Tip Trik Publikasi Naskah

Jadi Penulis Fiksi

http://andipublisher.com/produk-1004003351-jadi-penulis-fiksi–gampang-kok-.html

Menerbitkan naskah kita di penerbit major, tentu menjadi kebahagiaan tersendiri. Namun untuk bisa menerbitkan naskah kita, rasanya kok ya tidak semudah membalik telapak tangan. Berikut ini tip dan trik yang mungkin bisa membantu, agar tulisan anda cepat menemukan penerbit yang tepat.

1. Ketahui visi misi media yang anda tuju. Anda bisa mengeceknya lewat terbitan-terbitan mereka dan juga lewat web atau media komunikasi yang mereka miliki.

2. Perhatikan aturan dan teknis publikasi. Setiap penerbit punya aturan berbeda-beda. Di penerbit A, novel mungkin 150 halaman minimal. Di penerbit B, bisa jadi menuntu 200 halaman. Ceklah aturan ini di web mereka atau tanyakan langsung pada editornya.

3. Jangan mengirim naskah yang tidak sesuai. Kalau penerbit A sudah mematok konsentrasi ke buku fiksi berbasis sejarah, ya jangan mengirimkan cerita horor kepada mereka. Pasti nggak berjodoh.

4. Pastikan naskah anda belum dikirim ke media lain. Salah satu alasannya, agar nanti kalau naskah anda diterbitkan di pihak A, anda tidak perlu menariknya dari pihak B atau sebaliknya.

5. Tanyakan pada editor, bagaimana cara yang praktis pengiriman naskah dan kapan akan dimuat. Ini untuk publikasi pemuatan naskah di media massa. Editor biasanya orang kunci yang paling tahu soal ini dan lebih mudah ditanyai, daripada kepala redaksinya —misalnya.

6. Tidak selalu naskah yang tidak dimuat itu buruk, bisa saja tidak cocok. Jangan menganggap naskahmu buruk. Apalagi kalau kamu sudah mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, lewat mentoring pula. Saya melihat kebanyakan mereka kurang cocok dengan tulisan anda. Santai saja, masih banyak penerbit lain.

7. Memastikan bahwa tulisan tidak ada salah tanda baca atau salah ketik. Ini siy sering dianggap sepele dan tidak diperhatikan. Tapi tahu nggak siy, ada banyak tulisan bagus ditolak karena pengetikannya yang acakadut dan banyak sekali typo di sana-sini. Jadi, please periksa tulisanmu ya….

8. Bertanya pada orang orang yang sudah pernah mempublikasi di media yang sama untuk menghindari kesalahan. Ini seperti kamu belum pernah ke Jakarta lewat darat bawa mobil pribadi, terus kamu tanya pada mereka yang sudah sering ke Jakarta lewat darat dengan mobil sendiri. Pasti banyak info menarik.

9. Jangan malas membaca buku-buku terbitan dari pihak yang hendak kamu tuju. Kalau kamu mau menuju penerbit A, cek-cek, cermati terbitan mereka, baca sungguh-sungguh. Seenggaknya kamu kenal gaya mereka.

10. Jangan malas ikut acara buku. Banyak hal penting yang berkaitan dengan publikasi dishare pas acara-acara buku; bisa gathering penulis, bedah buku, book signing, workshop penulisan, dll. Siapa tahu kamu jumpa editor penerbit yang cocok dengan naskahmu.

Intinya jangan menyerah kalau naskahmu masih ditolak. Nggak perlu pake dukun siy, karena editornya nggak mempan didukunin 🙂 Tapi kalau naskahmu wes bagus, ya tinggal tunggu waktu saja untuk bertemu penerbit yang pas. Sabar lah sedikit lagi….

Salam,

Ari Kinoysan Wulandari

 

Memaafkan Diri Sendiri

Dalam kehidupan sehari-hari, kita cenderung lebih mudah memaafkan orang lain, tetapi belum tentu memaafkan diri sendiri. Merasa paling bersalah, merasa tidak pantas, merasa belum layak, merasa kenapa tidak berusaha lebih keras, kenapa tidak melakukan abcd dan seterusnya. Ada banyak kesalahan dan kegagalan yang kalau terjadi pada orang lain, kita mudah mentolerirnya; tetapi tidak mudah memaafkan saat terjadi pada diri sendiri.

Padahal semua itu akan menumpuk di alam pikiran bawah sadar kita dan terus menerus meracuni kehidupan kita. Segala yang mengendap itu akhirnya membebani kita dan menghalangi diri dari meraih kehidupan yang lebih baik dan lebih happy. Dalam berbagai hal, saya termasuk yang sulit untuk memaafkan diri sendiri. Ada banyak hal yang tidak sesuai rencana, tidak sesuai dengan harapan, tidak sesuai doa. Lalu perlahan dari sepanjang kehidupan saya, tumpukannya menjadi sangat banyak. Menyalahkan diri sendiri dan sulit memaafkan diri sendiri.

Pada saat saya mulai menjalani sesi terapi, ada hal yang lebih berat daripada memaafkan orang lain, yaitu memaafkan diri sendiri. Satu persatu saya mulai memaafkan semua hal yang pernah terjadi dalam hidup saya. Satu, dua, tiga, empat, lalu jumlahnya menjadi sangat banyak. Melepaskan satu per satu, seperti melepaskan ikatan-ikatan yang membelenggu. Sampai akhirnya ya, sedikit demi sedikit beban-beban kehidupan saya terasa jadi lebih ringan. Banyak hal yang memang tidak bisa saya kendalikan. Tugas saya ya mengikhlaskan semua yang sudah terjadi. Tidak menyimpannya terus di garasi bawah sadar saya.

Rumah Leluhur

Sebagaimana saya menerima bahwa rezeki, jodoh, hidup, mati adalah ketetapan Tuhan yang sudah pasti dan tidak bisa diutak-atik, maka saya belajar untuk mengerjakan hal-hal yang bisa saya kendalikan. Batasan yang harus saya kerjakan adalah mengerjakan semua yang saya bisa lewat jalur baik, doa, dan tawakal. Tidak ada harapan yang berlebihan. Tidak ada keinginan untuk menguasai ataupun memiliki. Mengerjakan satu per satu pekerjaan saya juga tidak dipenuhi khawatir ini kok begini, ini kok begitu. Tugas saya mengerjakan dan mengusahakan yang saya bisa semaksimal mungkin. Rezeki bukan saya yang atur. Begitu pula dengan jodoh, hidup, dan mati saya. Saya mempercayai sepanjang hati dan cara hidup saya baik, Tuhan pasti akan memberi rezeki yang baik, jodoh yang baik, hidup yang baik, pun dengan kematian yang baik pula.

Saya juga menerima semua keberadaan diri saya dengan sempurna. Tidak lagi ada keinginan membandingkan diri saya dengan orang lain. Dulu ya pernah, apalagi kalau bertemu dengan orang-orang cantik yang kayaknya njur hidupnya jadi semudah angin bergerak mendapatkan segala sesuatunya….

Gampang banget suksesnya dengan kecantikan mereka. Tapi sudah lama itu hilang, karena ternyata yang cantik pun masalahnya macam-macam. Bahkan banyak yang kepingin seperti saya, karena hidup kok happy happy aja. Ya, di sosmed happy dan senyatanya saya jauh lebih happy lagi. Kan saya nggak bisa menceritakan semua kejadian seru dalam hidup saya di sosmed.

Dengan begitu saya merasa lebih sempurna dengan “rasa kemanusiaan” saya. Manusia itu tugasnya ya menghadapi dan menyelesaikan masalah. Tidak usah mengeluh. Tidak usah banyak keinginan. Tidak usah banyak harapan. Tidak usah menoleh-noleh kehidupan orang lain. Kalau ada yang belum kepegang, belum bisa dimiliki, ya sudah, nanti pasti ada jalannya. Jadi, di hati lebih ringan.

Saya tidak merasa terganggu dengan banyak perilaku orang lagi. Karena pada dasarnya saya menyadari mereka juga sedang berjuang menyelesaikan urusan dan masalahnya masing-masing. Bisa jadi, orang yang terlihat baik-baik saja sesungguhnya menghadapi masalah yang jauh lebih berat dari kita, hanya mereka nggak mengeluh, nggak curhat —terutama di sosmed yang bisa kamu-kamu nyinyirin.

Yuk, kalau kamu merasa hidupmu berat banget dan banyak bebannya, coba deh. Tiap malam sebelum tidur, duduk manis, memejamkan mata, lalu bilang minta maaf pada dirimu sendiri. Ingat-ingat semua kesalahan, dan memaafkan semua yang sudah terjadi serta menerima semuanya dengan ikhlas. Percaya deh, kalau rutin dilakukan hidupmu pasti jadi lebih baik. Saya begitu kok. Memaafkan diri sendiri, memaafkan orang lain, bersyukur, dan mendoakan semua orang. Mungkin itu kuncinya bisa tertawa lepas.

Ari Kinoysan Wulandari

Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi

Indonesia tengah diuji oleh alam. Banjir Jabodetabek menyedot banyak perhatian warganet dan bangsa Indonesia secara umum, karena Jakarta adalah ibukota NKRI. Plus peristiwa pilkada DKI yang sungguh nggak mudah hilang dari ingatan publik. Sosok idola terpinggirkan oleh sosok pecatan, yang ternyata membuat banyak “kekisruhan” semenjak menjabat hingga saat ini. Oleh karena konsentrasi itu, barangkali kita terlupakan dengan apa yang terjadi pada sisi lain negeri ini. Laut Natuna kita.

China Coast Guard-1  (Pict: Haryoko R. Wirjo-soetomo)
Kapal China (Pict Haryoko R. Wirjosoetomo)

Kapal-kapal ini sudah berkeliaran di Laut Natuna beberapa waktu lalu. Kapal pengawalan sipil China itu dengan santainya berada di laut kita. Ukurannya sangat besar, mengawal kapal-kapal penangkap ikan. Saya awam soal ini. Jadi jangan tanyakan detailnya kepada saya. Dari pict kapal,  tentu saya maklum kalau para nelayan Natuna ketakutan melaut. Ada banyak kapal asing yang “mencuri ikan” di rumah kita. Kapal-kapal TNI AL RI diturunkan untuk melakukan pengamanan dan menghalau mereka keluar dari wilayah NKRI. Syukurlah sudah bisa diusir pergi. Nggak usah datang lagi deh, kecuali mau diusir-usir lagi….

Saya njur ingat kisah-kisah sejarah yang saya baca. “Mereka itu dari zaman Kertanegara hingga sekarang kok nggak ada bosennya merecoki kedaulatan Nusantara. Mau pamer uji nyali dan belum kapok, kuping serta rambut utusan dipotong dari masa Singosari?”

Kalau kita lupa soal kebesaran leluhur kita menghadapi mereka ini, mari kita ingat sejenak. Kisah ini saya ceritakan versi seingat saya dari membaca yo. Bagi anda yang ingin memperoleh versi sejarahnya detail, silakan baca buku-buku sejarah yang valid.

Zaman Singosari dipimpin oleh Raja Kertanegara datanglah utusan dari Tiongkok (Mongol). Mereka diterima baik-baik di negeri yang kaya raya ini. Utusan Tiongkok membacakan surat penguasa Tiongkok yang meminta jalur Malaka kepada Sri Kertanegara. Itu demi pemenuhan ambisi Jalur Sutera mereka. Mereka tidak mau mengakui kekuasaan Sri Kertanegara dan menolak membayar pajak saat melalui tempat tersebut. Kemarahan Kertanegara memuncak saat Kertanegara meminta mereka menunjukkan perjanjian bahwa Singosari adalah penguasa wilayah tersebut. Dengan congkaknya para utusan itu mengatakan bahwa Tiongkok lebih berhak dan lebih pantas menjadi penguasa Malaka.

Kemarahan Kertanegara tak terbendung. Para pengawal Kertanegara (Dharmaputra) melumpuhkan para utusan Tiongkok itu. Lalu Kertanegara memotong telinga, memotong rambut dan mengembalikan mereka ke penguasa mereka di Tiongkok. Sebagian ada yang menceritakan tentang pembuatan peta wilayah Singosari di punggung para utusan Tiongkok, memberi cap lambang Singosari di jidat para utusan, dll. Intinya menyatakan kebesaran kekuasaan Singosari dan Kertanegara menolak memberikan Malaka pada Tiongkok.

Kertanegara lalu memperluas kekuasaannya sampai jauh (ekspedisi Pamelayu), hampir separoh Nusantara dikuasainya. Perluasan wilayah besar-besaran ini dalam rangka menghadapi pasukan Tiongkok. Kalau-kalau mereka kembali menyerang setelah dipermalukan oleh Kertanegara. Saat kerajaan kosong sedikit pasukan, Jayakatwang memberontak dan membunuh Kertanegara. Menghancurkan Singosari dengan hanya menyisakan empat putri Kertanegara, dan satu menantunya —Raden Wijaya. Jayakatwang mendirikan Kerajaan Kadiri dan mengusir Raden Wijaya ke Hutan Tarik. Jayakatwang mengalami kegagapan kekuasaan. Semula sebagai raja bawahan Singosari (Raja Gelang-gelang) lalu menjadi Raja Kadiri yang menguasai hampir separoh Nusantara.

Saat itulah, pasukan Tiongkok kembali ke Tanah Jawa dengan pasukan yang jauh lebih besar untuk menggempur Singosari. Tujuannya menggantung Raja Jawa (Kertanegara). Padahal kekuasaan sudah beralih ke Jayakatwang. Raden Wijaya mendompleng kehadiran pasukan Tiongkok ini untuk menyerang Jayakatwang. Jayakatwang berhasil diruntuhkan dan digantung di tepi pantai. Ternyata orang Indonesia yo tetep lebih pintar 🙂

Raden Wijaya pun memperdaya pasukan Tiongkok yang sedang dimabuk kemenangan dengan pesta dan minum-minum. Mereka lengah dan akhirnya mayoritas dibunuh oleh pasukan Raden Wijaya. Sebagian kecil yang bisa melarikan diri mencari selamat sampai kembali ke Tiongkok; tapi panglima perangnya dihukum cambuk belasan kali dan dimiskinkan oleh Raja Tiongkok.

Majapahit pun berdiri dengan Raden Wijaya sebagai raja pertama. Ia menikahi keempat putri Kertanegara. Hubungan  Majapahit dengan Tiongkok sempat membaik, tetapi karena mereka tetap menginginkan Malaka; Raden Wijaya pun menutup akses Malaka untuk Jalur Sutera mereka. Malaka adalah jalur rempah-rempah dari Nusantara ke seluruh dunia.

Rupanya dendam belum usai. Belum kapok juga mereka. Pada masa Orde Baru, mereka mencari gara-gara lagi dengan banyaknya penyelundup ke NKRI. Indonesia murka dan memutus jalur diplomatik. Indonesia mengusir warga penyelundup pulang ke negeri moyangnya.

Kini ambisi Jalur Sutera mereka kembali digencarkan. Apakah karena investasi mereka yang besar di negeri ini, lalu berasa “di atas angin” untuk menabrak kedaulatan NKRI? Masih bernyali juga rupanya mereka! Mungkin mereka sudah lupa kedigdayaan para pewaris Singosari dan Majapahit. Mungkin mereka lupa dengan bambu runcing pun, bangsa Indonesia bisa mengusir penjajah.

Orang Jawa bilang, sadhumuk bathuk sanyari bumi, ditohi pati jiwa; kalau ada yang menganggu kedaulatan tanah air, maka akan dibela sekalipun nyawa sebagai taruhannya. Nah, sekarang mereka mau merecoki lagi kedaulatan NKRI? Mo cari mati mereka itu?! Saya yakin NKRI lebih dari negara kuat untuk melawan segala hal yang mengganggu kedaulatannya. Entah dengan cara diplomasi atau kekuatan militer. Yen ora kena diajak ngomong apik-apikan, ya kudu ditendang elek-elekan.

Ari Kinoysan Wulandari

Terowongan Niyama dan Banjir

Jabodetabek banjir. Sosmed riuh sekali. Tapi yang saya lihat, bukan itu. Banyak sekali kabar dan foto-foto yang beredar di sosmed, justru TNI dan Kepolisian bersama masyarakat sigap saling membantu dan berusaha mengatasi persoalan banjir, menolong orang, mengevakuasi, menyediakan makanan, pengungsian darurat, dan banyak kegiatan lain. Semoga banjir lekas surut dan hujan tidak sangat ekstrem; karena kalau prediksi BMKG ini baru permulaan dan puncaknya akan ada di bulan Februari nanti.

Saya tidak akan membahas banjir Jabodetabek. Karena banjir Jakarta itu dejavunya ke saya nggak enak; dingin, genangan air tinggi, listrik mati, air bersih habis, kekurangan makanan, terkurung, akses sulit berhari-hari (itu tahun 2007). Saya beruntung sekarang nggak di Jakarta lagi. Jadi, saya bisa merasakan betapa riewuh dan tidak enaknya bencana banjir. Daripada turut meributkan, saya doakan saja banjir lekas surut.

Banjir juga mengingatkan saya tentang kota Tulungagung, kota kecil yang indah dan memiliki banyak pantai.  Semasa kecil, kota kelahiran saya ini sempat banjir. Tulungagung memang daerah berawa. Namanya saja dulunya Ngrowo, sebelum diganti menjadi Tulungagung —penolong yang agung, negeri yang penuh dengan pertolongan. Ya, memang begitulah adanya. Kalau datang ke kota ini, kamu pasti akan melihat kota yang ramah dan apa-apa masih serba murah.

Stasiun Tulungagung

Banjir bagi anak-anak seperti saya (mungkin kelas dua atau tiga SD), adalah banjir yang berkah. Karena tidak terlalu tinggi, hanya selutut anak kecil seperti saya. Ciblon ‘main air’ menjadi arena permainan yang menyenangkan. Tapi banjir adalah kisah yang sekarang berasa “mitos” di kota ini. Sudah berabad-abad rasanya tanah ini kering.  Semoga seterusnya akan begitu.

Adapun penangkal banjir yang sangat ampuh di kota saya itu bukanlah pawang hujan atau orang pinter, tapi Terowongan Niyama. Yes, terowongan ini memang terowongan asli bangunan tentara Jepang pada saat menguasai Indonesia. Seperti yang saya sampaikan tadi, Ngrowo atau Tulungagung itu daerah banjir. Termasuk pada saat Perang Dunia II saat Jepang berkuasa di Indonesia.  Versi Nenek Buyut saya dulu, Sungai Brantas meluap karena hujan yang terus menerus. Ratusan desa dan ribuan  rumah terendam, areal pertanian hancur. Lalu membentuk genangan rawa yang sangat luas.

Serem. Iyes, banget. Nenek Buyut saya sempat menceritakan peristiwa ini kepada saya. Jadi, ya banjir memang bencana yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan wilayah itu adalah daerah yang sekarang disebut dengan Kecamatan Campur Darat, maksudnya ya air campur daratan.

Terowongan Niyama

Jepang memutuskan untuk menguras air yang menggenangi rawa-rawa itu ke Samudera Hindia, Laut Selatan. Dimulailah pembangunan Terowongan itu setahun setelah banjir (berarti 1943). Pekerjanya siapa? Ya romusha lah… masa orang Jepang! Ribuan orang romusha dikerahkan setiap hari untuk mengeduk tanah dengan alat seadanya. Zaman itu jangan dibayangin alat-alat berat sudah canggih seperti sekarang. Jadi, saya pikir hanya orang cari sensasi aja yang membersihkan atau mengeduk sungai dengan tangan.

Batu-batu kapur di punggung bukit dihancurkan, tapi sayangnya kurang dinamit. Masih dalam cerita Nenek Buyut yang saya ingat, daerah itu pernah jadi landasan terbang orang Belanda —jadi nggak aneh kalau Tulungagung ada banyak bangunan kuno model Belanda dan Nonik-Nonik Belanda (dalam versi hantu, tapi) di beberapa tempat di Tulungagung. Tulungagung bukan daerah yang terisolir. Belanda dan Jepang ya ikut ada di kota ini selama mereka berkuasa, meskipun jarak dari Surabaya itu sekitar 160 km.  Itu karena Tulungagung keren 🙂 Sejuk, indah, banyak tempat wisata, kulinernya enak-enak, orangnya baik-baik, dan perempuannya cantik-cantik. Halah….

Jepang lalu menyisir daerah itu dan menemukan bom yang digunakan untuk peledak. Pembangunan mulai digalakkan, lalu tersendat dalam urusan pengerahan romusha. Jumlah romusha terus berkurang karena mati kepayahan, kelaparan, terus serangan malaria, binatang buas, hingga banyaknya hantu dan roh jahat yang memangsa mereka.

Jepang lalu mendesak setiap pangreh praja untuk setor romusha sebanyak-banyaknya untuk megaproyek ini. Konon sebelum Indonesia merdeka, terowongan sudah selesai (berarti di tahun 1944). Disebut dengan tumpak oyot (akar gunung) romusha. Itulah yang diterjemahkan dalam bahasa Jepang sebagai ne (akar) yama (gunung). Lalu warga lokal menyebutnya Neyama Romusha. Sekarang siy sebutannya Terowongan Niyama.  Terowongan itu praktis menghentikan banjir dan tetap bisa digunakan sampai terjadi banjir bandang tahun 1955. Lalu tahun-tahun berikutnya kota ini masih langganan banjir.

Sungai Niyama

Baru sekitar tahun 1960 dengan dana rampasan dari perang Jepang, terowongan ini dibangun lagi. Seterusnya terowongan ini menjadi tameng dari banjir besar. Pemerintahan Orde Baru membangun Niyama II dan diresmikan tahun 1986. Iyo, Presiden Soeharto datang waktu itu. Tulungagung jadi meriah banget kayaknya. Saya sudah lupa-lupa ingat soal ini. Yang pasti siy, sejak sekali banjir masa SD itu, rasanya kota saya itu tidak pernah banjir lagi. Semoga tetap begitu…

Intinya bukanlah tentang sejarah Niyama (silakan cari data yang lebih lengkap). Saya hanya merekam lagi cerita Buyut saya. Sejak kecil saya diberitahu lewat cerita; bagaimana terowongan yang mengalirkan air  ke laut itu jadi solusi banjir di Tulungagung. Bukan dimasukkan ke tanah, ya kalau tanahnya seluas lautan dan bisa dibangun sumur-sumur raksasa untuk menampung air banjir… Lha tanahnya penuh dengan kebun beton. Ya jelas menggenangi kebun beton itu dan banjirlah di mana-mana.

Yach, semoga di manapun tempatnya di Indonesia, aman dari banjir. Karena di negeri kita banjir sudah sering terjadi; semestinya kita pun sadar akan bencana banjir ini. Nggak buang sampah sembarangan, nggak babad hutan serampangan, dan tentunya nggak memilih pemimpin yang serombongan aja asal berkuasa.

Ari Kinoysan Wulandari

Workshop Januari dan Februari 2020

Halo Teman-teman….

Sudah tahun 2020, dan rencanamu bikin buku masih nanti-nanti saja? Ayo, yang program tahun 2020 nya menulis buku nonfiksi dan menulis novel, bisa ikutan program ini. Satu #KuliahOnlineJanuari pada tanggal 23-24 Januari jam 19.30 wib. Biaya 500rb dengan beragam fasilitas, termasuk kalau tulisanmu keren bisa disalurkan ke penerbit mayor ya….

#BikinBukuNonfiksi

Nah, program kedua buat kamu yang seneng piknik dan nulis, bisa ikut program #PiknikDrini tanggal 29 Februari 2020 dengan all in transport, snack, makan 2x, air mineral, materi penulisan, pendampingan online 2 minggu hanya dengan 595 ribu saja. Jangan sampai ketinggalan ya… karena seat nya terbatas banget.

#PiknikDrini

Tempat-tempat yang dikunjungi juga keren-keren lho, dari Tebing Breksi, Candi Ijo, Embung Nglanggeran, dan tentu saja pantai yang kondang di Gunung Kidul, yaitu Pantai Drini. Jadi pastikan kamu ikut program ini ya.

Tebing Breksi
Candi Ijo
Embung Nglanggeran
Pantai Drini

Nah, tunggu apalagi? Segeralah daftar dan ikuti dua program keren ini 🙂 Silakan WA 081380001149 untuk pendaftaran atau cek nomor yang ada di flyer ya… Ditunggu lho …

Ari Kinoysan Wulandari

Maluku: A Hidden Paradise (2)

Pantai dan Laut yang Mempesona (2)

Halo semuanya…. Selamat Tahun Baru 2020 ya…. Setelah lama nggak aktif di web ini, hari ini saya berusaha untuk ngecek dan nerusin yang sudah tertulis terakhir tentang Maluku. Berikut ini lanjutannya ya….

Bagi mereka yang sudah malang melintang turun dan pesiar laut ke laut di Indonesia, bisa jadi Kepulauan Maluku adalah surganya. Hampir di setiap laut dan pantai yang ada di pulau-pulau tersebut, indah luar biasa. Jangankan yang sampai jauh-jauh, lha yang di Ambon saja bagus-bagus.

Anda tidak perlu ribet untuk pesiar laut di Pulau Ambon. Karena hampir semua wilayah Ambon dikelilingi laut. Anda bisa dengan mudah tanpa keluar atau turun dari kendaraan untuk menikmati pemandangan laut. Namun kalau ingin ke laut, ya mau tidak mau anda harus turun.

Sejauh yang saya amati, pantai-pantai di sini bersih sekali. Warna airnya itu beda. Tidak hanya biru, tapi campuran antara hijau, tosca, putih, biru, perak. Sangat indah. Sulit dideskripsikan dengan kata-kata. Kalau kita datang sendiri ke sana, baru bisa melukiskan dengan pas sesuai dengan pilihan kosakata kita masing-masing.

Laut Ambon

Pagi dan senja adalah warna yang menurut saya sangat indah. Matahari bisa bersinar dengan terang dan sempurna di depan mata kita saat pagi. Kebetulan pas ke Ambon saya tinggal di Mess Transit TNI AU Pattimura, yang langsung berhadapan dengan laut. Kalau pagi, wow…. sinar mataharinya menyilaukan mata. Jam 4 pagi waktu Ambon, yang berarti jam 2 waktu Jogja semburat cahaya mulai nampak dan terus semakin terang sampai sore. Di senja, matahari senja di sepanjang pantai selalu indah.

Laut Maluku

Dan matahari baru benar-benar tenggelam ketika pukul 7 malam waktu Ambon. Bagi saya, yang bermimpi punya rumah atau villa menghadap laut, pengalaman tinggal di Ambon seminggu itu benar-benar istimewa. Oh, masih lebih istimewa lagi karena di samping kanan dan kiri tempat tinggal itu ada Masjid dan Gereja. Bagus sudah. Setiap pagi dengar orang ngaji dan adzan terdengar sempurna.

Pemandangan bawah laut di semua laut Kepulauan Maluku dapat dikatakan luar biasa. Anda harus datang ya. Silakan merencanakan liburan ke Maluku. Mengajak saya yo boleh. Jujur saja saya pingin banget bikin acara traveling writing ke Maluku. Pasti seru. Apalagi kalau yang ditulis benar-benar setting Maluku. Tentu lebih hidup dan bernyawa tulisannya. Sementara segini dulu ya soal Maluku. Nanti kalau ada energi lagi pas ke sana lagi, akan saya tuliskan lagi.

 

Ari Kinoysan Wulandari

Maluku: A Hidden Paradise (1)

Ayo pergi ke Maluku…!

Pantai Batukuda

Maluku adalah negeri kepulauan yang sangat indah. Itu kesan saya begitu saya pertama kali datang dan tiba di Ambon. Sebuah negeri yang saya terpikir untuk datang saja tidak pernah. Mengapa begitu? Ya karena saya tidak tahu. Ketidaktahuan itu karena berbagai hal. Pertama, tidak ada yang cerita ke saya tentang Maluku. Kedua, gambaran tentang Ambon pernah rusuh berdarah juga mempengaruhi referensi saya tentang Maluku. Ketiga, tidak cukup waktu untuk browsing melihat keindahan Maluku dari para traveller yang sudah pernah datang. Keempat, yach, you know it lah… Wisata ke Indonesia Timur itu lebih mahal daripada ke Eropa 🙂 Beneran lho….

Akhirnya, Tuhan mengubah pandangan saya dengan hal sederhana saja. Saya harus datang ke sana karena pekerjaan. Yes, senang dan senep sekaligus. Senang karena saya akan datang ke negeri yang belum pernah saya kunjungi. Senep ya karena ini pekerjaan di luar prediksi dan datang di akhir tahun yang kita biasanya sudah plan gak ada kerjaan lagi. Tapi saya melihat sisi positif nya saja. Pasti bisa lah dikerjakan kalau pekerjaan itu sampai di tangan saya.

Benteng di Bandaneira

Dan begitulah, alhamdulillah semua urusannya dimudahkan. Karena saya sendiri ingin, ada banyak orang yang melihat dan datang ke Maluku. Mau berwisata, mau usaha, mau cari tempat tinggal, mau tanam modal, mau bangun restoran, hotel, bisnis ikan, bisnis pariwisata, dll. semua serba mungkin dilakukan di Maluku. Negeri ini kaya raya banget. Harus datang untuk lihat pantai-pantainya yang memikat, menikmati alunan musik yang beragam, menyantap ikan yang segar, mencicipi kuliner yang khas, ketemu orang-orang yang luar biasa, atau sekedar mengingat jejak sejarah di Maluku. Semuanya harus dilihat. Liburan jangan hanya ke Bali. Helllo…. kita punya Maluku 🙂

Bersambung

Ari Kinoysan Wulandari