewa, kesal, dll emosi negatif. Kalau kita tidak segera berlapang dada, bisa-bisa kemarahan itu akan merusak seluruh kebahagiaan kita.

Kalau saya pribadi, karena tidak membandingkan dengan orang lain, cenderung mudah menerima takdir. Tidak mudah-mudah amat siy! Terlebih kalau rasanya sudah I do my best, itu ya rada bikin saya sewot hati. Untungnya saya tidak baperan. Setelah beberap menit, ya sudah. Belum rezeki saya.

Sebenarnya kalau saya mau mengulik mereka yang terlihat santai ongkang-ongkang itu, tidak sepenuhnya benar. Mereka bekerja lebih keras daripada saya, tapi saya tidak tahu. Waktu kerja saya dan mereka tidak sama. Mereka bertemu saya ketika sedang santai. Di luar itu, mereka bekerja ekstra. Jadi ya wajar, kalau hasil kerja mereka lebih baik daripada saya.

Ketika saya menyadari hal itu, sirik buta saya langsung menguap. Justru saya harus berkawan untuk mengetahui cara mereka berprestasi. Penghargaan saya atas kelebihan masing-masing, membuat saya menerima prestasi orang lain dengan ikut gembira.

Lalu bagaimana caranya agar kita mudah menerima takdir? Biar kita tidak iri dengki dengan anugerah orang lain?

Jawabannya bisa beragam. Hal ini tergantung pada karakter dan kepribadian setiap orang. Tips-tips berikut dapat kita gunakan agar kita mudah menerima kekalahan dan kemenangan setiap waktu.

Pertama, berdamai.

Saat kita sudah berjuang dan ternyata hasilnya tidak sesuai harapan, ya sudah. Terima saja kenyataan itu dan berdamai. Penerimaan itu akan membuat kita ringan hati. Kita juga tidak menganggap orang lain tidak berhak atas prestasi atau anugerah tersebut.

Kalau kita percaya adanya takdir, tentu mengetahui hal ini. Segala sesuatu yang tidak tertulis di dalam takdir, mau jungkir balik sebegitu keras pun, ya tidak akan sampai ke genggaman kita. Sebaliknya kalau sudah ditakdirkan, ibaratnya berusaha sedikit saja, pasti jadi.

Pengetahuan tersebut akan mencegah kita dari keterpurukan. Kita justru mempelajari, mencermati kekurangan, sehingga bisa belajar dan memperbaikinya. Pada saat ada kesempatan lagi, kita bisa mendapatkan prestasi atau hasil yang lebih baik.

Kedua, menyampaikan pada pihak lain.

Kecewa itu jelas tidak menyenangkan. Ada baiknya kita menyampaikan kekecewaan pada pihak lain yang kita percayai. Bisa orang tua, pasangan, sahabat, kerabat, anak, dll. Biar kekecewaan itu tidak menggumpal di dada yang bikin sesak hati.

Kalau khawatir orang lain tidak peduli dengan kekecewaan kita, mungkin kita bisa menuliskannya di ranah pribadi. Dengan menuliskan secara detail, kita bisa mengeluarkan semua ganjalan dan uneg-uneg sampai puas. Hati kita pun terasa lebih ringan. Siapa siy di dunia ini yang tidak pernah gagal? Hanya mereka yang tidak pernah mencoba melakukan sesuatu yang tidak pernah gagal.

Ketiga, jangan membandingkan diri kita dengan orang lain.

Biasanya kita tidak mudah berdamai dengan keadaan kita, karena membandingkan diri kita dengan orang lain. Terlebih saat kita merasa kita “lebih baik” daripada orang lain. Alih-alih bersyukur dengan segala perolehan kita, justru kita bisa mengacau dan membuat keributan dengan orang lain.

Pada saat kita sedang dirundung kekecewaan, ada baiknya menepi sejenak. Menyendiri mungkin lebih baik agar kita terhindar dari tindakan negatif yang merusak. Kalau prestasi orang lain itu diposting ramai-ramai di media sosial, perlu juga kita sejenak menonaktifkannya. Tujuannya untuk memberi ruang pada hati kita untuk menerima segala ketidaknyamanan akibat kekalahan.

Keempat, ingat prestasi atau anugerah kita yang lain.

Gagal sekali bukan berarti gagal seterusnya. Lulus dengan biasa saja, bukan berarti tidak sukses di masa depan. Tidak menang lomba, bukan berarti kita tidak bisa profesional. Dengan menyadari hal ini, kita akan lebih mudah menerima segala kekalahan atau kegagalan kita.

Saat kita gagal, ada baiknya kita mengingat prestasi dan anugerah kita yang lain atau sebelumnya. Hal ini akan membesarkan hati kita. Bahwa dalam perjalanan hidup kita, tidak melulu gagal atau melewati kegagalan. Ada masanya juga kita berjaya, mendapatkan prestasi, dan banyak anugerah.

Dengan mengingat itu, sekurangnya kita akan kembali percaya diri dan berbesar hati. Kita akan menerima, bahwa menang kalah, juara tidak juara, promosi atau tidak mendapat promosi, merupakan hal yang biasa dalam kehidupan. Dengan peristiwa yang beragam, hidup kita juga akan lebih berwarna. Ada banyak hal yang bisa kita jadikan hikmah atau cerminan di masa depan.

Kelima, senang menjalani proses.

Ketika kita menginginkan sesuatu, tentu ada prosesnya. Pada saat kita menjalani proses itu dengan riang dan gembira, kita tidak akan terlalu terganggu dengan hasilnya. Kalaupun hasil itu belum sesuai harapan, sekurangnya prosesnya telah kita lalui dengan gembira. Orang-orang yang bekerja dengan sukacita, cenderung “baik-baik saja” terhadap semua kemungkinan hasil kerja. Bagi mereka, hasil hanyalah dampak dari kinerja yang mereka lakukan.

Mereka tidak terganggu dengan hasilnya. Kegembiraan dan keceriaan sudah jadi warna kehidupan mereka. Sebagian kita setelah menjadi dewasa, sering lupa caranya bergembira. Hidup kita terlalu dibebani dengan aneka program dan target, lalu kita lupa cara menikmati hidup. Padahal hidup adalah anugerah yang paling berharga.

Mungkin kita perlu menengok ke anak-anak balita, betapa mereka selalu gembira dalam segala suasana. Saat jatuh ketika belajar berjalan pun, mereka hanya menangis sesaat, lalu bangkit lagi, berjalan lagi dan berlari. Mereka tidak takut jatuh, karena mereka lebih sadar senangnya bisa berjalan dan berlari.

Keenam, memberi semangat diri sendiri.

Setiap orang, bisa saja gagal. Namun kalau dia sudah belajar menerima kegagalan dan tetap semangat untuk belajar, terus bertumbuh, dia pasti akan mendapatkan kesuksesannya. Berapa lama? Ya, tergantung usaha dan jalan takdirnya.

Kita harus menerima bahwa takdir itu kadang-kadang seperti perjudian. Kita tidak tahu wujudnya sebelum terjadi. Kita tidak pernah tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah. Jangankan yang jauh ke depan, lima menit saja, kita tidak bisa meramalkan masa depan. Jangan coba-coba mendikte takdir, kalau tidak ingin hidup kita penuh dengan beban derita.

Cara seseorang untuk memotivasi diri atau memberikan semangat itu berbeda-beda. Cobalah periksa niat dan tujuan anda melakukan sesuatu. Kalau sudah ketemu, anda bisa kembali mengafirmasi diri dengan muatan positif, memeriksa cara kerja, mempelajari kesalahan, dll. Intinya, cara boleh berubah, tapi jangan mengubah tujuan awal anda.

Ketujuh, mencoba lagi.

Ketahanan mental dan kekuatan hati seseorang tidak sama. Ada yang gagal berulang, tetap saja mencoba dan mencoba lagi sampai berhasil. Dia memiliki motivasi dan semangat pendukung yang kuat. Namun ada yang sekali gagal, lalu trauma dan tidak mau mencoba lagi. Dia takut kembali gagal dan tidak ingin lagi berkecimpung di bidang tersebut.

Setiap kita memiliki pandangan yang berbeda. Alangkah bijaknya, kalau kita mengetahui tujuan kita. Dari sana kita bisa menentukan akan berjuang lagi atau berhenti. Dalam hal ini, yang terpenting anda tidak menyesali pilihan anda. Kalau berulang mencoba, tidak mengeluh. Kalau berhenti, tidak nyinyir pada mereka yang terus berusaha.

Kedelapan, sabar.

Sabar ini termasuk kosakata yang mudah diucapkan, tapi tidak mudah dijalankan. Sabar dengan kegagalan apalagi. Kalau bukan diri kita yang menguatkan hati, tentu sulit untuk membuat kita sabar.

Saat pertama gagal, mungkin kita harus mencoba lagi. Silakan periksa banyak riwayat atau biografi orang sukses. Mereka sering kali mengalami kegagalan yang berulang. Namun mereka tidak menyerah. Mereka terus berusaha. Mereka tetap sabar menjalani prosesnya sampai mendapatkan kemenangan.

Kesembilan, mencari ilmu.

Segala sesuatu ada ilmunya. Kalau kita ingin mempercepat kesuksesan, kita perlu mencari guru atau mentor. Mereka yang berilmu dan berpengalaman, biasanya sudah mengetahui “lubang-lubang” yang biasa membuat seseorang jatuh atauh gagal. Dengan adanya guru ini, kita tidak perlu terjatuh di “lubang-lubang” jebakan tersebut. Kita bisa menghindarinya dan mempercepat waktu kesuksesan dengan adanya guru.

Berguru memang memerlukan waktu khusus, energi, biaya, fasilitas, sarana prasarana, dll. Namun itu sesuatu yang pantas untuk sebuah perjuangan. Kalau dengan berguru kita bisa memangkas waktu keberhasilan menjadi lebih cepat, kenapa tidak? Sekurangnya, kalau versi saya dengan berguru kita jauh lebih termotivasi. Karena contoh suksesnya ada, jalan perolehannya pun tersedia.

Kesepuluh, berdoa.

Ini sebenarnya tidak ada korelasinya secara langsung. Namun berdoa itu bisa jadi spirit yang luar biasa untuk keberhasilan kita. Berdoa membuat kita yakin kalau kita tidak sendirian. Ada tangan Tuhan yang turut bekerja dalam usaha kita. Berdoa versi saya, pilihlah dengan bahasa yang kita pahami, sehingga lebih khusyuk dan khidmat.

Yach, seperti itulah proses menerima takdir. Tidak selalu mudah. Toh kalau sudah terjadi, tetap harus kita terima dan harus kita hadapi. Jadi, kenapa tidak kita sambut dengan syukur dan gembira? Sekurangnya kegembiraan membantu kita keluar dari keputusaan dan kekecewaan lebih cepat. Orang-orang yang gembira sering kali mendapatkan bala bantuan lebih banyak daripada mereka yang bermuram durja.

Please follow and like us: