Goes to Banyuwangi (5) “Wong Osing”: Ternyata Bukan “Suku Osing”

Papan nama “Wong Osing”. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Lepas dari De Djawatan kami melanjutkan ke Wong Osing. Hujan sangat deras mengguyur sepanjang perjalanan. Untunglah kami sudah selesai acara mider keliling eksplore di De Djawatan. Kalau enggak, wah bisa kagol kecewa nggak dapat foto-foto bagus di tempat sekeren itu 😁😂

Pas masih nanya-nanya di grup tentang oleh-oleh khas Banyuwangi dan dijawab di Wong Osing itu, otak saya berpikir bahwa yang dimaksud adalah Orang Osing atau Suku Osing. Asumsi saya, kami akan ke areal atau kawasan Desa Adat Suku Osing di Kemiren (cmiiw). Wah lha keren sekali ini Afrindo bawa piknik masih mikirin muatan budaya lokal.

Jadi saya sempat juga membongkar lagi ingatan dan referensi tentang Suku Osing ini. Meskipun mereka tinggal di Pulau Jawa, tapi adat budaya dan bahasa mereka ini nggak sama dengan Suku Jawa. Semuanya beda.

Beberapa perempuan dari Suku Osing. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya bahkan wes mikir, oh ntar bisa motret (lagi) beberapa Suku Osing dan tentu lokasi khas areal tinggal mereka. Termasuk beberapa hasil keahlian lokal mereka yang beragam: menari, membatik, membuat olahan pangan, pengobatan, minuman berbahan rempah-rempah, bikin souvenir dll.

Ya begitulah kalau orang linguistik antropologis ketemu nama suku atau etnis tertentu. Mikirinnya wes semua adat budaya mereka. Dokumentasi etnis bentuk visual dan verbal yang sangat berharga.

Saat di perjalanan menuju ke Wong Osing itulah saya baru “ngeeh” mudeng, paham kalau yang dimaksud dengan “Wong Osing” itu ternyata bukan “orang Osing” atau “Suku Osing” seperti yang saya pikirkan. Ini hanyalah sebuah toko oleh-oleh khas Banyuwangi yang kebetulan namanya “Wong Osing”.

Pak Ganjar pas safari politik di lingkungan orang Osing. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Blaiiik tenan. Jebulnya toko oleh-oleh. Dan saya menertawakan diri sendiri yang sudah punya banyak ekspektasi 😁😂 Jadilah di toko itu saya mider keliling nyari oleh-oleh khas Banyuwangi.

Sayangnya karena hujan deras, listrik mati, panas (AC nggak bisa nyala kan?) belanja jadi kurang well. Saya juga nggak ngambil foto-foto di dalam toko. Di beberapa bagian tempat kain, kaos, souvenir juga nggak bisa diakses.

Terus niy pas kami datang kok kayaknya toko belum terlalu siap menerima “banyak tamu”. Peladennya kurang, ditanyai ini itu nggak paham. Pas antrian kasir, kami juga diover sana sini. Terus semua makanan nggak ada testernya. Nggak bisa milih pasti ini rasanya cocok atau enggak di lidah kita.

Selain itu, banyak menu jajanan yang masih pakai bahasa lokal tanpa terjemahan Indonesia. Bagi saya itu bikin ngeblank juga… Misalnya dikasih nama “bolu kuwuk”. Nah saya kudu nanya dulu kuwuk itu apa, ternyata original. Kalau orang Jawa dengan bahasa Jawa, kuwuk itu kan nganggepnya wes terlalu tua, bau, atau basi. Lha mosok bolu basi dijual, kan jelas bukan itu artinya 😁😂

Wes saya akhirnya membeli lebih kurang 10 jenis item jajanan (versi saya, seenggaknya saya kenali) dan masing-masing hanya 1 bungkus standar. Ini karena saya nggak tahu persis isi dan rasanya apa.

Ya kalau cocok di lidah saya, kalau enggak terus nggak kemakan, kan sayang? Dan beneran, mungkin karena remang-remang listrik mati; 3 item jajanan yang saya beli ternyata 2 bungkus bagian plastik bawahnya wes bolong. Kerupuk ikannya wes mlempem tanpa saya tahu. 1 bungkus lagi masa berlaku wes lewat, sehingga rasanya apek penguk nggak bisa dimakan.

Saya orang Jawa. Jadi masih bisa bilang untung yang kecolongan nggak bisa dimakan cuman 3 bungkus. Tapi 3 bungkus harga 30 rb an ya wes 90 rb mubadzir 😁😂 Saya cuman bisa nyalahin diri sendiri kok nggak teliti sebelum membeli. Tapi itu juga jelas QC-nya Wong Osing lalai. Barang nggak layak kok isih mejeng di tangkringan produk yang dijual.

Terus versi saya di sini regane lumayan bunyi. Saya tahu, oleh-oleh di toko khusus biasanya memang beda harga. Tapi kalau ketinggian dan berasa larang, yo orang mikir untuk bayar. Mungkin tokonya perlu screening cocokan harga lagi. Biar orang yang biasa piknik dan jajan oleh-oleh kek saya nggak merasa mark up harganya ketinggian.

Saya kurang tahu kalau belanja di sini pas terang benderang. Mungkin lebih memyenangkan, tapi pastinya harganya nggak beda dengan saat kami datang. Mungkin Afrindo juga perlu mencari tempat oleh-oleh lain yang lebih kondusif untuk kerja sama jangka panjang. Wong Osing saya kira perlu berbenah agar tamu-tamu yang datang bergembira, belanja banyak tanpa merasa larang, dan sukacita membagikan kesan baik mereka kepada keluarga dan kolega.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (4) De Djawatan: Misteri Hutan Magis

Gerbang De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Setelah dari Pantai Bama, kami kembali ke rest area. Bebersih, sholat, makan siang. Kami kembali ke bus besar dan melanjutkan perjalanan. Kini kami menuju ke De Djawatan. Hutan eksotis yang sudah lama viral.

Saya baru kali ini ke De Djawatan. Tempat ini dibuka sebagai areal wisata tahun 2018. Antara tahun 2016 s/d 2020 sebelum pandemi, medan kerja saya sebagai penulis profesional lebih banyak di Indonesia Timur (Maluku dan Papua). Jadi di tahun-tahun itu saya nyaris nggak pernah piknik di areal Jawa atau di luar Indonesia Timur.

Gegara itu, sebagian logat Jawa saya ilang karena intensnya berinteraksi dengan warga lokal (yang nggak semuanya jago berbahasa Indonesia). Pekerjaan yang membuat saya bisa turun ke tempat wisata-wisata luar biasa di Indonesia Timur; yang kalau suruh ragat biaya sendiri untuk tiket pesawatnya bae mikir berulang😁😅

Sisi lain De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Karena belum pernah datang ke De Djawatan itulah, saya jadi sangat antusias. Hutan yang sudah viral dengan sebutan Hutan The Lord of the Rings. Hutan magis dengan pesona luar biasa. Pasti sangat menyenangkan berada di lokasi tersebut.

Saya pikir, hutan ini lokasinya nggak jauh dari Baluran. Lho ternyata hampir 2 jam perjalanan dengan bus. Kalau di pantai berpanasan, kami di areal ini bisa berdinginan. Sejuk. Adem.

Lokasi De Djawatan berada di Dusun Purwosari, Desa Benculuk, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sudah beda kabupaten dengan lokasi TN Baluran dan Pantai Bama.

Di bagian dalam De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Wah, saya beneran takjub dengan hutan ini. Pohon besar-besar dengan sulur panjang-panjang yang memenuhi hampir seluruh areal hutan. Saya merasa sedang berada di dunia fantasi. Indah banget. Subhanallah, Maha Suci Allah dengan Semua CiptaanNya. ❤

Hingga sekarang, baik warga lokal maupun pihak terkait (Perhutani) belum bisa memastikan asal usul atau sejarah De Djawatan ini. Sebagian menganggap kalau areal ini bekas markas TNI di masa penjajahan untuk transisi prajurit, logistik, dan senjata. Namun pihak TNI setempat atau melalui dinas penerangan TNI tidak pernah mengkonfirmasi hal tersebut.

Sementara pihak Perhutani menyebut bahwa areal itu dulunya tempat penimbunan kayu sebelum dijual, agar awet tidak mudah lapuk atau rusak. Pelindungnya dengan daun-daun trembesi.

Di manapun di De Djawatan bisa foto. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya pribadi cenderung mengamini pendapat Dinas Kehutanan. Karena nama De Djawatan sendiri diambil dari Djawatan Kehoetanan, sehingga kemungkinan besar areal ini untuk urusan industri kayu di masa lalu, bisa jadi lebih benar dibandingkan sebagai areal atau markas TNI. Luasan hutan yang hampir 10 hektare ini juga bisa dimaklumi sebagai daerah penghasil kayu-kayu besar di masa lampau.

Yang jelas, wisata ke sini adalah piknik yang luar biasa. Dengan tiket 5 rb saja per gundul sampeyan bisa eksplore sepuasnya dari pagi sampai sore. Pastikan bawa bekal cukup, pakai baju dan alas kaki yang nyaman, baterai HP/kamera harus full. Karena semua tempat bagus untuk spot foto.

Secara umum, di sini sarpras sudah memadai. Toilet, mushola, tempat parkir, orang jualan makan/minum, gazebo, spot foto, bahkan ada banyak jasa foto on the spot yang bisa kita sewa dengan harga murah meriah.

Terlihat perbandingan tinggi besar pohon dengan orang dewasa. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya cukup banyak eksplore dan nggak berhenti mengagumi “luar biasanya” keindahan tempat ini. Di tempat ini pohonnya sungguh besar-besar dan tinggi-tinggi. Hampir di semua tempat seperti itu keadaannya. Tuhan seperti sedang mengajak saya berbicara lewat keindahan alamnya yang nggak ada di tempat lain.

Saya bersyukur juga pas kami di sini, hujan hanya rintik beberapa saat. Kami masih bisa eksplore dengan cukup. Foto-foto di banyak spot. Naik turun panggung untuk foto. Lelarian sana sini menikmati alam sejuk yang indah luar biasa.

Oh iya, di sini kalau nggak mau terlalu capek pas keliling areal hutan; kita juga bisa menyewa andong, ATV ataupun jasa ojek motor. Cuman saya lupa nggak nanya berapa tarifnya. Yang jelas kalau sewa alat transportasi, areal jangkauan keliling kita bisa lebih luas dibandingkan kalau kita hanya jalan kaki. Spot foto yang bisa kita peroleh juga lebih banyak. Monggo diitung dan dipertimbangkan sesuai kondisi masing-masing.

Rombongan kami di De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Kalau sampeyan ke Banyuwangi, pastikan mampir ke hutan istimewa ini. Ikut trip dengan Afrindo juga lebih gampang. Tapi kalau mau arrange sendiri, tempat ini layak dijadikan destinasi wisata keluarga yang menyenangkan dan murah meriah.❤

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (3) Pantai Bama, Bisa Snorkeling?

Penampakan Pantai Bama. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Destinasi kami berikutnya ke Pantai Bama.
Pantai ini terletak di Desa Sumberwaru, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Lokasi ini berada sekitar 50 km dari pusat kota Situbondo, dan bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi atau kendaraan umum. Kalau rombongan kami ke sini dengan shuttle bus.

Sebenarnya semua laut di Indonesia rerata bisa untuk snorkeling, termasuk Pantai Bama. Namun di trip kami kali ini nggak termasuk snorkeling. Tapi kalau sampeyan trip sendiri, di sini juga tersedia tempat penyewaan alat-alat snorkeling.

Saya wes menanyakan hal ini ke Mas Andre. Karena kalau snorkeling berarti harus bawa baju renang. Syukurlah enggak pake acara snorkeling. Karena di panas membara begitu, turun ke bawah air pasti menguras energi.

Papan Nama Pantai Bama. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Di trip bersama Afrindo ini, kita bisa keliling laut dengan naik kapal atau perahu. Sewa kapal rerame per gundul antara 25 s/d 50 rb. Sementara untuk sewa 1 perahu antara 250 s/d 350 rb. Tawar-tawar saja karena mereka juga suka pasang tarif tinggi.

Pas tiba di pantai sini sudah cukup panas. Saya ikut naik kapal keliling laut. Cukup menyenangkan karena nggak kepanasan, duduk-duduk, lihat air laut dan view sekitaran, dan foto-foto.

Pantai ini dinamakan Pantai Bama, karena ada banyak ragam kehidupan pantai. Selain secara umum situasi pantai, di sini ada hutan mangrove dan hutan bakau yang cukup subur. Masyarakat lokal juga sudah banyak memanfaatkan hasil hutan ini untuk berbagai keperluan rumah tangga dan industri.

Di salah satu sisi kapal. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Kalau sampeyan sempat berbincang dengan warga lokal, mereka sudah kenal dengan sabun, sirup, selai, dll olahan dari mangrove. Mereka memanfaatkan hasil lokal pantai untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Di lingkungan pantai ini juga tersedia areal trekking hutan bakau. Hanya trip ini tidak mengalokasikan waktu untuk trekking. Kalau sampeyan trip keluarga atau trip sendiri, sampeyan bisa mencobanya.

Sarpras wisata di sini sudah cukup memadai. Perahu kapal. Toilet. Mushola. Tempat makan minum. Tempat bermain. Gazebo. Tempat parkir. Kedai oleh-oleh khas setempat.

Rombongan kami yang naik kapal. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya nggak banyak eksplore di sini. Wes panas. Usai turun dari kapal, saya langsung masuk shuttle bus. Ada Mbak Riefna dan adiknya juga. Sementara yang lainnya masih makan minum di areal pantai. Waktunya cukup luang. Beneran seperti piknik keluarga yang mengikuti keinginan pesertanya. Intinya, piknik dengan Afrindo bikin kita merasa leluasa, nggak diburu-buru waktunya. Dan Pantai Bama ini juga layak untuk dijadikan tujuan wisata keluarga.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (2) Preman-preman Putih Berekor Panjang

Pohon Raisa, pohon yang digunakan Raisa berfoto. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Driver bus di trip Banyuwangi ini pasti sudah mumpuni. Di beberapa areal yang jalanannya buruk, bus tetap jalan dengan stabil. Apalagi saat di tol, lempeng patas tenan. Saat di bus saya masih bisa membaca, mengaji, menulis artikel tanpa gangguan. Seolah-olah nggak di atas bus yang sedang melaju.

Kami makan malam pertama di rest area exit tol Sragen. Makan yang disediakan nasi box, sangat layak. Cuman karena wes malem, jadi lebih banyak yang memesan makan panas berkuah. Nasi box dari biro nggak kesentuh. Saya juga mencomot telur kerupuknya bae.

Mungkin Afrindo perlu memikirkan ini, makan malam pertama ini diskip saja atau diganti. Misalnya diberi saja Popmie dan segelas teh panas atau diganti untuk makan di waktu yang lain. Kalau makan malamnya dianggap kurang, yo ben tuku dhewe-dhewe. Kan di rest area 😀

Memanjat pohon Raisa. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Usai makan malam pas bus wes jalan lagi, saya beneran tidur. Nyenyak. Selain karena capek seharian kerja, sejuk AC ya membantu. Orang-orang tidur jaketan selimutan, saya netral saja nggak pake selimut. Sudah biasa dingin, 16-18 derajat C itu suhu sehari-hari yang saya gunakan di ruangan.

Jam 04 an pagi kami wes sampai rest area Rumah Makan Cak Put. Lhoh cepet banget. Mbak Dinna sempat nanyain saya, berasa enggak pas bus kayak oleng saking cepatnya. Saya bengong, nggak tahu. Lah saya tidur pules 😁🙈🙏

Berasa piknik keluarga itu ya jamnya luang tenan. Jam 04.00 sd 07.30 itu acara bebas. Mandi, sholat, makan pagi. Saya bebersih diri dengan tenang. Sholat, ngaji pun tetap bisa khusyuk tanpa gangguan. Sarapannya kali ini prasmanan, alhamdulillah enak. Menunya juga memadai dan melimpah.

Sisi lain Taman Nasional Baluran. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Jam 08.30-an pagi kami naik shuttle bus ke Baluran dan Pantai Bama. Di Baluran, kami ke padang savana dulu. Di sana yang kondang pohon Raisa. What did Raisa do? Biasanya suatu pohon dinamakan dengan nama orang begitu karena dia yang menanam.

Oalah, ternyata Raisa mung foto di situ dan pohonnya njur jadi kondang dengan sebutan pohon Raisa. Jadi penyanyi atau publik figur lainnya memang ada untungnya 😁😂 Wah, kalau saya jadi presiden, njur bilang dagadu dengan versi kasar meskipun lirih bae, pasti juga akan viral ke mana-mana, selama berhari-hari dan berasa nggak rampung rampung tenan 😂

Hampir seluruh kawasan savana Taman Nasional Baluran ini isinya padang rumput dan perdu. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya sudah tergerak manjat pohon aja, tapi lihat pohon-pohonnya dulu. Cek-cek, ternyata dahannya licin. Maklum, masih sering hujan. Jadi saya naik dahan di batas aman aja. Mbak Riefna wes khawatir liat saya manjat pohon. Saya siy biasa aja. Kalau nggak licin, pasti bisa manjat sampai ke ujung yang tinggi. Kalimantan dan Papua, surganya pohon-pohon tinggi besar yang lempeng buat dipanjat 😁

Sejauh mata memandang, adanya padang rumput menghijau. Saya menatap ke sana-sini ki mencari-cari kerbau, banteng, rusa, domba gunung, dll kawanan binatang. Mestinya ada merak dan ayam-ayam hutan juga. Tapi saat itu, nyaris nggak ada yang berkeliaran. Panas. Bersembunyi mungkin.

Tulang belulang kepala banteng yang berhasil dikumpulkan dan dipajang. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Ketika di areal savana berikutnya, ada tulang belulang kepala banteng yang sudah dipajang berjejer. Di sini dari kejauhan saya melihat sekelompok banteng dan kerbau. Kedua binatang ini kelihatan setipe, tapi jelas nggak sama. Mungkin jumlah mereka sekarang lebih sedikit dibandingkan dekade sebelumnya. Jadi agak sulit menemukan kawanan mereka kalau kita hanya melihat dari pinggir jalan.

Kalau di kawasan ini, sampeyan kudu hati-hati dengan barang bawaan. Tas, kamera, HP, topi, air mineral, jajanan, kacamata, dll. Karena di sini banyak preman putih berekor panjang yang cukup ganas. Kelakuan monyet-monyet di Baluran ini nyaris setipe dengan monyet-monyet di Sangeh, Bali. Sedikit aja kita lengah, mereka mengambil atau merebut apa saja barang bawaan kita.

Sebenarnya kami sudah diingatkan oleh TL, Mas Adit, kalau monyet-monyet di sini sangat beringas dengan barang-barang bawaan pengunjung. Terutama makanan dan air dalam botol. Mereka bisa sangat “brutal” merampas makanan dan minuman itu.

Si preman putih berekor panjang yang hampir merampas harta karun saya. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Ya tujuannya biar mereka nggak perlu cari makanan dan minuman. Karena monyet-monyet itu kan hidup di alam liar. Mereka ya harus cari makan minum sendiri. Nggak ada yang ngasih makan, nggak dipiara orang. Kalau mereka sudah dapat rampasan makanan dan minuman dari pengunjung, mereka kan nggak perlu “mencari” makan minum lagi.

Haish, saya pun nyaris kena ulah si preman ini. Lha tas kan saya geletakin begitu saja saat mau foto. Tiba-tiba seekor monyet datang dan menyambar tas saya. Untung semua orang yang ada di situ teriakan dan saya langsung sadar. Saya menarik tas sekuatnya dari tangan si monyet. Nggak dilepasin dan dia malah nunjukin taringnya yang bikin seram. Saya yo nggak mau ngalah. Harta karun saya ada di situ semua.

Baru ketika rerame orang-orang di rombongan kami mengusirnya, si monyet ekor panjang ini melarikan diri. Ampun… nyaris aja harta karun saya dibawanya. Nggak kebayang kalau tas saya sampai dibawanya. Ada HP, dompet seisinya, air minum, snack kering, baju ganti dll yang penting. Wes pokokmen hati-hati dan jangan sembarangan menaruh barang penting kalau berada di areal ini 😁🙈

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (1) Ikut Afrindo, Open Trip Serasa Piknik Keluarga

Bus yang kami gunakan untuk trip ke Banyuwangi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya nggak kenal Afrindo sebelumnya. Trip ke Banyuwangi ini, pertama kali saya ikut dengan Afrindo. Saya melihat flyer ke Ijen di IG itu masih awal Januari untuk bulan yang sama. Nggak mungkin saya ikut ke Ijen, karena mau trip ke Bromo.

Saya DM apakah ada jadwal di bulan Februari. Ternyata ada. Saya cepat daftar dan bayar DP itu karena Mas Andre yang merespon, ditanyai apa saja seputar trip ini jawabnya cepat, taktis, praktis, dan solutif.

Saya banyak bertanya ke Mas Andre, karena ya belum kenal Afrindo. Memastikan bahwa informasi yang saya peroleh itu benar. Terlebih kawasan Ijen ini sebenarnya bukan medan untuk piknik gegayaan 😂😁

Jalur yang dilalui cukup berat, curam, berbatu-batu tajam, sempit, nggak banyak pagar pengaman atau penjagaan, angin dingin, asap tebal belerang, kabut, gelap, licin saat hujan, dll. Orang sehat pun belum tentu bisa melaluinya. Apalagi kalau nggak sehat. Itu sebabnya ke sini wajib menyertakan surat sehat dari dokter atau RS yang baik.

Rombongan kami di Savana Bekol, Baluran. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Semasa belia saat saya SMP-SMA, nyaris seluruh gunung di Jawa sudah pernah saya samperin dengan teman-teman pecinta alam. Toh itu sudah hampir 30-35 tahunan yang lalu. Ingatan saya tentang Ijen pun sudah banyak yang bluur. Lupa.

Apalagi dulu nggak setiap orang punya kamera. Nggak setiap peristiwa ada fotonya. Nggak semudah sekarang urusan foto dan dokumentasi. HP pun multifungsi bisa untuk rekam dan motret. Tapi saya jelas tahu, medan-medan pendakian gunung-gunung di Jawa banyak yang nggak ringan dan berisiko tinggi.

Selain menanyakan charge di luar harga yang tercantum, hal-hal yang harus dibayar sendiri (makan di luar program, oleh-oleh, keperluan pribadi, dll), saya juga mencari tahu detail tentang persewaan alat-alat mendaki, tarif tandu, dll.

Kenapa ini saya tanyakan rinci, itu untuk menyiapkan jumlah uang tunai yang harus dibawa. Di berbagai tempat wisata domestik kita, masih banyak transaksi yang harus menggunakan uang cash. Mo e-walletmu penuh, saldomu gendut, banyak yang nggak bisa buat transaksi di tempat wisata. Lha sinyal HP bae sering ilang kok mikirin wifi untuk sarana transaksi pakai e-wallet😁

Kami di De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya menghitung uang tunai yang harus dipersiapkan. Saya pribadi selalu menyiapkan untuk operasional penggunaan tandu, kuda, ojek, dll sampai puncak gunung untuk berjaga-jaga. Kadang saat berangkat dengan fisik sehat, di tengah jalan tumbang. Kalau nggak siap dana, kita hanya bisa berhenti di tengah jalan. Sayang sekali.

Seperti pas kemarin ke Bromo, saya juga nyiapin dana untuk sewa kuda, ojek, pemandu lokal untuk PP ke puncak Bromo. Ternyata dana itu nggak terpakai karena saya sanggup jalan mendaki bersama teman-teman lain, itu alhamdulillah. Uangnya bisa digunakan untuk trip berikutnya.

Ke Ijen pun saya menyiapkan amunisi penuh. Saya terbiasa jalan dan piknik, tapi umur sungguh nggak bisa dilawan. Saya nggak percaya umur hanyalah angka. Sekarang saya sudah hampir 50 tahun. Penampilan fisik boleh saja “mirip sebaya” dengan mereka yang 20 tahunan; tapi jelas kekuatan saya nggak sama lagi dengan 30 tahun yang lalu. Jadi saya cukup tahu diri. Kalau sanggup jalan, ya jalan. Kalau nggak, cari bantuan untuk sampai tujuan.

Saya masih banyak nanya lagi tentang situasi Ijen. Termasuk dinginnya udara. Kata Mas Andre Ijen sangat dingin, lebih dingin daripada Bromo dan harus bawa baju hangat yang tebal. Jaket saya yang biasanya hanya keluar untuk ke negeri-negeri yang superdingin, kini saya keluarkan. Walah ternyata di Ijen nggak sedingin yang saya pikirkan. Weish…. Itu jaketnya beneran bikin backpack saya menggendut😂 Kalau lain-lainnya ya standar persiapan pribadi untuk piknik.

Di atas perahu, di lautan Pantai Bama. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya sangat berkesan dengan cara manajemen waktunya tim Afrindo ini. Open trip tapi berasa piknik keluarga. Jam 16.30 an saya wes di MP, 30 menit awal dari yang dijadwalkan. Karena rombongan besar 40 an orang, saya pikir akan telat lama. Eeh, jam 17.08 mereka sudah sampai di tempat saya. Waah, tepat waktu ini cuma selisih 8 menit di tengah padatnya lalu lintas Jogja.

Masuk bus, alhamdulillah. Ruang kursi lega, jarak kaki standar, AC dingin, ada bantal, selimut, charger USB tersedia, korden jendela wangi, wah. Pak kernetnya juga cepet praktis banget bantuin taruh bagasi. Saya langsung senang, karena pasti bisa tidur nyenyak 😊👍

Saya sebut serasa piknik keluarga, karena sepanjang perjalanan ada yang perlu makanan/minuman, ke toilet, ini bus bisa berhenti sewaktu-waktu; memberi kesempatan. Sekitar 30 an menit. Jadi nggak perlu nahan lapar, haus, atau pun ke toilet. Meskipun nggak tercantum di itenerary waktu sholat, alhamdulillah pas waktunya sholat dhuhur dan sholat ashar, bus juga berhenti di masjid. Sekira 40-50 menitan. Bisa sholat, makan, jajan, jalan ngelurusin kaki, ke toilet, dll. Tanpa mengganggu jadwal kepulangan. Karena saya turun Jogja jam 23.30 an. Sesuai jadwal banget.

Saya, Mbak Riefna, dan adiknya di Baluran. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Alhamdulillah teman-teman seperjalanan menyenangkan. Nggak saling kenal, tapi saling peduli dan ringan membantu. Bahkan, ada beberapa orang yang mungkin melihat saya kok thenguk-thenguk saja dan memotret banyak tanpa foto diri, mereka menawarkan diri untuk memotretkan.

Haha… ya di beberapa tempat, kadang saya cuma bisa berseru, Subhanallah…! Takjub dengan keindahan alam. Dan nggak terlalu ambil pusing dengan foto diri… yaha, saya bukan jenis narsistik yang apa-apa kudu mejeng dan diposting berbanyak di sosmed. Sudah ada dokumentasi dari biro, saya pikir cukuplah. Tetep saya berterima kasih atas kepedulian mereka. Karena dokumentasi diri itu juga penting 🙏

Saya secara pribadi menyampaikan terimakasih kepada Afrindo dan seluruh kru yang bertugas; Mas Adit, Mas Alvin, dkk satu timnya. Juga terima kasih untuk Mb Riefna dan adiknya, Mb Dinna dan kawannya, Mb Lita dan saudaranya, Mas Praba dan partner, Pak Wanto dan keluarga, dua Ibu Sepuh (saya lupa nggak tanya namanya), dan seluruh kawan yang memeriahkan acara trip ini. Maturnuwun atas segala bantuan, sampai jumpa di lain kesempatan 😀🙏

Jadi untuk Teman-teman dan sahabat-sahabat saya yang membaca tulisan ini, kalau mo ke Ijen dan sekitaran Banyuwangi, saya sangat merekomendasikan pake Afrindo nggih. Biaya ringan terjangkau, fasilitas dan layanan istimewa. ❤️

Catatan dolan saya ke Banyuwangi, akan saya tulis detail bersambung; setiap keseruan dan tantangannya. Biar bisa jadi ingatan di masa yang akan datang. Teman teman nanti bisa mengikuti di arikinoysan.com

Salam,
Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Oh, TPDA Saya….

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Salah satu konsekuensi kalau jadi dosen itu ya belajar terus, sekolah terus, update ilmu terus. Dan itulah yang harus saya alami begitu saya memutuskan bergabung menetap sebagai dosen UPY. Setiap langkah kemajuan menuntut proses belajar… yang kadang yo njelehi juga.

Masuk jadi dosen di paruh 2021, saya wes diminta ngurus jafung 2023 dan rilis keluar di tahun yang sama. Alhamdulillah. Njur diminta ngurus sertifikasi dosen atau biasa disebut serdos. Yungalaah, makanan jenis apalagi itu.

Syarat dasarnya sertifikat Pekerti, TKBI (sebangsa Toefl, Acept, dll) dan TKDA (sejenis TPA, PaPS, dll). Biyuuu… saya wes langsung bayar daftar pelatihan pekerti, selama 2 minggu online full Senin s/d Jumat jam 07.00 s/d 17.00 WIB nggak boleh blank, ngilang kamera dipanggilin satu per satu. Sabtu Minggu nggo bikin tugas tugas.

Bayare lupa 2 atau 2.5 juta per program. Wes bikin saya klenger bae…. ampun Gusti, ijazah S3 saya serasa nggak ada gunanya kek gitu…. njur saya break karena gaweyan administratif kampus yang ngujubileh banyaknya.

Saya pikir ya wes, alon alon waton kelakon bae. Rada selow, saya daftar TKBI. Saya rada pesimis karena teman-teman yang sudah ikut, banyak yang bolak-balik tes baru lulus. Maklum, bahasa Inggris bukan bahasa kita. Weeh… alhamdulillah saya kok sekali tes njur langsung gol, lolos. 400 an rb saja duit untuk daftarnya.

Sampailah waktunya TPDA. Biyuuu, bikin mumet tenan. Terutama bagian tes gambar-gambar kubus dan dimensi tiga itu. Ambyaar… ya wes gapapa. Saya yo tetap daftar dan ikut tes. Tiap tes lebih kurang bayar 400 an rb. Dan sampai yang ke-4 kali skor saya mung kurang 3 s/d 5. Beuuuh nggemesin tenan. Saya wes hampir nyerah. Karena skor yang bikin kurang itu ya gambar-gambar yang dibolak-balik, diputar-putar gitu.

Akhirnya saya cari mentor. Saya minta dia ngajarin gimana memecahkan masalah saya. Tentu saya wes daftar lagi ujian TPDA yang ke-5. Dapat hari Kamis. Jadi Rabu seharian saya sinau mung bagian gambar-gambar. Karena verbal dan aritmatika itu terhitung cincay, gampang lah versi saya. Mo semua nya bener, kalau tes bagian ketiga figural jebluk, ya rerata nya jadi nggak memenuhi syarat minimal.

Karena wes sinau tenanan, ya wes lebih dari 3x, saya terima pasrah bae, sebisanya. Kamis saya mangkat ujian TPDA. Begitu selesai, saya nggak lihat skor, malah ngurusin tas yang harus diperbaiki dan ATM yang nggak bisa dipakai. Njur tidur. Karepmu. Lulus atau enggaknya saya nggak mikir. Toh kalau belum lulus, yo tetep kudu ujian lagi sampai lulus.

Sesudah bangun tidur, beberes, mandi dll, saya baru inget ngecek skor TPDA (mestinya abiz ujian udah bisa) cuman saya malez kecewa di jalan, jadi nggak saya buka dulu. Saya lihat skor, njur nelpon penyelenggara berapa skor minimal serdos. Pas dijawab, saya ragu, khawatir kalau salah lihat. Saya kirim forward dan tanya lagi wes lulus belum. Dijawab sudah… alhamdulillah 😀😁

Ya, segala sesuatu itu memang ada ilmunya, ada gurunya. Di tangan guru yang tepat, soal sulit pun jadi mudah. Nggak bisa awuran. Alhamdulillah saya kok masih sempat nyadar tentang itu. 5x tes TPDA, 2x saya ngeblank karena sakit pas ujian. Jadi praktis yang tenanan tes 3x, tapi mbayar 5x… Jelas mbayar dhewe ora diijoli kampus (termasuk biaya Pekerti dan TKBI), tapi kalau nggak cepet ngurus serdos diopyaki kampus juga😂

Kalau dari awal saya cepet cari mentor, pasti nggak sampai tes TPDA 5x 😁😂 Ya kadang-kadang, dengar kata belajar bae wes bikin saya malaz duluan. Terus gitu, belajar ki ya butuh waktu dan usaha tersendiri untuk berhasil.

Wes alhamdulillah. Ini satu tahap lagi beres. Tinggal syarat kruncilan lainnya yang masih sekeranjang banyaknya. Ya Gusti… kenapa jadi dosen begitu banyak urusan administratif yang bikin… hiiih… apalagi ini😁😂

Jadi, ya kudune gaji dosen itu sak dos alias banyak, ora malah gajinya sak sen alias cuilik biangeeet😁😂

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Kalau Kamu Kirim Naskah ke Penerbit

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Untuk penulis pemula, biasanya setelah menyelesaikan naskahnya, mereka sering merasa kebingungan bagaimana cara mengirim naskah ke penerbit. Padahal sekarang sudah banyak akses dan jauh lebih mudah mengenali penerbit. Sekurangnya, buka-bukalah web dan sosmednya. Paling enggak, pasti ketemu model-model naskah yang sudah dipublikasikan dan diperjualbelikan.

Berikut ini adalah uraian singkat agar naskah bisa sampai ke tangan penerbit dengan aman dan tidak disalahgunakan.

1. Bila sampeyan sama sekali baru dan hendak mengirimkan naskah ke penerbit, siapkan print out NASKAH yang disertai dengan SINOPSIS, kalau bisa dilengkapi PROPOSAL NASKAH, dan jangan lupa BIODATA singkat dilengkapi alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Ini akan mempermudah pihak penerbit membaca naskah sampeyan, karena mereka nggak perlu ngeprint. Kalau mereka mengizinkan untuk mengirim naskah via email dengan softcopy, ya lakukan saja. Lebih mudah, praktis, nggak banyak biaya.

2. Bila sampeyan mengirimkan naskah lewat pos atau ekspedisi pengiriman, pastikan sampeyan mengisi semua daftar kolom isian untuk pengirim dan penerima. Hal ini untuk melacak bila terjadi sesuatu dengan naskah anda. Misalnya, naskah nggak sampai ke tujuan.

3. Bila sampeyan hendak menyerahkan NASKAH printout langsung pada penerbit, mintalah tanda bukti penyerahan naskah dan tanyakan kepada siapa nantinya mengurus follow up naskah tersebut dan berapa lama akan dapat kabar. Biasanya lebih kurang 3-6 bulan. Makin besar penerbit yang anda tuju, makin lama pula waktu untuk menerima kabar diterima atau ditolak.

Ini bisa lama banget lho. Naskah saya ada yang antrian sampai tujuh atau delapan tahun, sampai saya pun wes lupa. Tapi kalau naskah timeless siy biasanya aman, mo terbit kapan aja tetap “baru”.

4. Bagi yang sudah terbiasa menulis atau bekerja sama dengan penerbit tentu tidak masalah untuk mengirimkan via email karena cepat dan mudah, dan lebih praktis. Kemungkinan untuk disalahgunakan juga kecil karena sudah saling kenal.

5. Kalau sampeyan sudah mengirimkan naskah, selama tiga bulan tidak ada kabar, tanyakan tentang naskah tersebut. Ada penerbit yang kadang-kadang sudah tahu jawaban penolakan, tapi karena banyaknya pengiriman surat penolakan itu biasanya dibarengkan dengan penolakan naskah-naskah lainnya.

6. Apakah etis menyerahkan atau mengirimkan satu naskah ke beberapa penerbit yang berbeda-beda dalam satu waktu? Jawabannya, bisa beragam.

Menurut saya pribadi, tidak etis. Lebih baik mengirimkan naskah ke satu penerbit lebih dulu baru ketika ditolak, anda bisa tawarkan ke penerbit lain.

Lebih ribet juga kalau misalnya anda menyerahkan kedua penerbit sekaligus, beruntung kalau keduanya menolak, anda bisa menawarkan ke penerbit yang lain; bagaimana kalau keduanya berniat menerbitkan? Bagaimana anda akan bicara kepada keduanya? Tidak mudah kan?

7. Apakah benar ada penyalahgunaan naskah yang dikirim dikatakan tidak diterbitkan lalu diolah, diubah sana sini lalu diterbitkan dengan nama lain? Selama ini, kasus seperti itu jarang terjadi. Karena menulis itu sulit, mengubah segala sesuatu juga sulit. Waspada dan hati-hati memang perlu, tapi tidak perlu takut.

8. Ke mana dikirimkan? Ada banyak penerbit di Indonesia, anda bisa mencari sendiri alamat-alamat penerbit dan melihat jenis buku terbitannya di toko-toko buku, untuk melihat apakah jenis tulisan anda cocok untuk anda kirimkan ke penerbit tersebut. Cek di buku JADI PENULIS FIKSI? GAMPANG KOK!

Gampang saja toh ternyata untuk mengirimkan naskah? Percayalah, urusan teknis lebih mudah daripada urusan menyelesaikan naskah 🙂

    Selamat menulis dan mengirimkan naskah.
    Semoga bermanfaat.

    Ari Kinoysan Wulandari

    Please follow and like us: