Kita Darurat Etika Sosial?

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Beberapa waktu yang lalu, kita dikejutkan dengan berita heboh korupsi Harvey Moeis (HM) yang ditaksir menyebabkan kerugian negara sebesar 271 Trilyun.

Lalu beberapa hari kemudian sang istri HM, Sandra Dewi yang dipanggil untuk bersaksi di pengadilan, dengan penampilan yang superceria tanpa rasa malu masih bisa menyapa wartawan tanpa rasa berdosa. Sama sekali. Berasanya di hati saya, kok cacat etika betul.

Seolah olah 271 T itu adalah hak suaminya. Atau mungkin sudah tahu kalau korupsi di Indonesia hanya didenda 1 milyar saja? Hukuman penjara? Ah biasa, nanti juga kena remisi terus nggak sampai enam bulan sudah bebas. Dan tetap kaya raya dengan seluruh aset nya yang trilyunan itu.

Saya tidak hendak mengomentari, karena proses hukum sedang berjalan. Tetapi melihat banyak kasus korupsi di Indonesia yang berakhir baik baik saja bagi pelaku, istri, anak anak dan keluarga besarnya; rasanya hukum kita itu memang hanya tajam untuk rakyat jelata. Sungguh menyedihkan.

Lalu berita yang rame banget tentang seorang pegawai Pertamina yang memarkir mobil sembarangan, diingatkan karena membuat macet malah balas membentak dan meludahi pengemudi lain; yang berbuntut pemecatan. Sungguh harga yang mahal untuk emosi sesaat. Cacat etika yang tidak akan bisa ditebus sepanjang hidupnya.

Berikutnya berseliweran pula sesorang perempuan berbaju merah (saya tidak ingat namanya); yang karena memaki seorang lelaki (body shaming) lalu dipukul dan diludahi, sementara di seberang sana terlihat ada lelaki dan keluarga yang hanya bengong saja. Tidak tergerak melerai, atau menengahi agar tidak terjadi penganiayaan. Sungguh cacat etika yang dipertontonkan secara vulgar. Si perempuan yang memaki salah, si lelaki yang memukuli salah, si penonton pun (rasanya) juga salah.

Ini semua ada di timeline beranda sosmed saya. Sementara sehari hari kita menyaksikan banyak kali peristiwa “cacat etika” yang bikin hati ngenes. Versi saya ini adalah bukti nyata kegagalan pendidikan dasar di negara kita. Karena sejak lama kita meniadakan pendidikan etika dan budi pekerti. Mungkin kita sudah dalam keadaan darurat etika sosial.

Orang menjadi “beringas”, “brutal” secara verbal dan non verbal. Menganggap salah itu biasa selama mereka punya uang, punya kuasa. Orang tidak lagi menimbang kepentingan umum, yang penting dirinya benar. Yang penting dirinya untung.

Lalu akan menjadi seperti apa bangsa ini di masa depan? Sulit memikirkan. Dalam ranah sederhana, mari kita cek keluarga kita saja. Pastikan bahwa kita, pasangan, anak anak, cucu, dll orang yang berada dalam satu rumah dengan kita; sudah mengenal dan menerapkan etika sosial dengan benar. Tidak hanya sekedar “benar” menurut versinya, tapi benar secara aturan umum.

Dengan begitu, sekurangnya mulut kita nggak ringan memaki orang. Kita juga nggak akan main serobot antrian, parkir sembarangan, korupsi tanpa rasa berdosa, dll bentuk tindakan tidak beretika yang merugikan pihak lain. Dan pada akhirnya merugikan diri sendiri.

Semoga jadi perenungan kita bersama bahwa persoalan besar sedang kita hadapi. Sebenarnya kita tidak sedang baik baik saja. Mari kita jaga lingkungan terdekat kita, mulai dari keluarga kita lebih dulu.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Manfaat Praktis Menyelesaikan Naskah

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

“Mbak Ari, kalau penilaian dan proses terbit buku di penerbit mayor sangat lama dan ribet bagaimana cara kita produktif menulis? Kan produktivitas kita ditentukan dari seberapa banyak karya yang dipublikasikan?”

Jawabannya ya tidak usah menunggu hasil penilaian dan kapan selesainya proses
buku terbit. Terus saja menulis untuk kepentingan yang lain. Artinya kita punya timeplanner sendiri untuk kinerja penulisan kita.

Setiap kali telah menyelesaikan naskah, cukup istirahat, ya mulai menulis lagi. Masalah ditolak atau revisi, itu urusan nanti. Dengan begini, naskah yang kita selesaikan cukup banyak.

Oh iya, tentu untuk bisa begini, secara umum urusan finansial kita sudah selesai ya. Artinya anda tidak dikejar target kerja untuk menghasilkan uang demi kebutuhan sehari-hari. Keperluan anda sudah terpenuhi, sehingga tetap bisa menulis dengan tenang. Kalau anda masih dikejar kerjaan pokok untuk pemenuhan hidup sehari-hari, anda harus rela mendahulukan kerja utama. Terlebih bila menulis belum menghasilkan uang.

Kalau kita berhasil menyelesaikan satu naskah, itu banyak sekali manfaatnya secara pribadi. Sekurangnya saya mencatat beberapa hal manfaat praktisnya:

  1. Menuangkan ide secara tuntas dan lengkap. Kalau sudah lengkap, naskah bisa dieksekusi; dijual, diterbitkan, dll.
  2. Mendisiplinkan diri untuk menyelesaikan tulisan. Ini disiplin paling berat, terutama kalau tidak ada komitmen, sanksi, atau hadiah. Cari partner yang bisa jadi reminder ketat.
  3. Menepati janji pada diri sendiri. Iya ini berkaitan dengan deadline yang kita buat. Kadang karena untuk diri sendiri, kita lebih sering mangkirnya daripada menepati.
  4. Berani mengambil resiko (ditolak media/penerbit). Membuat naskah baru tanpa konsultasi penerbit, ini murni kerja keras yang gambling. Kalau sudah profesional biasanya siy sudah paham mana yang layak terbit atau enggak, tapi kalau sampeyan baru; carilah mentor/konsultan sebelum bikin naskah lengkap. Biar kerja nggak sia sia.
  5. Berhasil memotivasi diri untuk menyelesaikan tulisan. Iya ini tantangan. Tapi percayalah, kalau kita bisa menyelesaikan satu naskah, lebih mudah menyelesaikan naskah kedua dst.
  6. Menata pikiran lebih konstruktif untuk urusan lain. Sekurangnya kita akan jadi orang yang mikir dulu sebelum nyablak bicara. Ini bisa menyelamatkan kita dari banyak hal.
  7. Memberi ruang pribadi untuk lebih kreatif. Biasanya kalau saya baru menyelesaikan satu naskah, sudah terpikir ide lain yang bisa jadi muncul saat saya menuliskan ide sebelumnya.
  8. Mampu menyampaikan gagasan secara terstruktur. Dalam dunia kreatif, penulis nggak hanya nulis; dia harus mempresentasikan proposalnya, mengisi kelas kelas, mengisi acara promosi dll. Dengan terlatih menulis runtut, bicara pun jadi lebih tertata dan nggak belepotan.
  9. Mengetahui kekurangan pemikiran dengan membaca ulang. Ini manfaat yang hanya bisa kita peroleh saat menyelesaikan naskah.
  10. Mengurangi beban psikologis dengan menulis. Banyak hal terjadi setiap hari. Mental dan pikiran kita bisa penuh lelah, tapi menuliskannya telah mengurangi beban mental kita, membuat kita lebih sehat, rileks, dan pastinya nggak mudah stres atau depresi.

Jadi, kalau manfaat menulis begitu banyak, kenapa hanya “tidak menulis”
karena takut ditolak penebit atau lama menunggu proses buku terbit?

Banyak cita-cita besar yang diwujudkan dengan mulai menuliskannya. Jangan takut menulis buruk, karena semua tulisan baik (sering kali) berasal dari tulisan yang sangat buruk.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Pelangi dan Tujuh Bidadari

Pelangi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Dalam berbagai mitos Cerita Rakyat
di Nusantara, pelangi itu tangga bidadari turun ke Bumi dan atau kembali ke Kahyangan; jumlahnya selalu tujuh 😍
Padahal yang menikah dengan jejaka Bumi itu selalu satu dan pasti kembali ke Kahyangan; rada nyebelin kenapa nggak happy ending selama-lamanya 😂


Dalam berbagai versi pula, mereka inilah yang menurunkan garis raja-raja dan keturunannya. Hampir di semua kisah begitu. Ya wes ben, namanya raja ya istimewa ndak mau disamakan dengan rakyat; sebutan darahnya aja biru 😄😅

Lalu banyak versi sesepuh mengatakan tujuh itu dalam bahasa Jawa berarti pitu, yang artinya pitulungan atau pertolongan. Kalau dirunut cerita bidadari mungkin yang paling tua berasal dari Tanah Jawa (dari Negeri Majapahit yang kemudian menguasai Nusantara).
*
Dan konon lelaki perempuan menikah kalau jumlah weton (hari lahir dan pasaran lahir dalam versi budaya Jawa) perhitungannya tujuh, maka hidupnya akan selalu mendapatkan pertolongan Tuhan. Ketika itu, meski dalam hati nyekikik —saya sungguh takberani terang-terangan bilang tidak percaya; ndak kuwalat sama orang tua😅


Iseng saya kambuh, bertanya hitungan saya dan seseorang😅 Lalu dihitunglah dengan cepat; 25 yang berarti jumlah tujuh. “Jadi Mbak Ari, kalau menikah sama dia mau kena badai apapun, pertolongan Tuhan akan selalu hadir. Hidup bahagia, berkelimpahan, saling cinta, ada anak-anak, dan rukun sampai akhir hayat.”

Jeda. Saya seperti sedang dibaca 😁😂 “Kalau jodoh tidak akan ke mana, Mbak Ari.” Ujungnya klise banget kan 😂🤣 Haha…. kadang fun aja mendengarkan sesepuh memberi kuliah, meski hati saya tidak bersepakat.

Ari Kinoysan Wulandari


Please follow and like us:

Cara Memilih Klien Penulisan

Pesan buku ini bisa ke andipublisher.com atau wa.me/6281380001149.

Kita tidak pernah benar-benar tahu karakter seseorang, sebelum berurusan masalah uang dengannya. Kita juga tidak pernah benar-benar tahu kebiasaan buruk seseorang, sebelum kita tinggal serumah, tidur seranjang dengannya.

Oleh karena itu memilih klien untuk bidang jasa penulisan, ya boleh dibilang sulit sulit gampang. Gampang gampang nggak mudah. Karena tiap klien beda pendekatannya. Beberapa hal ini bisa jadi pertimbangan.

  1. Jadi ghostwriter atau menulis biografi memang jalan cepat dapat duit banyak dari menulis. Tapi ya ini dapatnya nggak selalu mudah. Cari kliennya sulit sulit gampang.
  2. Tapi kalau sekali dapat, biasanya terus saja. Nah, saya tidak tahu bagaimana cara memilih klien untuk ghostwriter atau biografi, karena setiap kali beda orang beda model pendekatannya.
  3. Yang jelas kalau manajer saya oke, umumnya saya oke saja. Tidak banyak keribetan. Baru kalau manajernya setengah yakin setengah enggak, saya perlu bertemu dan bisa lihat niy orang masalah apa enggak.
  4. Eh yang namanya masalah klien itu nggak cuma urusan sulit atau tidak bayar lho. Klien beribet revisi bongkar bongkir materi itu juga problem. Klien sulit diajak kompromi, itu juga keribetan.
  5. Jadi dalam model kinerja apapun, yang berkaitan dengan ghostwriter dan biografi, pastikan anda senang orangnya, senang materinya, asyik duitnya juga. Kalau tidak, jangan memaksakan nanti makan hati; bisa langsing mendadak 😂
  6. Ada model model klien yang tidak terduga yang mungkin tidak saya kenali. Tapi kalau sepanjang semua oke oke saja, ya tidak apa. Meskipun mungkin ada banyak karakter orang yang tidak seide dengan pikiran saya.
  7. Yang penting Teman-teman, jangan terima klien karena terpaksa. Sengsara nanti. Karenanya kalau jadi penulis harus bagus mengatur keuangan agar tidak ada alasan terima klien semata mata karena uang.
  8. Penulis itu bukan tukang ketik. Anda harus pake otak; pikiran, hati, energi waktu dll yang tidak sedikit. Kalau nggak senang nggak ikhlas, percayalah anda hanya akan terbebani 2x atau 3x dari energi yang semestinya sudah cukup untuk merampungkan satu buku. Jadi pilih pilih klien itu penting agar oke semuanya.
  9. Pake intuisi, kalau feeling baik boleh diikuti. Kalau enggak ya jangan memaksakan diri. Cek cek juga informasi yang berseliweran di internet berkaitan dengan calon klien.
  10. Kalau memilih klien karena terpaksa, misalnya nggak suka materinya tapi bayarnya tinggi sekali, kuncilah mulutmu dari berkeluh kesah. Tidak ada yang menuntutmu atau mewajibkan kamu mengambil pilihan itu. Kalau sudah diambil, ikutilah dan terimalah segala konsekuensinya dengan hati terbuka.

Semoga memberi gambaran tentang masih “gelapnya” cara memilih klien jasa penulisan. Tapi kalau sudah terbiasa, ya nanti ketemu sendiri celah jalan untuk menemukan dan memilih dengan baik. Selamat mencoba 🙏

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Membangun Perasaan Kaya secara Pribadi

Salah satu kotak uang di rumah saya dan dibuka jelang lebaran seperti ini. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Alhamdulillah, saya menganggap diri sendiri wes kaya; dengan standar pribadi. Kaya versi saya itu kebutuhan sebagai manusia wes banyak terpenuhi.

Sekurangnya kita sebagai manusia ada tiga kebutuhan, yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Nah, kalau kebutuhan primer dan sekunder sudah terpenuhi, sebenarnya orang sudah boleh berasa “kaya”. Tapi mungkin karena kultur kita itu kebanyakan “sambatan”, “berkeluh kesah”, kadang orang kaya pun rela “memiskinkan” diri demi bansos, BLT, dll bantuan yang tidak seberapa.🙏

Kalau saya, alhamdulillah kebutuhan dasar (primer) –sandang, pangan, papan layak: sudah terpenuhi; keinginan pertama (sekunder) –sekolah tinggi, investasi ilmu pengetahuan, investasi dasar, tabungan: mayoritas terpenuhi; keinginan kedua (tersier) –haji, umroh, keliling Indonesia, keliling dunia, dll hobi bercharge tinggi: beberapa terpenuhi, beberapa sedang diusahakan. Dan yang penting, saya tidak punya utang-utang yang membebani.

Kondisi dan situasi itulah yang jadi dasar saya menyebut diri “kaya”, kecukupan dalam banyak hal. Syukur terimakasih ya Allah atas segala nikmat dan karunia-Mu❤️🙏

Pun kalau ada situasi tidak terduga, tidak ada penghasilan (seperti masa pandemi kemarin), sekurangnya saya masih bisa survive hidup layak selama beberapa tahun. Tanpa perlu menjadi tanggungan pihak lain atau berhutang. Dengan catatan semuanya normal, artinya saya dalam keadaan sehat; tidak ada penyakit yang memerlukan biaya tinggi.  

Yach, kondisi merdeka finansial yang saya bangun sedari saya punya penghasilan dan tahu persis bahwa kurang garam sesendok pun, kita tetap harus beli dan bayar pakai uang. Tentu dengan gaya hidup yang tidak amburadul sakarepe dhewe saat membelanjakan uang.

Karena sifat uang itu, ketika masih berupa angka kayaknya besar, tapi begitu dipegang dan diatur ini itu tahu tahu loooos, kok sudah habis 😀🙏

Kondisi saya tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan orang lain. Dengan saudara-saudara dan ipar-ipar saya saja, rasanya saya paling miskin kalau dihitung dari kepemilikan aset dan uang. Apalagi kalau dibandingkan orang-orang yang kaya-kaya dengan kekayaan trilyunan. Wes jelas gak ada apa-apanya.

Tapi ya, hidup saya bukan hidup mereka. Saya bekerja, menikmati proses jatuh bangunnya, dan menikmati hasilnya dengan suka cita. Saya tidak terlalu ambil pusing dengan gaya hidup yang ameh-aneh. Versi saya, hiduplah sesuai dengan kemampuan, cari yang aman, nyaman, dan bikin happy. Itu prinsip yang saya anut.

Jadi, saya tidak pernah terganggu ketika saudara atau ipar saya beli (lagi dan lagi) rumah, tanah, mobil, saham-saham, atau aset lainnya. Pun dengan teman-teman dekat yang terus menambah kekayaan. Atau dengan tetangga tetangga yang beli ini itu yang bersifat menambah aset. Saya justru ikut mensyukurinya, turut senang dengan kegembiraan mereka, dan tidak tergoda ikut-ikutan membeli (apalagi memaksakan diri) sesuatu yang pada dasarnya tidak saya perlukan.

Mungkin itulah yang membuat hidup saya tenang. Tidak kemrungsung. Tidak terobsesi menghalalkan segala cara demi uang. Bisa bekerja dengan tenang. Mengerjakan apa yang saya senangi dan menghasilkan uang. Tidak terpengaruh dengan provokasi nggak wajar demi mendapatkan uang. Dan tetap senang kalau saya harus mengeluarkan uang untuk berderma atau sedekah dalam batas batas yang telah saya tentukan.

Yach, hidup saya memang sebegitu biasa-biasa saja. Sampai saya merasa kok hidup begini-begini saja ya, mengerjakan segala rutinitas yang sepertinya sudah saya kenali dengan baik. Mengerjakan segala hal dengan gembira, perlahan, tenang, rampung, dan menyenangkan.

Nah sebenarnya; ketenangan hidup itu versi saya bisa dilakukan dengan membangun perasaan kaya. Percayalah, kalau ada pertanyaan siapa yang kaya di kelas ini, misalnya, pasti tidak akan ada yang mau tunjuk jari atau menyebut nama.

Kalau saya menyebut sudah kaya dengan kriteria yang telah saya sebutkan. Memiliki perasaan kaya inilah salah satunya yang membuat kita ringan dan senang mengeluarkan uang. Lalu karena kita gembira, energi positif, ya uang datang datang lagi. Kalau sebaliknya orang pelit makin melarat. Karena uang akan malas datang dan malah semakin banyak kebutuhan tidak terduga karena adanya energi negatif merasa miskin. 

Kita bisa melakukan hal-hal berikut ini untuk membangun perasaan kaya.

Pertama, syukur yang melimpah. Apapun keadaan hidupmu bersyukurlah yang banyak. Bahkan kalau nggak ada uang, syukuri saja keberadaan pasangan, anak-anakmu, sekolahmu, pekerjaanmu, rumahmu, dll yang bisa membuatmu menyungging senyum bahagia.

Kedua, anggarkan di depan untuk sedekah berderma. Islam punya aturan zakat 2.5 persen dari penghasilan atau kekayaan. Tapi saya memilih 10-20 persen dari penghasilan untuk segala jenis derma ini. Lumayan banyak dan bikin perasaan saya serasa orang kaya ❤️

Ketiga, bangun situasi kaya. Di rumah saya, ponakan saya pernah bertanya kenapa di rumah Bude Ari di mana mana ada tempat uang (yang ada isinya). Yach karena ini memberi pikiran di bawah sadar saya kalau saya banyak uang. Jadi kalau ada uang yang dikeluarkan untuk hal tidak terduga, pikiran saya; tenang saya masih punya uang di sana sini.

Bisa pakai celengan yang diisi uang dengan besaran tertentu. Saya memiliki celengan recehan, 2000-an, 5000-an, 10.000-an, 20.000-an, 50.000-an, sampai 100.000-an. Semua ada isinya meskipun selembar. Saya letakkan di tempat tempat yang berbeda. Pokoknya kena ingatan saya, di sana sini ada uang.

Kamu boleh memilih cara yang berbeda yang bikin dirimu merasa banyak uang.

Keempat, belanja hati hati tapi dengan gembira. Maksudnya ya cek cek kebutuhan, mana yang lebih murah terjangkau, mana yang diskon, dll. Tapi saat berbelanja jangan njegadul lihat tagihan yang beranjak ke dua digit misalnya, happy aja. Alhamdulillah ini semua kebutuhan terpenuhi. Nanti duit datang lagi.

Kelima, rajin rajin cari kerjaan tambahan. Iya, ini bener lho. Kita sering tidak cukup hanya dari satu sumber penghasilan. Lakukan saja yang bisa dan senang. Suka jualan ya berdagang, suka ngontent ya bikinlah yang bagus, suka masak ya boleh buka PO masakan dll. Intinya, mendapatkan penghasilan lain di luar “pokok” itu juga bikin kita berasa kaya.

Keenam, cek gaya hidupmu. Yach, percuma juga kalau penghasilan nambah terus, tapi gaya hidupnya juga makin tinggi. Biaya gaya hidup yang mahal, yang besar bisa bikin orang merasa miskin dadakan.

Ketujuh, jangan baperan. Saudara beli rumah baru ketiga, iri. Tetangga beli tas branded njur kesal, kawan arisan beli berlian malah dengki, dll. Yach beli saja saat rezekinya cukup dan sesuai. Baperan ini lho yang bikin orang sering menghalalkan segala cara demi tidak kalah tampil “wah” dan dianggap kaya. Hayaaa… saya siy ogah.

Kedelapan, hidup sederhana. Yach ini bukan berarti hidup ala orang miskin miskin ya. Jelas bukan. Hidup sesuai kemampuan.  Saya tidak masalah pake tas, baju, sepatu, dll enggak merek branded; tapi kualitasnya prima, nyaman, aman, dan selamat dipakai 😀❤️🙏

Kesembilan, miliki hobi yang produktif. Artinya, kalau di luar pekerjaanmu kamu masih punya hobi yang menghasilkan; percayalah kamu akan irit waktu untuk ngerumpi, ghibah, iri dengki, julid, dll yang bawa energi negatif itu. Tapi akan lebih fokus untuk bertekun pada hobi yang menghasilkan uang.

Kesepuluh, ya dekat dengan Tuhan. Minta dijadikan kaya lahir batin dunia akhirat. Karena sejatinya kekayaan adalah segala hal yang kita nikmati, kita pake, kita gunakan untuk kebaikan hidup; bukan segala sesuatu yang kita miliki. Rumahmu boleh sepuluh, tapi pasti yang kamu tinggali ya satu rumah. Itu pun kalau kamu tidur, ya pasti cuma satu ruang kamar. Iya kan?

Mari kita nikmati hidup dengan sukacita. Bersyukur dengan segala kekayaan yang kita miliki. Karena sering, yang kita anggap “tidak berharga” itu adalah “kekayaan yang besar” bagi orang lain.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Cerita Tentang Buka Bersama (Bukber)

Buka Bersama dengan saudara. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Ramadan kayaknya nggak lengkap tanpa buka bersama. Mulai dari keluarga, kerabat, tetangga, instansi, perusahaan, yayasan, komunitas, dll mengadakan buka bersama. Kemasan dan modelnya pun beragam. Ada yang di hotel, di resto, di rumah, di fasum, di taman, di tempat wisata, dll tempat yang memungkinkan. Menunya pun beragam, dari yang model angkringan sampai elit ala bintang lima.

Dulu ketika saya jadi mahasiswa S1, betapa senangnya dapat undangan buka bersama. Meskipun itu undangan dari kampus dan harus ikut bayar (kecil saja) karena disubsidi kampus. Senang, gembira, makan minum sepuasnya dan jumpa alumni lintas bidang, lintas angkatan, dan semua sesepuh kampus hadir.

Lalu bekerja, undangan buka bersama saya pun bertambah. Makin tahun seiring bertambahnya pekerjaan dan relasi, undangan ini pun terus bertambah. Lalu menjadi beberapa catatan kebiasaan saya; diundang buka bersama berarti harus bawa sesuatu “buah tangan” untuk tuan rumah. Dan ini sering jadi problem tersendiri, saat waktu begitu mepet dan buru buru.

Karena kebiasaan itu, saat bekerja itu sebelum Ramadan saya wes nyiapin “buah tangan” yang akan saya bawa kalau datang ke undangan buka bersama.

Tidak semuanya begitu. Saya hanya menandai kebiasaan di kalangan tertentu. Makin ke sini, undangan yang saya terima makin banyak. Dan karenanya saya wes mulai “mangkir”, “melipir”, tidak datang karena bersamaan jadwal, tidak terlalu kenal, tidak ada “unsur gaweyan” dll pertimbangan.

Tibalah masanya saya resign dari PH sebagai pekerja tetap dan kembali jadi freelancer.  Duuus, jumlah undangan buka bersama saya pun terjun bebas. Hanya beberapa biji dan senang bisa menghadirinya. Yach, konon makin penting, makin sibuk, makin kaya seseorang, makin banyak relasi undangan buka bersamanya. Pun sebaliknya.

Saya kembali ke dunia freelancer yang tidak banyak undangan buka bersama dan atau undangan kondangan hajatan; kecuali yang benar benar mengenal atau ya ada urusannya dengan gaweyan. Sepertinya menyenangkan untuk beberapa saat. Toh, ya tambah luas lingkungan dan relasi, tambah pula undangan buka bersamanya.

Lalu saya membuat aturan untuk diri sendiri, mana saja undangan buka bersama yang saya harus datang.

  1. Mengenal betul pihak pengundang dan memiliki hubungan yang baik.
  2. Undangan datang lebih dulu. Kalau ada yang bersamaan jadwal, yang belakangan harus ditinggalkan. Apalagi kalau yang awal sudah dikonfirmasi hadir.
  3. Tempat dan jaraknya terjangkau. Kalau malam tidak riskan untuk perempuan pulang tanpa pengawalan. Ada undangan dari orang-orang yang saya kenali baik, tapi karena tempatnya jauh dan riskan kakau pulang malam, saya pilih menyampaikan maaf tidak hadir.
  4. Undangan orang-orang dekat (keluarga, kerabat, tetangga, sekitaran yang dekat). Kalau tidak ada ujur atau sudah menyanggupi hadir di tempat lain, wajib datang.
  5. Undangan buka bersama yang tergabung dengan rapat, meeting perusahaan, instansi, atau klien. Nah ini jelas kudu hadir, karena sebenarnya urgensinya meetingnya itu; bukan buka bersamanya.
  6. Pertimbangan lain berkaitan dengan kedekatan dan orang-orang yang diundang. Kalau tidak terlalu kenal, ya skip aja.
  7. Jangan takut mengatakan tidak hadir kalau menurut anda banyak hal yang membawa “masalah”. Misalnya anda diundang A yang baik, tapi di sana ada potensi anda jumpa Z yang jadi musuh bebuyutan karena dendam keluarga, ya tidak usah datang. Daripada gegeran di acara buka bersama orang. Eeh, saya pernah melihat kejadian setipe ini.
  8. Pertimbangkan kesehatan. Kelihatannya mung makan minum, jumpa haha hihi, tapi beneran lho tiap hari datang ke buka bersama itu bisa lelah jiwa raga. Jadi kalau memang berasa memberatkan secara pribadi,  boleh tidak hadir.

Dll pertimbangan yang kadang hanya bisa diambil pas dekat hari H undangan buka bersama. Misalnya hujan badai atau bencana lainnya, mendadak sakit, dll. Jangan takut mengatakan tidak hadir, kalau memang memberatkan. Hadirlah kalau anda yakin bisa senang dan sukacita.

Tahun ini, saya menerima undangan buka bersama tidak banyak, sekitar 15-an dan 9 atau 10-an yang saya hadiri. Itu saja rasanya sudah “lelah” betul. Hanya makan minum bae, sekali datang butuh waktu 3-5 jam. Berangkat lepas ashar jam 15.30 an, ramah tamah, buka puasa, sholat maghrib, pulang nyampe rumah wes jam 20 atau 21 tergantung jauh dekatnya. Belum macetnya. Belum persiapannya.

Mana begitu besoknya kerja nggak libur… malem harus bangun sahur pula… biyuuu… biyuuu… kalau nggak inget pertimbangan di atas, saya memilih mangkir absen kok. Lha daripada buang waktu, kan kalau buka di rumah 30 menit wes cukup.

Apapun itu, saya tetap senang dengan semangat buka bersama pas Ramadan. Tidak selalu jadi pengalaman yang menyenangkan, tapi itu jadi bukti bahwa kita ini masih bagian dari masyarakat dan ada yang mengenali kita untuk diajak silaturahmi. Itu siy yang paling berharga. Dan ya orang kita kan masih senang grubyak grubyuk, orang lain bikin apa, ya ngikut bae lah… hehe…

Bagaimana cerita buka bersama anda? Pasti banyak yang berkesan, entah pahit atau manis. Entah menyenangkan atau membagongkan 😀🙏

Lebaran tinggal beberapa hari. Wes penuh mall dengan orang belanja, makin berkurang orang yang tarawih di mesjid. Semoga kita nggak lupa justru di saat saat terakhir Ramadan banyak pahala istimewa, terutama malam lailatul qadar. Semoga Allah memberikan kita kesempatan mendapatkannya, menerima semua amal ibadah kita, mengampuni semua dosa, dan mengabulkan semua doa kita sepanjang Ramadan. Amin.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Kalau Kamu Mudik Lebaran

Lebih kurang situasi mudik lebaran. Ramai, sibuk, banyak orang.

Lebaran tahun ini siy masih agak lama. Tapi lebaran di Indonesia nggak bisa lepas dari mudik. Bahkan banyak keluarga di perantauan tiga bulan sebelum mudik, wes berburu tiket pesawat, kapal, kereta api, bus, travel, dll sarana transportasi mudik.

Yach, lebaran kita memang lebih sering identik dengan mudik. Meskipun nggak semuanya mudik, karena berbagai pertimbangan. Salah satunya mahalnya ongkos transportasi bila tempat domisili dan kampung halaman berjauhan. Terus gitu masih harus bawa banyak orang pula. Jadi yang bisa mudik, bersyukur sajalah.

Kisah mudik sering membuat saya “jungkir balik” hati dan perasaan ngadepin ragaman sikap, omongan, nyinyiran orang-orang –yang apesnya mung jumpa setahun sekali. Tapi yach, dengan sering menutup telinga, nggak usah dimasukin hati; yang begitu biasanya wes lupa kalau sudah tiba di perantauan lagi.

Berikut ini catatan saya tentang mudik. Mungkin bisa dijadikan cerminan.

1. Pastikan niatmu mudik untuk silaturahmi, menyambung persaudaraan yang (mungkin) lama tidak bersua. Niat baik akan membuat semua terasa ringan. 

2. Jangan pamer; rumah baru, mobil baru, pasangan/pacar baru, anak baru, tas/barang branded, perhiasan serenteng gambreng, pangkat jabatan baru, gelar baru, dll. Selain nggak manfaat, bisa bikin orang sebel.

3. Jangan nyinyir julid kepada kawan, keluarga, saudara; kenapa belum nikah, kenapa bercerai, kenapa belum punya anak, kenapa belum kerja padahal lulus S2, kenapa masih numpang mertua/ortu meski sudah lama nikah, kenapa masih ngontrak, kenapa mobilnya itu itu saja, kenapa nggak kerja sayang dong sekolah tinggi-tinggi, kamu kok gendutan, kamu kok makin kurus kering apa nggak diurus suami/istrimu, dll sejenis kenapa yang bikin situasi nggak enak.

Percayalah, kamu nggak pernah tahu perjuangan mereka untuk pada sampai tahap yang kamu tanyakan dengan sekedar kenapa. Hidupmu sendiri belum tentu “pas” di mata orang lain. Coba pikirkan kalau “yang dianggap nggak pas” itu jadi bahan julidan pertanyaan pihak lain. Tentu kamu nggak akan senang.

Dengan menimbang begini, mungkin kamu bisa lebih mengontrol “mulutmu” untuk tidak bertanya hal-hal yang lebih sering bikin orang nggak enak hati.

4. Kontrol makanmu. Walaupun di mana- mana suguhan makan minum enak, pikirkan porsi kalorinya. Jangan sampai pulang mudik kamu penyakitan gegara kebanyakan makan. Sedikit angka timbangan naik bolehkah, tapi segera menambah porsi olahraga agar normal kembali.

5. Kontrol pengeluaranmu. Banyak bocil krucil yang harus diberi angpao. Pun saudara kerabat. Ini jumlahnya bisa sangat banyak.

Tahu sendiri, anak anak kecil pas ldbaran main jauh jauh ke tetangga desa, demi dapat angpao. Karena mereka nanti akan berhitung dan pamer dengan sesama saudara atau teman, siapa yang angpaonya paling banyak.

Pastikan kamu memberi angpao sesuai kemampuan. Jangan berlebihan hanya biar disebut “kaya”. Ingat, lepas mudik, masih banyak keperluan hidupmu.

Eeh, kalau nggak ada angpao, nggak ngasih juga nggak usah merasa bersalah. Karena keselamatan hidupmu lebih penting daripada memberi angpao pada orang lain.

6. Kontrol penampilanmu. Sekaya apapun kamu, ya nggak harus semua barang kamu tentengin di badan. Ntar kamu malah kayak ondel ondel dan jadi omongan orang.

Mobilmu lima ya nggak perlu kamu boyong semuanya ke kampung. Kecuali untuk mengangkut saudara kerabatmu mudik lebaran, itu mungkin beda cerita.

7. Kalau ke tempat wisata, jaga keselamatan. Lebaran. Liburan. Tempat wisata biasanya penuh. Jaga diri. Simpan barang-barang berharga di rumah. Patuhi aturan.

Kalau dilarang turun ke laut misalnya, ya jangan nekat. Jangan mati sia sia gegara kenekatan atau kekonyolanmu.

8. Kalau kamu datang ke orang tua dengan anak anakmu, urus makan tidur mereka. Jangan membebani orangtua atau saudaramu lainnya. Ingat, anak anak itu tanggunganmu dengan pasangan. Bukan urusan orang tua dan saudara/iparmu.

9. Kalau kamu dibawain oleh oleh banyak, pastikan kamu membalasnya di lain waktu. Jangan cuma seneng mendapatkan. Itu akan jadi karma buruk yang mengurangi jatah rezekimu secara tidak langsung.

10. Jaga sikap. Kamu boleh sudah menjabat, kaya, dan sukses. Jangan sombong. Roda terus berputar. Kamu tidak pernah tahu masa depan orang lain.

Well, kayaknya itu yang saya ingat. Biar mudikmu bikin semua senang. 🥰 Selamat mudik. Selamat lebaran. Mohon maaf lahir dan batin 🥰🙏

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us: