Beliau selalu mengaku kepada saya dan (mungkin) kepada orang lain,
soal pendidikannya yang dapat dua doktor sekaligus dan kehidupannya yang termasuk makmur.
Kadang-kadang beliau “mencela” saya yang dianggap menulis sekedarnya;
“mencela” saya pula karena peduli duit recehan tak seberapa dari kelas-kelas
Griya Kinoysan University yang saya dirikan dan saya kelola. Kadang-kadang pula “mencela” cara dagang buku saya yang dianggapnya tidak elit.
Sebagai kepatutan karena beliau penulis senior profesional yang ngakunya dibayar puluhan juta dan jadi pembicara di mana-mana itu —saya hanya mengiyakan kehebatannya, dan tak protes dengan celaannya.
Saya tak harus mendebatnya. Saya tahu apa yang dicelanya itu tidak benar. Saya yang menghitung dengan pasti berapa uang yang dihasilkan dari pekerjaan yang dianggapnya remeh temeh.
Beliau mungkin lupa, saya ini penulis yang dididik dan dibesarkan di lingkungan universitas terbaik, lama menulis di media, lama bekerja di penerbitan solid, lama menetap di PH yang sangat industrialis kapitalis; lha kok cuma diomongbesari soal bayaran penulis dan gelar pendidikan.
Ealaaah, lha kok jebulane cuma mau ngutaaang
*Pingin saya teriakin, Situ Waras
.
.
Ari Kinoysan Wulandari
Hari gini apa ada uang yang tidak terpakai? Pasti ada Ini berkaitan dengan manajemen duit. Saya mengatur uang tentu berbeda dengan mereka yang gajian rutin. Setiap bulan saya membuat ancangan belanja dari A-Z, pembayaran ini itu sampai sana sini. Lengkap. Nah, uang tidak terpakai berarti uang yang tidak saya gunakan di bulan itu. Misalnya, bulan ini saya mau beli daging sapi 2 kg. Tiba-tiba kawan mengirimi 2 kg ikan gurame. Nah uang anggaran belanja daging tidak terpakai, maka saya masukkan ke celengan. Sudah niat beli 5-7 buku, ternyata penerbit mengirim 10 buku baru untuk direview, ya nggak usah beli buku. Uangnya masuk ke celengan. Mo beli kain-kain, ternyata souvenir jadi pemateri berupa kain, ya skip dulu, dan uang masuk celengan. Pembelian pulsa listrik biasanya X rp kok ternyata hanya separoh X, sisanya masuk celengan.
Sekali dua kali mungkin tidak seberapa, tapi coba aja setahun yo lumayan Celengan tersebut memotivasi saya untuk lebih cermat. Semisal mo beli makanan online atau masak? Mo belanja di supermarket, pasar, atau ke tetangga? Beli ebook atau buku cetak? Langganan nonton atau ke bioskop? Beli paket melukis atau satuan? Dst. . Intinya saya melihat, bahwa berhemat pun tetap bisa dilakukan dari hal-hal yang sudah direncanakan. Uang ini juga bisa digunakan untuk dana darurat, sementara anggaran darurat kita sudah habis.
Bagi saya #FeelGood #FeelBeautiful #FeelHappy #FeelRich itu penting; karena akan melipatgandakan syukur yang mengundang banyak kebaikan dan keberlimpahan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita cenderung lebih mudah memaafkan orang lain, tetapi belum tentu memaafkan diri sendiri. Merasa paling bersalah, merasa tidak pantas, merasa belum layak, merasa kenapa tidak berusaha lebih keras, kenapa tidak melakukan abcd dan seterusnya. Ada banyak kesalahan dan kegagalan yang kalau terjadi pada orang lain, kita mudah mentolerirnya; tetapi tidak mudah memaafkan saat terjadi pada diri sendiri.
Padahal semua itu akan menumpuk di alam pikiran bawah sadar kita dan terus menerus meracuni kehidupan kita. Segala yang mengendap itu akhirnya membebani kita dan menghalangi diri dari meraih kehidupan yang lebih baik dan lebih happy. Dalam berbagai hal, saya termasuk yang sulit untuk memaafkan diri sendiri. Ada banyak hal yang tidak sesuai rencana, tidak sesuai dengan harapan, tidak sesuai doa. Lalu perlahan dari sepanjang kehidupan saya, tumpukannya menjadi sangat banyak. Menyalahkan diri sendiri dan sulit memaafkan diri sendiri.
Pada saat saya mulai menjalani sesi terapi, ada hal yang lebih berat daripada memaafkan orang lain, yaitu memaafkan diri sendiri. Satu persatu saya mulai memaafkan semua hal yang pernah terjadi dalam hidup saya. Satu, dua, tiga, empat, lalu jumlahnya menjadi sangat banyak. Melepaskan satu per satu, seperti melepaskan ikatan-ikatan yang membelenggu. Sampai akhirnya ya, sedikit demi sedikit beban-beban kehidupan saya terasa jadi lebih ringan. Banyak hal yang memang tidak bisa saya kendalikan. Tugas saya ya mengikhlaskan semua yang sudah terjadi. Tidak menyimpannya terus di garasi bawah sadar saya.
Sebagaimana saya menerima bahwa rezeki, jodoh, hidup, mati adalah ketetapan Tuhan yang sudah pasti dan tidak bisa diutak-atik, maka saya belajar untuk mengerjakan hal-hal yang bisa saya kendalikan. Batasan yang harus saya kerjakan adalah mengerjakan semua yang saya bisa lewat jalur baik, doa, dan tawakal. Tidak ada harapan yang berlebihan. Tidak ada keinginan untuk menguasai ataupun memiliki. Mengerjakan satu per satu pekerjaan saya juga tidak dipenuhi khawatir ini kok begini, ini kok begitu. Tugas saya mengerjakan dan mengusahakan yang saya bisa semaksimal mungkin. Rezeki bukan saya yang atur. Begitu pula dengan jodoh, hidup, dan mati saya. Saya mempercayai sepanjang hati dan cara hidup saya baik, Tuhan pasti akan memberi rezeki yang baik, jodoh yang baik, hidup yang baik, pun dengan kematian yang baik pula.
Saya juga menerima semua keberadaan diri saya dengan sempurna. Tidak lagi ada keinginan membandingkan diri saya dengan orang lain. Dulu ya pernah, apalagi kalau bertemu dengan orang-orang cantik yang kayaknya njur hidupnya jadi semudah angin bergerak mendapatkan segala sesuatunya….
Gampang banget suksesnya dengan kecantikan mereka. Tapi sudah lama itu hilang, karena ternyata yang cantik pun masalahnya macam-macam. Bahkan banyak yang kepingin seperti saya, karena hidup kok happy happy aja. Ya, di sosmed happy dan senyatanya saya jauh lebih happy lagi. Kan saya nggak bisa menceritakan semua kejadian seru dalam hidup saya di sosmed.
Dengan begitu saya merasa lebih sempurna dengan “rasa kemanusiaan” saya. Manusia itu tugasnya ya menghadapi dan menyelesaikan masalah. Tidak usah mengeluh. Tidak usah banyak keinginan. Tidak usah banyak harapan. Tidak usah menoleh-noleh kehidupan orang lain. Kalau ada yang belum kepegang, belum bisa dimiliki, ya sudah, nanti pasti ada jalannya. Jadi, di hati lebih ringan.
Saya tidak merasa terganggu dengan banyak perilaku orang lagi. Karena pada dasarnya saya menyadari mereka juga sedang berjuang menyelesaikan urusan dan masalahnya masing-masing. Bisa jadi, orang yang terlihat baik-baik saja sesungguhnya menghadapi masalah yang jauh lebih berat dari kita, hanya mereka nggak mengeluh, nggak curhat —terutama di sosmed yang bisa kamu-kamu nyinyirin.
Yuk, kalau kamu merasa hidupmu berat banget dan banyak bebannya, coba deh. Tiap malam sebelum tidur, duduk manis, memejamkan mata, lalu bilang minta maaf pada dirimu sendiri. Ingat-ingat semua kesalahan, dan memaafkan semua yang sudah terjadi serta menerima semuanya dengan ikhlas. Percaya deh, kalau rutin dilakukan hidupmu pasti jadi lebih baik. Saya begitu kok. Memaafkan diri sendiri, memaafkan orang lain, bersyukur, dan mendoakan semua orang. Mungkin itu kuncinya bisa tertawa lepas.
Jabodetabek banjir. Sosmed riuh sekali. Tapi yang saya lihat, bukan itu. Banyak sekali kabar dan foto-foto yang beredar di sosmed, justru TNI dan Kepolisian bersama masyarakat sigap saling membantu dan berusaha mengatasi persoalan banjir, menolong orang, mengevakuasi, menyediakan makanan, pengungsian darurat, dan banyak kegiatan lain. Semoga banjir lekas surut dan hujan tidak sangat ekstrem; karena kalau prediksi BMKG ini baru permulaan dan puncaknya akan ada di bulan Februari nanti.
Saya tidak akan membahas banjir Jabodetabek. Karena banjir Jakarta itu dejavunya ke saya nggak enak; dingin, genangan air tinggi, listrik mati, air bersih habis, kekurangan makanan, terkurung, akses sulit berhari-hari (itu tahun 2007). Saya beruntung sekarang nggak di Jakarta lagi. Jadi, saya bisa merasakan betapa riewuh dan tidak enaknya bencana banjir. Daripada turut meributkan, saya doakan saja banjir lekas surut.
Banjir juga mengingatkan saya tentang kota Tulungagung, kota kecil yang indah dan memiliki banyak pantai. Semasa kecil, kota kelahiran saya ini sempat banjir. Tulungagung memang daerah berawa. Namanya saja dulunya Ngrowo, sebelum diganti menjadi Tulungagung —penolong yang agung, negeri yang penuh dengan pertolongan. Ya, memang begitulah adanya. Kalau datang ke kota ini, kamu pasti akan melihat kota yang ramah dan apa-apa masih serba murah.
Banjir bagi anak-anak seperti saya (mungkin kelas dua atau tiga SD), adalah banjir yang berkah. Karena tidak terlalu tinggi, hanya selutut anak kecil seperti saya. Ciblon ‘main air’ menjadi arena permainan yang menyenangkan. Tapi banjir adalah kisah yang sekarang berasa “mitos” di kota ini. Sudah berabad-abad rasanya tanah ini kering. Semoga seterusnya akan begitu.
Adapun penangkal banjir yang sangat ampuh di kota saya itu bukanlah pawang hujan atau orang pinter, tapi Terowongan Niyama. Yes, terowongan ini memang terowongan asli bangunan tentara Jepang pada saat menguasai Indonesia. Seperti yang saya sampaikan tadi, Ngrowo atau Tulungagung itu daerah banjir. Termasuk pada saat Perang Dunia II saat Jepang berkuasa di Indonesia. Versi Nenek Buyut saya dulu, Sungai Brantas meluap karena hujan yang terus menerus. Ratusan desa dan ribuan rumah terendam, areal pertanian hancur. Lalu membentuk genangan rawa yang sangat luas.
Serem. Iyes, banget. Nenek Buyut saya sempat menceritakan peristiwa ini kepada saya. Jadi, ya banjir memang bencana yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan wilayah itu adalah daerah yang sekarang disebut dengan Kecamatan Campur Darat, maksudnya ya air campur daratan.
Jepang memutuskan untuk menguras air yang menggenangi rawa-rawa itu ke Samudera Hindia, Laut Selatan. Dimulailah pembangunan Terowongan itu setahun setelah banjir (berarti 1943). Pekerjanya siapa? Ya romusha lah… masa orang Jepang! Ribuan orang romusha dikerahkan setiap hari untuk mengeduk tanah dengan alat seadanya. Zaman itu jangan dibayangin alat-alat berat sudah canggih seperti sekarang. Jadi, saya pikir hanya orang cari sensasi aja yang membersihkan atau mengeduk sungai dengan tangan.
Batu-batu kapur di punggung bukit dihancurkan, tapi sayangnya kurang dinamit. Masih dalam cerita Nenek Buyut yang saya ingat, daerah itu pernah jadi landasan terbang orang Belanda —jadi nggak aneh kalau Tulungagung ada banyak bangunan kuno model Belanda dan Nonik-Nonik Belanda (dalam versi hantu, tapi) di beberapa tempat di Tulungagung. Tulungagung bukan daerah yang terisolir. Belanda dan Jepang ya ikut ada di kota ini selama mereka berkuasa, meskipun jarak dari Surabaya itu sekitar 160 km. Itu karena Tulungagung keren 🙂 Sejuk, indah, banyak tempat wisata, kulinernya enak-enak, orangnya baik-baik, dan perempuannya cantik-cantik. Halah….
Jepang lalu menyisir daerah itu dan menemukan bom yang digunakan untuk peledak. Pembangunan mulai digalakkan, lalu tersendat dalam urusan pengerahan romusha. Jumlah romusha terus berkurang karena mati kepayahan, kelaparan, terus serangan malaria, binatang buas, hingga banyaknya hantu dan roh jahat yang memangsa mereka.
Jepang lalu mendesak setiap pangreh praja untuk setor romusha sebanyak-banyaknya untuk megaproyek ini. Konon sebelum Indonesia merdeka, terowongan sudah selesai (berarti di tahun 1944). Disebut dengan tumpak oyot (akar gunung) romusha. Itulah yang diterjemahkan dalam bahasa Jepang sebagai ne (akar) yama (gunung). Lalu warga lokal menyebutnya Neyama Romusha. Sekarang siy sebutannya Terowongan Niyama. Terowongan itu praktis menghentikan banjir dan tetap bisa digunakan sampai terjadi banjir bandang tahun 1955. Lalu tahun-tahun berikutnya kota ini masih langganan banjir.
Baru sekitar tahun 1960 dengan dana rampasan dari perang Jepang, terowongan ini dibangun lagi. Seterusnya terowongan ini menjadi tameng dari banjir besar. Pemerintahan Orde Baru membangun Niyama II dan diresmikan tahun 1986. Iyo, Presiden Soeharto datang waktu itu. Tulungagung jadi meriah banget kayaknya. Saya sudah lupa-lupa ingat soal ini. Yang pasti siy, sejak sekali banjir masa SD itu, rasanya kota saya itu tidak pernah banjir lagi. Semoga tetap begitu…
Intinya bukanlah tentang sejarah Niyama (silakan cari data yang lebih lengkap). Saya hanya merekam lagi cerita Buyut saya. Sejak kecil saya diberitahu lewat cerita; bagaimana terowongan yang mengalirkan air ke laut itu jadi solusi banjir di Tulungagung. Bukan dimasukkan ke tanah, ya kalau tanahnya seluas lautan dan bisa dibangun sumur-sumur raksasa untuk menampung air banjir… Lha tanahnya penuh dengan kebun beton. Ya jelas menggenangi kebun beton itu dan banjirlah di mana-mana.
Yach, semoga di manapun tempatnya di Indonesia, aman dari banjir. Karena di negeri kita banjir sudah sering terjadi; semestinya kita pun sadar akan bencana banjir ini. Nggak buang sampah sembarangan, nggak babad hutan serampangan, dan tentunya nggak memilih pemimpin yang serombongan aja asal berkuasa.
Halo semuanya…. Selamat Tahun Baru 2020 ya…. Setelah lama nggak aktif di web ini, hari ini saya berusaha untuk ngecek dan nerusin yang sudah tertulis terakhir tentang Maluku. Berikut ini lanjutannya ya….
Bagi mereka yang sudah malang melintang turun dan pesiar laut ke laut di Indonesia, bisa jadi Kepulauan Maluku adalah surganya. Hampir di setiap laut dan pantai yang ada di pulau-pulau tersebut, indah luar biasa. Jangankan yang sampai jauh-jauh, lha yang di Ambon saja bagus-bagus.
Anda tidak perlu ribet untuk pesiar laut di Pulau Ambon. Karena hampir semua wilayah Ambon dikelilingi laut. Anda bisa dengan mudah tanpa keluar atau turun dari kendaraan untuk menikmati pemandangan laut. Namun kalau ingin ke laut, ya mau tidak mau anda harus turun.
Sejauh yang saya amati, pantai-pantai di sini bersih sekali. Warna airnya itu beda. Tidak hanya biru, tapi campuran antara hijau, tosca, putih, biru, perak. Sangat indah. Sulit dideskripsikan dengan kata-kata. Kalau kita datang sendiri ke sana, baru bisa melukiskan dengan pas sesuai dengan pilihan kosakata kita masing-masing.
Pagi dan senja adalah warna yang menurut saya sangat indah. Matahari bisa bersinar dengan terang dan sempurna di depan mata kita saat pagi. Kebetulan pas ke Ambon saya tinggal di Mess Transit TNI AU Pattimura, yang langsung berhadapan dengan laut. Kalau pagi, wow…. sinar mataharinya menyilaukan mata. Jam 4 pagi waktu Ambon, yang berarti jam 2 waktu Jogja semburat cahaya mulai nampak dan terus semakin terang sampai sore. Di senja, matahari senja di sepanjang pantai selalu indah.
Dan matahari baru benar-benar tenggelam ketika pukul 7 malam waktu Ambon. Bagi saya, yang bermimpi punya rumah atau villa menghadap laut, pengalaman tinggal di Ambon seminggu itu benar-benar istimewa. Oh, masih lebih istimewa lagi karena di samping kanan dan kiri tempat tinggal itu ada Masjid dan Gereja. Bagus sudah. Setiap pagi dengar orang ngaji dan adzan terdengar sempurna.
Pemandangan bawah laut di semua laut Kepulauan Maluku dapat dikatakan luar biasa. Anda harus datang ya. Silakan merencanakan liburan ke Maluku. Mengajak saya yo boleh. Jujur saja saya pingin banget bikin acara traveling writing ke Maluku. Pasti seru. Apalagi kalau yang ditulis benar-benar setting Maluku. Tentu lebih hidup dan bernyawa tulisannya. Sementara segini dulu ya soal Maluku. Nanti kalau ada energi lagi pas ke sana lagi, akan saya tuliskan lagi.
Maluku adalah negeri kepulauan yang sangat indah. Itu kesan saya begitu saya pertama kali datang dan tiba di Ambon. Sebuah negeri yang saya terpikir untuk datang saja tidak pernah. Mengapa begitu? Ya karena saya tidak tahu. Ketidaktahuan itu karena berbagai hal. Pertama, tidak ada yang cerita ke saya tentang Maluku. Kedua, gambaran tentang Ambon pernah rusuh berdarah juga mempengaruhi referensi saya tentang Maluku. Ketiga, tidak cukup waktu untuk browsing melihat keindahan Maluku dari para traveller yang sudah pernah datang. Keempat, yach, you know it lah… Wisata ke Indonesia Timur itu lebih mahal daripada ke Eropa 🙂 Beneran lho….
Akhirnya, Tuhan mengubah pandangan saya dengan hal sederhana saja. Saya harus datang ke sana karena pekerjaan. Yes, senang dan senep sekaligus. Senang karena saya akan datang ke negeri yang belum pernah saya kunjungi. Senep ya karena ini pekerjaan di luar prediksi dan datang di akhir tahun yang kita biasanya sudah plan gak ada kerjaan lagi. Tapi saya melihat sisi positif nya saja. Pasti bisa lah dikerjakan kalau pekerjaan itu sampai di tangan saya.
Dan begitulah, alhamdulillah semua urusannya dimudahkan. Karena saya sendiri ingin, ada banyak orang yang melihat dan datang ke Maluku. Mau berwisata, mau usaha, mau cari tempat tinggal, mau tanam modal, mau bangun restoran, hotel, bisnis ikan, bisnis pariwisata, dll. semua serba mungkin dilakukan di Maluku. Negeri ini kaya raya banget. Harus datang untuk lihat pantai-pantainya yang memikat, menikmati alunan musik yang beragam, menyantap ikan yang segar, mencicipi kuliner yang khas, ketemu orang-orang yang luar biasa, atau sekedar mengingat jejak sejarah di Maluku. Semuanya harus dilihat. Liburan jangan hanya ke Bali. Helllo…. kita punya Maluku 🙂
Apakah anda sudah pernah ke Bunaken? Sudah sering? Sudah pernah? Atau belum pernah? Yes, its ok. Tapi pasti pernah dong dengar “Bunaken”? Ini adalah salah satu ikon pantai paling cantik di Sulawesi Utara. Meskipun sebenarnya kecantikan itu adalah kecantikan bawah laut. Kalau sekedar di atas, laut ini mungkin terlihat tidak ada bedanya dengan laut-laut lainnya di Indonesia.
Tahun lalu saya sudah pergi ke Bunaken, tapi tidak sampai turun ke laut; karena gelombang tinggi dan berangkat dari kota sudah terlalu siang. Jadi cukup puas saja lihat permukaan laut yang biru –sebirunya— langit yang juga biru sekali, pemandangan gunung “kecil” yang selalu terlihat dari pelabuhan sampai ke tempat transit Bunaken; sebelum anda turun ke laut, dan tentu saja kapal-kapal yang warna-warni lalu lalang. Plus udara panas dengan terik matahari yang sanggup bikin kepala nyut-nyutan “pusing”.
Tahun ini saya kembali ke Bunaken selepas mengikuti acara seminar internasional di Manado yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara. Wes, saya tidak berpikir akan turun ke laut karena hari itu adalah jadwal saya presentasi makalah selepas dari Bunaken. Dan saya lihat di agenda panitia ya hanya ke Bunaken. Tidak tertulis acara “basah-basahan”.
Standar ke pantai ya minum air kelapa muda, makan seafood, dan foto-foto. Tapi di sini sebaiknya tidak makan seafood karena “cukup mahal”; pun dengan makanan dan minuman lainnya. Selain itu, tempatnya kurang memadai untuk kita bisa menikmati makanan enak dan pantai yang indah. Jadi, ya kudu “sabar” dan “jangan mengeluh” kalau di sini “tidak seindah” foto-foto atau video dari agen wisata atau tampilan yang anda saksikan di media online atau offline. (Noted: saya tidak memotret bagian ini karena bikin saya sedih saja). Saya berharap pemerintah, masyarakat setempat, dan pihak terkait bisa menjadikan kawasan ini lebih bersih, rapi, dan bersahabat untuk semua wisatawan domestik atau wisatawan asing.
Kami makan pisang groho (pisang goreng besar dengan sambal) salah satu cara makan pisang yang tidak biasa bagi saya. Kalau di Jawa makan pisang goreng ya rasa manis lah…. Bukan malah pedas dengan sambal. Ehh, tapi rasanya enak banget. Cobain deh…. Kalau ke Sulut ada bisa ditemukan di rumah makan atau ya ke Bunaken ini.
Nah, sudah beberapa lama ngobrol dan foto-foto dan berkeliling lalu salah satu panitia berteriak menanyakan siapa yang mau berenang dan snorkeling…. lah, saya galau antara mau ikut atau tidak. Tidak itu pingin tahu bawah laut, ikut itu ntar kalau capek dan gak bisa presentasi gimana dong… kan saya ke Manado yang penting presentasi dan seminarnya. Eh, mengingat belum tentu segera ke sini lagi, ya sudah bismillah saya ikut dan turun.
Kami bersembilan yang turun ke laut yang sungguh indah. Wow… tapi oh tapi, kaki saya beberapa kali terasa seperti kram. Namun setelah kembali saya gerakkan, netral lagi. Tidak seperti air laut Belitung yang hangat, saya merasakan air laut Bunaken lebih dingin…. barangkali saja karena saya turun lebih dalam; meski beberapa kali saya sempat sangat takut. Dan keinginan tukang foto bawah laut untuk mengabadikan foto itu justru bikin saya stres. Saya memunculkan kepala ke atas dan berseru, “Mas, saya mau lihat ikan, tidak usah foto-foto tidak apa-apa.” Karena setiap mereka teriak hadap kamera, konsens saya buyar dan lepas alat napas itu, yang bikin saya gelagepan kebanyakan minum air laut. Yach, namanya juru foto tugasnya memotret dan memastikan semua peserta ada “potretnya” saya tidak bisa marah, tapi jengkel yes…. agak banget. Toh mereka bisa dapat juga foto saya dengan ikan-ikan itu meski nggak menghadap kamera.
Kalau diterus-terusin nggak akan puas rasanya berada di bawah laut Bunaken. Mengingat saya belum presentasi, sejam sudah cukup di air laut Bunaken. Saya tetap senang ke Bunaken. Saya cinta laut dan senang sekali turun ke laut, meski sering juga rasa takut datang tiba-tiba. Tapi nggak apa-apa, takut itu menyadari bahwa kita tidak ada apa-apanya di tengah lautan yang bisa tiba-tiba ganas dengan ombak badainya yang bergulung-gulung. Jadi, kapan anda mau ke Bunaken? Eh, boleh ajak-ajak saya lho…. apalagi kalau bersama-sama grup dalam program travelling writing 🙂