Selamat Tahun Baru 2025

Merlion Park, salah satu ikon Singapore. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.


Mo kamu piknik atau nggak piknik, hari tetap berganti. Tahun 2024 tetap berlalu dan ganti
Tahun Baru 2025. Bertepatan pula dengan bulan Rajab yang mulia.❤️
.
Beriringan doa dan ibadah, semoga tahun 2025 lebih banyak piknik, banyak rezeki, banyak sehat, banyak berkah kemudahan, berlimpah kebaikan, dan tentunya panjang umur ❤️
.
Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Wonderful Umroh (17) “Kalau Saya yang Nemuin Belanjaannya, Nggak Saya Balikin!”

Di salah satu sudut Museum Alamoudi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya lupa persisnya jam berapa kami check out dari hotel Mekkah. Jelas sudah siang. Tujuan kami berikutnya ke museum, belanja oleh-oleh, dan ke bandara untuk balik ke Tanah Air.

Selain kasus permintaan tolong saya untuk memotretkan di museum yang tidak direspon dengan baik, tidak ada hal khusus yang bisa saya ceritakan.

Museum Abubker Alamoudi tentu semakin berbenah dari tahun ke tahun. Baik dari sisi koleksi maupun penataan dan layanannya. Jadi lebih menarik untuk dikunjungi.

Tahun 2017, saya tidak merasa ada guide dan penjaga di setiap koleksinya. Kini hampir setiap koleksi ada penjaga yang bisa dimintain motret dan menjelaskan segala hal dengan bahasa Indonesia. Luar biasa.

Selain itu, model penataan dari pintu masuk kita sudah dihadapkan pada kedai-kedai kecil yang isinya mayoritas “jajanan cemilan” orang Indonesia. Indomie, popmie, kue-kue, aneka minuman sachet, jeruk, buah segar, aneka souvenir, dll. Berasa kek di angkringan Malioboro gitu lah ngeliat tempat ini.

Lalu kita akan diarahkan masuk keliling, berputar dari satu sisi ke bagian yang lain –yang sudah lebih banyak koleksi dengan keterangan yang mudah dipahami. Saya lupa, apakah ada bahasa atau tulisan Indonesianya, tapi pasti ada Arab dan Inggrisnya.

Kalau suka dengan museum, sampeyan bisa mengambil beragam gambar dari berbagai koleksi bersejerah (yang mayoritas tiruan saja dari versi aslinya) di berbagai spot. Gratis.

Di sini ada beberapa orang yang lambat masuk bus, tapi tidak sampai bikin jamaah lain kesal seperti sebelum-sebelumnya.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke pasar murah. Toko langganan hampir seluruh biro umroh tanah air. Sebutannya murah, tapi ya nggak murah juga.

Terus ampun, maksainnya untuk belanja ini itu, bikin saya kurang nyaman. Mungkin memang gaya berjualan orang di Arab seperti itu. Hampir di semua tempat, nawarinnya setengah mendesak, memaksa biar kita beli.

Saya mencari barang-barang yang mau saya beli. Beberapa magnet kulkas dengan pict Makkah Madinah yang sangat khas. Aneka manisan, cokelat, permen, dan kue kue kecil kesukaan saya. Tasbih lucu-lucu, yang pasti bukan buatan Indonesia 😅🤣

Ada juga saya beli beberapa souvenir dinding. Tentu saja boneka unta yang cukup besar. Ini saya beli karena saya tuh sukanya kalau koleksi sepasang. Unta sudah ada satu, berarti harus satu lagi. Dan ini sukses bikin backpack saya makin gendut, meskipun nggak berat 😂😅

Sudah selesai belanja, saya thenguk-thenguk saja duduk-duduk di depan toko. Lalu Ustad Sule bilang, sudah boleh makan kalau sudah beres belanja. Makannya di Ayam Bakar Wong Solo, yang ada di sisi belakang toko.

Saya ke tempat itu, meskipun mayoritas ibu-ibu rombongan saya masih belanja. Masuk di Wong Solo, terasa panas, gerah, banyak orang. Karena ini untuk makan jamaah dari berbagai biro umroh tanah air.

Saya duduk di salah satu kursi kosong. Mencari tempat yang dekat kipas angin. Petugas Dewangga memberitahu kalau jadwal kami makan sekira 30an menit lagi. Prasmanan itu masih bagian biro lain.

Saya mengerti dan menikmati saja jajanan dan minuman yang saya bawa. Sambil memperhatikan lalu lalang orang yang beributan makan. Membalas pesan-pesan WA yang masuk. Melihat foto-foto. Jian selow tenan saya 😅😆

Tahu-tahu Bu X datang dan menaruh begitu saja tas belanjaan besar yang isinya entah apa, di meja, di depan saya duduk. Lalu tanpa berkata apa-apa, dia langsung pergi. Saya memicingkan mata mengekori arah perginya. Oh ambil air, pikir saya berarti ya segera balik untuk urus belanjaannya.

Ternyata sampai 40 menitan, saat kami jamaah Dewangga sudah diperbolehkan makan, itu emak rempong nggak kembali. Saya sudah berulang kali pula menjawab pertanyaan bahwa kursi di depan saya ada orangnya.

Mulai kesal saya. Nggak mungkin belanjaan segitu besar saya tinggal. Terpaksa saya gotong (berat juga, entah apa isinya) itu tas berkeliling sambil nanya ibu ibu satu rombongan di mana Bu X.

Sebagian ibu-ibu bertanya kenapa saya cari Bu X. Saya menunjukkan tas besar, “Ini belanjaannya ditinggal begitu saja. Saya mau makan.”

Langsung beberapa menyahut, “Kalau saya yang nemuin belanjaannya, nggak saya balikin, Bu Ari. Orang kok nggak tahu diri banget.” Beribetan macam-macam komentar. Tapi saya belum nemuin Bu X.

Baru itu orang ketemu setelah saya ke ujung-ujung ruangan yang nggak ada rombongan Dewangga. Saya taruh belanjaan berat di meja depan mukanya. Berterimakasih? Jelas enggak.

Saya bergegas untuk makan. Karena wes kesal, mood makan saya sudah ambyar. Apalagi tahu menunya ayam; menu yang kalau ada pilihan lain, pasti saya nggak makan.

Cuman saya ingat, niy nanti perjalanan panjang. Laper haus, harus saya tanggung sendiri kalau sekarang nggak makan. Jadi saya ambil menu non ayam dan berdoa mohon agar kekesalan hati saya dihilangkan.

Alhamdulillah, saya cukup makan minum. Cukup kuat bertahan saya rasa, sampai saatnya nanti makan minum di pesawat. Kami pun keluar dari Wong Solo menunggu kedatangan bus yang akan membawa kami ke bandara.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Wonderful Umroh (16) “Mbak, Saya Ikut! Saya Jangan Ditinggal!”

Pintu 84 atau King Abdul Azis Gate, salah satu pintu yang biasa kami gunakan keluar masuk areal Ka’bah. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Ibadah terakhir dari Dewangga adalah thawaf wada’ atau thawaf perpisahan. Acara ini dilakukan di pagi hari. Seluruh jamaah diminta berkumpul usai Shubuh di depan WC 6.

Malamnya sebelum tidur, saya dan Bu B menanyai Bu X akan ikut atau tidak. Karena jawabannya nggak jelas, kami pun tidur.
Pagi-pagi, saya dan Bu B wes bersiap. Kami bertanya lagi pada Bu X, dijawabnya nggak ikut thawaf wada’.

Saya memberitahu Ustad Sule tentang Bu X, dan kami pun berangkat ke Masjidil Haram. Ibadah sampai Shubuh, lalu berkumpul di depan WC 6.

Ealah, uraian Ustad Sule di WAG itu wes sangat jelas; tapi ya tetep aja ada yang bandel. Bikin acara sendiri, minta dijemput di dekat areal Ka’bah, ada yang di areal masjid tapi bingung di mana, ada yang masih di sekitaran hotel. Biyuuu…. mbokya wes keluar dulu, bergabung rombongan. Suwe maneh nungguinnya.

Tiba-tiba, ujug-ujug Bu X muncul mau ikut thawaf. Saya menegur, “Bu, gimana siy? Katanya nggak ikut, ini kok malah datang? Tiwas saya wes lapor Ustad.”

Bu X, entah menjawab apa seperti nggeremeng nggak jelas. Saya laporan Ustad Sule. Niy Bu X ikut thawaf wada’ tanpa kursi roda. Kalau pingsan, jatuh di areal Ka’bah yang full byuuuk orang itu; bisa bikin gawe. Bikin repot semua jamaah.

Saya nggak mau ikut disalahkan kalau ada kasus begitu. Karena mulutnya jamaah rombongan saya yang cukup tajam.
Ustad Sule sabar sekali. Menerima laporan saya dengan senyum dan berdoa semoga semua sehat. Saya wes lebih tenang.

Setelah tunggu-tungguan cukup lama, kami pun berangkat ke areal Ka’bah. Ustad Sule dan Ustad Jordan wes menertibkan dan wanti-wanti kami agar tidak terpisah dari rombongan.

Pas awal-awal, saya yakin betul kalau saya mengikuti rombongan. Pas mau ke arah Ka’bah itu, saya nggak tahu bagaimana ujug-ujug terpisah dari rombongan. Saya celingak celinguk wes nggak ada anggota rombongan.

Saya sempat galau, tapi seperti ada yang mengingatkan saya untuk ke Ka’bah. Tiba-tiba saja saya merasa ada yang memegang pinggang dan tangan saya kuat kuat, sambil teriak, “Mbak, saya ikut! Saya jangan ditinggal!”

Saya menoleh, melihat ibu-ibu dan jelas orang Indonesia, teringat ibu saya. “Oh ya Bu, sini!”

Saya mengawal ibu ini agar bisa maju, berusaha menghalau orang-orang tinggi besar yang menghalangi jalan kami ke Ka’bah. Saya sambil terus menerus berdoa mohon dimudahkan sampai Ka’bah dan bisa berdoa di depan Ka’bah.

Tiba-tiba saja itu jalan seperti terbuka dan tahu-tahu kami berdua sudah di depan Ka’bah. Saya menangis sejadinya. Bisa menyentuh, memegang kuat, mencium, mengusapkan seluruh permukaan tas yang saya bawa ke Ka’bah; agar aroma Ka’bahnya tidak hilang.

Saya berdoa sekomplitnya. Sebisanya di tengah terpaan rasa haru yang luar biasa. Saya merasa tempat itu beneran hening, sunyi, adem, damai, bahagia, sukacita; seperti bukan areal Ka’bah yang membara. Apakah seperti itu kelak suasana surga? Wallahua’lam.

Saya terus berdoa. Sementara si ibu menangis sejadi-jadinya. Bolak-balik menciumi Ka’bah. Saya mengingatkan untuk berdoa, tapi saya malah mendengar isak tangisnya yang lebih keras. Lama rasanya kami di situ.

Saya mengajak si ibu ke Multazam. Wes ini versi saya beneran perjuangan. Orang-orang tinggi-tinggi besar berada di sekitaran kami dan rasanya begitu sulit untuk mengambil celah.

Saya seperti diingatkan kalau ibu ini sangat ingin ke Multazam. Akhirnya saya berdoa dimudahkan sambil menarik tangan ibu tersebut. “Ayo Bu, sini!”

Tapi langkah saya terhalang tangan-tangan yang sedang menggapai-gapai Multazam. Beberapa berusaha menyingkirkan kami. Saya keukeuh berdoa dan tahu-tahu tangan si ibu sudah bisa memegang Multazam. “Berdoa, Bu!” seru saya saat mendengar ibu itu malah menangis lagi.

Alhamdulillah, saya di samping ibu itu bisa memegang Multazam dan berdoa, sekhusyuk yang saya bisa. Sama rasanya saat menciumi Ka’bah. Saya merasakan hening, sunyi, adem, damai, bahagia, sukacita.

Saat saya rasa sudah cukup berdoa, saya ada niat membawa ibu ini ke Hajar Aswad. Tapi melihat tempat itu dipenuhsesaki lelaki tinggi-tinggi besar dan rapat padat sekali, saya wes jiper duluan.

Saya melihat ke sekeliling; wes nggak tampak satu pun jamaah dari rombongan saya. Pas melihat arloji, saya menghitung waktu dari mulai thawaf, mestinya rombongan saya sudah di hotel. Waduh, bisa ribet ntar kalau diteriakin, diomelin jamaah lainnya gegara telat.

Sesaat saya galau, jadi saya tanya si ibu. Mau ke Hajar Aswad atau enggak, dia bilang manut saya. Ya wes, saya menarik tangan ibu itu untuk mendekat ke Hajar Aswad, tentu sambil berdoa; tapi kami malah terdorong menjauh. Saya paham, berarti tidak diizinkan.

Saya memutuskan untuk meninggalkan Ka’bah karena pertimbangan waktu. Untuk ke pinggir ke pintu 79 atau 84, tentu kami harus “miyak” ribuan orang dengan melawan arus. Sementara kami masih beberapa jengkal saja dari Ka’bah.

Saya terus berdoa agar dimudahkan. Beneran, jalan kayak terbuka sendiri; tahu tahu kami sudah di pinggiran sekitaran pintu 79 atau 84 itu. Kami sholat sunnah dua rakaat, baru kemudian keluar areal mesjid. Si ibu entah kenapa menangis lagi dan memeluk saya kuat-kuat.

“Terimakasih ya Mbak, sudah mau saya ikuti! Alhamdulillah. Alhamdulillah saya bisa mencium Ka’bah. Masyaallah. Saya seperti menemukan Allah. Masyaallah, Masyaallah.”
Masih dengan menangis sesenggukan.

Haish, saya malah bingung kudu ngapain. Iya saya mengerti harunya, perasaan guncang saat pertama menyentuh, mencium, memeluk Ka’bah, berdoa dengan jarak begitu rapat di depannya, seperti mendapatkan anugerah berlimpahan yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Sudah, Bu. Alhamdulillah. Ayo kita balik. Saya wes ketinggalan rombongan.”

Baru ibu itu mau melepaskan pelukannya dan berhenti menangis. Matanya pun masih memerah. Saya wes memastikan si ibu baik-baik saja dan kembali ke rombongannya.
Saya memberitahu Ustad Sule di WAG posisi saya. Mendapatkan jawaban singkat agar saya langsung ke ruang makan. Saya setengah berlari ke hotel. Nggak sampe 10 menit wes sampai 😆😅

Di restoran, rombongan saya tinggal beberapa orang yang makan. Saya menghitung waktu, rupanya lumayan lama juga saya di depan Ka’bah tadi. Alhamdulillah. Di luar itu, Alhamdulillah saya karena nggak telat jadwal dan nggak jadi sasaran omelan jamaah lain.

Saya yakin, tiap orang yang umroh punya pengalaman spiritual yang berbeda-beda. Beneran, setiap kali berada di areal yang makbul untuk berdoa itu; saya seperti tersedot pusaran arus, lalu dibawa di ruang yang begitu menyejukkan dan mendamaikan jiwa.

Ruang yang terbebas dari segala kekhawatiran dunia. Ruang yang begitu indah dan hening sunyi; padahal kiri kanannya orang ramai berthawaf. Wallahua’lam.

Ya Allah, saya wes rindu lagi ke rumahMu yang Agung. Bawa saya ke sana lagi ya Rabb. Amin YRA.

Ari Kinoysan Wulandari
Please follow and like us:

Wonderful Umroh (15) Ayo, Bu…! Ayo, Bu…! Hajar Aswad!

Hajar Aswad dari jarak dekat. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Tempat-tempat yang ingin dicapai oleh jamaah umroh di sekitaran Ka’bah itu ya mencium dan berdoa di depan Ka’bah, mencium Hajar Aswad, berdoa di Multazam, mencium dan berdoa di Maqam Ibrahim, berdoa di bawah Mirzab (pancuran yang dipasang di atas Ka’bah), berdoa dan sholat di Hijir Ismail. Di sekitarnya lagi tentu ingin melihat dan berdoa di dekat atau sekitaran sumur air zamzam, berdoa di bukit Shafa dan Marwa.

Areal di sekitar Ka’bah itu sungguh perjuangan betul untuk bisa mencapainya. Mencium Ka’bah? Kalau nggak dengan izin ridha Allah, entah bagaimana bisa.

Memikirkan saja saya sudah malas duluan, kudu “miyak” melewati ribuan orang besar kecil dari berbagai negara.

Toh alhamdulillah sudah berulang pula saya menciumi dan berdoa di depan kiblat dari umat Islam ini.

Lalu Multazam, alhamdulillah pokokmen tiap datang pasti kebagian tempat ini. Entah siapa yang bawa saya ke situ.

Pernah juga dibawa orang yang saya tidak kenal, tapi mengarahkan sampai tempat. Bisa berdoa dan lama menangis.

Hajar Aswad, saya termasuk orang yang mudah pasrah. Pertama umroh dulu (tahun 2017), ya seperti keajaiban saja. Mencium, memegang, menyentuh Hajar Aswad, berdoa cukup sampai doa sapu jagad rampung.

Umroh kedua (tahun 2023), dalam kondisi kesehatan yang tiba-tiba memburuk, kok ya masih diberi kesempatan menciumi batu surga itu.

Jadi umroh kali ini (tahun 2024) pun saya wes pasrah aja, diberi alhamdulillah tidak yo tetap alhamdulillah. Karena itu beneran untuk dapat Hajar Aswad seperti berkat Tuhan yang tidak bisa diirikan oleh orang lain. Seperti keajaiban itu bisa mencium Hajar Aswad. Alhamdulillah.

Teman-teman yang pingin ke Hajar Aswad hati-hati ya. Karena banyak calo yang berteriak, “Ayo, Bu…! Ayo, Bu…! Hajar Aswad!” Nah kalau sampeyan terima dan bisa ke Hajar Aswad, ntar sampeyan dimintain fee antara 500 s/d 1500 riyal. Mahal tenan. Dia akan terus nungguin, maksain agar kita bayar.

Jadi hati-hati sajalah. Jangan dikira itu bantuan gratis. Lebih baik pasrah berserah, doa yang sungguh-sungguh biar diberi jalan untuk ke Hajar Aswad. Foto-foto? Itu kalau bejo atau beruntung saja.

Karena sungguh beneran nyaris nggak pernah selow, Hajar Aswad itu kecuali untuk orang-orang yang diberi kemudahan oleh Allah. Ya beda cerita kalau kamu presiden dan keluarganya atau relasi dekat keluarga kerajaan Arab Saudi. Tempat bisa disterilkan untuk kamu. Tapi tetap, Allah yang mengizinkan kita untuk bisa mencapai tempat ini.

Maqam Ibrahim? Nah wes alhamdulillah saya berulang bisa ke sini ya. Saya ngikut Ustad saja, tahu-tahu wes bisa peluk cium dan berdoa di tempat ini.

Kalau umroh (2017), (2023) dulu saya bisa sholat di Hijir Ismail, kali ini nggak bisa. Ya wes, gakpapa. Semoga sholat berulang di pelataran Ka’bah dicatat sebagai amal berlimpah. Semoga itu berarti tahun depan saya dipanggil datang lagi. Amin YRA.

Di bawah Mirzab itu biasanya saya berdoa pas di depan Ka’bahnya. Jadi kayaknya dituntun ke tempat yang berdekatan semuanya itu. Bagaimana caranya, yo embuh saya pun nggak bisa jelasin. Tahu tahu bisa saja.

Sementara di bukit Shafa dan Marwa ya itu pas kita sa’i. Sementara di areal sumur zamzam itu pasti kita lewati setelah beres umroh dan keluar dari areal Masjidil Haram. Biasanya kita di sini juga disunahkan berdoa.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Wonderful Umroh (14) Umroh Kedua Bu X

Di Jabal Rahmah. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Selama di Mekkah, saya tidak dekat Bu X, menghindari emosi buruk. Di hotel kami di Mekkah nggak ada hairdryer, jadi si emak rempong ini mung nyuci pakaian dalamnya. Tahu sendiri bau penguknya baju yang dipakai berhari-hari kena debu, angin, keringat, kotoran campur aduk; untuk tidur pulak.

Selain itu, versi saya kan pakaian mungkin wes kena kotoran, najis; karena kepijak-pijak pas jalan, dibawa ke kamar mandi atau toilet umum; apakah masih terjaga kebersihannya, sebagai salah satu bagian syarat sah sholat atau ibadah lainnya? Entahlah.

Wes, perkiraan saya Bu X bawa 2 baju njur beli di Madinah atau Mekkah ambyar saat tahu itu. Untuk jemaah perempuan yang baru mau umroh, jangan sekali bawa baju seperti itu ya. Sekurangnya 8 gamis/setel untuk 10 hari.

Kecuali seperti teman yang pernah saya tuliskan, dia bawa baju yang di badan, pakaian dalam secukupnya, lalu beli baju/abaya di sana, selesai pakai dibuangnya. Cuman itu berlaku untuk orang dengan postur tubuh sesuai ukuran pasar yang standar, S, M, L, XL, dst nya pasti cocok. Kalau posturnya kek saya, beli baju jadi kalau nggak kekecilan ya kegedean, jelas repot. Jadi ya memang kudu bawa baju yang jelas nyaman dipakai dari rumah.

Kalau nggak ganti-ganti baju gitu, bisa jadi temennya yang kebauan; cuman emoh bilang aja. Lagipula kan tidak nyaman to baju dipakai berhari-hari? Jadinya kalau terpaksa di dekat Bu X, masker saya ikat rapat-rapat.

Dewangga memberikan 2x umroh setiap jamaah di rombongan saya. Umroh ini siang hari setelah city tour; karena kami kan harus ambil miqat atau niat dulu.

Namanya city tour ya pasti capek. Sebenarnya saya tidak terlalu antusias dengan city tour, karena selain masih begitu saja; ya lebih baik hemat energi. Cuman ngapain juga bengong di bus sendirian?

Pas ke Jabal Rahmah, tahun lalu masih boleh naik, tahun ini sudah enggak. Bus parkir jauh dari lokasi bukit. Wes panas, capek banget jalannya. Terus pedagangnya, ampun nawarinnya sampai ngotot-ngotot gitu. TL sudah melarang kami belanja di sini, karena biasanya tawar menawar njur tertinggal.

Dan ya beneran, ada saja yang tertinggal sampai kita nungguin lama. Ustad Sule juga yang balik turun bus nyariin. Embuhlah kenapa ini jamaah sulit banget disuruh patuh sama TL dan ingat waktu. Berasane lagi di Beringharjo po ya?

Karena waktu yang banyak terbuang, beberapa tujuan seperti Jabal Tsur, Padang Arafah, Muzdalifa, Mina, terus beberapa masjid yang mestinya dikunjungi hanya dilewati saja.

Kami pun ambil miqot umroh kedua di Masjid Aisyah. Menghindari kepadatan di Ji’ronah. Hari Sabtu karena libur, konon banyak warga lokal yang mengambil umroh di hari-hari itu. Jadi lebih banyak orang yang datang.

Umroh kedua ini bersifat bebas, boleh ikut, boleh enggak. Boleh umroh untuk diri sendiri, boleh untuk badal orang lain yang sudah meninggal. Kalau sampeyan punya cukup uang, juga bisa membatalkan umroh keluarga yang sudah meninggal. Tarifnya beragam, antara 1.5 sd 2.5 juta per orang. Kalau badal haji biasanya lebih mahal, antara 3.5 sd 5 juta per orang.

Saya dan Bu B sudah mengingatkan Bu X kalau mau ikut umroh kedua, kudu pesan kursi roda cepat-cepat karena nggak bisa dadakan. Petugas selalu kerja. Ini sudah kami bilang pas umroh pertama. Dianya iya iya aja dan kami pikir ya sudah pesan.

Ealah baru pas city tour itulah Bu X pesan. Ya wes telat, nggak bisa umroh kedua hari itu. Nggak ada petugas yang nganggur. Dikiranya pesan gofood di Jogja apa ya? Lah pesan makanan online di libur nataru gini saja, biasanya 15 menit sampai kudu nungguin 1 jam lebih dan nggak boleh protes kok 😅 Jadi Ustad Sule memastikan bahwa besoknya Bu X baru bisa umroh sendiri dengan kursi roda.

Sudah begitu, wes ngerti harganya kursi roda kok ya nggak cepetan dibayar atau ditransfer. Weish, ini orang. Gitu aja kalau cerita sama Bu B, anaknya kerja di LN duitnya sahohah, tapi keceplosan sendiri pas cerita sama saya kalau anaknya (entah ini anak yang sama atau anak yang berbeda dengan anak yang di LN) kerja di Bali akan balik ke Jogja, dan dia mau ikutan liburan ke Bali meskipun bayar tiket dan urus makan sendiri.

Saya mung bengong, lah kok gitu amat ya kudu bayar tiket dan urus makan sendiri? Saya bae, mungkin duit saya nggak sehohah, tapi kalau ibu saya sampai bilang mau pergi ke mana; westalah, pasti saya usahakan semuanya saya bayarin dan urus sebaik-baiknya.

Pikir saya kalau anaknya kaya dan hubungannya baik-baik, nggak mungkin Bu X yang wes lansia, nggak sehat, pelupa akut, banyak bikin masalah dengan jamaah itu umroh sendirian. Pasti ada orang yang diminta mendampingi. Wallahua’lam karena saya yo nggak tahu background keluarganya.

Umroh yang kedua ini versi saya lebih ringan. Kan wes terlatih pas umroh pertama. Alhamdulillah. Yang belum kesampaian oleh saya, mandi air zamzam. Kalau dari areal tahalul terus keluar masjid, itu pasti melewati areal sumur zamzam. Di sinilah kita boleh ambil air zamzam banyak-banyak sepuas kita. Ada banyak laki-laki yang mandi pun.

Beuh, saya nyesel bener saat itu. Karena saya kan bawa mantel hujan. Kenapa nggak saya bawa pas umroh kedua ini? Kalau saya bawa mantel, kan saya bisa mandi air zamzam dari ujung rambut ke ujung kaki, lalu pakai mantel hujan. Jadi bentuk tubuh yang tercetak akibat mandi air zamzam, bisa tertutup oleh mantel hujan. Haish, ini juga yang bikin saya wes pingin balik Mekkah lagi ❤️🙏

Setelah umroh kedua, kami bebas istirahat. Agenda tinggal thawaf wada dll city tour, belanja, dan balik ke Tanah Air via Singapura.

Keesokan harinya pagi-pagi sekali, Bu X wes bersiap untuk umroh kedua. Setelah semalem beributan nyari bolpoin untuk nyatet rekening transfer Pak Ustad. Sampai saya dipaksanya membongkar tas karena saya bilang ada bolpoin. Itupun dia transfernya nggak langsung full, padahal pasti sudah tahu harga 1.5 juta untuk kursi roda dan pengantar sekali umroh. Tapi wes embuhlah. Itu urusan dia.

Untuk Teman-teman yang tidak biasa bekerja dengan buku dan bolpoin, saat umroh pastikan juga bawa ya. Ini untuk mencatat hal-hal darurat; contact TL, muthowib, alamat dan no tlp hotel, no darurat keluarga yang bisa dihubungi, no paspor, ktp, visa, boarding, dll. Semua ada di HP? Iyes, tapi kita tidak pernah tahu kapan membutuhkan dan tetiba saja HP kita bermasalah. Kadang cara tradisional itu bisa nyelametin kita dari berbagai keribetan.

Pas malamnya saat saya mau tidur, kok ya ndadak Bu B itu cerita ke saya. Pas itu Bu X belum di kamar, mungkin masih belanja. Bu B tanya ke Bu X, berapa ongkos taksi dari hotel ke Ji’ronah pp ke Masjidil Haram. Karena kan itu nggak masuk biaya 1.5 juta. Bu X dengan enteng bilang, “Nggak tahu, dibayari ustadnya.”

Ya ampun Gusti, bisa tekor dadakan ini ustadnya mbayari pp taksi yang jelas ada harganya. Versi Bu B, sudah mengingatkan Bu X untuk tanya ustadnya dan bayar, tapi dia kayaknya sambil lalu nggak mau tahu atau nggak peduli. Duh, maafkan saja salah satu jamaahmu itu ya, Ustad.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Wonderful Umroh (13) Teruslah Berbuat Baik

Pintu 79. Pintu favorit saya kalau masuk atau keluar Masjidil Haram. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya memahami bahwa berbuat baik itu harus kita lakukan terus menerus. Termasuk saat kita umroh. Bisa jadi umroh kita diterima Allah bukan karena ritual wajib yang besar, tapi justru dari kebaikan-kebaikan kecil yang berlipat.

Ritual umroh cukup dikerjakan dalam 4-5 jam. Sudah pasti ada saja ujiannya untuk setiap orang secara berbeda-beda. Ada yang tiba-tiba sakit. Tidak bisa sholat di mesjid. Terpisah dari rombongan. Tertinggal. Lelah yang berkepanjangan. Tidak bisa ke Raudah. Tidak bisa makan tidur enak. Tidak bisa melihat Ka’bah. Tiba-tiba doyan shopping. Ribut terus dengan teman-teman. Dan masih banyak lagi ujian lainnya sesuai kapasitas iman masing-masing.

Ujian lain di luar ritual wajib umroh itulah yang justru lebih besar selama prosesi umroh 10 harian atau sesuai waktu yang kita pilih. Kesadaran sedang “ibadah” inilah yang membuat saya menahan kemarahan, melepaskan keinginan mendamprat orang, tidak mencela apapun, tidak bersangka buruk, tetap sabar, dll.

Tapi sungguh, manusia biasa seperti saya; tetap saja ada yang terlewat. Banyak kesalahan yang masih terjadi dan kadang tidak bisa saya kendalikan, meskipun tidak sampai saya lisankan beragam kekesalan itu.

Kesadaran banyak dosa itulah, yang membuat saya sebisa mungkin terus berbuat baik. Ini bukan untuk pamer, tapi bagaimana saya berusaha menyeimbangkan antara keburukan dan kebaikan; berusaha agar kebaikannya lebih besar.

Ada orang sakit, minta obat ini itu ya kalau ada, saya kasih saja. Sampai obat warung saya itu nyaris habis untuk orang.

Alhamdulillah saya sehat dan hanya perlu beberapa paracetamol untuk menghilangkan nyeri kaki karena terlalu lelah jalan.

Ada banyak ibu yang nggak bisa mengaktifkan Internet nya, wes saya kayak tukang HP dadakan. Mengecek satu per satu paket internet dan roaming mereka. Sampai aktif. Namun ada juga yang gagal, karena saya nggak ngerti pengaturan di HP-nya.

Ada orang minta diantar ke sini situ, ya saya antar saja selama bisa. Orang minta ditungguin karena takut ketinggalan rombongan ya saya temenin. Pokoknya sebisa saya.

Sempat juga saya kesal karena bantuin orang. Ada 4 orang ibu-ibu usai sa’i berteriak keras agar saya nungguin. Saya yang semula bersama beberapa orang, berhenti dan menunggu 4 orang itu. Begitu mereka beres pakai sepatu, salah satu bilang, “Bu Ari, kita ke mesjid, nggak pulang ke hotel.” Dan mereka langsung balik arah ke mesjid.

Saya terjeda dalam hati, “What? Gue suruh pulang sendiri?”

Mereka berempat sudah tidak terlihat. Kelompok saya yang sebelumnya (ke arah hotel) juga sudah tidak tampak. Saya menelepon Bu B. Dia mengatakan kalau dia dan suami sudah hampir sampai hotel. Nggak mungkin saya minta nungguin.

Percayalah, di tempat asing saat tiba-tiba sendiri; itu juga sempat menimbulkan was-was di hati saya. Entah pikiran 4 ibu-ibu tadi itu kepiye, saya nggak paham.

Saya mengaktifkan detect lokasi dan mengisikan arah tujuan ke hotel. Syukurlah, karena sendiri saya bisa jalan cepat dan wes sebentar saja wes sampai hotel.

Pas kepulangan karena kita harus download isi-isi form beacukai, kesehatan, nomor imei, ya wes saya isikan yang memerlukan. Saya pandu ini itu isian sampai beres. Ini banyak yang saling membantu, karena isiannya ya rada rinci.

Ada orang tersesat, ya saya telponkan TL-nya dan menunggu sampai dia dijemput. Wes, jamaah Indonesia memang banyak yang “super” kalau belanja, sampai tertinggal, terpisah rombongan.

Ada orang minta-minta kalau pas ada duit yang saya kantongi; saya kasih aja. Saya diwanti-wanti sama Ustad Sule, TL; jangan buka tas atau dompet saat ada orang minta-minta. Bisa aja nanti dompetnya jatuh, diambil orang, barang tercecer, dll.

Terus pastiin memberinya uang itu cepat. Kalau lama, tahu-tahu rombongan peminta-minta bisa berdatangan. Dan mereka nggak akan pergi kalau nggak kita kasih uang.

Versi saya, ibadah umroh yang sesungguhnya itu justru menyelesaikan ujian-ujian di luar ritual wajib dan terus berbuat baik selama waktu umroh. Bisa jadi itu bagian “pahala” terbesar yang harus kita lakukan demi sempurnanya umroh.

Saya yakin tiap orang yang umroh akan diuji dengan banyak hal, sesuai kapasitas dan kualitas iman masing-masing.

Konon makin baik kualitas iman seseorang, makin besar juga ujiannya. Jadi teruslah berbuat baik, agar ujian-ujian berat selama umroh tetap terasa ringan.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Wonderful Umroh (12) Jaga Mulutmu…!

Merlion Park, Singapore. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya bertanya-tanya, kenapa grup umroh kali ini mulutnya kejam dan tajam. Saya yang anteng nggak usilan, nggak bikin salah pun kena semprot beberapa kali.

Setelah mengulik lebih dalam, saya menemukan beberapa alasan yang mungkin jadi penyebab.

  1. Situasi lelah, capek, panas, mungkin juga kurang tidur, kurang makan; sehingga mudah emosional dan berkata kasar.
  2. Bisa jadi mereka masih mengalami “keras” dan “kejamnya” kehidupan, sehingga sulit untuk berkata halus.
  3. Apa yang terjadi, tidak sesuai harapannya. Ingat, bagi mayoritas orang Jogja, biaya umroh dll itu nggak ringan. Bahkan ada yang nabungnya wes 20 tahun, ada yang masih punya utang ini itu, dll. Jadi begitu ada yang memicu emosi dikit aja, langsung nyolot.
    Wallahua’lam.

Berikut ini ucapan-ucapan yang masih saya ingat, tapi jelas sudah saya maafkan.

Pertama, pas di bus dengan ibu jamaah yang mengomel menyalahkan saya gegara dianggap tidak peduli dengan Bu X. Karena langsung, ya saya jawab tegas.

Kedua, ketika sedang antri lift karena saya mendahulukan para sepuh, pas giliran saya; jadi tidak muat (meskipun tidak ada tanda bunyi overload), seorang ibu jamaah nyolot saja, “Ya itu gegara tasnya kebesaran jadi nggak muat.”

Dia mengomentari tas backpack saya yang memang saat itu wes isi boneka unta, kelihatan besar, tapi yo tetap ringan saya gendong. Daripada ribut, saya wes langsung keluar lift. Tunggu antrian berikutnya saja.

Ketiga, pas antrian di lift juga. Saya sendiri karena menjauh dari kerumunan emak-emak, tiba-tiba seorang jamaah berseru, “Aku ke sana aja nemenin Bu Ari. Kasihan dia sendiri.”

Begitu dia mendekat, saya balas, “Bu, nggak usah kasihan sama saya. Santai aja.”

Kenapa saya balas? Karena di hukum energi “kasihan” itu buruk banget energinya. Jadi saya menolaknya.

Kalau misal kita nengok orang sakit parah, terus ngomong “kasihan ya dia.” Itu bukannya bikin ringan, tapi malah memperparah sakitnya.

Lagipula, itu jamaah apa perlunya kasihan sama saya? Saya umroh bukan dia yang bayarin, saya jalan bukan dia yang nuntun, nggak ngerepotin dia.

Bukannya mestinya saya yang bilang kasihan; suami istri, tapi dia berangkat sendiri; itu kalau nggak masalah finansial nggak cukup untuk berdua, kurang komunikasi, nggak akur, ya pasti ada sesuatu dalam rumah tangganya.

Sampai pas sa’i aja, dia itu VC sama suaminya kenceng keras-keras seolah biar semua orang tahu. Wheleh. Rumah tangga yang solid, nggak perlu validasi orang luar.

Keempat, saat sa’i saya pakai sandal karena telapak kaki yang sensitif. Sejak umroh pertama saya wes memastikan dari Ustad Pembimbing dan guru ngaji saya bahwa itu boleh.

Lhah pas kami harus break sa’i untuk sholat, ibu-ibu entah nggak tahu namanya, langsung meneriaki saya sambil nunjuk-nunjuk, “Lepas itu! Lepas sandal kamu! Ini tempat suci!”

Saya terkaget-kaget, tapi langsung menunjuk ke orang-orang yang masih sa’i dan memakai sandal atau sepatu. Entah siapa yang memberitahu dia soal boleh pakai alas kaki saat sa’i. Minta maaf? Melenggang begitu saja.

Kelima, pas kami sedang menunggu bus untuk tour; saya duduk-duduk saja bersisian dengan sekelompok bapak-bapak. Lalu mereka bertanya asal usul saya dan menanyakan jumlah anak saya.

Ketika saya jawab saya belum menikah, mereka malah tertawa rame. “Pasti Bu Ari terlalu milih-milih.” Dll ungkapan setipe.

Kalau saya masukkan hati pasti bikin luka; jadi saya jawab selow, “Iya Pak, beli kurma saja saya milih-milih apalagi jodoh.” Baru mereka diam.

Keenam, pas kami mau umroh kedua; seperti biasa ibu-ibu ngerumpi sana sini. Ngomongin belanjaan apa saja. Terus ada satu yang nanya, “Bu Ari belanja apa?” Saya lempeng saja jawab nggak belanja.

Mestinya kan yo diam to sudah dijawab gitu. Eh malah nyeletuk, “Kenapa nggak belanja? Nggak ada uang ya Bu?”

Lalu cerita semangat banget dia beli ini itu, untuk ini itu, yang versi saya semuanya ada di Indonesia. Kalau saya nggak besar hati, pasti wes perang mulut itu.

Ketujuh, pas di areal museum. Pas di depan gerbang itu nggak ada siapa-siapa, selain saya dan seorang bapak. Saya tahu dia dari grup kami. Saya memintanya baik-baik untuk memotretkan karena saat itu fotografer tidak disekitaran, TL dan Ustad Sule juga nggak ada. Dan itu bukan permintaan yang berat.

Tahu nggak jawabannya? “Nggak bisa, Bu. Panas banget, foto HP juga pasti gelap nggak kelihatan.”

Lhoh, dia belum tahu HP saya, belum pegang wes mengomentari begitu. Saya wes males aja, terus dalam hati cuman mikir, “Ya Allah, pertolongan besar apa yang Kau hilangkan karena dia nggak mau kasih pertolongan kecil?”

Entah kenapa, si bapak ini jadinya mau mengambilkan foto untuk saya, tapi yo percuma. Motretnya cuma kena separuh badan sebelah kanan, tulisan nggak kena.

Kedelapan, di rombongan ada suami istri yang masih muda. Mungkin sedang bulan madu atau perayaan pernikahan. Saya nggak kenal. Versi saya yo wes benlah mereka romantis, banyak kemesraan; itu lho ada juga yang nyeletuk tajam, “Kayak cuma dia aja yang punya suami. Pamer kemesraan sana sini.” Ya Gusti, geleng-geleng saya.

Kesembilan, pas di Singapura. Teman sekamar saya tanya sudah menikah atau belum. Begitu saya jawab belum, langsung komentnya. “Kenapa belum menikah? Pasti Bu Ari sulit diatur ya? Nggak mau nurut sama lelaki?”

Saya cuma bengong beberapa saat, sebelum menjawab. “Ya Bu, nanti saya cari yang bisa mengatur saya.”

Untungnya saya sudah terlalu kebal dengan aneka omongan yang kalau dimasukkan hati cuma bikin kesal. Tapi itu lho, mulut-mulut kok ya nggak direm sejenak saja. Padahal sedang ibadah.

Ya sudahlah, saya sudah memaafkan semuanya. Saya wes gak ingat lagi wajah-wajahnya. Kalau meditasi, saya buangin itu semua kenangan yang tidak menyenangkan.

Tentu nggak fair kalau saya hanya mencantumkan yang buruk. Ada juga ucapan-ucapan baik yang saya terima, dan saya syukuri betul. Alhamdulillah.

Pertama, pas di kamar, Bu B bilang semua foto saya tertawa lebar. Gembira, bebas, lepas. Dia bertanya apa saya pernah pakai behel, kawat gigi. Menurutnya gigi saya rapi sekali dan bentuknya kecil-kecil rata (orang Jawa bilang dengan pujian: untune miji timun). Saya bilang enggak. Aslinya begitu. Dia bilang wah, bagus.

Saya seperti disentil oleh Tuhan, bahkan hal yang versi saya biasa saja itu bisa “istimewa” bagi orang lain. Gigi saya tidak putih karena pengaruh obat setep (panas kejang waktu kecil). Pas saya wes kerja mapan, saya ke dokter untuk memutihkan gigi. Dokter bilang bisa, tapi nanti lapisan pelindung gigi ilang; bikin gigi ngilu kalau makan panas atau dingin. Saya nggak jadi memutihkan gigi dan mematuhi saran dokter; sikat gigi 2-3x sehari, bersihin karang gigi 6-12 bulan sekali.

Kedua, ketika ibu-ibu ada yang bilang; “Bu Ari, enteng banget langkahnya. Gembira terus. Seperti nggak habis-habis energinya.”

Masyaallah, tentu saya yo capek seperti mereka. Mungkin karena wes biasa jalan atau lari; dan syukur saya yang berlimpahan karena dipanggil umroh lagi, jadi terlihat gembira saja.

Ketiga, pas ibu-ibu masih banyak yang beribetan soal paket internet; ada yang terdengar keras. “Kamu kok wes bisa WA-nan. Katanya Internet belum aktif?”

“Aku nanya Bu Ari, dibantuin terus langsung bisa. Ke dia aja, semua pasti bisa.”

Saya tahu itu hiperbola. Jelas saya nggak bisa semua hal. Cuman ya gegara itu, saya lupa memaketkan roaming Internet berapa banyak HP dan membuat ibu-ibu gembira; karena sudah bisa komunikasi dengan keluarga di tanah air. Hal kecil yang menghangatkan hati.

Keempat, pas di Singapore; TL kami Pak Rusli, mengatakan saya kecil-kecil cabe rawit. Full energy dan berani eksplor tempat wisata tanpa kehilangan kewaspadaan. (Ini saya nggak tahu, dia lihat dari mana; cuman karena saya ikut rombongan: saya sadar soal waktu, kiri kanan, orang-orang sekitar, lihat arah, dan posisi atau lokasi TL-nya; jadi nggak bikin kasus dengan orang lain).

Pak Rusli menanyai saya, apakah umroh ikut semua agenda. Dia juga sudah pernah umroh beberapa kali, dan sampai Singapore itu sudah klenger, nggak ada energi. Tapi saya terlihat masih full baterai.

Saya bilang, kalau waktunya makan, saya makan; waktunya tidur, saya tidur; banyak minum. Itu kunci menjaga energi. Tentu sebulan sebelum umroh, semestinya tiap jamaah kudu wes jalan atau lari sekurangnya 5-7 km tiap hari. Lebih kurang sama dengan jarak putaran thawaf dan sa’i.

Kami pun tertawa bersama. Sadar, kalau mayoritas orang Indonesia; nggak punya kebiasaan olahraga.

Alhamdulillah. Ucapan-ucapan yang baik, lebih menghangatkan hati. Itu kenapa, sekesal apapun saya; lebih baik saya diam, meskipun di hati yo ngomel-ngomel; tapi sekurangnya saya nggak bikin konflik eksternal. Konflik internalnya nanti saya bersihkan dengan meditasi.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us: