Wonderful Umroh (11) Ya Allah, Saya Datang Memenuhi PanggilanMu ❤

Usai thawaf. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari

Hati saya mulai tenang ketika sudah sampai mesjid Bir Ali. Ya kita harus ambil niat untuk umroh. Wudu, sholat dua rakaat, baru membaca niat. Sebelumnya tentu sudah berpakaian ihram lengkap.

Saya berdoa jiwa raga fisik mental saya kondusif dan sehat kuat untuk ibadah umroh kali ini. Perkara Bu X selama perjalanan dan di Madinah itu menguras energi emosional saya. Meskipun sudah saya charge energi berulang sampai full, terasa kalau orang satu itu memang untuk menguji kesabaran saya.

Saya sempat tanya ke Ustad Sule, itu Bu X bagaimana umrohnya. Di situasi normal aja begitu heboh bikin kisruh, apalagi kalau pas thawaf dan sa’i di tengah kerumunan dan tuntutan jalan mengikuti kecepatan rombongan.

Ustad Sule bilang dia pake kursi roda. Syukurlah, sekurangnya kali ini dia nggak akan bikin rempong jamaah lainnya. Tentu juga tidak akan jadi pikiran saya dan Bu B, kalau misalnya dia ikut umroh dengan kami, njur tiba-tiba pingsan di areal thawaf atau sa’i kan jadi panjang urusannya.

Kami umroh pertama di malam hari. Areal thawaf di pelataran Ka’bah penuh sesak. Begitu pun areal sa’i. Sepertinya banyak dari umat Islam yang memilih umroh di bulan November ini karena udara yang lebih sejuk dan bersahabat. Byuuk full.

Saat malam kami umroh itu penuh sesak mungkin juga karena Malam Jumat, Kamis hari yang dimuliakan. Foto itu saya nungguin lengang, eh kok nggak bisa-bisa. Jadi yo wes, fotonya di antara banyak orang.

Setelah thawaf atau keliling Ka’bah 7x kami dipersilakan sholat sunah dua rakaat. Saya sholat dan berdoa banyak-banyak. Kemudian kami bersama-sama minum air zamzam.

Kemudian kami menuju pelataran sa’i. Di saat sa’i ini sandal saya pakai karena kaki saya sensitif untuk ubin yang kotak-kotak kecil ada lubang-lubangnya. Bukan lantai rata seperti di pelataran Ka’bah.

Beres sa’i kami menuju areal tahalul. Potong rambut 3 helai. Tentu sambil minum-minum air zamzam. Usahakan selama di Madinah atau Mekkah minum air zamzam sebanyak-banyaknya sambil berdoa semua keinginan kita.

Selesailah ritual umroh kami. Alhamdulillah umroh pertama wes beres; dan jangan tanya capek klengernya. Selain siap fisik mental, bagi yang mau umroh siapkan baju umroh yang nyaman dan tentu alas kaki yang membuat kaki ringan melangkah. Jangan lupa juga makan minum secukupnya dan bawa air zamzam ya….

Semua titipan doa sudah saya sampaikan juga di depan Ka’bah. Semoga diijabah dan makbul adanya. Amin YRA.

Ya Allah, saya datang memenuhi panggilanMu. Mohon undang, panggil saya lagi di waktu berikutnya dengan kondisi dan fasilitas yang terbaik. Amin.

Oh iya, saya nyaris lupa. Pas umroh pertama itu ada juga jamaah yang ilang terpisah dari rombongan. Seorang bapak, entah suami dari ibu siapa. Yang kayak begini bikin nungguin lama. Di-WA, ditelpon gakbisa, dan gak ada satu pun jamaah yang merasa dipamiti atau bareng dia. Istrinya sudah kayak mo nangis.

Ustad Sule yang kembali ke areal sa’i untuk mencari bapak-bapak ini sampai ketemu. Katanya pas sudah kembali ke rombongan, dia juga bolak-balik nyari-nyari rombongan, tapi nggak ketemu dan berkali-kali salah mengenali orang. Wallahua’lam.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Wonderful Umroh (10) Apakah Benar Umroh Itu Panggilan Allah?

Saya di salah satu sisi Masjid Nabawi, Madinah. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Nggak bisa saya jelasin tentang apakah benar bahwa umroh itu panggilan Allah. Tahun ini saya nggak ada niatan umroh. Pikir saya, 2-3 tahun lagi. Kan kemarin 2023 ya wes umroh.

Tahu-tahu di bulan Juli 2024 tuh kayak ada yang ngusik hati, “Ari, kamu berangkat.” Itu pas Jumat, Senin sudah saya eksekusi. Daftar, kirim syarat administratif, bayar.

Njur lupa. Ini ya duit lumayan, cuma karena transfer jadi gak berasa. Sama aja kayak kita bayar belanja atau pesan makanan online. Di akhir 2023 saya wes merasa kalau pendapatan saya akan turun drastis karena belum ada buku terbit komersial dan gaweyan yang ada di 2024 ya kecil-kecil saja.

Tentu ada dana yang saya tabung jauh hari sebelumnya, sehingga tetap baik-baik saja. Kalau pun saya nggak niat umroh lagi, tapi usikan hati kecil saya itu seperti nggak bisa diabaikan. Seperti suatu pertanyaan yang menuntut jawaban segera.

Jadi, kayak ada tangan ajaib yang menuntun saya harus begini, begitu. Dan mungkin itulah yang disebut panggilan Allah. September saya sempat ingat pas dikirimi surat izin untuk cuti dari biro. Saya pikir oh iya. Masih lama.

Tahu-tahu saya banyak gaweyan, memang kecil-kecil tapi beruntun terus tanpa jeda. Wes saya tambah lupa sama umroh. Bener-bener ujian sampai saya bolak-balik drop, batuk, flu, pilek, demam tinggi. Badan beneran nggak nyaman, tapi kerjaan nggak boleh tertunda.

Seolah saya dibuat lupa beneran soal umroh. Tahu-tahu pas diminta ambil perlengkapan umroh dan manasik. Hayaa, saat itu lho saya baru siap-siap dan tahu-tahu wes berangkat. Gitu aja.

Pokoknya versi saya, kalau berasa ada krenteg, niat atau suara hati untuk umroh, terus duit ada (sekurangnya bisa untuk bayar DP-nya), waktu yang dipilih cocok, langsung daftar dan bayar aja.

Oh ya, bayar umroh di banyak biro sekarang ini bisa nggak langsung lunas kok. Ada yang boleh DP, lalu kita cicilin sampai selambatnya sebulan sebelum keberangkatan. Cuman kalau ada duitnya ya bayar aja langsung lunas, ndak malah nanti kepake untuk yang lain-lain.

Menurut saya, panggilan itu bisa ilang beneran kalau nggak kita sambut. Bayangin kalau pas Juli itu saya nggak daftar bayar, ya pasti nggak berangkat.

Dan saya memaknai panggilan Allah untuk umroh itu memang sungguh untuk menenangkan hati saya. Sepanjang tahun 2024 ada banyak sekali persoalan, pertanyaan atas hidup yang versi saya kok belum terjawab. Belum rampung-rampung. Lalu, saat umroh semuanya seperti sudah terjawab, selesai begitu saja. Ridha pada ketentuan atau takdir Allah tanpa mempertanyakan ini itu lagi.

Hati saya begitu tenang damai di kota rumah Rasulullah ini. Madinah yang Mulia. Hidup saya untuk memikirkan dunia, kurang ini kurang itu, belum ini itu, seperti terhenti begitu saja. Hati saya begitu bahagia rasanya dan begitu enggan berpisah dengan kota Nabi Muhammad SAW ini. Meninggalkan Masjid Nabawi, meninggalkan Madinah seperti meninggalkan sesuatu yang entah mengapa, tiba-tiba begitu saya cintai.

Dulu sebelum saya umroh yang pertama, saya nggak pernah percaya bahwa sekali kamu datang ke Baitullah (Madinah-Mekkah), selamanya rumah itu akan menjadi tempat yang paling kamu rindukan.

Dan itulah yang terjadi pada saya. Keinginan saya untuk menjelajah negeri lain, bisa begitu saja hilang saat terbersit niat umroh. Alhamdulillah. Saya bersyukur dicukupkan, dipanggil lagi oleh Allah untuk datang ke rumahNya.

Dan sebelum bus benar-benar meninggalkan Madinah, saya menangis bercucuran air mata dalam diam. Menangisi sesuatu yang saya pun tidak pernah tahu kapan bisa kembali lagi.

Karenanya saya berdoa sungguh-sungguh untuk dipanggil lagi dan dimampukan semuanya dalam kondisi dan fasilitas terbaik. Amin YRA.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Wonderful Umroh (9) Jangan Marah Kalau Nggak Bisa Masuk Raudah

Salah satu foto saya saat mau keluar dari Raudah. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Salah satu yang ditunggu-tunggu jamaah umroh dari seluruh dunia kalau ke Masjid Nabawi itu ya ke Raudah atau Taman Surga yang ada di muka bumi. Salah satu tempat yang makbul untuk berdoa dan memohon pengampunan Allah.

Sejak dari manasik di Dewangga itu sangat ditekankan bahwa jangan kecewa, jangan marah, atau beributan bikin kisruh kalau tidak bisa masuk Raudah. Sebagai biro umroh yang sudah lebih dari 25 tahun melayani umat, biro ini menjelaskan betapa ketatnya aturan dan seleksi masuk Raudah sekarang ini. Kalau dulu pengiring jamaah, baik Ustad atau Ustadzah pasti bisa masuk ikut serta; sekarang kalau nggak terdaftar di tasreh ya tunggu di luar.

Secara official tiap orang hanya boleh 1x masuk Raudah dalam 1 tahun. Tentu ada saja cara untuk masuk lewat jalur non pendaftaran. Semua peserta umroh Dewangga didaftarkan untuk masuk Raudah sesuai aturan. Namun segala hal tidak terduga, termasuk penolakan atau penutupan Raudah sementara waktu, bisa saja terjadi.

Saya wes pasrah manut saja ketentuan. Rombongan kami tiba di Madinah Selasa pagi. Kami sudah mendengar kabar, Senin kemarin dan Selasa hari itu, Raudah tutup total karena rehabilitasi. Jadwal rombongan kami ke Raudah sesuai tasreh (pendaftaran dan izin masuk Raudah) itu Kamis jam 07.00 waktu Madinah.

Ndilalah Kamis itu pihak Masjid Nabawi akan mengadakan Sholat Istisqa dari jam 07 sd 09 waktu setempat. Jadi jadwal kami masuk Raudah pun jelas entah, belum pasti dan sudah banyak rombongan yang ditolak masuk karena alasan itu.

Saya, yang alhamdulillah wes beberapa kali ke Raudah, ya wes bismillah kalau kehendak Allah pasti kami bisa masuk; kalau enggak ya semoga diundang lagi tahun berikutnya.

Tiba-tiba Rabu malam, kami diberitahu untuk antri di areal Raudah jam 22.00 atau 10 malam waktu setempat. Jam 21.00 kami sudah harus berangkat dari hotel. Ustadzah yang bawa kami orang Madura. Ampun dj, gualaknya 😆😅 Kalau ada yang jalan lelet, setengah diteriakinya agar kami cepat-cepat.

Kebayang betapa lelahnya kami, karena hari Rabu itu sejak pagi kami city tour dan belanja sampai malam —yang pastinya lelah benar. Sudah maunya istirahat, eh dadakan disuruhnya kami antri di depan Raudah.

Beberapa kali sang Ustadzah mengingatkan kami terus berdoa agar masuk Raudah dan bisa sholat berdoa di sana. Pun mengingatkan kalau nggak bisa masuk nggak boleh marah-marah. Saya terus berdoa.

Lama kami menunggu berdiri dalam barisan tanpa kepastian. Sementara saat itu ada badai belalang yang besar-besar beterbangan hilir mudik di sekitaran kami; sampai banyak yang masuk ke gamis ibu-ibu. Dan hebohlah teriakan kalau belalang itu wes nempel di baju baju atau masuk ke tubuh.

Saya pun ditempeli pula sama belalang-belalang itu; tapi mungkin karena gamis saya warna terang; mereka hanya nempel di sekitaran kerudung yang warna gelap. Tidak sampai bikin keributan.

Beneran lama itu kami berdiri. Dari jam 22 sd 23.30 waktu setempat. Nggak ada kepastian. Dan sudah sejak pagi, kami juga mendengar banyak banget rombongan yang ditolak masuk Raudah, walau sudah mendaftar. Jadi beneran berasa hopeless karena kami malam itu kan nggak ada izin resmi. Izinnya baru besok atau Kamis jam 07.

Lalu entah bagaimana Ustadzah kami itu lari ke sana sini, nego sana sini. Ada sekurangnya 2x petugas Raudah menanyai kami dan memeriksa list, entah apa isinya.

Alhamdulillah kami boleh masuk ke areal Raudah. Dan byuuk kami masuk. Sholat tahiyatul masjid. Terus kami diizinkan masuk Raudah. Syukur alhamdulillah itu lho. Raudah selow, jadi bisa berdoa dan berpindah tempat dari ujung ke ujung keliling di areal Raudah.

Kalau mestinya jemaah hanya boleh 10 menit, kami 30 menitan di dalam. Sampai saya alhamdulillah, sholat hajat berulang dan doa bisa plong lengkap semuanya saya mohonkan satu per satu. Semoga diijabah semuanya. Lega. Haru.

Saya nangis sejadi-jadinya. Beneran saya nggak inget foto. Untung ada yang ambil foto saya, meskipun ya posisi sedang nangis. Nggak terkatakan bahagianya.

Saya merasa Rasulullah SAW sedang menyambut saya, menerima dengan gembira bahagia kami semua. Alhamdulillah. Maturnuwun ya Allah. Ya Rasulullah SAW, kami mohon syafaatmu kelak di hari Kiamat. Allahumma sholi ‘ala Muhammad wa ‘ala ‘ali Muhammad. ❤️

Begitu kami keluar Raudah dan foto bersama, Ustadzah minta maaf kepada kami semua. Dia bersyukur pula karena dia tahu semua harapan jamaah untuk ke Raudah. Dia juga mengatakan pasti uang yang kami gunakan semuanya berasal dari rezeki yang halal.

Alhamdulillah. Saya pun seperti diingatkan, bagaimana cara mengumpulkan uang untuk bayar umroh itu sejak dari niat umroh lagi. Ya dari sedikit demi sedikit dan berasal dari sumber-sumber yang saya tahu betul; baik dan kehalalannya. Wes saya bayar pajaknya, wes saya bayar sedekah dan zakat wajibnya. Alhamdulillah ❤❤

Ada yang nyariin Bu X? Haha… karena ini Ustadzah kami bawa asisten, jadi asistennyalah yang urus Bu X. Didampingi saat jalan, pas kami berdiri di antrian dia dicarikan kursi lipat hingga bisa duduk, pas mau ke toilet (dengan ibu-ibu lainnya), diantarnya, ditungguin sampai kembali ke antrian.

Versi saya, semestinya Bu X ya bawa pendamping gitu dari awal; nggak harus orang dekat atau keluarga yang ikut serta umroh. Bisa minta dicarikan orang di sana untuk mengawal gitu pada TL atau Muthowib. Cuman ya tentu saja, nggak gratis 😀

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Alhamdulillah, Terimakasih 2024, Lebih Happy 2025 ❤

Saya di atas pohon besar di atas Sungai Maron. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Kamu wes bikin resolusi 2025? Sebagian dari kita pas liburan nataru gini, evaluasi 2024 dan bikin target 2025.

Saya? Lama jadi freelancer bikin saya “kalem”. Target- target ada, tapi lentur dengan situasi. Yo mosok, saya wes bikin target buku untuk penerbit dengan sistem royalti yang embuh kapan terbit dan dapat berapa; tetep harus saya dulukan saat ada gaweyan biografi yang jelas rampung dibayar? Tentu saya harus kompromi😀🙏

Pun tentang jumlah buku terbit, eps script yang ditulis, film yang diurus, judul yang disupervisi, dll. itu bagi saya jadi kurang signifikan. Kenapa harus ribut dengan jumlah karya, kalau 1 biografi yang dikerjakan 6 bulan bisa untuk hidup layak 5 tahun? 😀🙏

Toh saya ini pekerja keras–versi saya lho 😅 Kalau sudah dijadwalkan, ya selesai. Gaweyan dadakan itu saya sebut rezeki tak terduga 💝 Tetap dengan kontrol terbaik; ada manajer, editor, proof reader, sutradara, produser, dll yang memeriksa, mengawasi. Itu bikin saya terbiasa “terbaik”. Kerja beneran. Kalau malas kerja, ya cuti nulis dulu.

2024 alhamdulillah; 3 buku terbit, ratusan artikel pop, 6 artikel ilmiah, ngisi embuh berapa workshop lupa, ngurus script lebih sedikit daripada 2023. Masih punya utang gaweyan 2 buku dari 2 artis ibukota.

Saya sadar betul, pas akhir tahun 2023 kalau pendapatan saya akan terjun bebas. Belum ada buku baru komersial berarti nggak ada sumber uang baru. Jadi saya piknik dekat saja: Nepal van Java, Sungai Maron. Bonus ke Candi Abang. Umroh itu, saya nggak bisa mikirin. Tahu- tahu pergi, berangkat gitu aja. Alhamdulillah, saya sehat, keluarga baik-baik, gaweyan rutin ya lancar, hati dan jiwa saya ya happy ❤

2025? Tentu merampungkan gaweyan yang belum beres. Mengerjakan gaweyan baru. Bermohon saya, keluarga, kerabat, sahabat bisa lebih happy, sehat, damai, dan berkelimpahan di tahun yang baru. Amiin YRA.

Kalau kamu bikin resolusi 2025, bikinlah yang realistis. Biar bisa happy merayakan di tahun baru berikutnya.🤩
Selamat berlibur. Selamat Merayakan Natal 2024 dan Tahun Baru 2025.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Wonderful Umroh (8) Haah?! Baju yang Dibawa hanya Dua Setel?!

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Malam harinya pas mau tidur, masalah pun muncul. Bu B bilang kalau dia tidur mendengkur, jadi kalau saya terganggu suaranya boleh setel musik atau video. Lampu mati dan bisa AC.

Saya tidur anteng, tidak mendengkur (saking tenangnya saya tidur, ponakan saya si Mail pernah membangunkan saya keras-keras dan sudah mau telpon bapaknya karena mengira saya sudah meninggal 😅), pakai AC, lampu mati.

Sementara Bu X, mendengkur super keras, nggak boleh lampu mati, nggak bisa pake AC, nggak bisa kebauan minyak urut (kayu putih, zaitun, dll). Beuuuh, saya yang tidur belakangan yang mematikan lampu, menurunkan AC ke sejuk, dan setel video biar nggak keributan dengkuran.

Kayaknya Dewangga perlu bikin form isian ke jamaah yang isinya siapa yang tidur mendengkur atau tidak, lampu mati atau terang, pakai AC atau tidak, bisa kena aroma minyak urut atau tidak; lalu digabungkan per kamar sesuai kondisi mereka. Tenan, ujian betul waktunya tidur saya nggak bisa tidur karena dengkuran dan panas ruangan nggak pake AC.

Pas di Madinah, negeri yang amat tenang, damai, sejuk di tengah panas matahari yang membara, rasa hati saya begitu tenang. Kegiatan saya yo pagi jam 3 ke mesjid, ibadah sampai Shubuh. Lalu balik ke hotel, sarapan.

Terus mandi, sholat Dhuha kalau nggak capek ke mesjid, kalau terlalu capek di hotel. Dhuhur di mesjid. Pulang makan siang, istirahat, mandi, lalu Ashar sampai Isya’ di mesjid. Pulang makan malam. Istirahat tidur. Bangun jam 3 pagi, beberes mandi, terus ke mesjid. Begitu selama di Madinah. Belanja di kiri kanan hotel saja. Ada waktunya city tour dan ke Kebun Kurma.

Saya kok lupa urutan city tour nya. Tapi yang jelas kami mengunjungi Masjid Quba, Jabal Uhud, Kebun Kurma (tempat belanja-belinji). Karena versi saya yang terpenting ibadah, minta pengampunan dosa dan pengabulan doa.

Bu X bagaimana? Ya masih dengan kerempongannya yang selalu bikin ulah, bikin kesal. Saya sudah memaafkan saja. Sakarepmu.

Kelihatannya Bu X itu kalau diajak ibadah, mageran, ada saja alasan. Tapi kalau belanja, tour, semua bisa. Saya ibadah di mesjid lebih banyak dengan Bu B.

Terhadap Bu X, saya sudah nggak ambil pusing. Termasuk ketika ybs ini tiap hari cuci gamis dan pakaian dalamnya. Sebenarnya mengganggu betul. Ya sudahlah. Cuma kok nyucinya itu tiap hari lho.

Rupanya Bu B sempat tanyain itu Bu X. Jawabannya sungguh membagongkan. Dia bawa baju cuma 2 gamis wajib, hitam dan putih, plus 1 seragam Dewangga, 1 daster; termasuk pakaian, kaos kaki, kerudungnya ya cuman 2 ndhil. Astaga…!

Sontak saja saya langsung menyeru dalam hati, “Haah?! Baju yang dibawa cuma dua setel?!” Padahal umroh 10 hari pake transit pula.

Ya ampun, bukannya sudah diterangkan di list bawaan dari Dewangga kalau pakaian yang dibawa sekurangnya 7-8 setel? Haish, beneran truwelu (terlalu) deh. Urusan dia lah. Saya cuman mikir, kopernya isi apaan? Embuh.

Saya bersangka baik. Mungkin Bu X akan belanja baju di Madinah Mekkah dan langsung dipakai. Ada kawan saya yang pernah umroh, cuma bawa baju yang dipakai, terus beli abaya murah meriah dipakai di sana, lalu dibuang. Pas pulang kopernya diisi oleh-oleh yang memang dia mau beli khusus.

Saya nggak merespon cerita Bu B. Wes malas dengar apapun tentang Bu X. Perjalanan masih panjang, drama Bu X pun belum selesai.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Wonderful Umroh (7) Memangnya Ada Dhemit yang Kencing di Toilet Hotel Siang Bolong?

Salah satu situasi saat makan di hotel Mirage Al Salam, Madinah. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Pulang Shubuh dari Masjid Nabawi, kami diizinkan istirahat. Koper Besar Kecil diminta ambil masing-masing di dekat lift lantai 8. Pas pembagian kunci kamar; harusnya saya satu kamar dengan Bu B, Bu C, dan emak rempong Bu X. Bu C menolak sekamar dengan kami, memilih tinggal berlima dengan relasinya.

Saya bilang kalau sekamar berlima, itu empet-empetan nggak nyaman, terus antri mandi juga lebih lama. Tapi dia ngotot nggak mau sekamar dengan kami. Saya seperti ada yang memberitahu dalam hati, kalau si Bu C ini nggak mau ikutan dimaki, diomelin, disalahkan kalau Bu X bikin kasus. Dia juga pasti dengar omelan seluruh jamaah kepada Bu X dan kami yang sekelompok, terutama kami yang sekamar.

Akhirnya, saya bertiga sekamar. Masuk kamar, saya minta izin mandi dulu. Saya bilang cuci sekaligus baju seragam karena pas pulang dipake lagi biar nggak penguk atau bau.

Usai saya mandi, ganti Bu B yang mandi. Karena saya lihat Bu X masih mager, saya nanya akan ikut sarapan atau enggak. Saya bukan pendendam, gampang memaafkan orang, tapi pasti pengingat yang baik dalam banyak hal.

Bu X bilang nggak ikut, mau makan nasi dan snack dari Dewangga saja. Dalam hati saya, apa gak wes basi ya makanan basah dari kemarin dini hari? Tapi ya sutralah, itu urusannya.

Saya dan Bu B, telat sarapan. Saya kira sarapan sampai jam 10, ternyata jam 6-8 pagi. Jadi kalau jam 8 kurang 1 menit ya wajar piranti dan makanan wes dikukuti. Tinggal ada telur rebus dan layanan minum. Saya bikin 2 gelas teh panas dan makan telur.

Oh kalau sampeyan ikut Kosudgama, tidak terjadi hal seperti ini. Karena walaupun di hotel, tapi prasmanan untuk 20 orang disediakan mandiri. Berlimpah turah-turah, buah, minuman kemasan sampai suruh bawa ke kamar. Pagi, siang, sore selalu berbeda. Waktu lebih fleksibel. Kalau ada yang tidak makan, TL nya langsung meminta dipacking dan dikirim ke kamar. Ada harga, ada beda layanan 😀

Kalau di Dewangga ini makan pagi, siang, sore, ikut prasmanan hotel. Jadi kalau telat, ya terlewat saja. Silakan cari makan sendiri. Alhamdulillah makanan di sini enak-enak. Ayam, ikan, daging sapi, daging kambing, telur; menu besarnya ganti-ganti terus. Cuman ya rame, gabung dengan jamaah dari berbagai kota dan biro umroh di tanah air.

Pikir saya pagi itu, amanlah sampai makan siang. Saya masih punya makanan kering bekal dari rumah. Lagipula samping hotel persis ada minimarket macam Indomaret. Lengkaplah kalau sekedar cari pengganjal perut.

Cuma ya harganya rada kurang bersahabat. Jus 500 ml saja 20 riyal setara 80 rb. Di Jogja itu 20 rb bae wes kemahalan. Hihi… begitupun makanan kecil kruncilan macam manisan, popcorn, roti, popmie, indomie, westalah kalau nggak terpaksa atau memang niat njajal, gak usah beli.

Pulang dari sarapan saya kudu bolak-balik ke resepsionis dulu gegara kamar terkunci, tanpa pemberitahuan dari Bu X. Mbokya japri atau info di grup kalau nitipin kunci.

Pas masuk kamar, saya mau mengeringkan seragam dengan hairdryer. Tapi pas buka pintu toilet, ampun dj puesingnya nggak kira-kira. Hampir saja saya muntah-muntah, tapi langsung keluar toilet.

Saya tanya ke Bu B, bau pesing atau tidak. Bu B bilang, tadi kita tinggal toilet nggak bau. Itu kencing kok ya nggak di toilet, nggak disiram pula.

Kami berdua kerja bakti. Mengguyur berulang kali toilet dengan air shower, menaburkan detergen, menggosok dengan alat pel (yang untungnya tersedia), lalu menyemprotkan shampo dan mengguyur ulang toilet sampai wangi.

Pas Bu X datang, Bu B mengingatkan kalau kencing atau be-a-be itu di toilet. Tahu nggak jawaban Bu X? “Aku kencing juga di toilet kok…”

Bu B diam, saya mengomel dalam hati, “Memangnya ada dhemit yang kencing di toilet hotel siang bolong?”

Jian, saya beneran istighfar bolak-balik saat umroh ini. Ujian umroh saya kali ini, sungguh dari teman sekamar. Bukan masalah ibadah, kesehatan, acara, dengan TL atau Muthowib, atau pun dengan makanan.

*Saya menuliskan ini semua, termasuk buruk-buruknya itu untuk jadi cerminan kita. Sungguh ibadah umroh dan haji itu panggilan Allah yang penuh dengan ujian sejak kita berniat, membayar, dalam perjalanan, dalam ibadah, hingga saat kembali ke tanah air.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Wonderful Umroh (6) Paspor Ketinggalan di Bandara?

Akuarium besar yang dijadikan patokan untuk terus keluar dari Bandara Jeddah. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Begitu turun dari pesawat, wes masuk areal Bandara Jeddah, saya celingak celinguk cari toilet. Izin TL dibolehkan, saya pun bergegas. Wes antri cukup panjang. Tapi mengingat perjalanan lama dengan bus ke Madinah, saya memilih antri.

Beres sudah. Saya balik ke rombongan. Keributan perkara haus, tidak diberi air; gegara nggak minta air di pesawat masih rame. Saya cari di mana keran air minum, “Itu Pak, Bu, air minum. Bisa diminum, bisa disimpan di thumbler.” Bergegasan orang minum air.

Semestinya kami sudah mulai jalan ke imigrasi, tapi gegara menunggu orang ke toilet; yang nggak dari awal datang cepet-cepet antri, jadi lama. Dan itu siapa penyebabnya? Si Bu X yang rempong tadi.

Sudah beres, TL wanti-wanti agar tetap bersama rombongan per kelompok. Mau ke toilet pun harus izin, biar tahu bisa enggaknya atau ditunjukkan toilet yang lebih dekat dengan urutan kegiatan.

Saya termasuk yang jalan di belakang karena mengekori kelompok. Sepertinya semua baik-baik saja. Ketika sebagian naik kereta untuk ke imigrasi inilah, sepertinya rombongan tidak bersama lagi. Karena ruang di kereta dan tempat duduknya terbatas. Jadi harus beda- beda gerbong.

Lalu kami ke imigrasi. Walaupun berusaha berkelompok, tetapi karena antrian tidak sama; petugas mengarahkan kami ke sini situ antrian yang lebih pendek. Ada yang lama, ada yang cepat di imigrasi ini. Verifikasi kan memang beda-beda.

Pas saya keluar dari imigrasi, rombongan yang ada hanya dua orang, sebut saja Pak B dan Bu Bu. Lainnya ke mana? Katanya sudah duluan pergi. Waduh, saya mulai sedikit cemas. Tapi coba membaca petunjuk di sekitaran.

Pas saya tanya TL di WAG, dijawab setelah keluar dari imigrasi, kami harus menuju pintu keluar dan setelah melewati akuarium besar, nanti jumpa Ustad Sule (muthowib) atau Tim Dewangga yang akan mengarahkan ke terminal.

Kelihatannya gampang ya, tapi karena saya juga tidak tahu utara selatan dan kudu membawa Pak B dan Bu B yang nungguin saya keluar imigrasi, agak tidak mudah bagi saya lari-lari. Untungnya Pak B dan Bu B ini tidak panikan, saya lebih tenang cari arah dan informasi.

Di HP saya itu ada aplikasi detect lokasi dan bisa memberikan petunjuk arah yang mau kita tuju saat kita mengisikan tujuan. Alhamdulillah, setelah melewati akuarium besar; mampir ke toilet –karena sudah jalan jauh juga; selamatlah kami bertiga jumpa Tim Dewangga dan diarahkan ke lokasi bus.

Sebagian jamaah sudah ada di bus, kami bertiga termasuk yang belakangan tapi belum telat karena masih ada yang di luar. Saya duduk dengan jamaah perempuan lain. Sementara Pak B dan Bu B duduk sederet.

Jangan tanya capeknya ya. Sudah malem hari, ngantuk-ngantuk, jalan jauh di bandara, cek imigrasi, masih kudu jalan lagi ke terminal bus. Weish… bagi saya yang biasa jalan dan lari bae capek, apalagi yang enggak.

Ketika dirasa semua jamaah sudah ada di bus, berangkatlah kita. Ustad Sule sedang memberi sambutan ketika menerima telepon. Badalhah, seorang jamaah ketinggalan di terminal. Bus yang sudah melaju 20-an menit itu pun balik lagi ke terminal. Siapa yang ketinggalan? Bu X, si emak rempong. Dan saat masuk bus itu, niy orang melenggang saja sungguh tanpa dosa nggak minta maaf sedikit pun pada jamaah lainnya.

Waktu jamaah di sebelah saya nanya itu kelompok 4 apa nggak ngingetin anggotanya? Saya bilang, rombongan sudah diingetin oleh TL jangan misah. Lha saya dengan Bu B dan Pak B saja juga ditinggal di imigrasi. Kalau mereka berdua nggak nungguin saya, entah apa jadinya. Kalau Bu X itu, saya tidak ingat di mana terpisah. Mungkin pas di imigrasi.

Karena ibu jamaah di samping saya ini masih ngomel saja seolah menyalahkan saya yang ternyata sekamar, tapi dianggap nggak peduli, saya langsung tegas.

“Bu, saya ini nggak kenal Bu X. Bukan anaknya, dia bukan keluarga saya. Kalau ada apa-apa sudah diingatkan dari awal, lapor TL. Kalau tertinggal tidak ada siapapun yang dikenal, kan wajibnya info di grup atau telpon TL. Bukan malah jalan sendiri kelamaan. Kalau nggak bisa jalan cepat karena nggak sehat, laporannya juga ke TL. Bukan saya yang harus urusin.” Baru si ibu ini, saya juga nggak tahu namanya mau diam.

Drama belum usai rupanya. Saat bus sudah kembali melaju kira-kira 30-an menit, tiba-tiba Ustad Jordan memberi tahu Ustad Sule kalau tas Bu X yang berisi paspor ketinggalan di bandara.

Ustad Sule yang sedang memberi penjelasan ibadah, langsung berhenti dan memerintahkan bus putar balik. Ya Gusti… ini emak rempong baru datang aja wes bikin masalah.

Kalau nggak inget ibadah, saya akan ribut dengan TL dan muthowibnya. Suruh aja Bu X balik sendiri pake taksi ambil paspornya. Bukan mengorbankan jamaah satu bus gegara kesalahan seorang.

Lama itu Ustad Jordan kembali ke bandara nyariin tas si emak rempong yang nggak tahu diri. Wes, saya bolak balik istighfar agar nggak marah kesal. Begitu Ustad Jordan kembali ke bus, Ustad Sule menarik semua tas paspor kami (yang isinya paspor, vaksin, visa, tiket, dll). Biar nggak ada kejadian setipe lagi.

Praktis 3 jam kami terbuang untuk bolak balik jalan gegara si Bu X. Sampai Madinah yang harusnya jam 2 atau 2.30-an pagi, bisa sholat malam dan Shubuh di Masjid Nabawi pun terlewat. Jam 6 kami baru tiba di Masjid Nabawi. Sholat Shubuh jamaah, tapi nggak ikut imam masjid.

Jujurly, saya wes berdoa agar si Bu X emak rempong itu nggak bikin ulah. Karena sudah cukup merugikan jamaah lainnya. Untungnya Ustad Sule dan Ustad Jordan tidak seekstrem Pak Rusli (TL di Singapore), telat, barang tertinggal, silakan naik taksi, bayar sendiri, urus sendiri. Bus tidak diizinkan balik hanya demi orang yang nggak disiplin.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us: