Kamu jenis penulis yang mana?
Penulis idealis atau penulis industrialis?
Ciri ciri Penulis Idealis:
1. Menulis tidak memperhatikan kebutuhan pasar.
2. Tidak mudah menerima masukan pihak lain.
3. Imbalan Finansial bukan tujuan utama.
4. Kualitas lebih penting dari pada produktivitas.
Ciri ciri Penulis Industrialis:
1. Tidak akan menulis jika tulisannya tidak akan diterima penerbit.
2. Terbuka dan lapang dada terhadap intervensi pihak lain.
3. Imbalan finansial merupakan tujuan utama.
4. Produktivitas lebih penting dari pada kualitas.
Disarikan dari kuliah Pak Joko Irawan Mumpuni di Griya Kinoysan University, beberapa tahun yang lalu.
Waruga adalah kubur batu orang Minahasa. Kubur ini terdiri dari dua bagian, yang atas berbentuk segitiga dan yang bawah berbentuk kotak dengan ruang di bagian tengahnya. Pada mulanya sebelum dikenal tradisi waruga, saat orang Minahasa meninggal, mayatnya akan dibungkus dengan daun woka atau sejenis janur, yang kemudian diganti dengan rongga pohon kayu atau nibung.
Tradisi waruga atau kubur batu baru digunakan oleh orang Minahasa pada abad ke-9. Penguburan mayat diletakkan dengan posisi menghadap ke utara. Posisi menghadap utara ini karena keyakinan bahwa leluhur orang Minahasa berasal dari bagian utara. Posisinya didudukkan, tumit menempel pada pantat, dan kepala mencium lutut. Hem, agak sulit juga ya membayangkan bagaimana mereka pada zaman dulu mengatur dan memasukkan mayat pada posisi tersebut. Karena mayat lho, sudah kaku… bukan manusia hidup yang mudah ditekuk-tekuk atau diatur atur gerakannya. Tradisi ini terus berlangsung sampai lama, sebelum akhirnya pada tahun 1860 Belanda melarang tradisi penguburan mayat dalam waruga ini.
Sebagai bentuk adaptasi dari larangan kubur batu Waruga, orang Minahasa mulai menggunakan peti mati pada tahun 1870. Hal ini karena saat itu muncul wabah tipus dan kolera yang disebarkan oleh mayat-mayat dari orang yang telah meninggal. Apalagi kemudian Belanda membuat aturan seluruh mayat harus dikubur di dalam tanah, menjadi tradisi baru dalam penguburan mayat di Minahasa.
Oh iya, pada waruga itu di sisi atasnya ada berbagai bentuk relief yang menandakan tentang si mati pada saat hidup; bisa pekerjaannya, bisa posisi jabatannya. Semua digambarkan sesuai dengan kemampuan orang Minahasa membuat reliefnya. Satu waruga tidak hanya berisi satu mayat, meskipun ada yang berisi satu mayat saja. Namun ada yang dua, empat, lima, tujuh, bahkan dua belas. Mereka yang dikuburkan dalam satu waruga itu umumnya satu keluarga sedarah. Penguburannya tentu tidak bersamaan, tetapi berbeda-beda sesuai waktu masing-masing meninggal.
Waruga di Minahasa ada sekitar 370 buah, tersebar di beberapa wilayah; yaitu di kelurahan Rap-rap ada 15, di Airmadidi Bawah ada 211, di Sawangan ada 144. Waruga yang saya kunjungi itu terletak di Desa Sawangan, jadi di sana ada 144 buah waruga. Kini kubur batu waruga itu telah menjadi salah satu tujuan wisata. Eeh, tidak ada aroma angker sama sekali; karena kalau ke sini berbeda dengan di Jawa misalnya, nggak ada dupa, nggak ada bunga-bunga yang jadi aroma mistis. Dan tempatnya sangat bersih. Di sekitar waruga itu juga ada kubur baru untuk memakamkan orang-orang yang meninggal di desa tersebut.
Nah, bagaimana? Apakah anda tertarik mengunjungi Taman Wisata Waruga ini? Kalau anda mau mengunjungi kubur batu waruga, harus datang ke Manado. Baru deh dari sana bisa berlenggang dengan kendaraan menuju Taman Wisata Waruga ini. Oh iya, tarifnya murah sekali hanya 5 ribu untuk umum, 3 ribu untuk pelajar, dan 10 ribu untuk warga asing.
Kalau di Jogja, sup ikan semangkuk besar itu mungkin untuk 3-4 orang. Kalau di Manado boleh saya habiskan sendiri 😋😋 Bagi para pecinta masakan olahan hasil laut, maka Manado adalah salah satu surganya untuk makan ikan. Di sana ikan melimpah ruah. Saking melimpahnya ikan, muncul omongan kalau di sana ikan baru mati sekali untuk dimakan. Artinya ikan di sana benar-benar segar dan berbagai masakan dari hasil ikan pun sangat enak.
Sup ikan Manado kali ini berbahan dasar ikan mujair. Kuahnya bening dan segar. Jangan tanya ke saya apa resepnya atau bagaimana memasaknya, karena saya tinggal makan dan porsi besar pun habis saking enaknya 🙂
Namun yang saya ingat, di dalam olahan sup itu ada daun sereh, tomat, kemangi, seledri, daun bawang, dan daun jeruk kunci yang khas dipakai di daerah Manado. Mungkin cara memasaknya juga sama dengan sup ikan lainnya, anda bisa cari di google atau tanya setiap ibu rumah tangga pasti tahu cara memasak sup ikan 🙂
Yach, tiap daerah di Indonesia selalu kaya kuliner. Dan menikmati setiap kekhasan kuliner itu menjadi hal yang menyenangkan setiap kali saya berada di daerah baru. Itulah kenapa kita harus banyak jalan dan banyak piknik, agar semakin mencintai Indonesia.
Adik laki laki saya menelpon, “Kak, kau sudah di Jogja?”
.
“Sudah.”
.
“Saya kira sudah jadi orang Manado. Lama sekali pergi dan kelihatan happy-happy saja.”
.
Saya tertawa, “Yach kalau happy siy di mana aja. Kemarin urusannya banyak, jadi marathon.” Lalu dia menanyakan aktivitas saya di Sulut dan saya menceritakan dari A sampai Z.
.
“Tidak ke Pasar Tomohon?”
.
“Tahun lalu saya pingin pergi, tapi saya jijay dan hampir muntah saat dikirimi video pasar Tomohon oleh seorang kawan yang pergi ke sana. Akhirnya nggak ada pingin lagi. Mending ke pantai aja deh.”
.
“Terus anak-anak yang mo bikin film pendek kemarin juga cerita, itu isinya masih ekstrem. Ular, buaya, tikus, anjing, kucing, monyet, biawak, dll. Semua disajikan dalam kondisi horor. Kamu cari di internet. Larangan memperjualbelikan satwa-satwa yang dilindungi sudah ada, tapi ya masih sering ditemukan di sana. Itu pasar jadi pro dan kontra, antara yang setuju ditutup atau tetap dilestarikan.”
.
“Yeach kalau kakak yang “kuat hati” saja gak pingin ke sana, pasti horornya lebih ekstrem dari yang di internet.”
.
Ada yang tertarik menyaksikan langsung keekstreman Pasar Tomohon? Anda bisa segera ke sana; sebelum nanti ada aturan baru atau penguasa yang menutupnya.
.
Noted: Foto ilustrasi saya ambil dari internet. Silahkan cari sendiri gambar-gambar atau video ekstremnya. Saya tidak cukup kuat hati untuk melihatnya.
.
Ari Kinoysan Wulandari
Setting sering disebut pula dengan latar belakang cerita; segala hal yang menjadi latar belakang cerita dari awal sampai akhir, itulah yang dimaksud setting.
Pada umumnya setting terdiri dari:
1. Waktu : kapan peristiwa terjadi, bisa masa lalu, masa sekarang atau (prediksi) masa depan.
2. Tempat : di mana peristiwa dalam cerita terjadi, misalnya di sekolah, di kantor, dll.
3. Budaya: adat dan budaya apakah yang digunakan, misalnya budaya Jawa, budaya Betawi, dll.
4. Suasana: suasana atau situasi dan kondisi seperti apa yang melingkupi cerita dalam novel tersebut; apakah semangat, sedih, gembira, bahagia, dll.
5. Latar belakang dan kepribadian karakter; apakah karakter di dalam cerita ini orang yang penyendiri, pendengar yang baik, ramah, mudah bergaul, baik hati, dll.
Untuk memudahkan penulisan, di awal-awal bila menulis novel, ambillah setting yang paling kita kenali dan kita kuasai dengan baik. Dengan demikian, kita tidak perlu membuang waktu untuk melakukan penelitian atau riset. Setting yang kita kenal baik, pasti akan memudahkan kita dalam membuat deskripsinya.
Misalnya, kalau kita tinggal di Jakarta setiap hari sibuk dan mengetahui hiruk pikuk kota Jakarta, tentu sangat mudah bagi kita untuk menuliskannya. Sebaliknya, kalau kita menuliskan setting kota London, sementara kita belum pernah tinggal di sana, tentu butuh waktu banyak untuk melakukan riset atau wawancara dengan orang-orang yang tinggal di London.
Jadi, pilihlah setting yang paling kita kenal untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan kita dalam menulis novel.
Apakah anda sudah pernah ke Bunaken? Sudah sering? Sudah pernah? Atau belum pernah? Yes, its ok. Tapi pasti pernah dong dengar “Bunaken”? Ini adalah salah satu ikon pantai paling cantik di Sulawesi Utara. Meskipun sebenarnya kecantikan itu adalah kecantikan bawah laut. Kalau sekedar di atas, laut ini mungkin terlihat tidak ada bedanya dengan laut-laut lainnya di Indonesia.
Tahun lalu saya sudah pergi ke Bunaken, tapi tidak sampai turun ke laut; karena gelombang tinggi dan berangkat dari kota sudah terlalu siang. Jadi cukup puas saja lihat permukaan laut yang biru –sebirunya— langit yang juga biru sekali, pemandangan gunung “kecil” yang selalu terlihat dari pelabuhan sampai ke tempat transit Bunaken; sebelum anda turun ke laut, dan tentu saja kapal-kapal yang warna-warni lalu lalang. Plus udara panas dengan terik matahari yang sanggup bikin kepala nyut-nyutan “pusing”.
Tahun ini saya kembali ke Bunaken selepas mengikuti acara seminar internasional di Manado yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara. Wes, saya tidak berpikir akan turun ke laut karena hari itu adalah jadwal saya presentasi makalah selepas dari Bunaken. Dan saya lihat di agenda panitia ya hanya ke Bunaken. Tidak tertulis acara “basah-basahan”.
Standar ke pantai ya minum air kelapa muda, makan seafood, dan foto-foto. Tapi di sini sebaiknya tidak makan seafood karena “cukup mahal”; pun dengan makanan dan minuman lainnya. Selain itu, tempatnya kurang memadai untuk kita bisa menikmati makanan enak dan pantai yang indah. Jadi, ya kudu “sabar” dan “jangan mengeluh” kalau di sini “tidak seindah” foto-foto atau video dari agen wisata atau tampilan yang anda saksikan di media online atau offline. (Noted: saya tidak memotret bagian ini karena bikin saya sedih saja). Saya berharap pemerintah, masyarakat setempat, dan pihak terkait bisa menjadikan kawasan ini lebih bersih, rapi, dan bersahabat untuk semua wisatawan domestik atau wisatawan asing.
Kami makan pisang groho (pisang goreng besar dengan sambal) salah satu cara makan pisang yang tidak biasa bagi saya. Kalau di Jawa makan pisang goreng ya rasa manis lah…. Bukan malah pedas dengan sambal. Ehh, tapi rasanya enak banget. Cobain deh…. Kalau ke Sulut ada bisa ditemukan di rumah makan atau ya ke Bunaken ini.
Nah, sudah beberapa lama ngobrol dan foto-foto dan berkeliling lalu salah satu panitia berteriak menanyakan siapa yang mau berenang dan snorkeling…. lah, saya galau antara mau ikut atau tidak. Tidak itu pingin tahu bawah laut, ikut itu ntar kalau capek dan gak bisa presentasi gimana dong… kan saya ke Manado yang penting presentasi dan seminarnya. Eh, mengingat belum tentu segera ke sini lagi, ya sudah bismillah saya ikut dan turun.
Kami bersembilan yang turun ke laut yang sungguh indah. Wow… tapi oh tapi, kaki saya beberapa kali terasa seperti kram. Namun setelah kembali saya gerakkan, netral lagi. Tidak seperti air laut Belitung yang hangat, saya merasakan air laut Bunaken lebih dingin…. barangkali saja karena saya turun lebih dalam; meski beberapa kali saya sempat sangat takut. Dan keinginan tukang foto bawah laut untuk mengabadikan foto itu justru bikin saya stres. Saya memunculkan kepala ke atas dan berseru, “Mas, saya mau lihat ikan, tidak usah foto-foto tidak apa-apa.” Karena setiap mereka teriak hadap kamera, konsens saya buyar dan lepas alat napas itu, yang bikin saya gelagepan kebanyakan minum air laut. Yach, namanya juru foto tugasnya memotret dan memastikan semua peserta ada “potretnya” saya tidak bisa marah, tapi jengkel yes…. agak banget. Toh mereka bisa dapat juga foto saya dengan ikan-ikan itu meski nggak menghadap kamera.
Kalau diterus-terusin nggak akan puas rasanya berada di bawah laut Bunaken. Mengingat saya belum presentasi, sejam sudah cukup di air laut Bunaken. Saya tetap senang ke Bunaken. Saya cinta laut dan senang sekali turun ke laut, meski sering juga rasa takut datang tiba-tiba. Tapi nggak apa-apa, takut itu menyadari bahwa kita tidak ada apa-apanya di tengah lautan yang bisa tiba-tiba ganas dengan ombak badainya yang bergulung-gulung. Jadi, kapan anda mau ke Bunaken? Eh, boleh ajak-ajak saya lho…. apalagi kalau bersama-sama grup dalam program travelling writing 🙂
Apa Kesibukan Penulis Skenario? Apa ya? Saya jadi penulis karena senang; termasuk gembira dengan aktivitasnya: membaca, nonton film, studi pustaka, dolan-dolan, ketemu tokoh, menulis, belajar, merevisi, bedah buku-film, promosi buku, mengajar menulis, diskusi dengan pembaca-editor-penerbit produser-klien, book signing, terima royalti, terima kado, terima kejutan.
Apalagi ya kesibukan penulis? Ada yang mau menambahkan? Hehe…. ya, mungkin banyak, tapi senang jadi penulis karena sifat fleksibelnya; paling-paling kalau overload ya ngedrop dan dokter selalu gemas karena saya sering tak patuh padanya