Goes to Banyuwangi (8) Kawah Ijen, Siapkan Fisik Mental dan Duitmu

Saya di pintu keluar masuk Kawah Ijen, setelah pendakian. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya sangat semangat mau lihat blue fire ini. Hanya ada beberapa orang yang mau ke sini. Karena medannya lebih sulit dan berbahaya. Saya pribadi yakin dalam kondisi sehat jiwa raga. Meskipun saya minta surat sehat dari biro, Senin atau 5 hari sebelum keberangkatan saya juga cek kesehatan standar.

Denyut nadi, tensi, asam urat, kolesterol, gula darah, kondisi mata-telinga-hidung dan kondisi fisik secara umum. Dokter bilang oke, nggak masalah saya eksplore Banyuwangi termasuk ke Kawah Ijen. Cek-cek catatan dolan saya lainnya; saya memastikan diri sehat sebelum ikut OT karena itu bentuk syukur dan jaga diri.

Jangan sampai di OT justru bikin ribet diri sendiri dan pihak lain. Kalau dokter bilang nggak oke, biasanya saya pilih mundur atau tetap ikut dengan tidak mengikuti kegiatan berisiko yang menghabiskan energi. Intinya, ketahuilah kondisi kesehatanmu secara pasti untuk ikut trip-trip yang menguras energi

Ke Kawah Ijen ini versi saya, core atau inti OT yang diadakan Afrindo. Kita butuh nggak cuman semangat, tapi energi tubuh fisik mental spiritual yang kuat. Kudu sehat tenan dan wes biasa jalan mendaki.

Aiiih, saya nggak kebayang bisa enggaknya kalau harus ke Rinjani (lagi) sekarang dengan medan Leter L yang sungguh berbahaya itu. Keinginan siy sekarang ya nggak ada, tapi kekepoan dan uji nyali kadang-kadang bikin saya nekat jalan 😂😁🙈

Ke Kawah Ijen ini saya ya berniat jalan seperti lainnya. Dari pintu gerbang ke pos 1, masih amanlah. Berasa di kaki karena tinggi. Berhenti beberapa kali, saya wes ditawar-tawari para pendorong tandu. Saya masih bertahan. Ada Mbak Dinna dan kawannya, saya masih merasa aman.

Lalu dari pos 1 ke pos 2, mulailah saya merasa menggos-menggos. Berat tenan. Ngantuk. Capek. Pingin tidur. Panas. Pokmen jadi nggak mudah buat saya. Di pos 2 saya berhenti, minum air dan multivitamin biar melek mata. Asli, saya nggak tahu kenapa itu rasanya ngantuk sekali dan pingin tidur aja.

Mas Adit masih nungguin saya di pos 2, tapi karena saya kelamaan mager dia bilang jalan duluan dan akan nunggu saya di pos 3. Saya bilang oke.

Untunglah di sini saya dibantu Pak Wanto. Beliau menunggui saya karena ternyata tinggal saya doang yang terakhir dari rombongan Afrindo. Biyuuu… nggak pernah kejadian kek gini di areal pendakian.

Di dekat perhentian jasa tandu saat turun dari Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Pas saya sudah mau jalan, Pak Wanto bilang agar saya pake langkah pendek-pendek biar nggak cepet capek dan pake tracking pole di tangan kanan. Oh iya, saya bukan kidal tapi untuk beberapa aktivitas fisik tangan kiri saya rasanya lebih kuat daripada tangan kanan. Tapi saya menuruti saja.

Wah mulai berasa beneran ngantuk dan lelahnya saya. Akhirnya saya melambaikan tangan. Menyerah di jarak pos 2.5 an. Naik tandu. Kalau mikirin ngantuk dan lelah, kayaknya saat itu saya milih tidur aja. Tapi sudah nyebur jalan gini, ya kudu diselesaikan. Bagi saya kalau memulai sesuatu sebaiknya ya dirampungkan semampunya.

Naik tandu saya diangkut 2 orang laki-laki, sebut aja Mas A dan Mas B. Saya ketawa dalam hati ketika mereka rerasan dengan bahasa Madura. Berangkat kerja awal dapat 1 penumpang dengan harga tolong menolong, semoga nanti dapat yang harga full. Begitulah harapan mereka.

Sewa tandu di sini kalau PP 1.5 sd 2 juta. Naik ke atas saja 1 sd 1.5 juta, turun saja 500rb sd 1 juta. Saya ingat pesan Mas Andre, monggo ditawar saja. Terus pas kasak kusuk di basecamp, biasanya harga tandu cenderung turun kalau orangnya kecil mungil. Tapi kalau orang normal size atau over size ya bayar penuh.

Jadi saya pede aja nawar 1 juta karena size saya kayaknya di bawah normal deh. Dan ya dibolehkan itu dengan sebutan harga tolong menolong. Wah, lha ini sudah lebih mahal daripada biaya trip 3 hari lhooh. Pokoknya inget-inget aja, kalau mau ke Kawah Ijen, siapkan fisik mentalmu dan duitmu 😁😂

Di pos 3 saya jumpa teman-teman satu rombongan. Bu Mur dan Bu Sarmini (dua Ibu sepuh) akhirnya ikut naik tandu juga. Karena ini memang medannya wes berasa berat. Tapi pasti nggak seberapalah buat yang biasa naik gunung.

Usai pos 3 itu, saya wes langsung tertidur. Wkwk… jadi saya nggak kuat jalan itu gegara wes capek dan masih ngantuk. Dan tahu-tahu dibangunin Mas A pas sudah di pos terakhir. Whelah cepet tenan. Baru jam 4-an pagi. Masih gelap.

Mas A dan Mas B itu bawa orang ditandu sambil lari aja. Cepet dan nggak terasa gitu di saya karena saya tertidur. Wes jelas kalau gak bawa duit, pasti saya nyesel nggak sampai puncaknya.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Marhaban Yaa Ramadan

Rindu tiada bertepi. Mekkah di waktu malam. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari

Ramadan adalah bulan yang dinanti-nantikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Setiap kali bulan suci ini tiba, kita sering mendengar ungkapan “Marhaban ya Ramadan”, yang berarti “Selamat datang, wahai Ramadan.” Ungkapan ini mencerminkan kegembiraan dan harapan umat Islam dalam menyambut bulan penuh berkah, ampunan, dan kasih sayang dari Allah SWT.

Ramadan bukan sekadar bulan menahan lapar dan haus, tetapi juga momen untuk meningkatkan ketakwaan, memperbaiki diri, serta memperbanyak amal ibadah. Dalam bulan ini, Allah SWT menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi setiap amal kebaikan yang dilakukan.

Beberapa keutamaan Ramadan yang menjadikannya begitu istimewa antara lain:

Bulan Diturunkannya Al-Qur’an
Ramadan menjadi saksi turunnya kitab suci Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi umat manusia. Oleh karena itu, banyak umat Islam yang memperbanyak membaca dan mengkaji Al-Qur’an di bulan ini.

Bulan Penuh Ampunan
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Malam Lailatul Qadar
Lailatul Qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam ini, doa-doa diijabah, dan pahala ibadah dilipatgandakan.

Biar Ramadan menjadi lebih bermakna, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan:

Memperbaiki Niat
Segala ibadah yang kita lakukan harus didasari niat yang tulus karena Allah. Dengan niat yang benar, puasa kita akan bernilai ibadah yang penuh keberkahan.

Memperbanyak Ibadah
Selain berpuasa, perbanyaklah shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, berdzikir, dan berdoa. Jangan lewatkan shalat tarawih dan qiyamul lail untuk mendapatkan pahala tambahan.

Menjaga Lisan dan Perbuatan
Puasa bukan hanya sekadar menahan makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang buruk.

Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan buruk, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari).

Berbagi kepada Sesama
Ramadan adalah waktu yang tepat untuk meningkatkan kepedulian sosial. Bersedekah, memberikan makanan untuk berbuka puasa, dan membantu mereka yang membutuhkan adalah amalan yang sangat dianjurkan.

Ramadan adalah momen istimewa yang hanya datang setahun sekali. Oleh karena itu, mari manfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.

Jadikan Ramadan sebagai ajang untuk memperbaiki diri, memperkuat iman, dan semakin dekat dengan Allah SWT.

Marhaban ya Ramadan! Semoga kita semua diberikan kekuatan, kesehatan, dan kesempatan untuk menjalani ibadah di bulan suci ini dengan penuh keikhlasan dan keberkahan. Amin.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (7) Kawah Ijen, Sebelum Pendakian

Tongkat merah itu yang disebut tracking pole. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Sekejap saja rasanya dan alarm jam 11.30 malam wes bunyi. Biyuuu, saya dan Mbak Lita segera beberes. Bawa barang sesedikit mungkin untuk ke Ijen.

Di sini saya baru sadar, tas punggung parasut yang saya siapkan untuk ke Ijen, ternyata nggak kebawa. Beuuh, rasanya kek nyesel banget. Karena kalau tas punggung itu ringan, bisa dilipat, tapi kuat dan muat cukup banyak barang tanpa kelihatan gendut.

Dipake di punggung juga memudahkan pendakian di jalan-jalan curam. Ya sudahlah, terpaksa saya bawa tas bahu. Rasanya kurang nyaman, tapi mo gimana lagi. Saya perlu bawa air, obat-obatan, snack kering, sarung tangan, topi, masker, HP, uang, copy identitas, dll yang nggak mungkin saya tenteng tangan.

Jam 12 an teng hampir semua peserta rombongan sudah di loby hotel. Kami segera membereskan administrasi dan biaya sewa alat pendakian. Oh ya, barang yang disewakan cukup banyak; tracking pole, jaket tebal, masker gas, senter.

Sampeyan nggak harus sewa semuanya. Ambil saja yang perlu sesuai kondisi masing-masing. Tracking pole sangat penting, sebisa mungkin sewa kalau nggak bawa sendiri. Karena ini memudahkan pendakian dan mengatur langkah.

Usai persiapan, kami naik shuttle bus lagi menuju kawasan Ijen. Sekira sejam lebih. Jam dua kami sampai di basecamp. Tapi ya nggak bisa langsung naik. Masih cek ricek identitas, kartu sehat, alat-alat pendakian yang disewa, ke toilet, makan minum juga. Weish… namanya juga banyak orang 😁😂🙏

Masker gas yang biasa dipakai untuk ke Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Sampai di basecamp atau dekat pintu masuk kawah Ijen, saya mulai merasa ada yang salah dengan penyebutan “dingin”. Rasanya wes panas, gerah. Jaket tebal saya memperparah panas udara di tubuh saya, tapi nggak mungkin saya lepas karena nggak ada ruang lagi di tas bahu.

Jaket tetap saya pakai sambil ketawa dalam hati melihat semua kerubutan brukut pake topi, syal, sarung tangan biar nggak kedinginan. Yang kelainan memang saya sendiri, karena dingin versi saya itu kalau sudah di bawah 8 derajat C, baru kudu jaketan brukut. Kl 18-20 C aja, kayaknya kulit saya sudah kebal.

Sampai di basecamp, Mas Adit mengurusi administratif, ambil alat-alat pendakian yang disewa. Sebagian peserta tour ada yang makan-minum, ke toilet. Setelah itu ada briefing oleh guide lokal. Lebih kurang semuanya perlu waktu 1 jam an. Praktis, kami berangkat lebih kurang jam 3 dini hari.

Kami berangkat bersama-sama, baru nanti akan berpisah jadi 2 kelompok. 1 kelompok ke blue fire, 1 kelompok ke sunrise. Ada lebih kurang 7 pos dengan pintu utama yang harus kami lewati, sebelum menuju blue fire atau sunrise.

Di sini, ingatan saya tentang Kawah Ijen samar-samar mulai terbuka. Rasanya kami berangkat sudah terlalu siang untuk sampai ke pos terakhir sebelum ke blue fire atau sunrise.

Saat di basecamp itu saya yakin areal jalan menuju Kawah Ijen pasti sudah diperbaiki dan lebih kondusif untuk wisata umum dan massal. Tapi jelas kondisi alam aslinya yang terjal, curam, berbatu tajam, sempit, kiri kanan jurang kawah itu nggak akan berubah.

Bagi mereka yang biasa mendaki mungkin 3-4 km dengan medan rumpil begitu 1 jam sudah cukup. Mereka masih bisa dapat api biru atau matahari dengan tenang. Tapi bagi orang awam, jelas butuh lebih dari 2.5 jam untuk sampai pos terakhir. Dan itu berarti sekira jam 5.30 an sampai pos terakhir dan terlewat sudah blue fire ataupun sunrise.

Kalau berangkatnya jam 1 dini hari, untuk orang awam dan sehat, insyaallah bisalah kalau beruntung dapat blue fire atau sunrise. Tapi pikir saya, let see aja. Mungkin saya salah itung prediksi waktu. Bisa jadi lebih cepat karena ada guide lokal profesional (Mas Rizky dan Mas Imam) yang memandu jalan. TLnya Mas Adit dan fotografernya Mas Alvin juga ikut mengawal. Pasti sudah diperhitungkan semuanya.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (6) Nginep di Hotel, Makan Apa Kita?

Halaman depan hotel tempat kami menginap. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Selesai belanja di Wong Osing kami meneruskan perjalanan ke hotel. Ya nginep di hotel, tapi makan malam nggak ditanggung biro. Artinya kita kudu cari makan sendiri, bayar dhewe-dhewe.

Saya yang merasa daftar sendiri, sempat berpikir wah jangan-jangan saya sekamar sendiri. Persis ketika trip di China karena sahabat saya nggak jadi ikut.

Bukannya penakut, tapi saya lebih khawatir kalau nggak terbangun tengah malam sesuai jadwal itenerary. Destinasi kami selanjutnya itu eksplorasi pendakian Kawah Ijen.

Perjalanan ke Ijen dijadwalkan berangkat dari hotel jam 12 malam. Padahal diperkirakan kami baru sampai hotel jam 7 malam. Mandi, beberes, makan dll bisa 1-2 jam itu.

Artinya hanya ada 2-3 jam untuk tidur. Itu pun bagi mereka yang biasa tidur cepet bangun cepet. Ada tipikal orang yang mau tidur itu ritualnya lama, mau bangun pun demikian.

Kekhawatiran kedua saya kalau tidur sendiri ndilalah kamarnya berhantu. Weeeh, sudah beberapa kali saya harus terjaga semalaman gegara gangguan hantu dan nggak bisa ganti kamar karena full. Di China pernah, di Vietnam beberapa kali, di Magelang pernah, di Jakarta beberapa kali, di Ambon kena juga, di Jogja juga pernah beberapa kali.

Wes, ingatan buruk kok ya ndadak mampir di kepala saya. Mungkin karena saat itu hujan, dingin, kabut, gitu ya. Jadi nggak ada kesan ceria malam itu. Orang lebih mudah ingat hal nggak baik saat situasi nggak kondusif.

Saya berdoa semoga baik-baik saja. Kami nginep di Hotel Slamet. Kalau dari review marketplace biaya semalem antara 300-500 rb. Oh kalau hotel sering dipakai karena budget ringan standar biasanya aman, nggak berhantu.

Percayalah hotel-hotel berhantu yang pernah saya alami itu semuanya berbintang 5-7. Mungkin kamar-kamar itu jarang dipakai karena rate tarif yang tinggi. Lha saya pakai aja, karena kan dibayari sponsor atau klien. Bayar sendiri yo pasti mikir lah bermalam-malam gitu. Apalagi siang ditinggal kerja di lapangan. Sayang juga kan, kecuali untuk staycation 😂😁🙏

Syukurlah saya sekamar berdua dengan Mbak Lita. Mbak Lita bersaudara daftar bertiga, jadi yang satu orang sekamar dengan saya. Saya langsung senang. Alhamdulillah. Ada temannya. Ada yang bangunin kalau saya telat, meskipun itu jarang terjadi. Sudah biasa jalan cenderung bikin orang akan lebih tertib dengan jadwal.

Kamar hotel ini sebenarnya standar ya. Meja kursi ada. Gantungan baju ada. Ada 2 bed. AC. Lampu lampu. TV. Colokan listrik. Kamar mandi standar dengan 2 handuk besar tanpa toiletries. Ngak ada sikat gigi, pasta gigi, sabun dan shampo. Untung ada air hangat, meski nggak ada petanda suhu sehingga kudu ngatur sendiri panas dinginnya. Nggak ada juga sandal hotel. Nggak ada tisue. Kami cuma dapat 2 botol air mineral @600 ml.

Saya wes bersyukur bae ketemu air panas untuk mandi. Tidur bisa nyenyak dengan bed yang nyaman dan AC yang dingin. Lha daripada tidur di bus, kan sungguh nikmat banget tidur di kamar hotel. Apalagi charge OT di Afrindo ini ringan banget. Tenan, saya bae mumet kalau disuruh mikir ngatur duitnya. Jadi ikut OT dengan Afrindo rekomendasi banget kalau saya siy 😀👍

Saya wes merasa lelah banget dan pingin langsung tidur. Tapi inget belum makan, bisa jadi perkara kalau laper tengah malem. Saya ngikut Mbak Lita saja yang berencana cari makan duluan, baru mandi dan beberes. Saya memutuskan sholat dulu, baru keluar hotel.

Kami makan di sekitaran hotel. Oh syukur tenan di sini banyak warung makan dan murah meriah. Seenggaknya cari yang dekat pun gampang. Kalau dalam situasi seperti ini, saya nggak akan coba-coba dengan menu baru yang aneh-aneh. Khawatir perutnya ribut karena nggak cocok makan.

Ingak inguk kami ketemu tempat mie ayam dan bakso yang lumayan rame. Ikut masuk dan memesan. Njur saya panik sejenak karena nggak nemuin HP di tas. Di mana ya?

Kata Mbak Lita sejak dari kamar saya nggak ada keluarin HP. Tapi seingat saya HP wes saya pegang. Daripada pikiran, saya balik ke kamar hotel. Ealah HP itu teronggok di meja. Sudah disiapin tapi nggak kebawa. Untung tempatnya dekat. Kami makan dengan tenang.

Menunya enak dan murah meriah. Saya sampai mengulang bertanya, memastikan bayar makan dan minum per porsi nggak sampai 17 rb itu sudah benar. Makanya itu saya bisa bilang kalau oleh-oleh di Wong Osing termasuk larang; karena makan di sekitaran hotel bae segitu murahnya. Mosok bolu kecil bae 30 rb an…😁

Balik hotel, Mbak Lita mandi duluan. Saya wes tertidur sejenak dan terbangun pas Mbak Lita beberes. Saya wes niat tidur lagi aja, tapi otak saya mikir ntar kalau bangunnya lelet, mikir mandi ini itu, akhirnya saya yo mandi, beberes, baru tidur.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (5) “Wong Osing”: Ternyata Bukan “Suku Osing”

Papan nama “Wong Osing”. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Lepas dari De Djawatan kami melanjutkan ke Wong Osing. Hujan sangat deras mengguyur sepanjang perjalanan. Untunglah kami sudah selesai acara mider keliling eksplore di De Djawatan. Kalau enggak, wah bisa kagol kecewa nggak dapat foto-foto bagus di tempat sekeren itu 😁😂

Pas masih nanya-nanya di grup tentang oleh-oleh khas Banyuwangi dan dijawab di Wong Osing itu, otak saya berpikir bahwa yang dimaksud adalah Orang Osing atau Suku Osing. Asumsi saya, kami akan ke areal atau kawasan Desa Adat Suku Osing di Kemiren (cmiiw). Wah lha keren sekali ini Afrindo bawa piknik masih mikirin muatan budaya lokal.

Jadi saya sempat juga membongkar lagi ingatan dan referensi tentang Suku Osing ini. Meskipun mereka tinggal di Pulau Jawa, tapi adat budaya dan bahasa mereka ini nggak sama dengan Suku Jawa. Semuanya beda.

Beberapa perempuan dari Suku Osing. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya bahkan wes mikir, oh ntar bisa motret (lagi) beberapa Suku Osing dan tentu lokasi khas areal tinggal mereka. Termasuk beberapa hasil keahlian lokal mereka yang beragam: menari, membatik, membuat olahan pangan, pengobatan, minuman berbahan rempah-rempah, bikin souvenir dll.

Ya begitulah kalau orang linguistik antropologis ketemu nama suku atau etnis tertentu. Mikirinnya wes semua adat budaya mereka. Dokumentasi etnis bentuk visual dan verbal yang sangat berharga.

Saat di perjalanan menuju ke Wong Osing itulah saya baru “ngeeh” mudeng, paham kalau yang dimaksud dengan “Wong Osing” itu ternyata bukan “orang Osing” atau “Suku Osing” seperti yang saya pikirkan. Ini hanyalah sebuah toko oleh-oleh khas Banyuwangi yang kebetulan namanya “Wong Osing”.

Pak Ganjar pas safari politik di lingkungan orang Osing. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Blaiiik tenan. Jebulnya toko oleh-oleh. Dan saya menertawakan diri sendiri yang sudah punya banyak ekspektasi 😁😂 Jadilah di toko itu saya mider keliling nyari oleh-oleh khas Banyuwangi.

Sayangnya karena hujan deras, listrik mati, panas (AC nggak bisa nyala kan?) belanja jadi kurang well. Saya juga nggak ngambil foto-foto di dalam toko. Di beberapa bagian tempat kain, kaos, souvenir juga nggak bisa diakses.

Terus niy pas kami datang kok kayaknya toko belum terlalu siap menerima “banyak tamu”. Peladennya kurang, ditanyai ini itu nggak paham. Pas antrian kasir, kami juga diover sana sini. Terus semua makanan nggak ada testernya. Nggak bisa milih pasti ini rasanya cocok atau enggak di lidah kita.

Selain itu, banyak menu jajanan yang masih pakai bahasa lokal tanpa terjemahan Indonesia. Bagi saya itu bikin ngeblank juga… Misalnya dikasih nama “bolu kuwuk”. Nah saya kudu nanya dulu kuwuk itu apa, ternyata original. Kalau orang Jawa dengan bahasa Jawa, kuwuk itu kan nganggepnya wes terlalu tua, bau, atau basi. Lha mosok bolu basi dijual, kan jelas bukan itu artinya 😁😂

Wes saya akhirnya membeli lebih kurang 10 jenis item jajanan (versi saya, seenggaknya saya kenali) dan masing-masing hanya 1 bungkus standar. Ini karena saya nggak tahu persis isi dan rasanya apa.

Ya kalau cocok di lidah saya, kalau enggak terus nggak kemakan, kan sayang? Dan beneran, mungkin karena remang-remang listrik mati; 3 item jajanan yang saya beli ternyata 2 bungkus bagian plastik bawahnya wes bolong. Kerupuk ikannya wes mlempem tanpa saya tahu. 1 bungkus lagi masa berlaku wes lewat, sehingga rasanya apek penguk nggak bisa dimakan.

Saya orang Jawa. Jadi masih bisa bilang untung yang kecolongan nggak bisa dimakan cuman 3 bungkus. Tapi 3 bungkus harga 30 rb an ya wes 90 rb mubadzir 😁😂 Saya cuman bisa nyalahin diri sendiri kok nggak teliti sebelum membeli. Tapi itu juga jelas QC-nya Wong Osing lalai. Barang nggak layak kok isih mejeng di tangkringan produk yang dijual.

Terus versi saya di sini regane lumayan bunyi. Saya tahu, oleh-oleh di toko khusus biasanya memang beda harga. Tapi kalau ketinggian dan berasa larang, yo orang mikir untuk bayar. Mungkin tokonya perlu screening cocokan harga lagi. Biar orang yang biasa piknik dan jajan oleh-oleh kek saya nggak merasa mark up harganya ketinggian.

Saya kurang tahu kalau belanja di sini pas terang benderang. Mungkin lebih memyenangkan, tapi pastinya harganya nggak beda dengan saat kami datang. Mungkin Afrindo juga perlu mencari tempat oleh-oleh lain yang lebih kondusif untuk kerja sama jangka panjang. Wong Osing saya kira perlu berbenah agar tamu-tamu yang datang bergembira, belanja banyak tanpa merasa larang, dan sukacita membagikan kesan baik mereka kepada keluarga dan kolega.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (4) De Djawatan: Misteri Hutan Magis

Gerbang De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Setelah dari Pantai Bama, kami kembali ke rest area. Bebersih, sholat, makan siang. Kami kembali ke bus besar dan melanjutkan perjalanan. Kini kami menuju ke De Djawatan. Hutan eksotis yang sudah lama viral.

Saya baru kali ini ke De Djawatan. Tempat ini dibuka sebagai areal wisata tahun 2018. Antara tahun 2016 s/d 2020 sebelum pandemi, medan kerja saya sebagai penulis profesional lebih banyak di Indonesia Timur (Maluku dan Papua). Jadi di tahun-tahun itu saya nyaris nggak pernah piknik di areal Jawa atau di luar Indonesia Timur.

Gegara itu, sebagian logat Jawa saya ilang karena intensnya berinteraksi dengan warga lokal (yang nggak semuanya jago berbahasa Indonesia). Pekerjaan yang membuat saya bisa turun ke tempat wisata-wisata luar biasa di Indonesia Timur; yang kalau suruh ragat biaya sendiri untuk tiket pesawatnya bae mikir berulang😁😅

Sisi lain De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Karena belum pernah datang ke De Djawatan itulah, saya jadi sangat antusias. Hutan yang sudah viral dengan sebutan Hutan The Lord of the Rings. Hutan magis dengan pesona luar biasa. Pasti sangat menyenangkan berada di lokasi tersebut.

Saya pikir, hutan ini lokasinya nggak jauh dari Baluran. Lho ternyata hampir 2 jam perjalanan dengan bus. Kalau di pantai berpanasan, kami di areal ini bisa berdinginan. Sejuk. Adem.

Lokasi De Djawatan berada di Dusun Purwosari, Desa Benculuk, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sudah beda kabupaten dengan lokasi TN Baluran dan Pantai Bama.

Di bagian dalam De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Wah, saya beneran takjub dengan hutan ini. Pohon besar-besar dengan sulur panjang-panjang yang memenuhi hampir seluruh areal hutan. Saya merasa sedang berada di dunia fantasi. Indah banget. Subhanallah, Maha Suci Allah dengan Semua CiptaanNya. ❤

Hingga sekarang, baik warga lokal maupun pihak terkait (Perhutani) belum bisa memastikan asal usul atau sejarah De Djawatan ini. Sebagian menganggap kalau areal ini bekas markas TNI di masa penjajahan untuk transisi prajurit, logistik, dan senjata. Namun pihak TNI setempat atau melalui dinas penerangan TNI tidak pernah mengkonfirmasi hal tersebut.

Sementara pihak Perhutani menyebut bahwa areal itu dulunya tempat penimbunan kayu sebelum dijual, agar awet tidak mudah lapuk atau rusak. Pelindungnya dengan daun-daun trembesi.

Di manapun di De Djawatan bisa foto. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya pribadi cenderung mengamini pendapat Dinas Kehutanan. Karena nama De Djawatan sendiri diambil dari Djawatan Kehoetanan, sehingga kemungkinan besar areal ini untuk urusan industri kayu di masa lalu, bisa jadi lebih benar dibandingkan sebagai areal atau markas TNI. Luasan hutan yang hampir 10 hektare ini juga bisa dimaklumi sebagai daerah penghasil kayu-kayu besar di masa lampau.

Yang jelas, wisata ke sini adalah piknik yang luar biasa. Dengan tiket 5 rb saja per gundul sampeyan bisa eksplore sepuasnya dari pagi sampai sore. Pastikan bawa bekal cukup, pakai baju dan alas kaki yang nyaman, baterai HP/kamera harus full. Karena semua tempat bagus untuk spot foto.

Secara umum, di sini sarpras sudah memadai. Toilet, mushola, tempat parkir, orang jualan makan/minum, gazebo, spot foto, bahkan ada banyak jasa foto on the spot yang bisa kita sewa dengan harga murah meriah.

Terlihat perbandingan tinggi besar pohon dengan orang dewasa. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya cukup banyak eksplore dan nggak berhenti mengagumi “luar biasanya” keindahan tempat ini. Di tempat ini pohonnya sungguh besar-besar dan tinggi-tinggi. Hampir di semua tempat seperti itu keadaannya. Tuhan seperti sedang mengajak saya berbicara lewat keindahan alamnya yang nggak ada di tempat lain.

Saya bersyukur juga pas kami di sini, hujan hanya rintik beberapa saat. Kami masih bisa eksplore dengan cukup. Foto-foto di banyak spot. Naik turun panggung untuk foto. Lelarian sana sini menikmati alam sejuk yang indah luar biasa.

Oh iya, di sini kalau nggak mau terlalu capek pas keliling areal hutan; kita juga bisa menyewa andong, ATV ataupun jasa ojek motor. Cuman saya lupa nggak nanya berapa tarifnya. Yang jelas kalau sewa alat transportasi, areal jangkauan keliling kita bisa lebih luas dibandingkan kalau kita hanya jalan kaki. Spot foto yang bisa kita peroleh juga lebih banyak. Monggo diitung dan dipertimbangkan sesuai kondisi masing-masing.

Rombongan kami di De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Kalau sampeyan ke Banyuwangi, pastikan mampir ke hutan istimewa ini. Ikut trip dengan Afrindo juga lebih gampang. Tapi kalau mau arrange sendiri, tempat ini layak dijadikan destinasi wisata keluarga yang menyenangkan dan murah meriah.❤

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (3) Pantai Bama, Bisa Snorkeling?

Penampakan Pantai Bama. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Destinasi kami berikutnya ke Pantai Bama.
Pantai ini terletak di Desa Sumberwaru, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Lokasi ini berada sekitar 50 km dari pusat kota Situbondo, dan bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi atau kendaraan umum. Kalau rombongan kami ke sini dengan shuttle bus.

Sebenarnya semua laut di Indonesia rerata bisa untuk snorkeling, termasuk Pantai Bama. Namun di trip kami kali ini nggak termasuk snorkeling. Tapi kalau sampeyan trip sendiri, di sini juga tersedia tempat penyewaan alat-alat snorkeling.

Saya wes menanyakan hal ini ke Mas Andre. Karena kalau snorkeling berarti harus bawa baju renang. Syukurlah enggak pake acara snorkeling. Karena di panas membara begitu, turun ke bawah air pasti menguras energi.

Papan Nama Pantai Bama. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Di trip bersama Afrindo ini, kita bisa keliling laut dengan naik kapal atau perahu. Sewa kapal rerame per gundul antara 25 s/d 50 rb. Sementara untuk sewa 1 perahu antara 250 s/d 350 rb. Tawar-tawar saja karena mereka juga suka pasang tarif tinggi.

Pas tiba di pantai sini sudah cukup panas. Saya ikut naik kapal keliling laut. Cukup menyenangkan karena nggak kepanasan, duduk-duduk, lihat air laut dan view sekitaran, dan foto-foto.

Pantai ini dinamakan Pantai Bama, karena ada banyak ragam kehidupan pantai. Selain secara umum situasi pantai, di sini ada hutan mangrove dan hutan bakau yang cukup subur. Masyarakat lokal juga sudah banyak memanfaatkan hasil hutan ini untuk berbagai keperluan rumah tangga dan industri.

Di salah satu sisi kapal. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Kalau sampeyan sempat berbincang dengan warga lokal, mereka sudah kenal dengan sabun, sirup, selai, dll olahan dari mangrove. Mereka memanfaatkan hasil lokal pantai untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Di lingkungan pantai ini juga tersedia areal trekking hutan bakau. Hanya trip ini tidak mengalokasikan waktu untuk trekking. Kalau sampeyan trip keluarga atau trip sendiri, sampeyan bisa mencobanya.

Sarpras wisata di sini sudah cukup memadai. Perahu kapal. Toilet. Mushola. Tempat makan minum. Tempat bermain. Gazebo. Tempat parkir. Kedai oleh-oleh khas setempat.

Rombongan kami yang naik kapal. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya nggak banyak eksplore di sini. Wes panas. Usai turun dari kapal, saya langsung masuk shuttle bus. Ada Mbak Riefna dan adiknya juga. Sementara yang lainnya masih makan minum di areal pantai. Waktunya cukup luang. Beneran seperti piknik keluarga yang mengikuti keinginan pesertanya. Intinya, piknik dengan Afrindo bikin kita merasa leluasa, nggak diburu-buru waktunya. Dan Pantai Bama ini juga layak untuk dijadikan tujuan wisata keluarga.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us: