Goes to Banyuwangi (10) Mbak Ari, Spill dong Budgetnya…!

Situasi di sekitar blue fire saat saya mendekat. Masih gelap, tapi banyak orang hilir mudik datang dan pergi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Open Trip (atau OT) yang kian marak di Indonesia ini, secara umum didesain untuk berbiaya murah, mudah diikuti banyak orang. Jelas biaya ringan itu tidak memasukkan komponen-komponen yang berbayar berat, optional, atau nggak wajib diikuti. Jadi kalau kamu ikut OT, pasti bolong kerepotan kalau hanya membayar charge OT.

Kecuali dalam OT tertentu yang berbayar banyak dengan menanggung semua biaya sejak dari berangkat sampai kepulangan. Itu pun biasanya transport atau sarpras dari rumah ke tempat kumpul (meeting point) PP ya kudu ditanggung sendiri.

Lalu berapa budget yang harus kita siapkan kalau ikut OT ke Banyuwangi dengan Afrindo ini? Charge-nya cukup ringan 985 rb plus 30 rb kalau sampeyan minta surat sehat untuk ke Kawah Ijen langsung dari biro. Kalau mo ke klinik atau puskesmas, rumah sakit ngurus surat sehat sendiri yo boleh. Kalau ini bayarnya mung 985 rb dan itu pun boleh dicicil 3-4x. Wes apa nggak mudah banget?

Selain itu, sebenarnya biaya selama 3 malam 2 hari (3 nights 2 days) itu sangat tentatif, tergantung gaya hidup dan keperluan masing-masing. Tapi karena ada yang nanya ke saya tentang spill budget, berikut ini coba saya list pengeluaran saya sejak berangkat dari rumah sampai balik lagi ke rumah dengan selamat dan gembira. Alhamdulillah.

Sampeyan bisa menghitung sendiri nanti berapa yang diperlukan. Yang penting jangan ngepres bawa uang tunai, karena hampir di semua lokasi wisata yang dikunjungi masih menggunakan transaksi tunai. Ini dalam IDR ya… Karena kalau sampeyan bule non WNI tarifnya biasanya beda 😀

Saya di salah satu sisi tebing Kawah Ijen dekat areal Blue Fire. Tidak jaketan karena berasa panas. Padahal masih jam 5 pagi lewat. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

  1. Charge ke Afrindo dan surat sehat = 1.015.000
  2. Grab PP berangkat pulang ke MP = @50.000 = 100.000
  3. Makan 4x di luar program @30-50 rb = 200.000 (ini biasa menyesuaikan anggaran masing-masing, termasuk kalau sampeyan suka jajan)
  4. Biaya ke toilet 3 hari x 4 × @5.000 = 60.000 (rerata toilet biaya hanya 2.000, tetapi di tempat wisata ada yang 3,5,7, bahkan 10 rb sekali pake). Jadi sesuaikan aja dan khusus ini siapkan receh dua ribu dan lima ribuan.
  5. Biaya naik kapal rerame di Pantai Bama 25-50 rb. Saya kena 25 rb. Kalau sewa perahu antara 250-350 rb. Tawar tawar saja.
  6. Biaya oleh-oleh 200-500 rb (sesuaikan budget masing-masing). Saya spent 300 rb. Ratuku oleh oleh yo gakpapa. Santai bae, bisa diskip.
  7. Biaya sewa alat pendakian (tracking pole=20.000, senter=15.000, masker=30.000, jaket=30.000) sampeyan bisa menyesuaikan yang sudah punya apa saja. Saya hanya sewa tracking pole 20.000
  8. Biaya tandu ini khusus yang merasa sanggup atau tidak ke Kawah Ijen. Biaya antara 1.5 sd 2 juta PP dari gerbang sampai pos terakhir sebelum ke Blue Fire atau Sunrise. Tawar saja. Saya budgeting 1.5 juta, alhamdulillah kena 1 juta 😀
  9. Biaya fotografi kalau pake jasa lokal setempat di areal wisata. Rerata 1 foto 10 rb, minimal order 5 atau 50 rb. Nggak pake yo gakpapa. Afrindo wes ada fotografer. Cuman kadang kita pingin eksplor di luar areal kerja fotografernya.
  10. Biaya darurat dll 200-300 rb cukup. Ini biasanya kalau harus dadakan beli obat atau sewa ojek, andong, ATV, dll.
  11. Uang saku yang tersendiri 200-300rb cukup.

Sebentar saja duduk di tepi Kawah Ijen, angin belerang menutup areal tersebut. Kawahnya hanya tampak sebagian. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Nah kalau dihitung total uang yang harus saya sediakan adalah 3.370.000; yang dibayarkan ke Afrindo 1.015.000; berarti perlu uang tunai lebih kurang 2.355.000. Ya wes bener karena seingat saya membawa cash 2,5 juta dan masih sisa 1 juta an. Karena anggaran tandu saya 1.5 juta dan kepake 1 juta saja. Biaya darurat plus uang sakunya nggak kepake. Jajanan saya wes include makan di luar program @50 rb yang saya anggarkan.

Dari hitungan ini, kalau saya nggak pake tandu 1 juta, bawa 500 rb wes termasuk makan di luar program, toilet, oleh-oleh (300 rb), naik kapal dll. Berarti kalau misalnya oleh-oleh diskip atau nggak beli, bawa uang saku 500 rb wes turah untuk ikut tour dengan Afrindo.

Sekali lagi ini hanya kasuistik untuk diri saya sendiri. Sampeyan bisa menyesuaikan dengan kondisi dan keperluan masing-masing. Kalau sehat full, masih muda belia, di luar charge yang dibayarkan ke Afrindo, bawa 500 rb pun wes bisa pergi dengan aman. Karena nggak perlu pake tandu, nggak usah sewa alat pendakian, nggak usah beli oleh-oleh. Semuanya tinggal kita saja yang menentukan.

Pokoknya kalau versi saya, ikut OT jangan cari susah. Dinikmati saja. Perlu bayar dan bisa ya bayar aja. Duit bisa dicari lagi. Kesempatan datang ke lokasi piknik itu mungkin nggak akan terulang lagi.

Oke, akhirnya rampung catatan dolan saya ke Banyuwangi dengan Afrindo. Monggo Teman-teman yang mau ikut OT ke Banyuwangi bisa mencari IG @afrindotour. Ada banyak trip lainnya yang mungkin sesuai dengan keperluan; Bandung, Bali, dll. Oh iya, sampeyan juga bisa minta mereka arrange sesuai budget kalau mau trip komunitas, keluarga besar, kawan satu institusi, dll dengan tujuan tertentu.

Maturnuwun dan sampai ketemu dengan catatan dolan saya berikutnya. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat menyambut Ramadan untuk seluruh umat Islam. Semoga ibadah bulan Ramadan kita lancar dan diterima Allah SWT, serta kita dapat berjumpa lagi dengan bulan Ramadan di tahun-tahun berikutnya. Amin YRA.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (9) Kawah Ijen, Blue Fire atau Sunrise

Kawah Ijen dari sisi sunrise. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

“Ibu mau ke matahari terbit atau api biru? Ini sudah pos terakhir,” kata Mas A.

“Api biru,” jawab saya sambil turun dari tandu.

“Api birunya itu di sana, Bu. Ini turun lagi sekitar 800 an meter. Sekilo lah gampangnya. Pas turun itu masih terasa ringan, tapi nanti baliknya itu lebih berat. Karena naik.”

Si Mas A ini melihat ke sekeliling, lalu bilang, “Bu, sebenarnya ini kalau ngelihat waktu sudah telat untuk bisa dapat api biru. Sudah siang. Mestinya kalau memang mau ke api biru dari jam 2 sudah start berangkat dan ibu harus jalan cepat atau langsung pake tandu.”

Di dekat Kawah Ijen dari arah turunan menuju blue fire. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

“Jadi baiknya gimana?” Saya balik bertanya karena nggak menemukan seorang pun dari rombongan saya. TL, fotografer, guide lokal juga nggak nampak.

“Saya terserah ibu. Kalau mau ke api biru, saya antar turun. Kalau ke matahari terbit juga bisa.”

“Kalau dari sini aja apa yang bisa dilihat?”

“Ya kawahnya, Bu. Itu!” Dia menunjuk ke depan, tapi versi saya hanya gelap dan kabut. “Nanti kalau sudah terang baru kelihatan kawahnya. Ibu bisa tungguin di sini.”

Penampakan blue fire di Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Oh, saya pantang menyerah. “Turun aja, Mas. Semampunya saya ke arah api biru. Nanti kalau nggak kuat ya baru berhenti dan lihat kawah.”

Mas A menurut dan ngetutne saya jalan turun. Biyu, di sini jalanannya lebih rumpil, curam, sempit, makin ke bawah makin tajam sudut kecuramannya dan nggak ada pagar pelindung. Asap belerang makin kuat bikin sesak tenan kalau nggak pake masker. Kabut juga masih tebal. Rasanya seperti gelap di mana-mana, meskipun senter-senter pendaki berpendaran di semua sudut.

Lama-lama semakin jalanan menurun, kaki saya nggregeli. Beberapa kali badan saya juga lhiyat-lhiyuut hampir jatuh. Ternyata kantuk saya belum sepenuhnya ilang. Ya ampun Gusti Yang Agung, baru kali ini saya merasa ngantuk luar biasa. Padahal rasanya ya wes cukup tidur.

Sisi lain Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya masih mau jalan lebih turun lagi, tapi malah gasruk. Saya nyaris jatuh. Saya bukan orang yang gampang menyerah pada keadaan, tapi kini memang harus angkat tangan. “Wes kene bae, Mas. Saya nungguin terang biar bisa lihat kawahnya.”

Saya duduk ngejengkruk gitu. Tapi ya masih gelap, nggak tampak apapun. Kecuali orang-orang yang lalu lalang untuk naik balik ke pos terakhir. Mereka sudah dari blue fire. Bisa melihat api birunya.

Haish, bikin saya kepo tapi tubuh fisik mata nggak mau kompromi. Dan kalaupun maksa turun ya wes ilang api birunya. Hiiih, nggak banget niy situasinya.

Asap belerang di mana-mana dan menutup Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Pas duduk saya tanya sama Mas A, apa bisa balik sekarang aja daripada ntar kesiangan. Karena turunnya aja kek gitu berat rasanya, apalagi naiknya. Saya pun berjalan tertatih tatih tenan pas ke atas nya itu.

Dan ngantuk saya sungguh ampun nggak tertahankan. Pinginnya wes tidur aja di situ. Jadi saya yo break berhenti lagi. Saya Shubuhan di areal depan kawah itu.

Sudah mulai sedikit terang, tapi kabut, angin menutup areal kawah dan kembali. Berkali-kali begitu. Tapi saya gembira melihat aslinya Kawah Ijen yang memukau.

Nyaris saya nggak ingat foto, kalau Mas A nggak ngingetin. “Ibu belum foto. Harus ambil foto di sini. Nanti orang nggak percaya ibu sudah ke sini kalau nggak ada fotonya.”

Biasanya penambang lokal membawa belerang seperti itu naik turun Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Ya weslah, dia fotoin saya di beberapa sisi. Sampai disindirin teman-teman sesama pembawa tandu; disebutnya plus-plus. Karena si A ini ya bawa tandu, ya jadi guide dadakan, ketambahan jadi fotografer dadakan.

“Nggak usah didengerin, Bu. Saya bantu aja. Sayang kalau ibu nggak ada foto di sini.”

Begitulah. Saya mendapatkan beberapa foto di sekitaran Kawah Ijen. Situasi nggak mendukung. Kabut, angin, bolakbalik menghilangkan pemandangan Kawah Ijen.

Sampai di dekat pos terakhir, saya ketemu guide lokal. Mas Rizky. Dia mengajak saya untuk naik lagi untuk foto bersama. Tapi saya menolak karena kaki saya rasanya wes lemes tenan turun naik areal blue fire itu.

“Nggak apa-apa, Bu. Jalannya pelan-pelan saya temani.”

Ini arah jalan naik dari areal blue fire. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya tetap menolak, karena tahu kondisi pribadi. Saya bilang akan menunggu di pos saja. Akhirnya Mas Rizky pun pergi. Kalau saya nggak ada di foto grup pas di Kawah Ijen itu bukan salah TL, fotografer, ataupun guidenya. Saya yang wes gak sanggup untuk jalan lagi ke tempat foto grup.

Saya tetap bersyukur dengan effort yang lebih banyak bisa sampai juga ke Kawah Ijen di usia yang nggak lagi belia. Bagi saya foto-foto penting, tapi pengalaman pribadi perjalanan itu jauh lebih penting daripada sekedar tampilan “foto keren”.

Saya berterimakasih pada seseorang yang menawarkan untuk memotret saya di dekat pos terakhir (saya lupa tanya namanya). Mungkin dia melihat saya di sekitaran pos terakhir mung thenguk-thenguk gabut melihat kawah.

Iya, saya menyaksikan angin bertiup kencang dan membawa kabut plus asap belerang yang sekejap saja menutupi seluruh kawasan Kawah Ijen. Hal seperti ini saja, mungkin sepele dan nggak diperhatikan pengunjung lain, tapi bagi saya sungguh pengalaman istimewa.

Saya baru mengerti bagaimana kabut, asap, angin bisa membuat pesawat terbang hilang kendali dan menabrak lalu terjatuh. Karena saat itu beneran semua hanya “putih susu” dan tidak terlihat apapun. Kabut, asap, angin ternyata belum sanggup ditembus radar pemindai di pesawat.

Versi saya, nikmatilah piknikmu, jangan terlalu terobsesi dengan foto-foto bagus untuk “menyenangkan” orang lain yang lihat sosmedmu.😀 Tapi sosmed di negeri kita yang bebas non kontrol atau batasan, bener-bener meracuni para pemakainya untuk pamer apapun dengan lebih massif. Termasuk foto-foto piknik. Hingga banyak juga kita dapat berita orang mati demi foto atau konten heroik yang kelewat berbahaya.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (8) Kawah Ijen, Siapkan Fisik Mental dan Duitmu

Saya di pintu keluar masuk Kawah Ijen, setelah pendakian. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya sangat semangat mau lihat blue fire ini. Hanya ada beberapa orang yang mau ke sini. Karena medannya lebih sulit dan berbahaya. Saya pribadi yakin dalam kondisi sehat jiwa raga. Meskipun saya minta surat sehat dari biro, Senin atau 5 hari sebelum keberangkatan saya juga cek kesehatan standar.

Denyut nadi, tensi, asam urat, kolesterol, gula darah, kondisi mata-telinga-hidung dan kondisi fisik secara umum. Dokter bilang oke, nggak masalah saya eksplore Banyuwangi termasuk ke Kawah Ijen. Cek-cek catatan dolan saya lainnya; saya memastikan diri sehat sebelum ikut OT karena itu bentuk syukur dan jaga diri.

Jangan sampai di OT justru bikin ribet diri sendiri dan pihak lain. Kalau dokter bilang nggak oke, biasanya saya pilih mundur atau tetap ikut dengan tidak mengikuti kegiatan berisiko yang menghabiskan energi. Intinya, ketahuilah kondisi kesehatanmu secara pasti untuk ikut trip-trip yang menguras energi

Ke Kawah Ijen ini versi saya, core atau inti OT yang diadakan Afrindo. Kita butuh nggak cuman semangat, tapi energi tubuh fisik mental spiritual yang kuat. Kudu sehat tenan dan wes biasa jalan mendaki.

Aiiih, saya nggak kebayang bisa enggaknya kalau harus ke Rinjani (lagi) sekarang dengan medan Leter L yang sungguh berbahaya itu. Keinginan siy sekarang ya nggak ada, tapi kekepoan dan uji nyali kadang-kadang bikin saya nekat jalan 😂😁🙈

Ke Kawah Ijen ini saya ya berniat jalan seperti lainnya. Dari pintu gerbang ke pos 1, masih amanlah. Berasa di kaki karena tinggi. Berhenti beberapa kali, saya wes ditawar-tawari para pendorong tandu. Saya masih bertahan. Ada Mbak Dinna dan kawannya, saya masih merasa aman.

Lalu dari pos 1 ke pos 2, mulailah saya merasa menggos-menggos. Berat tenan. Ngantuk. Capek. Pingin tidur. Panas. Pokmen jadi nggak mudah buat saya. Di pos 2 saya berhenti, minum air dan multivitamin biar melek mata. Asli, saya nggak tahu kenapa itu rasanya ngantuk sekali dan pingin tidur aja.

Mas Adit masih nungguin saya di pos 2, tapi karena saya kelamaan mager dia bilang jalan duluan dan akan nunggu saya di pos 3. Saya bilang oke.

Untunglah di sini saya dibantu Pak Wanto. Beliau menunggui saya karena ternyata tinggal saya doang yang terakhir dari rombongan Afrindo. Biyuuu… nggak pernah kejadian kek gini di areal pendakian.

Di dekat perhentian jasa tandu saat turun dari Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Pas saya sudah mau jalan, Pak Wanto bilang agar saya pake langkah pendek-pendek biar nggak cepet capek dan pake tracking pole di tangan kanan. Oh iya, saya bukan kidal tapi untuk beberapa aktivitas fisik tangan kiri saya rasanya lebih kuat daripada tangan kanan. Tapi saya menuruti saja.

Wah mulai berasa beneran ngantuk dan lelahnya saya. Akhirnya saya melambaikan tangan. Menyerah di jarak pos 2.5 an. Naik tandu. Kalau mikirin ngantuk dan lelah, kayaknya saat itu saya milih tidur aja. Tapi sudah nyebur jalan gini, ya kudu diselesaikan. Bagi saya kalau memulai sesuatu sebaiknya ya dirampungkan semampunya.

Naik tandu saya diangkut 2 orang laki-laki, sebut aja Mas A dan Mas B. Saya ketawa dalam hati ketika mereka rerasan dengan bahasa Madura. Berangkat kerja awal dapat 1 penumpang dengan harga tolong menolong, semoga nanti dapat yang harga full. Begitulah harapan mereka.

Sewa tandu di sini kalau PP 1.5 sd 2 juta. Naik ke atas saja 1 sd 1.5 juta, turun saja 500rb sd 1 juta. Saya ingat pesan Mas Andre, monggo ditawar saja. Terus pas kasak kusuk di basecamp, biasanya harga tandu cenderung turun kalau orangnya kecil mungil. Tapi kalau orang normal size atau over size ya bayar penuh.

Jadi saya pede aja nawar 1 juta karena size saya kayaknya di bawah normal deh. Dan ya dibolehkan itu dengan sebutan harga tolong menolong. Wah, lha ini sudah lebih mahal daripada biaya trip 3 hari lhooh. Pokoknya inget-inget aja, kalau mau ke Kawah Ijen, siapkan fisik mentalmu dan duitmu 😁😂

Di pos 3 saya jumpa teman-teman satu rombongan. Bu Mur dan Bu Sarmini (dua Ibu sepuh) akhirnya ikut naik tandu juga. Karena ini memang medannya wes berasa berat. Tapi pasti nggak seberapalah buat yang biasa naik gunung.

Usai pos 3 itu, saya wes langsung tertidur. Wkwk… jadi saya nggak kuat jalan itu gegara wes capek dan masih ngantuk. Dan tahu-tahu dibangunin Mas A pas sudah di pos terakhir. Whelah cepet tenan. Baru jam 4-an pagi. Masih gelap.

Mas A dan Mas B itu bawa orang ditandu sambil lari aja. Cepet dan nggak terasa gitu di saya karena saya tertidur. Wes jelas kalau gak bawa duit, pasti saya nyesel nggak sampai puncaknya.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (7) Kawah Ijen, Sebelum Pendakian

Tongkat merah itu yang disebut tracking pole. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Sekejap saja rasanya dan alarm jam 11.30 malam wes bunyi. Biyuuu, saya dan Mbak Lita segera beberes. Bawa barang sesedikit mungkin untuk ke Ijen.

Di sini saya baru sadar, tas punggung parasut yang saya siapkan untuk ke Ijen, ternyata nggak kebawa. Beuuh, rasanya kek nyesel banget. Karena kalau tas punggung itu ringan, bisa dilipat, tapi kuat dan muat cukup banyak barang tanpa kelihatan gendut.

Dipake di punggung juga memudahkan pendakian di jalan-jalan curam. Ya sudahlah, terpaksa saya bawa tas bahu. Rasanya kurang nyaman, tapi mo gimana lagi. Saya perlu bawa air, obat-obatan, snack kering, sarung tangan, topi, masker, HP, uang, copy identitas, dll yang nggak mungkin saya tenteng tangan.

Jam 12 an teng hampir semua peserta rombongan sudah di loby hotel. Kami segera membereskan administrasi dan biaya sewa alat pendakian. Oh ya, barang yang disewakan cukup banyak; tracking pole, jaket tebal, masker gas, senter.

Sampeyan nggak harus sewa semuanya. Ambil saja yang perlu sesuai kondisi masing-masing. Tracking pole sangat penting, sebisa mungkin sewa kalau nggak bawa sendiri. Karena ini memudahkan pendakian dan mengatur langkah.

Usai persiapan, kami naik shuttle bus lagi menuju kawasan Ijen. Sekira sejam lebih. Jam dua kami sampai di basecamp. Tapi ya nggak bisa langsung naik. Masih cek ricek identitas, kartu sehat, alat-alat pendakian yang disewa, ke toilet, makan minum juga. Weish… namanya juga banyak orang 😁😂🙏

Masker gas yang biasa dipakai untuk ke Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Sampai di basecamp atau dekat pintu masuk kawah Ijen, saya mulai merasa ada yang salah dengan penyebutan “dingin”. Rasanya wes panas, gerah. Jaket tebal saya memperparah panas udara di tubuh saya, tapi nggak mungkin saya lepas karena nggak ada ruang lagi di tas bahu.

Jaket tetap saya pakai sambil ketawa dalam hati melihat semua kerubutan brukut pake topi, syal, sarung tangan biar nggak kedinginan. Yang kelainan memang saya sendiri, karena dingin versi saya itu kalau sudah di bawah 8 derajat C, baru kudu jaketan brukut. Kl 18-20 C aja, kayaknya kulit saya sudah kebal.

Sampai di basecamp, Mas Adit mengurusi administratif, ambil alat-alat pendakian yang disewa. Sebagian peserta tour ada yang makan-minum, ke toilet. Setelah itu ada briefing oleh guide lokal. Lebih kurang semuanya perlu waktu 1 jam an. Praktis, kami berangkat lebih kurang jam 3 dini hari.

Kami berangkat bersama-sama, baru nanti akan berpisah jadi 2 kelompok. 1 kelompok ke blue fire, 1 kelompok ke sunrise. Ada lebih kurang 7 pos dengan pintu utama yang harus kami lewati, sebelum menuju blue fire atau sunrise.

Di sini, ingatan saya tentang Kawah Ijen samar-samar mulai terbuka. Rasanya kami berangkat sudah terlalu siang untuk sampai ke pos terakhir sebelum ke blue fire atau sunrise.

Saat di basecamp itu saya yakin areal jalan menuju Kawah Ijen pasti sudah diperbaiki dan lebih kondusif untuk wisata umum dan massal. Tapi jelas kondisi alam aslinya yang terjal, curam, berbatu tajam, sempit, kiri kanan jurang kawah itu nggak akan berubah.

Bagi mereka yang biasa mendaki mungkin 3-4 km dengan medan rumpil begitu 1 jam sudah cukup. Mereka masih bisa dapat api biru atau matahari dengan tenang. Tapi bagi orang awam, jelas butuh lebih dari 2.5 jam untuk sampai pos terakhir. Dan itu berarti sekira jam 5.30 an sampai pos terakhir dan terlewat sudah blue fire ataupun sunrise.

Kalau berangkatnya jam 1 dini hari, untuk orang awam dan sehat, insyaallah bisalah kalau beruntung dapat blue fire atau sunrise. Tapi pikir saya, let see aja. Mungkin saya salah itung prediksi waktu. Bisa jadi lebih cepat karena ada guide lokal profesional (Mas Rizky dan Mas Imam) yang memandu jalan. TLnya Mas Adit dan fotografernya Mas Alvin juga ikut mengawal. Pasti sudah diperhitungkan semuanya.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (6) Nginep di Hotel, Makan Apa Kita?

Halaman depan hotel tempat kami menginap. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Selesai belanja di Wong Osing kami meneruskan perjalanan ke hotel. Ya nginep di hotel, tapi makan malam nggak ditanggung biro. Artinya kita kudu cari makan sendiri, bayar dhewe-dhewe.

Saya yang merasa daftar sendiri, sempat berpikir wah jangan-jangan saya sekamar sendiri. Persis ketika trip di China karena sahabat saya nggak jadi ikut.

Bukannya penakut, tapi saya lebih khawatir kalau nggak terbangun tengah malam sesuai jadwal itenerary. Destinasi kami selanjutnya itu eksplorasi pendakian Kawah Ijen.

Perjalanan ke Ijen dijadwalkan berangkat dari hotel jam 12 malam. Padahal diperkirakan kami baru sampai hotel jam 7 malam. Mandi, beberes, makan dll bisa 1-2 jam itu.

Artinya hanya ada 2-3 jam untuk tidur. Itu pun bagi mereka yang biasa tidur cepet bangun cepet. Ada tipikal orang yang mau tidur itu ritualnya lama, mau bangun pun demikian.

Kekhawatiran kedua saya kalau tidur sendiri ndilalah kamarnya berhantu. Weeeh, sudah beberapa kali saya harus terjaga semalaman gegara gangguan hantu dan nggak bisa ganti kamar karena full. Di China pernah, di Vietnam beberapa kali, di Magelang pernah, di Jakarta beberapa kali, di Ambon kena juga, di Jogja juga pernah beberapa kali.

Wes, ingatan buruk kok ya ndadak mampir di kepala saya. Mungkin karena saat itu hujan, dingin, kabut, gitu ya. Jadi nggak ada kesan ceria malam itu. Orang lebih mudah ingat hal nggak baik saat situasi nggak kondusif.

Saya berdoa semoga baik-baik saja. Kami nginep di Hotel Slamet. Kalau dari review marketplace biaya semalem antara 300-500 rb. Oh kalau hotel sering dipakai karena budget ringan standar biasanya aman, nggak berhantu.

Percayalah hotel-hotel berhantu yang pernah saya alami itu semuanya berbintang 5-7. Mungkin kamar-kamar itu jarang dipakai karena rate tarif yang tinggi. Lha saya pakai aja, karena kan dibayari sponsor atau klien. Bayar sendiri yo pasti mikir lah bermalam-malam gitu. Apalagi siang ditinggal kerja di lapangan. Sayang juga kan, kecuali untuk staycation 😂😁🙏

Syukurlah saya sekamar berdua dengan Mbak Lita. Mbak Lita bersaudara daftar bertiga, jadi yang satu orang sekamar dengan saya. Saya langsung senang. Alhamdulillah. Ada temannya. Ada yang bangunin kalau saya telat, meskipun itu jarang terjadi. Sudah biasa jalan cenderung bikin orang akan lebih tertib dengan jadwal.

Kamar hotel ini sebenarnya standar ya. Meja kursi ada. Gantungan baju ada. Ada 2 bed. AC. Lampu lampu. TV. Colokan listrik. Kamar mandi standar dengan 2 handuk besar tanpa toiletries. Ngak ada sikat gigi, pasta gigi, sabun dan shampo. Untung ada air hangat, meski nggak ada petanda suhu sehingga kudu ngatur sendiri panas dinginnya. Nggak ada juga sandal hotel. Nggak ada tisue. Kami cuma dapat 2 botol air mineral @600 ml.

Saya wes bersyukur bae ketemu air panas untuk mandi. Tidur bisa nyenyak dengan bed yang nyaman dan AC yang dingin. Lha daripada tidur di bus, kan sungguh nikmat banget tidur di kamar hotel. Apalagi charge OT di Afrindo ini ringan banget. Tenan, saya bae mumet kalau disuruh mikir ngatur duitnya. Jadi ikut OT dengan Afrindo rekomendasi banget kalau saya siy 😀👍

Saya wes merasa lelah banget dan pingin langsung tidur. Tapi inget belum makan, bisa jadi perkara kalau laper tengah malem. Saya ngikut Mbak Lita saja yang berencana cari makan duluan, baru mandi dan beberes. Saya memutuskan sholat dulu, baru keluar hotel.

Kami makan di sekitaran hotel. Oh syukur tenan di sini banyak warung makan dan murah meriah. Seenggaknya cari yang dekat pun gampang. Kalau dalam situasi seperti ini, saya nggak akan coba-coba dengan menu baru yang aneh-aneh. Khawatir perutnya ribut karena nggak cocok makan.

Ingak inguk kami ketemu tempat mie ayam dan bakso yang lumayan rame. Ikut masuk dan memesan. Njur saya panik sejenak karena nggak nemuin HP di tas. Di mana ya?

Kata Mbak Lita sejak dari kamar saya nggak ada keluarin HP. Tapi seingat saya HP wes saya pegang. Daripada pikiran, saya balik ke kamar hotel. Ealah HP itu teronggok di meja. Sudah disiapin tapi nggak kebawa. Untung tempatnya dekat. Kami makan dengan tenang.

Menunya enak dan murah meriah. Saya sampai mengulang bertanya, memastikan bayar makan dan minum per porsi nggak sampai 17 rb itu sudah benar. Makanya itu saya bisa bilang kalau oleh-oleh di Wong Osing termasuk larang; karena makan di sekitaran hotel bae segitu murahnya. Mosok bolu kecil bae 30 rb an…😁

Balik hotel, Mbak Lita mandi duluan. Saya wes tertidur sejenak dan terbangun pas Mbak Lita beberes. Saya wes niat tidur lagi aja, tapi otak saya mikir ntar kalau bangunnya lelet, mikir mandi ini itu, akhirnya saya yo mandi, beberes, baru tidur.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (5) “Wong Osing”: Ternyata Bukan “Suku Osing”

Papan nama “Wong Osing”. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Lepas dari De Djawatan kami melanjutkan ke Wong Osing. Hujan sangat deras mengguyur sepanjang perjalanan. Untunglah kami sudah selesai acara mider keliling eksplore di De Djawatan. Kalau enggak, wah bisa kagol kecewa nggak dapat foto-foto bagus di tempat sekeren itu 😁😂

Pas masih nanya-nanya di grup tentang oleh-oleh khas Banyuwangi dan dijawab di Wong Osing itu, otak saya berpikir bahwa yang dimaksud adalah Orang Osing atau Suku Osing. Asumsi saya, kami akan ke areal atau kawasan Desa Adat Suku Osing di Kemiren (cmiiw). Wah lha keren sekali ini Afrindo bawa piknik masih mikirin muatan budaya lokal.

Jadi saya sempat juga membongkar lagi ingatan dan referensi tentang Suku Osing ini. Meskipun mereka tinggal di Pulau Jawa, tapi adat budaya dan bahasa mereka ini nggak sama dengan Suku Jawa. Semuanya beda.

Beberapa perempuan dari Suku Osing. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya bahkan wes mikir, oh ntar bisa motret (lagi) beberapa Suku Osing dan tentu lokasi khas areal tinggal mereka. Termasuk beberapa hasil keahlian lokal mereka yang beragam: menari, membatik, membuat olahan pangan, pengobatan, minuman berbahan rempah-rempah, bikin souvenir dll.

Ya begitulah kalau orang linguistik antropologis ketemu nama suku atau etnis tertentu. Mikirinnya wes semua adat budaya mereka. Dokumentasi etnis bentuk visual dan verbal yang sangat berharga.

Saat di perjalanan menuju ke Wong Osing itulah saya baru “ngeeh” mudeng, paham kalau yang dimaksud dengan “Wong Osing” itu ternyata bukan “orang Osing” atau “Suku Osing” seperti yang saya pikirkan. Ini hanyalah sebuah toko oleh-oleh khas Banyuwangi yang kebetulan namanya “Wong Osing”.

Pak Ganjar pas safari politik di lingkungan orang Osing. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Blaiiik tenan. Jebulnya toko oleh-oleh. Dan saya menertawakan diri sendiri yang sudah punya banyak ekspektasi 😁😂 Jadilah di toko itu saya mider keliling nyari oleh-oleh khas Banyuwangi.

Sayangnya karena hujan deras, listrik mati, panas (AC nggak bisa nyala kan?) belanja jadi kurang well. Saya juga nggak ngambil foto-foto di dalam toko. Di beberapa bagian tempat kain, kaos, souvenir juga nggak bisa diakses.

Terus niy pas kami datang kok kayaknya toko belum terlalu siap menerima “banyak tamu”. Peladennya kurang, ditanyai ini itu nggak paham. Pas antrian kasir, kami juga diover sana sini. Terus semua makanan nggak ada testernya. Nggak bisa milih pasti ini rasanya cocok atau enggak di lidah kita.

Selain itu, banyak menu jajanan yang masih pakai bahasa lokal tanpa terjemahan Indonesia. Bagi saya itu bikin ngeblank juga… Misalnya dikasih nama “bolu kuwuk”. Nah saya kudu nanya dulu kuwuk itu apa, ternyata original. Kalau orang Jawa dengan bahasa Jawa, kuwuk itu kan nganggepnya wes terlalu tua, bau, atau basi. Lha mosok bolu basi dijual, kan jelas bukan itu artinya 😁😂

Wes saya akhirnya membeli lebih kurang 10 jenis item jajanan (versi saya, seenggaknya saya kenali) dan masing-masing hanya 1 bungkus standar. Ini karena saya nggak tahu persis isi dan rasanya apa.

Ya kalau cocok di lidah saya, kalau enggak terus nggak kemakan, kan sayang? Dan beneran, mungkin karena remang-remang listrik mati; 3 item jajanan yang saya beli ternyata 2 bungkus bagian plastik bawahnya wes bolong. Kerupuk ikannya wes mlempem tanpa saya tahu. 1 bungkus lagi masa berlaku wes lewat, sehingga rasanya apek penguk nggak bisa dimakan.

Saya orang Jawa. Jadi masih bisa bilang untung yang kecolongan nggak bisa dimakan cuman 3 bungkus. Tapi 3 bungkus harga 30 rb an ya wes 90 rb mubadzir 😁😂 Saya cuman bisa nyalahin diri sendiri kok nggak teliti sebelum membeli. Tapi itu juga jelas QC-nya Wong Osing lalai. Barang nggak layak kok isih mejeng di tangkringan produk yang dijual.

Terus versi saya di sini regane lumayan bunyi. Saya tahu, oleh-oleh di toko khusus biasanya memang beda harga. Tapi kalau ketinggian dan berasa larang, yo orang mikir untuk bayar. Mungkin tokonya perlu screening cocokan harga lagi. Biar orang yang biasa piknik dan jajan oleh-oleh kek saya nggak merasa mark up harganya ketinggian.

Saya kurang tahu kalau belanja di sini pas terang benderang. Mungkin lebih memyenangkan, tapi pastinya harganya nggak beda dengan saat kami datang. Mungkin Afrindo juga perlu mencari tempat oleh-oleh lain yang lebih kondusif untuk kerja sama jangka panjang. Wong Osing saya kira perlu berbenah agar tamu-tamu yang datang bergembira, belanja banyak tanpa merasa larang, dan sukacita membagikan kesan baik mereka kepada keluarga dan kolega.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (4) De Djawatan: Misteri Hutan Magis

Gerbang De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Setelah dari Pantai Bama, kami kembali ke rest area. Bebersih, sholat, makan siang. Kami kembali ke bus besar dan melanjutkan perjalanan. Kini kami menuju ke De Djawatan. Hutan eksotis yang sudah lama viral.

Saya baru kali ini ke De Djawatan. Tempat ini dibuka sebagai areal wisata tahun 2018. Antara tahun 2016 s/d 2020 sebelum pandemi, medan kerja saya sebagai penulis profesional lebih banyak di Indonesia Timur (Maluku dan Papua). Jadi di tahun-tahun itu saya nyaris nggak pernah piknik di areal Jawa atau di luar Indonesia Timur.

Gegara itu, sebagian logat Jawa saya ilang karena intensnya berinteraksi dengan warga lokal (yang nggak semuanya jago berbahasa Indonesia). Pekerjaan yang membuat saya bisa turun ke tempat wisata-wisata luar biasa di Indonesia Timur; yang kalau suruh ragat biaya sendiri untuk tiket pesawatnya bae mikir berulang😁😅

Sisi lain De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Karena belum pernah datang ke De Djawatan itulah, saya jadi sangat antusias. Hutan yang sudah viral dengan sebutan Hutan The Lord of the Rings. Hutan magis dengan pesona luar biasa. Pasti sangat menyenangkan berada di lokasi tersebut.

Saya pikir, hutan ini lokasinya nggak jauh dari Baluran. Lho ternyata hampir 2 jam perjalanan dengan bus. Kalau di pantai berpanasan, kami di areal ini bisa berdinginan. Sejuk. Adem.

Lokasi De Djawatan berada di Dusun Purwosari, Desa Benculuk, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sudah beda kabupaten dengan lokasi TN Baluran dan Pantai Bama.

Di bagian dalam De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Wah, saya beneran takjub dengan hutan ini. Pohon besar-besar dengan sulur panjang-panjang yang memenuhi hampir seluruh areal hutan. Saya merasa sedang berada di dunia fantasi. Indah banget. Subhanallah, Maha Suci Allah dengan Semua CiptaanNya. ❤

Hingga sekarang, baik warga lokal maupun pihak terkait (Perhutani) belum bisa memastikan asal usul atau sejarah De Djawatan ini. Sebagian menganggap kalau areal ini bekas markas TNI di masa penjajahan untuk transisi prajurit, logistik, dan senjata. Namun pihak TNI setempat atau melalui dinas penerangan TNI tidak pernah mengkonfirmasi hal tersebut.

Sementara pihak Perhutani menyebut bahwa areal itu dulunya tempat penimbunan kayu sebelum dijual, agar awet tidak mudah lapuk atau rusak. Pelindungnya dengan daun-daun trembesi.

Di manapun di De Djawatan bisa foto. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya pribadi cenderung mengamini pendapat Dinas Kehutanan. Karena nama De Djawatan sendiri diambil dari Djawatan Kehoetanan, sehingga kemungkinan besar areal ini untuk urusan industri kayu di masa lalu, bisa jadi lebih benar dibandingkan sebagai areal atau markas TNI. Luasan hutan yang hampir 10 hektare ini juga bisa dimaklumi sebagai daerah penghasil kayu-kayu besar di masa lampau.

Yang jelas, wisata ke sini adalah piknik yang luar biasa. Dengan tiket 5 rb saja per gundul sampeyan bisa eksplore sepuasnya dari pagi sampai sore. Pastikan bawa bekal cukup, pakai baju dan alas kaki yang nyaman, baterai HP/kamera harus full. Karena semua tempat bagus untuk spot foto.

Secara umum, di sini sarpras sudah memadai. Toilet, mushola, tempat parkir, orang jualan makan/minum, gazebo, spot foto, bahkan ada banyak jasa foto on the spot yang bisa kita sewa dengan harga murah meriah.

Terlihat perbandingan tinggi besar pohon dengan orang dewasa. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya cukup banyak eksplore dan nggak berhenti mengagumi “luar biasanya” keindahan tempat ini. Di tempat ini pohonnya sungguh besar-besar dan tinggi-tinggi. Hampir di semua tempat seperti itu keadaannya. Tuhan seperti sedang mengajak saya berbicara lewat keindahan alamnya yang nggak ada di tempat lain.

Saya bersyukur juga pas kami di sini, hujan hanya rintik beberapa saat. Kami masih bisa eksplore dengan cukup. Foto-foto di banyak spot. Naik turun panggung untuk foto. Lelarian sana sini menikmati alam sejuk yang indah luar biasa.

Oh iya, di sini kalau nggak mau terlalu capek pas keliling areal hutan; kita juga bisa menyewa andong, ATV ataupun jasa ojek motor. Cuman saya lupa nggak nanya berapa tarifnya. Yang jelas kalau sewa alat transportasi, areal jangkauan keliling kita bisa lebih luas dibandingkan kalau kita hanya jalan kaki. Spot foto yang bisa kita peroleh juga lebih banyak. Monggo diitung dan dipertimbangkan sesuai kondisi masing-masing.

Rombongan kami di De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Kalau sampeyan ke Banyuwangi, pastikan mampir ke hutan istimewa ini. Ikut trip dengan Afrindo juga lebih gampang. Tapi kalau mau arrange sendiri, tempat ini layak dijadikan destinasi wisata keluarga yang menyenangkan dan murah meriah.❤

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us: