Bromo (6) Pasir Berbisik: Cinta Begitu Nyata

Di areal Pasir Berbisik juga mudah kalau mau lompat-lompat 😀 Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Pasir Berbisik di Bromo ini jadi destinasi kami berikutnya. Sebuah lanskap pasir yang sangat luas. Hamparan hitam penuh kekuatan magis yang populer di Jawa Timur. Tapi kayaknya daerah ini nggak cuman kondang di dalam negeri aja siy.

Karena pas kami di sini, bahkan sejak di Puncak Seruni itu, ada banyak turis manca negara. Sekurangnya saya mengidentifikasi dari bahasa mereka, pasti berasal dari Malaysia atau Brunei, Tiongkok, Jerman, Turki, Belanda, dan Jepang. Kalau kamu orang bahasa, biasanya telingamu peka terhadap kosakata-kosakata atau logat yang tidak biasa atau asing 😂😅

Memanglah kawasan lautan pasir ini sungguh memukau pandangan mata kita. Tempat yang mendapatkan namanya dari suara lembut pasir yang tertiup angin, seolah-olah berbisik ke telinga para pengunjungnya. Gemerisik halus seperti kalau kita tengah mengusap-usap kain selembut sutera.

Dengan hamparan pasir yang luas dan pemandangan yang spektakuler ini, Pasir Berbisik memang bikin kita punya pengalaman unik dan nggak terlupakan. Sampeyan boleh datang berkali-kali ke sini, tapi pasti sensasinya tetap berbeda 😆😅

Keindahan Pasir Berbisik terasa banget menaungi seluruh areal Gunung Bromo. Hamparan pasirnya yang membentang sejauh mata memandang, sungguh memberikan nuansa eksotis dan misterius. Kita seolah-olah dibawa berkunjung ke dunia yang berbeda.

Selepas hujan, pasirnya berwarna cokelat kehitaman pekat. Ini pasir hasil dari tumpukan letusan vulkanik Gunung Bromo yang terjadi berabad-abad silam. Ketika angin bertiup, butiran pasir halus tersebut bergerak perlahan. Kelembutan geraknya menghasilkan suara yang menyerupai bisikan lembut. Desirannya menciptakan suasana yang menenangkan jiwa. Bukti cinta Tuhan yang begitu nyata kepada kita, bagi mereka yang mau berpikir ❤️

Terus kita mau ngapain kalau di Pasir Berbisik ini? Ya, banyaklah. Suka-suka kamu mau ngapain. Kita dapat menjelajahi area ini dengan menunggang kuda. Atau yach sekedar menikmati sensasi jalan-jalan mider keliling, petualangan di tengah padang pasir yang luas.

Aktivitas off-road dengan jeep juga bisa jadi salah satu cara untuk melatih adrenalin melintasi bukit-bukit pasir. Kamu kudu sewa jeep dan bayar sendiri ya untuk kegiatan off-road ini 😆😅 Nggak ditanggung Ceria. Saya emoh, karena naik jeep di sini bikin kepala njeduk-njeduk terus, sakit semua😜

Buat kamu yang suka fotografi, tempat ini juga serasa surga untuk dapetin foto-foto bagus. Dengan pemandangan yang dramatis dan cahaya matahari yang berubah-ubah, kamu bisa dapat banyak kesempatan untuk mengambil gambar-gambar yang istimewa.

Tempat ini juga bagus untuk latihan lari. Kalau kamu mau ikut beragam program “run-run” alias lari-lari berbayar yang sangat populer sekarang ini, coba aja latihan di sini. Lompat-lompat tinggi juga boleh. Teriakan keras-keras juga nggak ada yang ngelarang. Pokmen, ada banyaklah aktivitas fisik yang bisa dilakukan di sini. Thenguk-thenguk sambil meratapi mantanmu yang ghosting juga boleh 😆😅

Fenomena suara pasir yang berbisik itulah yang jadi daya tarik utama tempat ini. Suara ini dihasilkan oleh pergerakan butiran pasir yang sangat halus ketika tertiup angin. Hal ini terjadi karena kondisi geografis dan komposisi pasirnya. Pasir Berbisik di Bromo ini, salah satu dari sedikit tempat di dunia dengan suara pasir yang dapat didengar dengan jelas.

Kalau jiwamu tenang, hatimu damai, kamu akan dibuat terkesima dengan keajaiban alam di sini. Rasanya tuh kayak kita sedang mendengar bumi berbicara. Kalau pas di Pasir Berbisik kemarin kamu nggak dengar “pasirnya berbisik” berarti kamu nggak fokus menikmati keheningan dan keindahan alamnya.

Saya sempat mendengarnya saat kiri kanan nggak ada orang dan angin bertiup lembut. Yach, mau kamu dengar pasirnya berbisik atau enggak, tempat ini memang luar biasa keindahan alamnya.

Oh iya, di areal Pasir Berbisik ini juga ada tradisi dan kearifan lokal dari Suku Tengger yang sangat kuat. Kawasan ini termasuk tempat penyelenggaraan upacara Kasada setiap tahun.

Pada saat upacara Kasada, masyarakat Tengger memberikan sesajen kepada dewa-dewa gunung sebagai bentuk syukur dan permohonan keselamatan. Walaupun sudah begitu modern dan jadi areal wisata komersial, suku Tengger nggak pernah lupa menjaga adat istiadat warisan leluhurnya. Akar budaya nenek moyang yang masih bisa kita saksikan saat ada upacara Kasada.

Kamu tertarik ke sini? Selain siap dana, waktu, pastikan juga sehat badanmu ya. Kaki-kakimu harus cukup kuat untuk berlarian menikmati luasnya lautan pasir yang paling memikat di Indonesia ini.

Pokoknya Pasir Berbisik cocok buat mereka yang cari pengalaman unik dan penuh sensasi keajaiban alam. Setiap bisikan pasirnya seolah membawa cerita dari masa lalu, mengundang kita untuk mendengarkan dan meresapi keajaiban alam masa kini, dan mengantarkan kita melongok jauh ke masa depan. Sungguh pengalaman batin yang tiada duanya ❤

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bromo (5) Si Mogi, Kuda yang Cerdas

Saya dengan Si Mogi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Di belakang tempat kami sarapan, saya jumpa kru Ceria. Saya tanya ke Mas Brian acara saat itu. Ternyata sama dengan di Itinerarynya. Acara bebas sampai jam 9, terus ke Pasir Berbisik. Mestinya free time untuk ke Kawah Bromo jam 7-9, tapi Mas Brian dll nggak ke atas. Kru Ceria lainnya menyambung, memberikan info ke saya tentang Kawah Bromo.

Keterangan mereka lebih kurang sama dengan info yang saya peroleh pas kasak kusuk di sekitaran toilet. Ya weslah, lagi pula kaki saya masih gemeteran beberapa kali saking gempornya ke Seruni.

Acara bebas, foto-foto sebentar, saya wes bosan. Saya jenis orang kalau sudah capek tuh yang saya pikirin cuman satu: tidur. Apalagi perut kenyang abiz sarapan to, bawaannya liyer bae. Sudah segar pula keguyur air mandi 😆😂 Kalau sudah tidur, meski sejam aja itu semua lelah fisik saya, kayaknya sudah ilang menguap dan kembali fresh.

Nama tempat kami sarapan itu areal Lautan Pasir. Seperti namanya, di mana-mana ya hamparan pasir. Kali ini pasirnya tidak berwarna “putih”, tapi hitam pekat karena baru saja terkena air hujan. Nggak berdebu dan suhu cukup bersahabat.

Kalau sampeyan datang ke sini pas musim kemarau panjang, bisa dapet tuh warna lautan pasir yang keperakan “putih” karena kering dan terkena sinar matahari. Cuman ya itu, biasanya debunya jadi sangat mengganggu. Belum lagi kalau belerang yang terus menerus dikeluarkan Gunung Bromo tertiup angin dan menabrak-nabrak muka atau mata kita, wes jelas pedis dan bikin merah-merah sakit bagi yang kulitnya alergian atau sensitif.

Itu juga salah satu alasan saya memilih ke Bromo saat masih musim hujan atau pas suhu dingin. Januari Februari termasuk waktu yang ramah untuk eksplore areal ini. Kalau September Desember biasanya hujan deras lebih sering dan sering nggak bisa eksplore. Kalau sudah Maret Agustus, musim kering melanda. Puncaknya di Juli Agustus, ini beneran panas, debu pasir, angin gunung; banyak gangguan meskipun nggak hujan.

Cuman karena waktu masih lebih kurang 30 an menit, saya berkeliling areal tersebut. Tapi ya sama aja. Lautan pasir 😆😅 Banyak orang lalu lalang, foto-foto. Pedagang nawarin oleh-oleh atau piranti khas Bromo. Jeep meraung untuk pergi dan datang. Kuda-kuda berlarian sana sini.

Saya melihat banyak juga orang yang foto-foto dengan kuda. Saya sebenarnya ingin berkuda. Areal ini sungguh menyenangkan dan cukup ideal untuk berkuda bebas lepas. Tapi dengan tubuh lelah, gampang emosi itu jelas nggak bagus untuk berkuda.

Kuda salah satu binatang yang peka energi dan emosi. Binatang ini juga tergolong cerdas, mudah memahami perintah manusia. Kalau si kuda menangkap sebaran energi dan emosi nggak bagus, dia bisa “ngamuk”, lari nggak terkendali dan bikin penunggangnya jatuh terlempar. Nasihat pelatih yang selalu terngiang di telinga saya, “Stabilkan emosimu sebelum berkuda”.

Saya wes nggak niat sewa kuda. Lha tadi saja untuk pergi segitu dekat di Seruni 300-400 rb PP. Pikir saya, berarti ya kisaran 200 rb lah kalau mo pake kuda. Kalau cuma dipake bentar atau foto-foto doang, rugi doong. Aaah perempuan, mo punya duit pun tetep akan itung-itungan 😆😅 Kecuali lagi bucin, hihihi…

Eh, tiba-tiba Mas Sidiq nanya, saya nggak foto dengan kuda. Saya balik nanya apa bisa sewa kuda untuk foto doang, karena mestinya sewa kuda itu ya untuk berkuda. Katanya bisa dan cuma 20 rb. Saya kaget semurah itu. Saya pikir ya tetap 200 rb an. Saya bilang kuda yang dipake orang-orang foto itu kecil, nggak gagah, saya nggak mau.

Jadi saya berkeliling dulu, cari kuda yang versi saya cukup besar dan gagah. Kalau berkuda, kuda besar gagah itu larinya lebih kencang dan kita tuh berasa terbang tapi masih di daratan 😂

Ada si bapak dengan kuda putihnya yang lagi dipake foto orang. Mas Sidiq bilang kalau saya mau pake kuda itu, harus segera bilang ke bapaknya, ntar keburu pergi. Saya pun bergegas, tanya nama kudanya dan bapak itu bilang namanya Mogi. Bagus juga namanya.

“Mogi, kamu umur berapa?” Tanya saya sambil mengelus surainya (rambutnya). Si bapak menjawab dua tahun.

Pas saya tanya berapa untuk foto. Ya benar, 20 rb saja. Ya wes. Saya ajak ngobrol dulu si Mogi biar kenal.

“Mogi, saya Bu Ari. Nanti kamu jangan lari atau jalan jauh ya! Saya lagi capek, jadi mo ambil foto-foto aja. Boleh ya, Mogi? Kalau ada lain waktu jumpa, kita bisa lari atau jalan jauh.”

Dan si Mogi seperti mengerti. Merespon saya dengan menolehkan kepalanya ke arah saya. Wajahnya juga terlihat tersenyum ramah, tanda mengerti. Baru saya naik kuda yang cukup tinggi besar itu. Bapaknya mau membantu, tapi saya bilang kalau bisa naik kuda. Plek, plek, saya wes di atas kuda.

Mas Sidiq ambil foto saya beberapa kali, mutar-muter sebentar. Si Mogi kayaknya pingin juga ngajak saya jalan, dia melangkah beberapa kali sampai bikin saya kaget. Takut kalau dia jalan atau lari beneran, karena pasti jadi lama itu nanti.

Bapak pemilik kuda mengatakan nggak papa. Iya betulan, Mogi sudah berhenti tanpa saya bilang apa-apa. Mungkin maksud si Mogi membantu saya dapat foto-foto yang bagus. Kuda yang cerdas😀

Kalau kamu pernah berkuda, kamu akan ngerti kalau itu termasuk pengalaman seru. Badanmu kecil seperti saya? Nggak usah takut. Begitu kamu bersahabat dengan si kuda, dia akan membawamu dengan baik. Paling-paling kalau belum pernah dan kamu riwil, yo kepental jatuh saat kuda berlari kencang 🤪🙈

Dan pasti sakit semua lah…. soale saya wes pernah beberapa kali, tapi yo nggak kapok. Kalau medannya berpasir bae paling-paling yo makgedebuuk… njur seminggu punggung badanmu memar biru hitam, nyeri sakit semua 😁

Itu sebabnya kalau capek, emosi nggak stabil, energi juga nggak full, versi saya jangan berkuda. Lakukan kalau pas beneran fit dan gembira. Saat itu, rasanya kita seperti dibawa terbang si kuda sambil membuang semua beban jiwaa ragaaa…. hahahah…😂😆

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bromo (4) Gajinya Kecil, Amal Jariyahnya Besar

Saya di areal lautan pasir. Sudah penuh kabut. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Usai sarapan di lautan pasir, saya tanya Mas Brian (TL) di mana lokasi toilet. Cukup jauh, tapi karena saya mau mandi dan ganti baju, saya pun bergegas. Dengan pesan ke Bu Fifi kalau saya belum kembali, berarti masih di toilet.

Lautan pasir di sepanjang hamparan mata memandang. Dengan jeep-jeep berseliweran, kuda-kuda berlarian, orang berlalu lalang, motor-motor meraung di areal pasir, hingga pedagang hilir mudik ramai menawarkan dagangan.

Sampai toilet, terkejutlah saya. Antrian mengular. Kotor pasir di mana-mana. Wah, bisa-bisa nggak jadi mandi ini. Karena kalau kelamaan di kamar mandi digedor pintunya.

Pas saya antri itu, seseorang di depan menanyai saya dari mana. Setelah saya jawab Jogja, ibu itu kelihatan gembira sekali. Lalu cerita begitu saja, dua anak lelakinya sebelumnya kuliah di UIN dan UII lalu dapat beasiswa S2 di Mesir dan Arab Saudi. Sementara 2 anak lainnya sekarang kuliah di UAD dan UNY.

“Semuanya saya suruh cari beasiswa, sekolah tinggi biar bisa jadi dosen, Mbak. Nggak apa-apa gajinya kecil, tapi insyaallah berkah dan amal jariyahnya banyak.”

Kata-kata ibu itu sebenarnya biasa saja, tapi seperti godam bertalu-talu di telinga saya. Hampir 3 tahunan ini saya menetap jadi dosen UPY; tapi lebih sering kesal dengan gaji yang seiprit, keribetan administrasi, potongan tunjangan-tunjangan karena belum publikasi artikel internasional; yang bikin penghasilan saya sebagai dosen sebulan untuk transport umum pun, saya masih nombok.

Kalau nggak inget ibu saya yang lebih senang saya jadi dosen daripada jadi penulis, wes tahun pertama saya hengkang. Dosen memang bukan keinginan saya. Saya studi S3 lulus 2016 itu karena memang perlu ilmu untuk menulis buku-buku saya. Dan sampai 2021, ijazah dan gelar doktor yang banyak orang mati-matian berjuang itu, di saya nganggur saja. Ada tawaran dosen dari ini itu, tapi karena semua di luar Jogja, saya pilih emoh.

Pas ditawarin di UPY karena di Jogja, saya pikir ya weslah oke. Tapi mana tahu kalau gaji dosen pake ijazah S3 pun begitu kecil. Saya rasa pemerintah kalau ingin mencerdaskan bangsa, itu aturan penggajian guru, dosen, ustad/dzah dll sebutan pendidik anak bangsa kudu diupgrade 5-10x lipat dari sekarang biar fokus mendidik.

Lha gimana mau fokus kerja, gajinya seimit dengan kebutuhan keluarga segerobak? Saya beruntung jadi dosen, wes solid ekonomi dari pekerjaan sebagai penulis profesional. Lha kalau enggak, nomboki kekurangan biaya operasional itu dari mana kalau nggak ngutang-ngutang?

Saya diam agak lama, tapi merasa sepertinya Allah sedang mengajak saya berbicara lewat ibu yang entah siapa ini. Ya weslah, mari ikhlas-ikhlasan aja. Wes gak usah terlalu dipikirin urusan duitnya kalau jadi dosen.

Sepanjang waktu ini toh saya yo wes maksimal berusaha tetep jadi dosen yang baik, tanpa mikirin gaji itu. Karena saya yakin Allah memberi ganti lewat jalur lain. Meskipun sering kesal juga dengan tuntutan institusi (yang versi saya) nggak masuk akal dengan fee yang mereka berikan.

Tahu-tahu kok hati saya plong sendiri. Wes benlah, saya akan ingat kata-kata itu. Gajinya kecil, tapi amal jariyahnya besar. Mana tahu justru itu yang kelak bawa saya ke surga. Biar nggak terlalu bikin kesal hati lagi. Atau seperti kata manajer saya, gaweyan dosen dianggap kerja bakti saja. Haish, kerja bakti kok tiap hari 😅😂

Pas giliran saya masuk toilet; saya gosok gigi, cuci muka, mengguyur seluruh tubuh dengan air biar nggak lengket keringat; lalu bersicepat memakai baju. Membereskan kerudung dan make up di luar toilet.

Pas sudah beres saya melihat lihat ke atas dulu. Seingat saya kawah Bromo ada di atas. Saya njur kasak kusuk nyari informasi dari orang-orang yang nawarin kuda dan ojek.

Kalau mau ke kawah Bromo, kita harus jalan kaki dan naik tangga-tangga. Sekira jalan naik ya perlu 30-40 menit. PP berarti wes sejam lebih. Foto-foto 10 menitan, berarti butuh waktu paling cepat 1.5 jam untuk bolak-balik kawah ke areal ini. Ada tukang kuda yang nawarin untuk nemenin kalau saya mau naik. Dia minta bayar 50 rb, sudah termasuk memotretkan.

Saya ngecek cara ke kawah Bromo itu karena di Itinerary nya Ceria ada tour ke kawah pas usai sarapan. Jam 7-9. Cuman karena semua wes telat molor dari awal, jelas ini nggak mungkin ke sana. Saya masih ingak inguk antara pergi ke kawah atau enggak. Kalau ada yang motretin gini malah karuan jelasnya.

Jam wes setengah 9, berarti free time-nya tinggal 30 menit. Repot kalau saya cuman setengah jalan ke kawah; dengan kaki yang rasanya wes gempor dihabiskan oleh Mbak Seruni.

Akhirnya saya memutuskan turun saja, nggak ke kawah. Kembali ke areal makan. Jumpa Bu Fifi katanya orang-orang eksplor di belakang tempat kami sarapan.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bromo (3) Mbak Seruni yang Menggemaskan

Sunrise di Bromo yang sempat saya abadikan, sebelum kabut menebal dan menutup matahari dari langit. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Jam 2 dini hari rombongan jeep kami bergerak ke atas menuju Bromo. Peh, duduk berdua sekursi itu bikin pegel semua badan saya. Terlebih medannya bikin jeep guncang-guncang berdisko ria. Sungguh sejam lebih itu terasa sangat lama versi saya. Beberapa waktu saya ngajak si driver ngobrol, cuma karena jawabannya sepatah-patah, akhirnya saya diam.

Sekurangnya saya tahu di Bromo ada 1700 an jeep yang beroperasi 24 jam. Tiket masuk areal Bromo 130 rb plus 12 rb untuk 1 orang. Anggap saja 150 rb berarti 1 jeep chargenya 750 rb an. Versi saya terlalu murah untuk medan yang begitu sulit dan jauh.

Kami sempat tertahan lama di urusan tiket. Entah siapa yang salah, biro Ceria atau TN BTS (Taman Nasional Bromo, Tengger, Semeru) saya nggak tahu. Mungkin miskom saja, tapi menghabiskan waktu.

Kalau ikut OT Ceria, urusan tiket dan jeep sudah terkoper biaya ke biro. Tapi turun dari parkiran jeep untuk ke areal Seruni (salah satu puncak untuk lihat sunrise) itu bayar ojek motor 30 rb; sampeyan kudu bayar sendiri.

Ojek motor ini akan berhenti di areal kuda. Kalau sampeyan malas jalan, sewa kuda pp kena biaya 300-400 rb. Pastikan dulu, karena ada yang mau 300 rb ada yang ngotot 400 rb.

Kuda akan berhenti di areal tangga-tangga naik ke gapura Pura Poten di puncak Seruni. Jadi meskipun bayar ojek dan kuda, untuk sampai ke puncak Seruni, sampeyan tetep kudu jalan kaki.

Saya pas turun dari jeep itu masih bersama Bu Fifi dan Fahri (mahasiswa magang di OT Ceria). Jalan sampai ke pos kuda. Saya nggak naik ojek karena saya lihat jalan masih datar dan cukup dekat. Beberapa orang memilih naik ojek.

Setelah itu kami berhenti untuk minum dan ke toilet. Lalu jalan menanjak yang ndeder tinggi dan terasa nggak sampai-sampai. Itu sepanjang jalan, tukang tukang kuda ramai terus nawarin sewa kuda.

Saya wes hampir sewa kuda aja, karena memang sudah cari info sebelumnya tentang sewa kuda ini. Tapi dua kawan saya memilih jalan, wah, saya nggak jadi sewa.

Setelah setengah jam yang lama, barulah kami sampai pos perhentian. Di sini saya jumpa Bu Ita dan Bu Lies dari Semarang. Saya istirahat lama, sebelum memutuskan jalan lagi. Fahri entah ke mana. Bu Fifi ikut rombongan saya. Berempat kami naik.

Sudah lebih terlatih di sini, tapi jian capek tenan. Di perhentian, kami istirahat lagi. Saya memutuskan Shubuh di situ karena wes setengah lima. Kalau kamu muslim ikut OT Ceria, silakan atur waktumu sendiri untuk sholat di setiap ishoma ya…

Kami naik lagi. Di perhentian, ya istirahat lagi. Nah di sini Bu Fifi entah ke mana, saya nggak tahu. Jadi tinggal saya, Bu Ita, Bu Lies. Ya wes bertiga. Mereka sholat saya memesan minum panas. Baru lanjut ke atas lagi. Satu kali perhentian, kami naik tangga-tangga yang masih panjang berkelok, sebelum akhirnya sampai di gapura Pura Poten.

Jangan tanya gempornya kaki. Saya yang biasa jalan dan lari pun, terasa kemeng pegel pegel, apalagi yang nggak biasa. Terus gitu pas sudah sampai puncak Seruni, matahari terbit nya malu malu tertutup kabut dan awan. Wes, gemesin tenan.

Saya sebenarnya cukup “heran” kenapa orang-orang kita seperti terobsesi dengan sunrise dan sunset. Indah iya. Tapi dengan effort yang begitu besar, kadang bikin saya wes malas duluan diajak ngurusin liat matahari ini.

Lha dari lantai atas rumah saya itu, pagi sore saya bisa melihat sunrise dan sunset. Mungkin itu juga yang bikin saya nggak terlalu mau bekejaran dengan sunrise atau sunset.

Sepanjang kami bertiga jalan, saya nggak ngelihat orang-orang Ceria yang 40-an itu… kru nya juga nggak terlihat oleh saya. Dalam hati saya yakin, karena ini kami yang lambat. Tiap perhentian selalu break istirahat, wes payah tenan.

Saya melihat jam wes lewat jam 6 masih di atas. Padahal inget saya Itinerary nya di areal Seruni itu sampai jam 6 dan jam 7 sudah ada di areal lautan pasir untuk sarapan dan ke Kawah Bromo.

Saya sudah nggak mood foto-foto. Kabut makin tebal. Terus nggak ada yang motoin. Bu Ita sedang banyak gawe foto dengan Bu Lies. Jadinya saya di atas itu malah mung ngelihatin orang lalu lalang. Merekam view sekitaran sebanyak mungkin, tapi nggak ada foto saya 😂😅

Untung itu Mas Sidik jurfot Ceria ke atas, tapi ra nggawa kamera. Ya wes saya minta difotokan beberapa dengan HP, paling nggak ada foto saya di atas. Oh Bu Ita ternyata sempat memotretkan saya beberapa, tapi saya nggak ingat sebelumnya.

Wes, kami bertiga pun turun. Ketemu teman-teman yang pada telat. Saya tahu itu jam sudah lewat, tapi ya gimana lagi. Capek jalan kan yo kudu istirahat dulu.

Dan betullah, kami naik jeep ki wes jam 7 lewat. Jadi maklum saja kalau tiba di lokasi sarapan sudah hampir jam 8. Sudah lewat sejam dari jadwal acuan.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bromo (2) Soal Bus dan Jeep

Bus yang kami pakai. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Sebelum ke Bromo, saya cek kesehatan dulu. Standar pribadi yang saya lakukan sebelum pergi ke areal berat (versi saya). Kalau dokter bilang kondisi saya nggak aman, saya pilih mundur. Kalau aman, saya berangkat. Begitu dokter bilang oke, wes nggak ada alasan nggak ikut ke Bromo. Meskipun setengah bulan hectic kegiatan, alhamdulillah kondisi saya prima.

Sabtu sejak pagi saya wes uleng dengan gaweyan kampus. Kalau sampeyan jadi dosen, percayalah wes nggak mungkin cuman nyambut gawe di kampus. Karena kudu bikin laporan, penelitian, pengabdian, bikin artikel ilmiah, buku ajar dan kruncilannya, koreksi dll, belum rapat-rapat yang bikin waktu habis.

Tahu-tahu wes jam dua siang. Inget belum packing untuk ke Bromo. Bagi yang sudah terbiasa pergi, packing ya gampang. Saya masukin baju dll keperluan, nggak sampai sejam. Lalu mandi dan beberes. Saya masih nonton film, ketika Tim Ceria upload di grup kalau bus sudah tiba di Jombor. Lha, jam berapa ini?

Baru jam tiga lewat. Kok rajin tenan ini kru busnya wes di titik kumpul. Padahal jam yang ditentukan jam 16 atau 4 sore. Jadinya saya ikutan bersegera dan meluncur. Walah, saya malah nongkrong berdiri di SPBU Adisutjipto sejam-an nungguin bus datang dari Jombor. Biasanya OT Ceria on time berangkat, kali ini karena 40 an orang; jadi sedikit mundur dari jadwal. Masih bisa dimaklumi.

Masuk bus, mulailah saya mengeluhkan beberapa hal. Lhah kok busnya kecil banget. Kaki saya yang nggak panjang bae gasruk. Terus kabin atas mung cilik, bawah kursi gak bisa untuk naruh tas besar. Untung backpack saya mung segitu, jadi masih muat ditaruh di bawah kursi. Cuman kaki saya jadi sulit gerak. Pas saya mulai duduk, langsung terasa kalau panas. AC nya nggak dingin sama sekali. Waduh, saya wes mulai resah. Jelas gakbisa tidur nanti kalau panas begini.

Besok-besok Ceria perlu memastikan armada dalam kondisi yang prima dan layak untuk orang dewasa standar. Ini berat banget lho buat mereka yang big size. Buat saya aja yang kecil, kursi sesak apalagi yang besar.

Mana begitu pas pulang dan hujan deras, bocor pula atapnya. Untung sebagian peserta sudah turun, sehingga bisa pindah kursi. Kalau enggak, pasti ada yang harus berdiri.

Kalau kru bus mantap banget. Drivernya nyetir cepat, stabil, dan lempeng. Pak kernet yo banyak membantu kalau ambil barang atau perlengkapan di bagasi. Ini keknya masalah armadanya yang besok-besok perlu dicek ricek ulang oleh Ceria.

Di rest area Sragen saya nggak makan minum, wes bawa bekal untuk malam sampai besok pagi. Karena di rumah pas wes ada, saya bawa aja. Lumayan menghemat sekali makan minum.😅

Saya terselamatkan oleh hujan pas malam, sehingga bisa tidur karena lebih dingin. Sudah fresh waktu tiba di rest area Sukapura. Itu sekira jam satu dini hari.

Semua peserta bebersih, ada yang makan minum, ganti piranti untuk ke Bromo. Saya yang merasa udara panas, sebenarnya wes feeling nggak usah bawa jaket untuk ke Bromo. Tapi melihat semua orang krubut-krubut jaketan, pakai slayer, topi, sarung tangan, saya kok ya tergoda bawa gitu lho…

Dan ternyata yo memang nggak kepake di saya. Malah piranti itu memenuhi tas saya hingga tarikan resletingnya terlepas embuh ilang di mana….

Versi saya sekarang Bromo nggak dingin lagi. Kalau hanya 17-20 derajat C itu cincay banget buat saya. Sehari hari di ruangan saya pakai setelan 16 derajat C paling nyaman. Adem.

Keluhan saya berikutnya ke tim Ceria yang membagi anggota regu jeep. Saya ada di jeep 4. Ini ada 6 orang dewasa dan disuruh pake 5 kursi. Terpaksa saya dan Bu Ana duduk berdua di samping sopir. Saya tersiksa sengsara betul gak bisa bergerak sejam lebih dengan medan jalan yang bikin jeep full disco njeduk-njeduk di kepala. Sakit semua.

Besok-besok kudu dicek itu, jeep nya kalau untuk anak-anak yo muat 6 orang. Kalau dewasa ya berilah 1 kursi untuk 1 orang. Pas balik pake jeep, saya wes gak mau duduk berdua. Terus akhirnya suami Bu Ana yang pindah ke jeep 2.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bromo (1) Mosok Yo Nggak Berangkat?

Salah satu kawasan di Bromo. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Halo Teman-teman dan sahabat semuanya…. Kali ini saya akan ngeshare catatan pengalaman dolan ke areal Gunung Bromo, Januari 2025 ya. Semoga bermanfaat dan kunjungilah areal wisata ini saat badanmu masih sehat kuat, kakimu jenjang tegak melangkah. Karena ini salah satu destinasi wisata yang butuh energi dan tenaga ekstra untuk eksplorasinya. 😀

Desember 2024, saat banyak orang bikin resolusi, saya malah ngitung kira-kira berapa duit yang saya hasilkan dari profesi menulis di tahun 2025. Sangat besar, cukup besar, atau nggak besar. Berhitung cepat dan memutuskan mungkin seperti 2024, saya belum bisa piknik jauh.

Tahun kemarin, selain umroh via Singapura dan pergi ke Vietnam untuk gaweyan, saya di sekitaran bae dolannya. Eksplore Kulon Progo (Sungai Mudal, Nanggulan dskt), Sleman (Studio Gamplong dskt, Kaliurang dskt), Gunung Kidul dengan beragam pantai-pantai barunya, dan tentu saja Bantul dengan beragam jenis wisata barunya.

Saya juga ikut kegiatan wisata prosesi puja bakti Waisak dan pelepasan lampion (Borobudur, Magelang) yang bikin kaki gempor saking jauhnya jalan (untuk ke lokasi dari parkiran kendaraan) dan panjangnya antrian dari jam 19.00 WIB sd 01.00 WIB di Borobudur. Ketambahan trip ke Magelang dan Pacitan dengan OT Ceria (wes saya catat lengkap, cek saja di web arikinoysan.com ini).

Sebenarnya cukup sering dolan saya itu, tapi karena bagi saya dolan wes jadi “kebutuhan” berasanya kok kurang banget. Toh kalau budget nggak aman, saya juga emoh maksain diri piknik jauh. Lebih penting mengamankan operasional hidup sehari-hari 😅😂

Bromo ini, entah sudah berapa lama saya pingin ke sini yo mung lewat begitu saja. Pas dulu teman saya ngajak pergi dan mbayari (sudah tahunan silam), saya yo nggak bisa berangkat. Entah apa sebabnya saya wes lupa. Tahun-tahun berikut “pasir berbisik” yang populer itu seperti lewat dari daftar dolan saya.

Tahu-tahu saja Desember akhir tahun kemarin saya kok pingin ke sini. Yo wes daftar aja ke OT Ceria untuk tengah Januari 2025. Saya sudah ikut trip dengan mereka sebelumnya dan karena bagus layanannya, saya enteng aja ikut lagi ke trip yang berbeda. Beberes administratif. Januari saya rasa masih musim hujan. Jadi saat itu saya langsung berdoa agar pas di lokasi Bromo terang dan bisa foto-foto bagus.

Njur saya seperti terlupa. Karena Januari 2025 itu full kegiatan. Tahun Baru. Ulang Tahun. Dolan keluarga. Ngundhuh arisan. Ujian-ujian mahasiswa dan urusan administrasi dosen sebejibun yang bikin mumet. Gaweyan dua buku artis yang belum beres dan oyak-oyakan di saat orang libur Nataru.

Wes, tahu-tahu semuanya bikin klenger saya sebelum tengah bulan. Capek banget. Hampir saja, ke Bromo kali ini pun lewat lagi. Cuman karena wes bayar, saya mikir mosok iyo nggak berangkat?

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bagaimana Cara Bersyukur?

Salah satu sisi Masjid Nabawi. Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Bersyukur adalah salah satu kunci kebahagiaan dalam hidup. Dengan bersyukur, kita bisa melihat sisi positif dari berbagai hal, bahkan di tengah tantangan.

Namun, dengan kesibukan sehari-hari, terkadang kita lupa untuk bersyukur atas apa yang telah kita miliki.

Berikut beberapa cara sederhana untuk meningkatkan rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Membuat Jurnal Syukur

Bikin jurnal syukur adalah cara efektif untuk mengingatkan diri sendiri tentang hal-hal baik dalam hidup.

Setiap hari, luangkan waktu beberapa menit untuk menulis tiga hal yang sampeyan syukuri.

Bisa berupa hal kecil seperti secangkir kopi pagi yang nikmat, atau hal besar seperti pencapaian di tempat kerja.

  1. Mengucapkan Terima Kasih

Mengucapkan terima kasih kepada orang lain, baik secara langsung maupun melalui pesan singkat, adalah cara sederhana namun bermakna untuk menyebarkan rasa syukur.

Terima kasih yang tulus tidak hanya membuat orang lain merasa dihargai, tetapi juga memperkuat hubungan sosial.

  1. Refleksi Harian

Luangkan waktu beberapa menit sebelum tidur untuk merenungkan hari yang telah berlalu.

Pikirkan tentang hal-hal baik yang terjadi, pelajaran yang sampeyan dapatkan, dan momen-momen berharga yang layak disyukuri. Ini membantu menutup hari dengan perasaan positif.

  1. Fokus pada Hal Positif

Dalam menghadapi situasi sulit, cobalah untuk menemukan hal-hal positif yang bisa disyukuri.

Misalnya, jika Anda terjebak macet, pikirkan bahwa sampeyan memiliki kendaraan yang nyaman atau kesempatan untuk mendengarkan lagu-lagu favorit, nggak kepanasan, bisa makan minum di mobil.

  1. Membantu Orang Lain

Membantu orang lain adalah salah satu cara terbaik untuk merasa lebih bersyukur.

Ketika kita melihat orang lain yang mungkin kurang beruntung, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki.

Selain itu, perasaan senang karena telah membantu orang lain juga menambah kebahagiaan.

  1. Menghargai Hal-Hal Kecil

Seringkali kita lupa bahwa hal-hal kecil dalam hidup adalah sumber kebahagiaan.

Cobalah untuk lebih sadar dan menghargai hal-hal kecil seperti sinar matahari pagi, suara burung berkicau, atau senyuman orang yang sampeyan sayangi.

  1. Beribadah atau Meditasi

Bagi banyak orang, beribadah atau meditasi adalah cara untuk menghubungkan diri dengan sesuatu yang lebih besar dan memperdalam rasa syukur.

Aktivitas ini bisa menjadi momen untuk mengingat berkah yang telah diberikan dan memperkuat rasa syukur.

Dengan mempraktikkan cara-cara ini, rasa syukur dapat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Bersyukur nggak hanya bikin kita lebih bahagia, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan mental dan emosional. Mari kita mulai hari ini dengan lebih banyak bersyukur!

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us: