Kalau Kamu Menikah

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com hari Kamis, 23 Juni 2022 dengan link berikut ini. https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063729590/kalau-kamu-menikah

Suatu pagi saya masuk ke ruangan di kampus. Di situ ada 3 atau 4 orang —saya sudah agak lupa detailnya. Saya tidak mengenali mereka dan belum pernah bertemu. Tiba-tiba seseorang ala embok-embok menyeru keras kepada saya, “Gek ndang rabi. Kalau nggak punya pacar atau calon suami, sini takkenalin temenku. Dia duda, baru ditinggal mati istrinya dua bulan lalu. Nggak punya anak dan lagi cari istri baru. Kepenak to duda ra duwe anak.”

 Saya kaget dan menjadi awkward dengan kosakatanya yang kasar. Saya menahan emosi. Sebagai penulis yang tidak hanya kenyang berkarya, tapi juga sudah lebih dari makan asam garam berhadapan dengan fans dan haters, saya merasa wes fans berat ini. Hehe…, kalau dia tidak ngefans, pasti tidak mau repot-repot mencari tahu tentang  saya dan waton muni seperti itu. Lha saya tahu dia saja enggak, ketemu atau interaksi di sosmed juga belum pernah.

Pasti dia dengan pihak lain, wes ngrasani saya. Lalu menganggap saya yang belum menikah sebagai sesuatu yang buruk. Mungkin niatnya baik, tapi jadinya kurang etika karena tidak kenal. Baru kali itu saya berhadapan dengan orang nyinyir model begini.

Saya menurunkan emosi pada grade terendah. Eh, lah kok masih diteruskan nyinyirannya, “Kamu kan tahu, kalau orang Islam menjodoh-jodohkan dan sampai mereka menikah itu sama seperti membangun rumah di surga.”

Wahahaenteng betul dia mengkapling surga untuk dirinya sendiri? Dengan nyinyiran yang mirip pisau jagal sapi? Entahlah. Karena tidak hendak berbalas kata, saya pun pergi. Demi menetralisir energi negatif kiriman si julid, saya bermeditasi sejenak. Saya dengan sadar mendoakan jiwa si embok nyinyir, memaafkan kelakuannya, dan meminta maaf pada diri saya yang masih “terbawa emosi” sesaat. Setelah tenang, saya meneruskan gaweyan.

Dalam fase kehidupan kita yang normal, dari seseorang lahir bayi, anak-anak, remaja, dewasa, kuliah, kerja, menikah, beli rumah-kendaraan, punya anak, membesarkan anak, menikahkan anak, lalu fase hidup kembali berulang. Demikian itu pola kehidupan yang mainstream diterima dan dilakoni masyarakat kita. Lalu mereka yang tidak begitu, dianggap “salah”; terutama kaum perempuan.

Pada saat lebih belia, saya juga berpikir untuk mengikuti pola itu. Namun dengan banyaknya jatuh bangun urusan pernikahan, saya memilih berdamai dan menerima takdir. Saya sempat menduga ada masalah dengan kepribadian saya. Dengan sadar diri saya menemui psikolog, menjalani serangkaian tes dan pemeriksaan psikologi. Hasilnya saya baik-baik saja dengan beberapa keiistimewaan.

Saya juga tidak berlatar belakang keluarga broken home yang bisa membuat orang trauma dengan pernikahan. Ibu bapak saya menikah di usia belia, hingga usia pernikahan 35 tahun saat bapak meninggal. Ibu saya setia tidak menikah lagi hingga sekarang, hampir 20 tahun sejak bapak meninggal. Saudara-saudara saya menikah, punya anak-anak, dan keluarganya baik-baik.

Saya pernah mengadukan persoalan hidup kepada Tuhan. Seperti sebuah keajaiban, Tuhan seolah mengajak saya berbicara. Bagai slide film yang terpampang di depan mata, saya diajak menengok perjalanan hidup saya sejak lahir hingga tiba di depan Ka’bah saat itu. Tergambar berlimpahnya anugerah yang telah saya terima. Saya jadi merasa malu bertanya mengapa Tuhan belum memberikan pernikahan. Saya pun menangis sejadi-jadinya.

Menyadari saya ini mung wayang yang kudu manut dhawuhe sang Dhalang. Sebagai orang yang beriman pada kehidupan dunia akhirat, saat itu saya menyadari terlalu mengurusi satu hal yang belum diberi, dan kurang mensyukuri banyak hal yang sudah dianugerahkan Tuhan.

Sejak itu, saya bertekad untuk menikmati seluruh anugerah yang diberikan Tuhan sepenuhnya. Saya tidak perlu merisaukan apa yang belum atau tidak diberikan kepada saya. Sekembali dari Mekah, hanya dalam 3 tahun; kaki-kaki mungil saya telah menapaki 25 negara dengan berbagai latar belakang: pekerjaan, sponsor wisata, dolan, breakdown lokasi syuting, dll. Perjalanan yang kalau saya tuliskan sebagai novel, butuh sekurangnya 25 tahun.

Dalam waktu 3 tahun juga, negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini telah saya jejaki dengan sempurna. Mungkin kalau tidak terjeda pandemi, lebih banyak lagi tempat yang menjadi catatan rekam jejak saya. Saya mengerjakan banyak sekali pekerjaan penulisan, sehingga memungkinkan saya membeli rumah seperti beli buku saja dan menaruh beberapa hal untuk masa depan.

Alhamdulillah. Saya tidak akan ge-er ada orang yang iri dengki dengan pencapaian saya. Ada banyak orang dengan pencapaian hidup yang lebih banyak, lebih bagus. Tapi bagi saya, semua itu adalah anugerah istimewa. Hidup sejatinya tentang penerimaan semua takdir baik buruk dengan penuh rasa syukur.

Bagi saya ternyata lebih menyenangkan untuk melihat sunset di Papua yang elok, menapaki perjalanan panjang untuk sampai ke Pantai Ora di Maluku, merasakan dingin air bawah Laut Bunaken sementara di atas cuaca sedang panas membara, atau menyaksikan sepasang lumba-lumba meloncat di ketinggian Laut Banda, menyaksikan ikan-ikan hitam besar di kedalaman Danau Toba, dll perjalanan dibandingkan beribet dengan urusan momong anak, beributan membangunkan anak di waktu pagi, mengurusi seabrek gaweyan rumah tangga yang konon tidak ada habisnya.

Bahwa ada banyak perempuan yang berbahagia hidup berumah tangga, yes itu pilihan mereka. Saya tidak berhak menakar kebahagiaan mereka dengan standar saya. Kalau ukuran sepatu saya 40, dipaksa memakai sepatu nomor 37 ya kesakitan, pun kalau diminta memakai sepatu nomor 43 jelas tidak pas.

Saya memahami bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah. Kalau pernikahan itu mudah, pasti tidak banyak kasus perceraian. Tidak akan ada orang-orang yang rumah tangganya terlihat adem ayem, tahu-tahu bercerai. Tidak akan ada banyak LBH-LBH (Lembaga Bantuan Hukum) yang menangani kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) —termasuk di lingkungan terdidik dan terhormat, penipuan janji pranikah, penggelapan warisan mertua, ipar-ipar yang merecoki, mertua yang menjengkelkan, suami/istri yang ternyata tidak sesuai harapan, dll kasus yang berujung pada perceraian dan kasus-kasus pidana.

Coba cek di sekitarmu, berapa banyak perempuan yang bagai sapi perah kerja rodi dalam pernikahan. Sudah bekerja sepagi sore yang melelahkan, dibebani mengurusi anak dan rumah tangga, dengan suami yang ongkang-ongkang seperti benalu masih selingkuh sampai punya anak pula. Betapa banyak istri-istri yang diam-diam menangis darah karena kelakuan suaminya yang tidak beradap. Ada banyak kejahatan rumah tangga dalam bingkai pernikahan yang terasa lebih ekstrim dari kisah pilu sinetron jeritan para istri.

Saya juga menyaksikan banyak pernikahan bahagia. Suami istri yang rukun. Mereka bahu membahu membesarkan anak. Saling menolong, saling menopang. Saling menghormati, terus setia dan saling mencintai —lebih dari selamanya. Banyak dari mereka yang pasangannya sudah meninggal, tetap setia. Rumah tangga orang tua saya pun, versi saya adalah contoh riil sepasang anak manusia bersetia cinta dalam pernikahan; melewati jatuh bangun kehidupan dan membesarkan ketujuh orang anak —jelas perjalanan panjang yang tidak mudah.

Saya pun bersyukur tinggal di lingkungan rumah dengan tetangga-tetangga yang berbahagia seperti ini. Memiliki pernikahan dengan cinta berlimpah. Kalau sang istri sedang repot mengurusi anak, si suami yang sudah lelah bekerja pun tidak segan mengangkati jemuran, membersihkan rumah. Atau sebaliknya. Banyak tindakan yang riil yang menunjukkan betapa mereka bekerja sama menghidupkan pernikahan dengan kasih sayang.

Saya berharap kalau kamu perempuan yang menikah dan bahagia bersama keluargamu, pasanganmu orang baik, hidup sejahtera dengan pekerjaan mapan, anak-anakmu penuh berkat, bersyukurlah dan jagalah semuanya baik-baik. Karena Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang (bisa) mengambil semuanya sewaktu-waktu.

Sementara kalau kamu perempuan yang belum atau tidak menikah dengan beragam sebab, tetap berbahagia dan bersyukurlah. Tidak usah iri dengki dengan mereka yang menikah dan terlihat lebih bahagia. Bahagia itu bukan urusan sudah menikah atau belum menikah; tapi pada keikhlasan menerima dan menjalani takdir kita dengan berlipat syukur. Setiap orang menjalani ujiannya masing-masing, termasuk mereka yang sudah menikah.

Saya belum menikah, iya betul. Kalau dengan keadaan itu hidup saya dianggap salah, bermasalah, atau tidak bahagia, saya menolak sepenuhnya. Hidup saya baik-baik saja. Saya berlatar belakang sekolah tinggi. Memiliki pekerjaan dan karir yang baik sebagai penulis. Masih ditambah pekerjaan sebagai dosen —baik tetap maupun tidak tetap. Memiliki orang-orang dekat dan keluarga yang penuh cinta. Tinggal di rumah yang nyaman dengan tetangga-tetangga yang selayaknya keluarga. Hidup sehat, tenang damai, makmur sejahtera.

Bagi saya sekarang, pernikahan seperti fase kehidupan lainnya. Ada orang-orang yang mendapatkan cepat, ada yang lebih lambat, ada yang memutuskan tidak mengambilnya. Urusan seperti ini saja, kok ada orang yang senggang banget nyinyiri kehidupan saya, yang bahkan kenal juga enggak. Kalau kenal, malah ngomongnya hati-hati karena saling menjaga perasaan.

Saya mungkin sudah tahap pada selesai dengan diri sendiri. Saya menerima diri saya dan orang lain dengan semestinya. Tidak terlalu terganggu dengan omongan orang, apalagi kalau tidak menambah kontribusi baik dalam kehidupan saya.

Seperti suatu pagi tiba-tiba saya disapa seseorang, “Kok Bu Ari tumben ke kampus ngojek?”

Saya berusaha keras mengingat, tapi rasanya belum pernah bersapa sua dengan orang ini. Sepertinya fans saya di kampus ini banyak :D, jadi yang suka nimbrung kepo ini itu —ada saja.  Saya jawab, “Iya, kalau ke sini ngojek.”

Saya tidak merasa bahwa pertanyaan dan jawaban itu menjatuhkan harga diri saya atau terus tiba-tiba berubah jadi miskin. Itu sudah lewat dari hidup saya. Senyatanya kalau mau bawa motor atau mobil ya bisa. Tiap orang memiliki pertimbangan berbeda. Kalau terlalu peduli dengan remeh temeh ginian, habis waktu kita. Kita tidak akan sempat berkarya yang bermanfaat bagi sesama.

Buat kaum nyinyirens, ojo waton muni alias jangan asal bicara. Terlebih pada orang-orang yang tidak kamu kenal. Tidak semua orang memiliki kekuatan hati seperti saya. Bisa saja suatu ketika kamu mencela orang, berbalas ramai dan berbuntut kasus hukum. Terus…, bagaimana nasib embok nyinyirens di atas? Saya berpikir lebih baik menghindarinya. ****

Gelang Emas

Cerkak atau cerita cekak atau cerita pendek dalam bahasa Jawa, Gelang Emas ini sudah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 18 Juni 2022 dengan link berikut ini. https://www.nongkrong.co/apresiasi/pr-4313697649/gelang-emas

Sesore njenggrung, Rosi mumet nggoleki gelange sing mara-mara ilang. Gelang emas sing biyasane dinggo neng tangan tengen, ora ana lan ora cetha neng endi ilange. Dheweke babar pisan ora kelingan. Ngerti-ngerti nalika sore arep adus njur niyat nyopot gelange, tibake gelange wis ora ana.

Rosi njur opyak. “Mboook…! Mbok Jilah….!” celuke Rosi.

Mbok Jilah sing wis setengah tuwa itu nyedhak. “Wonten napa, Mbak Rosi?”

“Rewangana aku, Mbok. Gelangku ilang embuh copot neng endi aku kok ora ngerti. Genah neng ngomah, wong sedina aku ora lunga iki mau,” tambahe Rosi.

Simbok Jilah katon kaget sawetara wektu, ning njur biyasa maneh. “Nggih, Mbak. Kula padosane. Sepuntene yen mboten kepanggih.”

“Ya, Mbok. Pokoke wis digoleki dhisik,” kandhane Rosi karo terus mider mlebu metu kamar nggoleki gelange sing ilang.

Mbok Jilah semono uga. Katon ibet nggoleki gelang emas cilik ning mbejaji kuwi. Rosi ya terus nggoleki gelange neng sajrone omah, sinambi ngeling-eling sedina iku mau neng endi bae. Ning dheweke isih eling mau esuk pas resik-resik taman ngarep isih nganggo gelang. Cetha yen gelange mesthi copot neng kiwa tengene omah, ora mungkin ilang neng nggon adoh.

Nganti kesel ngubengi ngomah, gelang emas sing digoleki Rosi panggah ora ketemu. Rosi njur thenger-thenger. Gelang emas iku dudu sembarangan gelang emas. Gelang kuwi olehe tuku seka nglumpukne dhuit sethithik mbaka sethithik. Nyicil tuku gelang emas neng Toko Emas Bumi nganti genep lan gelange isa digawa bali. Sajeke kuwi, gelang emas kuwi tansah melu neng ngendi bae Rosi. Paling-paling mung dicopot yen arep adus.

Gelang emas kuwi bunder gilig dadi bobote lumayan, watara limalasan gram. Dhuite rada akeh. Gelang kuwi ya wes bola-bali nylametne Rosi yen ana keperluan dadakan rada gedhe. Disekolahne neng pegadaian utawa digadhekne. Njur dheweke isa nyicili sithik mbaka sethithik nganti lunas lan digawe maneh. Ngono terus wis watara rongpuluhan tahun. Dadi gelang kuwi cetha barang wigati banget kanggone Rosi.

Merga nganti meh surup durung ketemu, Rosi akhire mupus. Sesuk maneh arep digoleki. Sapa ngerti isa ketemu. Masiya neng ati ya rada tida-tida, kok isa dheweke ora ngerti gelange copot. Mestine yen gelang kuwi ceblok neng jubin, dheweke ya krasa utawa krungu. Ning Rosi mung gedheg-gedheg, mbokmenawa krana dheweke nyrempeng gaweyan nganti ora krasa yen gelange copot. Mbuh saiki neng endi, Rosi ora ngerti.

“Wis Mbok, nggolekine sesuk maneh bae. Yen isih rejekiku mesthi ketemu, dene yen ora ya kepiye maneh,” kandhane Rosi pasrah. Terang dheweke ra isa nyalahne sapa-sapa. Sing salah ya jelas dheweke dhewe. Mbokmenawa kuncine gelang rada lobok njur ora dibenakne, akhire copot lan ora ngerti.

Merga kekeselan, bubar Isyakan Rosi wis turu angler. Wis ora mikir maneh perkara gelange sing ilang. Gela kuciwa lha ya cetha, lha ning kepriye maneh wong digoleki ora ketemu. Sesuke Rosi isih mbudidaya nggoleki gelange neng saentero omah. Dheweke yo wis njaluk Mbok Jilah rewangi nggoleki, ning ya ora ketemu.

Rosi wes pasrah tenan. Tinimbangane mangkel tansah kelingan gelang sing ilang, akhire Rosi tuku gelang maneh. Bobote padha persis karo gelange sing ilang. Ning modhele ora padha. Saiki tukune langsung bayar lunas, ora ndadak nyicil kaya biyen. Lha wong saiki Rosi wis nyambut gawe mapan dadi pegawai bank pemerintah.

Wedi yen gelange ilang maneh, Rosi mung nyimpen bae gelang sing mentas dituku kuwi. Sing penting yen ana butuh dadakan, dheweke isa nggadhekne gelang kuwi. Masiya rasane wis tetaunan Rosi ora tau maneh nggadhekne gelang utawa priyasan liyane. Malah saiki sregep nabung emas nggo jaga-jaga yen ana kebutuhan ndadak. Yen nabung dhuit, biyasane kecuwil-cuwil terus njur ora nglumpuk.

Perkara gelange ilang kuwi, ya mung Rosi dhewe sing ngerti lan Mbok Jilah. Rosi ya wis ora mikir maneh. Mbokmenawa pancen jatah rezekine gelang kuwi melu dheweke mung nganti semono. Gelang kuwi wis akeh jasane kanggo Rosi. Dadi masiya ilang, Rosi ya wis ora gela maneh. Coba yen ora ana gelang kuwi, dheweke ra ngerti kepriye ngurusi ragat sekolahe sing nambah-nambah luwih saka beasiswane zaman semana.

Esuk kuwi Mbok Jilah gawe sarapan sega goreng kaya biyasane. Ning porsine luwih akeh. “Dingaren nggawe sega goreng akeh, Mbok? Mengko diterke tangga kiwa tengen bae. Kurang enak dinggo mangan awan,” kandhane Rosi.

“Anuu… Mbak Rosi, niki mengke sekedhap malih yoga kula kalih semahe ngriki. Kersane mengke dipangan.”

“Oh, lha kok ndengaren. Ana perlu karo Simbok apa mung kangen?” takone Rosi.

Anak lanange Mbok Jilah pancen kala-kala sesasi utawa rong sasi pisan tilik simboke. Sok-sok yen Rosi ora sepira repot, dheweke sing ngeterne Mbok Jilah mulih nyang Magelang njur baline nyang Yogya diterke anake sepeda montoran. Biyasane Mbok Jilah mulih tilik anak putune sesasi pisan. Mung rong dina. Rosi ya ora kabotan.

Masiya simboke mung rewang, ning anake Mbok Jilah dadi wong kabeh. Anake lanang loro dadi pegawai negeri. Sakjane anak-anake yo wis ngongkon simboke leren mburuh rewang neng nggone Rosi. Ning simboke ngomong yen ora nyambut gawe malah nglangut lan awake lara kabeh.

Tur maneh ngrewangi nggone Rosi ora sepira abot gaweyane. Mung resik-resik omah, umbah-umbah nyetrika, lan nggawekne sarapan esuk sadurunge Rosi ngantor. Mung yen Rosi neng omah, masake ping telu sing entheng-entheng. Gawe sega goreng, gawe sop ayam, lan liyane sing cepet rampunge. Saliyane kuwi, Mbok Jilah isa thenguk-thenguk leyehan sinambi nonton teve.

Ora watara suwe, anake Mbok Jilah sing mbarep karo bojone teka neng omahe Rosi. Merga durung wiwit sarapan, Rosi ngajak kalorone sarapan pisan. Semono uga Mbok Jilah. Rosi ora tau mbedakne rewang lan majikan. Yen sarapan dheweke ya sameja karo Mbok Jilah.

Mung kala-kala Mbok Jilah ora gelem, isih alesan ngurusi iki kuwi. Ning Rosi ngerti, kuwi mergane Mbok Jilah sungkan. Dheweke yo ora tau meksa. Wis ben sakepenake Mbok Jilah. Idep-idep gantine wong tuwa neng ngomah.

Bubar sarapan, mergane dina Minggu, Rosi njur manggakne anak lan mantune Mbok Jilah. Lungguh neng kursi tamu. Mbok Jilah nggawakne wedang jeruk sereh sing anget-anget.

“Mbak Rosi, niki ngapunten sakderengipun. Kula kalih semah kula, ugi simbok kula pun kesalahan kalih panjenengan,” kandhane anake Mbok Jilah sing jenenge Bagus mbukani rembug. Rosi nyawang anake Mbok Jilah, bojone, lan Mbok Jilah genti genten. Katone sajak abot arep rembugan.

“Lha salah apa, Mas, Mbak? Ana apa iki, Mbok Jilah? Kok aku ora mudheng,” kandhane Rosi.

Mantune Mbok Jilah njur ngetokne bungkusan cilik saka tase, diseleh neng ngarepe Rosi. “Niki lho Mbak Rosi. Menika gelang emas panjenengan….,” kandhane mantune Mbok Jilah sing aran Nurma karo nyelehne bungkusan neng ngarepe Rosi.

Rosi kaget lan njur mbukak bungkusan. Isine beneran gelang emas. Gelange sing ilang watara setahunan kepungkur. Lha kok isa neng nggone mantune Mbok Jilah ki larah-larahe kepriye, kuwi sing Rosi ora mudheng.

“Nggih Mbak Rosi, ngapunten saderenge. Ampun ndadosne panjenengan kuciwa penggalih. Dados setahun kepengker, kula kalih semah kula kenging musibah. Kula dituduh nggelapne dhuit kantor watawis kalih dasa yuta. Padahal saestu, kula mboten ndamel lan mboten ngertos,” ceritane Bagus.

“Kantor geger lan duka dospundi pokokne selamine proses pemeriksaan, kula ken nggentosi riyin arta kalih dasa wau, yen mboten kula dikunjara. Kula wis etung wonten arta tigang yuta, nyilih adik kula angsal tigang yuta. Dados taksih kirang patbelas yuta. Lha rekane kula mung ajeng nembung simbok badhe nyuwung ngampil panjenengan. Ning simbok mboten kersa. Kula pun ajenge sowan langsung ngriki, kalih simbok nggih mboten diangsali. Nggih sampun.”

“Lha kok sesuk enjinge simbok criyos nemu gelang emas neng lurung ngajengan ndalem njenengan. Kula njur muni taksilihe masiya embuh niku duweke sinten. Simbok nggih ngolehi, wong mboten ngertos niku gelange sinten. Milane kula ndadak ngriki riyen nggo mendhet gelange niku. Saking ngriki, gelange langsung kula gadhekne nggo nggenepi dhuit kurangane. Pun niku kula bayarne kantor, kasuse lajeng diproses.”

“Alhamdulillah, kula mboten klentu. Dhuite rong puluh yuta pun dibalekne njur langsung kula damel mbalekne utange neng adik kula lan nebus gelang. Lha niki kula aturne kondur. Soale riyin nika dinten bentene simbok nggih kandha kula, yen gelang sing ditemu niku tibakne gelange panjenengan sing ilang. Wah, kula ewa sekel nika, Mbak Rosi. Arep matur bingung yen kon mbalekne, ora matur kok salah lan dudu barange.”

“Inggih, Mbak Rosi,” sambunge Nurma. “Akhire kula iguh teng bapakne lare-lare, menawi pun ditebus mawon matur blaka suta sakwontene teng penjenengan. Ngapunten, menika saestu ingkang kula aturne kalih semah kula.”

Rosi manggut-manggut. “Oalah… dadi gelangku ki pancen ilang copot yo, Mbok. Ning aku ora ngerti. Ya wes, ora apa-apa. Alhamdulillah kabeh wis tlesih. Mbok sarehne simbok sing nemokne, sasi iki gajimu takdobel loro.”

“Maturnuwun, Mbak Rosi,” kandhane Mbok Jilah karo ngepuk-ngepuk pundhake Rosi.  “Sajane kula ajrih pas ngertos njenengan opyak kelangan gelang. Lha dospundi, saderenge mboten ngertos trus pun dibeta anak kula digadhekne. Mengke yen dijaluk rak mboten wonten arta nggo nebus.”

“Ora apa-apa, Mbok. Sesuk maneh kandha bae apa anane. Dadi aku ora bingung,” kandhane Rosi. “Kanggo Mas Bagus Mbak Nurma, wis maturnuwun sanget kersa mbalekne. Taktampa lan ora perlu rumangsa salah. Pancen mbokmenawa lakone gelang kuwi pancen ngono. Nggo tetulung lan ngrampungne urusane sampeyan sakloron. Wis mangga diunjuk, ora apa-apa.”

“Nggih Mbak Rosi, maturnuwun sanget,” kandhane Bagus lan Nurani bebarengan.

Rosi njur langsung nganggo maneh gelang kuwi. Handphone Rosi muni. Bagus lan bojone milih pamitan sadurunge Rosi ngangkat telepon. Mbok Jilah reresik kamar tamu.

Rosi nampa telepon karo mesem nyawang gelange sing wes manggon neng tangan tengene maneh. Batine maturnuwun karo Gusti Allah lan muni yen rezeki pancen tetep balik utuh. ****

Telonan: Selamatan Bayi 3 Bulan (105 Hari)

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 18 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313690642/telonan-selamatan-bayi-3-bulan-105-hari

Telonan adalah selamatan bayi yang berumur 3 bulan (Jawa) atau 105 hari. Setiap bulan Jawa itu dihitung dengan lapan atau 35 hari. Jadi kalau disebut 3 bulan di sini, yang dimaksud adalah 3 bulan versi orang Jawa atau 3 kali lapan yang berarti 105 hari. Seperti acara selamatan bayi brokohan, sepasaran, selapanan, selamatan telonan ini pada prinsipnya merupakan acara syukuran dan permohonan doa kepada Tuhan YME demi keselamatan dan kebahagiaan si bayi, lahir batin dunia akhirat.

Pada saat acara telonan ini, semua uborampe atau perlengkapan selamatan dapat dikatakan sama persis dengan acara selapanan. Sebagian orang Jawa hanya menambahkan porsi atau jumlah nasi berkat yang dibuat untuk dibagi-bagikan. Pada acara ini uborampe yang harus disiapkan ada sembilan macam, yaitu (1) tumpeng, (2) sayur 7 macam, (3) telur ayam rebus 7 butir, (4) cabai, bawang merah, dan bawang putih, (5) nasi gudangan, (6) kalo ‘saringan santan dari bambu’, (7) buah-buahan sebanyak 7 macam, (8) bubur merah putih 7 porsi, dan (9) kembang setaman  (mawar merah, mawar putih, kembang kanthil, melati, dan kenanga). Setiap uborampe tersebut menjadi simbol sesuatu dan memiliki makna filosofis yang berbeda-beda.

Karena uborampe atau perlengkapan selamatan telonan sama persis dengan selapanan, silakan membaca tulisan saya sebelumnya tentang selamatan Selapanan: Selamatan Bayi 35 Hari. Hal penting yang membedakan antara acara selapanan dan telonan adalah bagian doanya. Kalau pada acara selapanan, doa yang dibaca masih doa secara umum untuk permohonan keselamatan dan kebagiaan, pada acara telonan, doa yang dibaca lebih khusus.

Pada acara selamatan telonan, kegiatan doa yang dibaca oleh sesepuh atau pemimpin selamatan lebih banyak. Doa tersebut sekurangnya meliputi empat hal penting, yaitu (1) doa mohon keberkahan untuk si bayi atau anak, (2) doa mohon perlindungan dari godaan setan, (3) doa agar bayi menjadi anak yang sholeh atau sholeha, dan (4) doa anak sholeh.

Doa-doa tersebut menjadi sangat penting dalam acara telonan. Karena si bayi sudah yang sudah berumur 3 bulan versi orang Jawa dianggap sudah lebih sehat, lebih kuat, dan siap untuk mengarungi kehidupan yang lebih panjang di dunia. Demi mempersiapkan si bayi menghadapi kehidupan tersebut, orang tua dan para sesepuh mengadakan selamatan telonan dengan doa yang lebih banyak untuk si bayi.

Berikut ini uraian doa dan maknanya demi mendapatkan keselamatan dan kebagiaan lahir batin bagi si bayi.

  • Doa Mohon Keberkahan untuk si Bayi

Sesuai namanya doa ini merupakan doa yang meminta banyak keberkahan atau kebaikan yang berlimpah bagi si bayi sepanjang hidupnya. Doanya adalah sebagai berikut.

Dalam hadist dikisahkan bahwa Abu Musa RA mengatakan, “Ketika anakku lahir, aku membawanya ke hadapan Nabi SAW (Muhammad SAW). Beliau memberi nama bayiku Ibrahim, dan mentahnik dengan kurma, lalu mendoakannya dengan keberkahan. Kemudian beliau kembalikan kepadaku.” (HR Bukhari 5467 dan Muslim 2145).

Berkaitan dengan doa keberkahan untuk si bayi, tidak ada doa yang khusus atau tertentu. Namun di kalangan orang Jawa, banyak di antara mereka yang membacakan doa ini.

Allahumma ak-tsir maalii wa waladii, wa baarik lii fiimaa a’thoitanii wa athil hayaatii ‘ala tho’atik wa ahsin ‘amalii wagh-fir lii.

Artinya:

“Ya Allah perbanyaklah harta dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan pada-Mu dan baguskanlah amalku serta ampunilah dosa-dosaku.

Doa Meminta Perlindungan dari Godaan Setan

Setipe dengan doa meminta keberkahan, sering kali orang Jawa menggunakan doa dengan bahasa Jawa. Doa ini dianggap lebih sesuai dan dapat meresap di hati masing-masing karena semua orang memahami maksud dan tujuan doa tersebut. Namun ada juga sebagian yang menggunakan doa berbahasa Arab yang diambil dari Surat Al Baqarah ayat 255 atau yang terkenal dengan sebutan ayat kursi berikut ini.

Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa naum. Lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ardli man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa biidznih, ya’lamu maa baina aidiihim wamaa kholfahum wa laa yuhiithuuna bisyai’im min ‘ilmihii illaa bimaa syaa’ wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardlo walaa ya’uuduhuu hifdhuhumaa wahuwal ‘aliyyul ‘adhiim”.

Artinya:

“Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain  Dia yang hidup kekal, lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”

Doa agar Bayi Menjadi Anak Sholeh dan Sholeha

Setiap orang tua pasti berharap anak-anaknya akan menjadi anak yang sholeh atau  sholeha. Anak-anak yang menjadi idaman dan harapan hidup setiap orang tua. Anak sering dianggap sebagai titipan dan investasi yang paling berharga dalam kehidupan manusia, lahir batin dunia dan akhirat.

Demi mempersiapkan hal itulah, orang tua biasanya mendoakan setiap anak-anaknya dengan sebaik-baik doa. Pada acara telonan, selain doa agar anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan sholeha, para sesepuh dan undangan kenduri biasanya juga melakukan hal berikut ini. Pertama, membacakan Al Fatihah untuk Nabi Muhammad SAW. Kedua, membacakan Al Fatihak untuk para aulia dan ulama. Ketiga, membacakan Al Fatihah untuk seluruh nabi, aulia, ulama, syuhada, sholihin, dan seluruh umat islam. Keempat, membacakan Al Fatihah untuk seluruh leluhur keluarga. Kelima, membacakan Al Fatihah secara khusus untuk orang tertentu.

Berikut ini bacaan Surat Al Fatihah dan artinya:

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang

Alhamdu lillaahi Rabbil ‘aalamiin

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,

Ar-Rahmaanir-Rahiim

Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,

Maaliki Yawmid-Diin

Pemilik hari pembalasan.

Iyyaaka na’budu wa lyyaaka nasta’iin

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.

Ihdinas-Siraatal-Mustaqiim

Tunjukilah kami jalan yang lurus

Siraatal-laziina an’amta ‘alaihim ghayril-maghduubi ‘alaihim wa lad-daaalliin

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Baru setelah kegiatan membacakan Al Fatihah untuk banyak orang ini selesai, akan dibacakan doa untuk si bayi.

Allahummaj ‘al awladana awladan sholihiin haafizhiina lil qur’ani wa sunnati fuqoha fid diin mubarokan hayatuhum fid dun-ya wal akhirah

 Artinya:

“Ya Allah, jadikanlah anak-anak kami anak yang saleh salehah, orang-orang yang hafal Alquran dan sunah, orang-orang yang paham dalam agama dibarokahi kehidupan mereka didunia dan di akhirat.”

 Doa Anak Sholeh

Doa anak sholeh ini sebenarnya lebih pada pengkhususan dari doa sebelumnya. Sebagian besar orang Jawa menggunakan doa dengan bahasa Jawa. Ada juga sebagian yang menggunakan bahasa Arab berikut ini.

Allahummaj’alhu sholiihan kaamilan, wa aqilan haadziqon wa aaliman amilan.

Artinya:

Ya Allah, jadikanlah ia anak yang sehat dan sempurna, berakal cerdas, berilmu, dan beramal.

Itulah doa-doa khusus yang dibacakan pada saat selamatan telonan. Kegiatan pembacaan doa dilakukan setelah sesepuh melakukan pemberkatan atau memberikan doa pada semua uborampe perlengkapan selamatan yang telah dipersiapkan. Selanjutnya akan membaca semua doa tersebut.

Setelah doa bersama yang agak panjang, bila dibandingkan pada acara selamatan brokohan, sepasaran, maupun selapanan; akan dilanjutkan dengan kenduri atau makan bersama. Kemudian ditutup dengan doa selamat dan keberkahan untuk semua pihak. Seterusnya semua tamu kembali ke rumah masing-masing dengan membawa nasi berkat yang telah dipersiapkan.

Seperti itulah selamatan telonan bayi di lingkungan orang Jawa yang masih umum dilakukan. Berbagai komponen uborampe selamatan bisa jadi tidak sama persis dengan kebiasaan di Tulungagung. Namun semuanya memiliki tujuan dan kebaikan sesuai dengan pemahaman masing-masing penyelenggaranya.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Bercermin dari Kisah Eril bin Ridwan Kamil

Artikel ini telah dipublikasi di penabicara.com pada hari Kamis, 16 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063669811/bercermin-dari-kisah-eril-bin-ridwan-kamil

Innalillahi wa’ inna ilaihi raji’un….!

 

Saya tidak mengenal Ridwan Kamil (Pak RK) dan Atalia P (Bu Cinta). Apalagi anak-anaknya. Saya hanya mengidentifikasi Pak RK dan Bu Cinta sebagai Gubernur Jawa Barat. Sebagai orang yang tidak mengidolakan mereka di ranah kepemimpinan, saya tidak pernah mengulik sosmed mereka. Kalau kebetulan postingannya lewat di timeline saya dan menurut saya bagus, saya like saja. Sebatas itulah pengetahuan saya tentang mereka berdua.

Pada saat berita hilangnya Eril anak sulung Pak RK berseliweran di sosmed, saya masih tidak paham. Baru ketika mendengarkan beberapa youtube saya mengerti bahwa Pak RK sedang bertugas di Inggris, Bu Cinta dan kedua anaknya pergi ke Swis. Tujuan mereka ke Swis adalah mengantar Eril untuk mencari sekolah jenjang S-2. Lalu ada kesempatan berenang di Sungai Aare, Eril terjun bersama adik dan temannya. Pada saat hendak naik selesai renang, barulah Eril terseret arus sungai dan hilang.

Sontak berita itu bertebaran di jagad sosmed kita. Tim SAR, polisi Swis, KBRI Swis dll pihak dilaporkan sibuk melakukan pencarian Eril di Sungai Aare. Tidak hanya melalui jalur air, tetapi lewat jalur darat dan udara. Dengan usaha yang luar biasa sampai berhari-hari. Namun tidak ditemukan jejaknya, hingga pihak keluarga mengubah status keberadaan Eril dari hilang menjadi telah meninggal dunia.

Saya bisa membayangkan betapa hancur dan luluh lantaknya renjana hati Pak RK dan Bu Cinta, kehilangan putra tercinta di depan mata. Dengan situasi yang sama sekali tidak terduga. Pada kondisi yang rasanya mustahil seseorang meninggal begitu muda.

Ya, Eril masih muda belia. Sekitar 22 tahun sedang mekar tumbuh dewasa. Tapi dia bukan pemuda sembarangan. Dia atlet renang dan mengantongi sertifikat penyelam. Ketika memutuskan untuk terjun berenang ke Sungai Aare, saya yakin dengan keahliannya dia sudah menimbang situasi. Kondisi cuaca, suhu air, kedalaman sungai, deras arus, dll hingga memutuskan untuk turun berenang. Terbukti dia melarang ibunya —yang semula juga ingin ikut berenang. Petanda bahwa dia seorang anak lelaki yang memikirkan keselamatan orang tuanya.

Mereka yang menyukai olahraga air baik di sungai, danau, waduk, laut —seperti renang, snorkelling, diving, menyelam, pasti tahu bahwa tempat-tempat ini sering tidak terduga. Pada saat keadaan terlihat tenang, bisa berubah ganas seketika.

Itu sebabnya saya termasuk yang melarang “permainan” dengan melempar seseorang ke sungai, danau, waduk, laut —bahkan kalau itu berniat untuk kebaikan, seperti acara ulang tahun, syukuran, dll. Tempat-tempat yang terlihat tenang itu bisa jadi berbahaya dalam sesaat. Terlebih kalau orang yang dilemparkan tidak bisa berenang atau tidak mengenal medan air.

Bagaimanapun ahlinya seorang Eril dalam urusan air, ternyata takdir tidak berpijak pada logika manusia. Hampir selama proses pencarian Eril tersebut, sosmed kita banjir dengan doa-doa keselamatan Eril. Ketika statusnya diubah dari orang hilang menjadi telah meninggal, sosmed kita pun begitu riuh. Banyak pesantren, komunitas, perseorangan yang mengirimkan doa dan sholat gaib untuk Eril.

Kisah Eril pun tidak lepas dari pernyataan dan klaim para dukun, paranormal, peramal, hingga indigo. Mereka tentu berbicara sesuai dengan kemampuan atau kapasitas masing-masing sesuai dengan “ilmunya”.  Bahkan banyak yang berani mengatakan begini begitu, yang versi akal sehat pun terasa ngayawara atau dibuat-buat.

Kita, saya, anda, boleh saja tidak percaya pada mereka dengan segala ramalan dan perbincangan “pemilik ilmu gaib” yang justru mengisruhkan keadaan. Tapi mencela dan memburukkan mereka —tentu bukan hal yang baik. Bagaimanapun kita juga tahu ada orang-orang yangdiberi kelebihan untuk “berkomunikasi” dengan dunia gaib. Ada sosok-sosok yang bisa “membaca” masa depan dengan menghitung radiasi energi. Ada sekelompok orang yang waskita —weruh sadurunge winarah. Mereka yang seperti itu pernah tercatat dalam sejarah leluhur bangsa kita.

Bahwa sekarang ada banyak “oknum” yang mengaku-ngaku memiliki keahlian “berkomunikasi dan membaca yang tidak tampak mata biasa” tersebut demi “popularitas” atau “fulus”, itu tentu hal yang lain lagi. Kita tidak boleh menyamaratakan mereka yang benar ahli dan punya mata batin yang tajam dengan mereka yang mendompleng demi mendapatkan keuntungan pribadi.

Ketika saya bertanya pada seseorang yang saya anggap bisa membaca “sesuatu” yang tidak tampak di mata wajar, beliau hanya berkata singkat. “Dia orang baik. Seperti berita, sudah dinyatakan meninggal. Bapak dan ibunya sangat mencintai. Seperti permintaan ibunya, kalaupun sudah meninggal berharap bisa ditemukan jasadnya. Dibantu doa jutaan orang, selalu ada keajaiban yang bisa terjadi. Insyaallah.”

Tidak memastikan. Tidak menerangkan dengan gamblang. Saat itu saya yakin, dia tahu apa yang akan terjadi. Namun tidak mau mengatakannya kepada saya. Dan benarlah, luar biasa. Setelah 14 hari pencarian, jasad Eril ditemukan oleh Guru SD yang baik.

Jasad Eril dalam keadaan baik dan utuh. Meskipun sudah diterangkan oleh Pak RK bahwa kondisi jasad Eril yang utuh itu karena suhu udara sungai Aare yang dingin dan tidak banyak makhluk hidup di sungai, tetap saja muncul berbagai spekulasi dan hoax untuk meriuhkan sosmed kita. Ada saja pihak-pihak yang meramal dan menghubungkan kondisi itu dengan segala macam klenik dan mitos.

Saya sebagai orang yang beragama, justru ingin tahu tentang keseharian Eril. Pemuda ini bukan sosok yang dikenal atau populer sebelumnya. Saya yakin juga tidak banyak warga sosmed yang tahu bahwa Eril anak Pak RK. Tapi saat berita kehilangan Eril merebak, dia didoakan begitu banyak orang.

Pikiran saya, apa yang menjadi rahasia kebaikannya. Tindakan baik apa yang dilakukan oleh Eril, sehingga dia didoakan jutaan orang. Pasti ada banyak kebaikan Eril tersembunyi dari ruang publik. Kita tahu, ada banyak anak pejabat. Ada banyak yang meninggal mendadak. Mungkin yang mendapatkan doa dan perhatian, rasanya baru sosok Eril.

Pertanyaan saya itu sekurangnya terjawab dari para pelayat tentang amalan kebaikan Eril. Sosok pemuda bersahaja ini senang berbagi dan bersua silaturahmi serta meminta maaf kepada sesama. Hal itu dilakukan Eril secara rahasia. Dia berbuat baik dalam sunyi. Dia tidak hingar bingar. Dia menabur kebaikan dalam kerendahhatian yang dalam. Sosok yang luar biasa, saat kita melihat ada banyak anak pejabat yang kelakuannya berasa anak emas sultan —yang segala sesuatunya minta dilayani.

Eril tiba-tiba mengingatkan saya pada saat pengajian beberapa waktu yang lalu. Salah satu jamaah bertanya kalau ada seseorang yang lahir besar di Indonesia,  ditakdirkan Allah meninggal di India, apakah itu mungkin? Lalu penceramah mengatakan bahwa itu sangat mungkin. Pasti ada kegiatan, cara, atau sesuatu yang membuatnya pergi ke India dan meninggal di sana.

Seperti itulah kematian Eril. Dia lahir di New York-Amerika yang glamour, memiliki darah Indonesia dan banyak menghabiskan waktu di Negeri Khatulistiwa, meninggal di Bern-Swis, dan kembali untuk dimakamkan di Bandung, Indonesia. Kematian Eril mengingatkan pada kita bahwa kematian itu pasti.

Tidak ada yang bisa mengundur atau memajukan kematian. Pun tidak bisa memilih cara mati. Sebaik-baik manusia adalah mereka yang berbuat baik dan bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya umat. Kisah Eril, membuat kita bercermin: sudah berapa umur kita? Sudahkah kita berjuang agar mati khusnul khotimah atau mati dalam keadaan yang baik?

Pembelajaran bahwa kita harus berusaha mendapatkan kematian yang khusnul khotimah saya dapatkan dari Prof. Quraish Shihab. Dalam pengajian Ramadan jelang sahur tahunan silam. Forum itu dibuka interaksi antara pemirsa dan pemateri. Ada salah satu pemirsa yang menanyakan, kalau kematian itu mendadak, tiba-tiba, tidak terduga, lalu bagaimana kita bisa mengusahakan kematian yang khusnul khotimah.

Prof Quraish Shihab menjelaskan dengan mencontohkan dirinya sendiri. Bahwa sehari-hari beliau memiliki aktivitas; dari rumah ke mesjid, ke kampus, ke kantor, mengisi pengajian atau pembelajaran agama Islam, pergi bersilaturahmi, menengok anak yatim, dll. Sehari-hari begitu terus yang dikerjakannya. Maka pada saatnya ia meninggal nanti, pasti ia akan meninggal di antara tempat-tempat yang menjadi rutinitasnya.

Saya pikir, itu adalah ajaran tentang mengusahakan kematian khusnul khotimah yang melekat di hati saya. Kalau kita sehari-hari sudah baik; jangan sekali-kali masuk ke dunia ketidakbaikan. Bagaimana kalau saat anda coba-coba ketidakbaikan itu ternyata saat terakhir hidup anda?

Seperti yang dikatakan oleh Ustadz Wijayanto pada saat saya menulis beberapa buku agama dengan beliau, ada nasihat bijak. Demi memperoleh kematian yang khusnul khotimah, tidak usahlah kita berpikiran dosa pahala atau neraka surga. Kalau kamu terbiasa jadi orang baik, sekalinya coba-coba datang ke tempat prostitusi dan kamu mati di sana —naudzubillah min dzalik, coba pikirkan betapa malu dan hancur hatinya keluarga besarmu. Orang tuamu, saudaramu, pasanganmu, anak-anakmu, dll orang yang mengenal bahwa selama ini dirimu adalah orang baik?

Selamat jalan, Eril. Semoga Allah menempatkanmu di sisi-Nya yang mulia. Semoga kematianmu diganjar sebagai orang yang mati syahid. Sebagaimana yang tertera dalam hadist. Dalam hadist tersebut diterangkan bahwa Rasulullah SAW menguji sahabatnya dengan pertanyaan, “Siapakah orang yang mati syahid di antara kalian?”

“Orang yang gugur di medan peran itulah syahid, ya Rasulullah,” jawab mereka.

 “Kalau begitu, sedikit sekali umatku yang mati syahid.”

“Mereka (yang lain) itu, lalu siapa ya Rasul?”

“Orang yang gugur di medan perang itu syahid, orang yang meninggal di jalan Allah juga syahid, orang yang kena tha’un (wabah) pun syahid, orang yang mati karena sakit perut juga syahid, dan orang yang tenggelam adalah syahid,” jawab Nabi Muhammad SAW. (HR Muslim).

Sungguh, Eril dengan kisahnya telah mengajak kita bercermin, menekuri jalan hidup yang telah kita lalui. Mengingat mati membuat hati kita lebih lembut. Mari kita berusaha terus melakukan kebaikan. Bagaimanapun kita bertanggung jawab pada perbuatan masing-masing. Kalau kita mati, kita tidak bisa mengajak orang kesayangan sekalipun untuk mati bersama. Kecuali dalam kasus bunuh diri massal, tentu ini berbeda lagi. Tapi yang terpenting, sudahkah kita mempersiapkan bekal  kematian yang selalu datang tiba-tiba?

 

Selapanan: Selamatan Bayi 35 Hari

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 11 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313594215/selapanan-selamatan-bayi-35-hari

Selapanan adalah selamatan bayi yang berumur 35 hari. Seperti acara selamatan bayi brokohan maupun sepasaran, selamatan ini pada prinsipnya merupakan acara syukuran dan permohonan doa kepada Tuhan YME demi keselamatan dan kebahagian si bayi.

Pada saat bayi berumur 35 hari, orang Jawa mengadakan selamatan karena menganggap bayi sudah mulai terbiasa hidup di alam dunia. 35 hari yang berarti jumlah pasaran (5 hari —legi, pahing, pon, wage, kliwon) orang Jawa sebanyak tujuh kali atau ping pitu, yang berarti pitulungan atau pertolongan. Artinya si bayi ini dalam pandangan orang Jawa dianggap sudah “selamat” di dunia dan diharapkan akan terus hidup panjang umur mengarungi kehidupan di dunia.

Dalam selamatan selapanan, ubarampe atau perlengkapan yang harus disiapkan tidak hanya makanan, seperti pada selamatan brokohan dan sepasaran. Pada acara ini ubarampe yang harus disiapkan ada sembilan macam, yaitu (1) tumpeng, (2) sayur 7 macam, (3) telur ayam rebus 7 butir, (4) cabai, bawang merah, dan bawang putih, (5) nasi gudangan, (6) kalo ‘saringan santan dari bambu’, (7) buah-buahan sebanyak 7 macam, (8) bubur merah putih 7 porsi, dan (9) kembang setaman  (mawar merah, mawar putih, kembang kanthil, melati, dan kenanga). Setiap ubarampe tersebut menjadi simbol sesuatu dan memiliki makna filosofis yang berbeda-beda.

Pertama, tumpeng.

Secara umum keberadaan tumpeng ini melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Kang Akarya Jagat atau Tuhan YME. Semakin baik dan tinggi tumpeng yang dibuat, menandakan harapan agar hubungan manusia dengan Tuhannya pun dari waktu ke waktu semakin baik.

Tumpeng juga menjadi simbol permohonan manusia kepada Tuhan untuk memperoleh kehidupan yang lebih anteng, hidup yang tenang, damai, sejahtera, bahagia lahir batin dunia dan akhirat. Permohonan itu disuarakan melalui doa bersama, sebelum makan bersama-sama dalam acara kenduri.

Dalam banyak prosesi ritual orang Jawa sering menggunakan tumpeng ini, baik tumpeng yang berwarna putih atau tumpeng berwarna kuning. Selain menyimbolkan permohonan kehidupan yang baik, tumpeng juga dianggap sebagai perwujudan dan pengakuan manusia berada di bawah dan Tuhan berada di atas. Puncak tumpeng yang menjulang melambangkan ketinggian (gunung) dan tempat Tuhan berada. Sementara lauk pauk yang mengelilingnya menunjukkan orang Jawa sebagai masyarakat yang mengelilingi gunung. Tanah di sekitar gunung juga dianggap sebagai tanah yang paling subur dan membawa kemakmuran bagi semesta.

Kedua, sayur 7 macam.

Sayur 7 macam ini bebas jenisnya, tetapi harus ada kangkung dan kacang panjang. Kangkung menjadi simbol permintaan agar si bayi terus jinangkung atau terjaga dalam pemeliharaan Tuhan. Sementara kacang panjang merupakan simbol permohonan agar si bayi panjang umur.

Beragam sayur yang ada biasanya sawi, buncis, bayam, labu, kenikir, dll. Aturannya, semua sayur tersebut dibersihkan dan dipotong sewajarnya, lalu direbus sampai matang dan disajikan bersama nasi tumpeng. Sayur 7 macam ini menyimbolkan agar kelak si bayi dapat hidup seperti sayur-sayuran itu. Mudah tumbuh, mudah membaur di segala situasi, dan bermanfaat bagi banyak orang.

Hal tersebut sepertinya tepat digambarkan dengan sayur mayur. Karena tanaman sayur cenderung mudah ditanam, sering dipanen, dan bermanfaat untuk semua orang. Kalaupun ada orang yang tidak suka sayur, tapi pasti tidak ada orang yang tidak pernah makan sayur seumur hidupnya.

Ketiga, telur ayam rebus 7 butir.

Telur ayam yang digunakan dalam selapanan ini harus direbus sampai matang karena ini memiliki makna tersendiri. Telur ayam saat mentah kondisinya rapuh, mudah pecah, dan membawanya pun harus berhati-hati. Namun setelah direbus, telur ayam cenderung lebih kuat. Tidak perlu terlalu berhati-hati saat membawanya, karena tidak akan pecah.

Telur rebus menandakan agar si bayi kelak dapat menggodog pemikirannya sebelum melakukan sesuatu. Dengan menaikturunkan pandangannya, melihat segala sesuatu dari segala sisi, diharapkan tidak akan menghasilkan pemikiran dan tindakan yang baik dan tidak mudah goyah.

Adanya simbol telur ayam rebus sebanyak 7 butir menjadi penanda bahwa kelak si bayi ini diharapkan menjadi orang yang mumpuni. Dia menjadi orang yang teliti, cermat, berwawasan, dan mau memperhatikan pendapat atau pemikiran orang lain. Intinya, si bayi diharapkan menjadi orang yang berkepribadian baik dan tangguh.

Keempat, cabai, bawang merah, dan bawang putih.

Cabai, bawang merah, dan bawang putih ini nerupakan bumbu dasar di dapur. Kalau sudah ada ketiga komponen ini, memasak apa saja pun akan jadi. Jadi dengan keberadaan ketiga bumbu dapur pada acara selapanan, diharapkan si bayi sekurangnya memiliki manfaat dasar dalam kehidupan. Dia menjadi mandiri, tidak menjadi tanggungan orang lain, dan bermanfaat bagi sesamanya.

Orang Jawa memang lebih senang mengatakan sesuatu dengan simbol-simbol, kiasan-kiasan. Bahkan dalam pitutur luhur pun mereka menggunakan banyak metafora untuk menyampaikan sesuatu. Oleh karena itu, berhadapan dengan orang Jawa kadang kita pun perlu “memikirkan” maksud dari sesuatu. Kadang-kadang yang disampaikan tidak selalu sama dengan yang diharapkan atau diinginkan.

Kelima, nasi gudangan. 

Nasi gudangan terdiri dari nasi putih dan sayur beserta lauk pauknya. Adanya nasi gudangan dalam selamatan selapanan ini melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dalam selamatan selapanan ini, nasi gudangan tetap ada seperti selamatan brokohan dan sepasaran karena pentingnya seseorang untuk tetap urup —simbol dari urap (bumbu gudangan). Seseorang dalam pandangan orang Jawa bisa urup itu kalau urip ‘hidup’ dengan baik, bisa menghidupi dirinya sendiri, saat berkeluarga mampu menafkahi keluarganya. Ini merupakan filosofi yang sangat dalam bahwa orang Jawa pada prinsipnya memegang konsep kemandirian dalam kehidupan.

Keenam,  kalo (saringan santan dari bambu).

Kalo atau saringan santan dari bambu ini menyimbolkan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan itu tidak harus diterima seluruhnya. Seseorang perlu menyaring dengan saringan yang terlihat ringan, tidak berdaya, tidak berat, tetapi sangat bermanfaat seperti kalo.

Segala bentuk pemikiran, pembicaraan, perilaku, dll peristiwa yang terjadi dari luar, sebaiknya diterima dengan hati dan pikiran yang jernih. Semua dapat diterima dengan objektif, lalu dengan pemikiran dan akal budinya yang baik, menyaring, memilah, dan memilih mana saja yang hendak diikuti dan mana yang perlu diabaikan atau ditinggalkan.

Ketujuh, buah-buahan 7 macam.

Buah-buahan 7 macam dalam acara selapanan ini jenis buahnya bebas. Setiap keluarga boleh memilih buah-buahan yang mereka sukai, seperti pisang, pepaya, apel, anggur, jambu, delima, sawo, dll. Buah dalam selapanan menunjukkan harapan bahwa seseorang itu harus “berbuah”. Maksud dari berbuah ini dalam hidupnya, seseorang harus bermanfaat bagi orang lain, menghasilkan “buah” yang bisa dinikmati atau dimanfaatkan oleh orang lain.

Buah dalam hal ini bisa berupa banyak hal, dari pemikiran yang bermanfaat, membuka lapangan kerja untuk orang lain, penemuan-penemuan penting, dll. Prinsip dari “berbuah” tersebut sebenarnya wujud tuntutan dan pengharapan orang Jawa, bahwa setiap orang itu harus menjadi sesuatu yang bermanfaat. Sekurangnya, dia harus mandiri, seterusnya bisa memandirikan orang lain —terutama orang-orang terdekat dan atau keluarganya.

Kedelapan, bubur merah putih 7 porsi.

Bubur merah putih menjadi simbol kehidupan dalam pandangan orang Jawa. Bubur merah putih sering dianggap sebagai adanya hitam putih kehidupan. Ketika seseorang menjalani kehidupan di dunia, tidak selamanya ia berurusan dengan hal yang baik, tetapi juga menghadapi hal-hal yang kurang baik.

Bubur merah putih juga merupakan simbol persatuan, kerukunan antar manusia. Dengan kerukunan yang kokoh, diharapkan manusia dapat menghadapi segala persoalan hidupnya dengan lebih mudah.

Kesembilan, kembang setaman  (mawar merah, mawar putih, kembang kanthil, melati, dan kenanga).

 Kembang setaman atau serangkaian bunga ini sangatlah harum. Semua unsur bunga yang dipilih dalam kembang setaman merupakan bunga-bunga dengan keharuman yang khas. Kembang setaman dalam selapanan merupakan simbol dan pengharapan agar si bayi mewarisi keharuman ilmu dari leluhurnya.

Keharuman ilmu tersebut berupa nasihat, pitutur luhur Jawa, pelajaran dan ilmu kehidupan, berkah, dan kekayaan batin spiritual. Dengan demikian, si bayi ini dalam hidupnya tidak melangkah dalam kekosongan jiwa. Setiap jejak langkah kehidupannya telah mengikuti ilmu warisan dari leluhur. Harapannya dengan ilmu kehidupan itu, si bayi akan menjadi manusia yang lebih baik.

Itulah ubarampe selamatan selapanan bayi. Setelah semua siap, semua akan dihajatkan oleh tetua atau siapa yang dianggap pinisepuh di keluarga tersebut. Si bayi yang hendak diupacara selapanan sebaiknya berada di dekat seluruh ubarampe tersebut. Setelah itu, barulah dibacakan doa dan kemudian makan bersama-sama.

Adapun tata cara membacakan doanya sebagai berikut:

Doa berupa syukur kepada Tuhan YME.  Permohonan doa ampunan kepada Tuhan YME untuk seluruh leluhur keluarga. Kemudian mohon keselamatan si bayi dan seluruh keluarga.

Acara ini sebaiknya dihadiri minimal 7 orang sebagai simbol pitulungan atau pertolongan dari Tuhan YME. Lebih baik lagi kalau 11 atau sewelas yang berarti mendapatkan belas kasih dari Tuhan YME. Kalau memungkinkan jumlahnya minimal 17 orang yang berarti pitulas mendapatkan pitulungan dan kewelasan dari Tuhan YME. Setelah doa dan makan bersama itu, sebagian nasi berkat akan dihantarkan kepada tetangga dan kerabat dekat.

Seperti itulah prinsip-prinsip selamatan selapanan bayi. Semuanya bertujuan untuk bersyukur dan bermohon doa keselamatan bagi si bayi dan seluruh keluarganya. Sebagian besar orang Jawa masih melaksanakan tata cara ini, meskipun banyak yang lebih pada pemenuhan syarat.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Borobudur di Hati Saya

Artikel ini telah dipublikasi di penabicara.com pada hari Kamis, 9 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063583225/borobudur-di-hati-saya

Hari Minggu pagi (5 Juni 2022) saat saya masih berpikir akan lari atau melanjutkan tidur, berseliweran kabar tentang Borobudur di grup-grup WA. Tiket ke Candi Borobudur menjadi 750 ribu (IDR) untuk wisatawan lokal dan 1,4 juta (IDR) untuk wisatawan asing. Karena sudah berulang ke Borobudur, saya tidak memberi tanggapan.

Saya pun bangun dan berbenah untuk lari. Saat siang, keriuhan kenaikan harga tiket Borobudur semakin ramai. Saya menahan diri untuk tidak ikutan share atau membahas apapun tentang kenaikan tiket Borobudur. Bagi sebagian orang, wisata bukanlah prioritas. Ke candi belum tentu jadi tujuan wisata. Beda urusan kalau misalnya harga beras yang semula 10-20 ribu lalu melonjak 500 ribu per kilo, biyuuu… pasti se-Indonesia Raya geger. Beras makanan pokok kita.

Sore hari beredar lagi berita kalau tiket 750 ribu dan 1,4 juta itu untuk mereka yang ingin naik ke candi. Pengunjung akan disertai oleh guide dan beragam teknis aturan. Semuanya demi menjaga kelestarian candi. Biar batu-batu candi tetap awet dan tidak semakin tenggelam (ambles). Beban yang berat di Borobudur menjadikan candi ini mengalami penurunan dasar dari tahun ke tahun. Tiket masuk ke kawasan candi masih sama, 50 ribu. Sedangkan untuk pelajar dibandrol dengan tiket 25 ribu. Harga-harga itu mungkin akan dikoreksi setelah diujicobakan.

Berita tentang tiket Borobudur ini bikin sosmed kita riuh lagi. Beragam pendapat. Beraneka pemikiran. Kalau positif, saya siy oke-oke saja. Tapi yang bikin saya mules, berbanyak caci maki dan hujatan pada pemerintah pun hilir mudik. Secara otomatis ini membuat saya bersih-bersih sosmed kembali.

Saya bukan bersepakat dengan kenaikan harga tiket ke Borobudur. Sebagai penulis yang doyan dolan, saya tentu happy kalau masuk ke tempat wisata itu free alias tidak bayar. Namun sebagai orang yang mengerti bahwa sesuatu itu harus dirawat, dipelihara, dijaga, direnovasi, dll demi tetap baik sekian abad ke depan; tentu menarik tiket berbayar adalah hal yang wajar.

Apalagi untuk mahakarya sekelas Borobudur ini. Bahkan untuk candi-candi lainnya di seluruh Nusantara, sepertinya pemerintah dan pihak terkait perlu merevisi kebijakan tarif tiket masuknya. Sekurangnya dana tersebut akan bermanfaat untuk pembenahan, perbaikan, sehingga wisata candi-candi menjadi lebih berharga.

Candi Borobudur di hati saya sangatlah istimewa. Sejak SMP saya sudah menjejaki candi ini sampai ke stupa tertinggi. Masa SMA, saya kembali lagi mengunjuni candi terbesar di Indonesia ini. Saya berpikir, kalau saya kuliah di Jogja, bisa lebih sering datang ke candi ini.

Begitu kuliah di UGM, hampir selama tiga tahun atau selama saya kuliah S-1, pekerjaan yang paling sering saya lakukan ya dolan ke Borobudur. Bukan sekedar piknik, tapi jadi guide dadakan. Sekarang jelas tidak memungkinkan menjadi “guide liar” di sini. Ya, nasib saya dulu karena kuliah harus mencari biaya sendiri, maka saya memilih gaweyan-gaweyan yang saya senangi, tidak mengikat waktu, dan duitnya lumayan banyak.

Biasanya saya berangkat pagi-pagi dari Bulaksumur naik bus ke Terminal Jombor. Dari Jombor naik bus ke Terminal Borobudur. Dari sini, saya lari ke areal Borobudur. Setelah membeli tiket, saya mulai berburu rombongan yang akan naik ke candi. Makin banyak isi rombongan makin baik. Fee guide saya hitung per kepala seharga tiket masuk. Jadi kalau banyak orang, uang yang saya terima semakin besar. Ada banyak orang baik. Rata-rata mereka memberikan lebih besar dari semestinya. Mungkin karena saya yo merangkap memotretkan mereka.

 Gara-gara pekerjaan ini, sekurangnya saya mengenali Borobudur sedikit detail. Mulai sejarah, relief-relief, hingga hal lain seputaran candi ini. Kalau masa liburan, saya bisa mengawal empat atau lima rombongan. Sebanyak itu pula saya naik turun candi dan berkeliling pradaksina (berjalan searah jarum jam dari timur ke barat). Kalau konsepnya Budha, mereka akan melakukan hal ini tiga kali sebagai persiapan penyucian batin.

Sore hari selambatnya jam empat saya sudah harus keluar dari areal candi. Saya akan lari kembali ke Terminal Borobudur. Ya ampun, sebegitu capeknya lari dan naik turun candi, dulu itu kok ya tidak terasa. Sekarang, lari 5 km pp tiap hari saja saya banyak ogahnya. Hanya karenaingat harus jaga kesehatan, ya tetap lari.

Bus terakhir yang ke Jogja saat itu jam lima sore. Bus akan sampai Jombor jam enam. Lepas Magrib, saya akan kembali naik bus yang ke kampus (UGM). Zaman itu, bus dari Jombor yang ke kampus sampai jam delapan malam.

Masa kuliah S-1 saya memang penuh perjuangan. Saya kok happy saja menjalani. Tidak terlalu mengambil hati beban sehari-hari. Niat saya kuliah sampai lulus. Kalau sarjana, saya bisa bekerja lebih baik.

Pernah juga saya ditegur petugas candi. Saya kalem mengatakan sebagai mahasiswa dan mencari uang untuk bayar SPP. Saya tunjukkan KTM dan KTP. Setelah ditanyain seputar sejarah Borobudur, saya pun dilepas begitu saja. Pernah dapat rombongan bule dan ada orang lokalnya. Saya mo ngomong Inggris, halah bulenya berbahasa Jawa.

Saat itu saya sudah menulis cerpen di media massa. Yach, tapi honor penulisan kan tidak langsung cair. Belum kalau kiriman weselnya kesasar. Pokoknya kalau saya merasa perlu uang cepat, saya pasti lari ke Borobudur. Entah saja, pulang pasti bawa uang banyak.

Saya nyeselnya waktu itu kok belum mikir beli kamera ben ada dokumentasi. Yaelah, jangankan kamera. Bisa terus kuliah bae wes syukur alhamdulillah. Untungnya kuliahnya di Ilmu Budaya. Tugas-tugas tidak seekstrem mereka yang kuliah di Teknik atau Kedokteran.

Setelah saya lulus sarjana, bekerja menetap hanya libur di hari Minggu. Praktis saya tidak menengok lagi Borobudur. Apalagi setelah saya ke Jakarta. Bertahun-tahun tidak lagi menengok peninggalan Dinasti Syailendra ini. Baru ketika saya studi S-2, beberapa kali menengok Borobudur. Persinggungan saya dengan Borobudur lebih dekat saat saya studi S-3.

Pembimbing saya meminta agar saya memeriksa langsung keberadaan sumber data di Candi Borobudur. Saya terdiam sejenak. Memeriksa relief demi relief Borobudur itu tidak bisa sehari. Sekurangnya tujuh hari sampai sepuluh hari berturut-turut. Jelas pengeluaran yang tidak sedikit. Masa jelang studi S-3 saya berakhir itu sungguh berat buat saya. Tabungan semakin menipis, sementara saya tidak bisa bekerja full. Hanya bisa mengerjakan hal kecil-kecil yang uangnya pun tidak banyak.

Setelah kasak kusuk mencari cara untuk meringankan beban saya ke Borobudur berhari-hari dan tanpa hasil, saya pun diam. Bukan tidak punya duit, tapi sudah ada posnya. Observasi ke Borobudur ini tidak termasuk dalam anggaran saya. Juga bukan tipikal saya untuk mengeluhkan uang pada pihak lain, saudara sekalipun.

Tiba-tiba teman jauh yang saya tidak terlalu kenal menelpon. Menanyakan apakah saya bisa menggantikan tugas orang lain untuk membuat narasi. Objeknya foto-foto dari candi-candi di Jawa Tengah, termasuk Borobudur. Dia mendetailkan tugas saya. Begitu mendapatkan keterangan bahwa saya harus ikut ngecek ke lapangan, yang berarti saya ikut ke Borobudur berhari-hari; saya langsung bilang bisa.

Setelah saya menyanggupi, dia segera mengirimkan detail dan contoh pekerjaan. Saya hanya tersenyum. Bikin narasi begitu siy gampang buat saya. Tidak lama dia mengirimkan foto dua orang, satu driver merangkap fotografer, satu asisten yang akan membantu saya. Besok pagi, mereka berdua akan menjemput saya di Jogja dan bersama-sama ke Magelang. Semua sudah diurus. Saya cukup membawa baju secukupnya dan piranti kerja.

Keesokan harinya saya dijemput pagi-pagi. Kami bertolak ke Magelang. Check in hotel, mematangkan rencana kerja yang sudah kami bahas di perjalanan. Kami pun segera turun ke lapangan. Makan siang dan malam di luar. Sarapan pagi ikut di hotel. Saya gembira, hidup terasa nyaman sekali. Kerja pagi sampai sore. Malam kami masih kelayapan sampai jam sepuluh. Kalau saya sedang capek, ya bermalasan saja di hotel. Tidak mengekor mereka dolan.

Saya tetap mengerjakan disertasi di sela-sela pekerjaan. Selama bekerja, dua orang yang dikirim itu mengurusi saya dengan baik. Si asisten ini memberikan amplop kepada saya setiap hari sebagai uang saku —versi saya jumlahnya cukup besar. Semua keperluan, jajan ini itu, bensin, parkir, tiket, dll. dia juga yang membayari karena dia yang bawa uang.

Karena pekerjaan inilah, saya bisa mengakses Borobudur dari ketinggian. Saya beruutung menyaksikan mahakarya ini pagi-pagi di saat fajar, pas siang bolong, saat sore bertabur senja, atau ketika malam gulita. Semuanya indah dan istimewa. Hampir sebulan ketika pekerjaan itu selesai, saya merasa beneran gembira.

Saya tuntas menarasikan Borobudur dan candi-candi lain yang menjadi tanggung jawab pekerjaan. Saya sudah tidak berpikir tentang bayaran lagi. Uang saku yang saya terima harian itu jumlahnya belasan juta. Utuh karena semua keperluan saya selama kerja sudah ditanggung penuh. Pas pekerjaan rampung, saya masih menerima bayaran tunai puluhan juta.

Rezeki nomplok. Alhamdulillah. Saya yang saat berangkat kerja seperti orang sekarat kekurangan darah, langsung segar bugar hidup lagi karena pasokan darah segar. Borobudur turut menyelamatkan studi S-1 dan S-3 saya. Borobudur juga mengajari saya bekerja praktis. Pihak yang berkepentingan harus membereskan biaya-biaya dan aneka urusan, termasuk izin-izin. Saya hanya bekerja sebagai penulis dan menerima fee penuh sesuai kesepakatan.

Keriuhan kenaikan harga tiket Candi Borobudur, memang terasa tidak menyenangkan. Bagi sebagian orang 750 ribu bisa jadi mahal, tapi bagi sebagian yang lain itu tidak lebih dari harga sekali makan di restoran. Saya pun, pasti mikir-mikir bayar tiket segitu kalau tidak ada kepentingan dengan candi.

Toh saya sependapat dengan pembatasan jumlah pengunjung yang naik ke candi. Mekanismenya seperti apa, mungkin bisa dipertimbangkan dan diatur lagi. Tidak sekedar menaikkan harga tiket ke candi. Ada banyak tempat wisata yang lebih mahal toh tetap ramai. Pemerintah dan pihak berwenang perlu merumuskan cara lain di luar kenaikan tiket untuk mendukung program pelestarian Borobudur. Termasuk candi-candi lainnya.

 

Sepasaran: Selamatan Bayi 5 Hari

Artikel ini telah dipublish di nongkrong.co pada hari Sabtu, 4 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313520333/sepasaran-selamatan-bayi-5-hari

Sesuai namanya selamatan sepasaran dilakukan setelah 5 hari kelahiran si bayi karena dalam kehidupan orang Jawa mengenal 5 hari, yaitu legi, pahing, pon, wage, dan kliwon. Kalau bayi lahir di pasaran legi, maka sepasarannya pada hari legi berikutnya.

Pada umumnya untuk orang Jawa yang memahami tradisi Jawa, mereka tidak akan melakukan selamatan persis di hari H. Mereka kadang memundurkan 1 atau 2 hari dari hari yang semestinya. Hal ini bukan karena mereka tidak mempersiapkan selamatan bayi pas pada harinya, tapi mereka lakukan dengan sengaja.

Tujuan penundaan itu agar kelak si bayi tidak selalu memaksakan keinginan saat itu juga. Dalam bahasa Jawa hal itu disebut dengan sakdeg saknyet, seketika memiliki keinginan harus dituruti saat itu juga. Dengan menunda acara selamatan sepasaran, diharapkan si bayi lebih sabar dan lebih bertenggang rasa terhadap berbagai situasi di kemudian hari.

Menu wajib pada sepasaran adalah (a) nasi tumpeng, (b) nasi golong sebanyak tujuh dengan lauk pauk gudhangan, ayam panggang, telur rebus, dan sayur lodeh keluwih, (c) pisang raja setangkep (pisang raja dua sisir), (d) jajan pasar, (e) bubur abang putih (bubur merah putih), (f) nasi gudangan (nasi satu piring komplit dengan sayur dan lauk pauknya), dan (g) iwel-iwel (jajanan berasal dari ketan dan gula merah).

Pertama, Nasi Tumpeng.

Nasi tumpeng melambangkan hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Semakin menjulang tumpengnya diharapkan semakin tinggi, baik, sejahtera kehidupan si bayi.

Tumpeng itu sebenarnya singkatan dari “tumapaking penguripan-tumindak lempeng tumuju Pangeran”. Kalau diterjemahkan secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti bahwa manusia itu harus menginjak kehidupan dan bertindaksecara baik dan benar, karena nantinya akan mempertanggungjawabkan semua tindakan dan perbuatannya pada saat kembali kepada Tuhan.

Sebagaimana diketahui orang Jawa memiliki agama asli yang disebut Kejawen. Mereka ini percaya adanya kekuatan gaib di luar manusia yang mengatur kehidupan dan semesta jagad raya. Oleh karena itu, mereka wajib memelihara hubungan tersebut agar tetap seimbang.

Salah satunya dengan cara mengadakan selamatan dengan tumpengan dan memakannya secara bersama-sama atau biasa disebut dengan kenduri. Acara kenduri biasanya menghidangkan tumpeng yang dikelilingi lauk pauk dan aneka jenis makanan lain sesuai dengan hajatannya.

Penempatan tumpeng dan lauk pauk nya menyimbolkan gunung dan tanah yang subur. Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut dikaitkan dengan gunung, yang berarti tempat sakral oleh masyarakat Jawa. Nasi yang menjulang ke atas merupakan simbol harapan agar kehidupan kita meningkat.

 Sementara tanah di sekeliling gunung disimbolkan dengan lauk pauk yang bervariasi. Tanah yang subur akan menjadikan kesejahteraan bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut. Tumpeng juga mempunyai makna kebersamaan , hal ini terbukti bahwa orang menyajikan tumpeng jika ada acara atau upacara yang disertai dengan makan bersama.

Kedua, nasi golong.

Nasi golong adalah nasi yang berbentuk bulat seperti bola tenis. Dalam tradisi Jawa adanya nasi golong ini memiliki makna kebulatan tekad yang manunggal atau kalau dalam bahasa Jawa ada istilah golong giling —menjadi satu dalam tekad.

Jumlah nasi golong ini ada tujuh yang berarti menjadi tujuh pasang atau disajikan sebanyak empat belas nasi golong. Secara filosofis nasi ini memiliki makna sebagai bentuk penghormatan kepada Allah SWT yang menciptakan alam seisinya. Selain itu kata tujuh dalam bahasa Jawa berarti pitu yang sering diasosiakan sebagai pitulungan atau pertolongan. Berarti secara sadar oang Jawa bermohon pertolongan kepada Tuhan Yang Kuasa.

 Ketiga, pisang raja setangkep (pisang raja dua sisir).

Pisang raja dua sisir ini melambangkan adanya tangan yang menghadap ke atas. Setangkep bila dilihat akan seperti tangan yang sedang memohon atau berdoa. Hal ini memang merupakan permohonan kepada Tuhan untuk memberikan anugerah, keselamatan, dan kebahagiaan sepanjang hidup si bayi.

Keempat, jajan pasar.

Sebagaimana jenisnya yang beragam, jajang pasar menyimbolkan warna-warni kehidupan yang akan dihadapi si bayi kelak. Dalam selamatan sepasaran, biasanya orang Jawa menyajikan jenis jajanan pasar yang berbeda dari selamatan brokohan.

Biasanya yang ada di dalam setiap selamatan sebanyak tujuh jenis, dengan rasa yang berbeda. Rasa yang disajikan dalam jajanan pasar itu sekurangnya sudah mencakup manis, asam, asin, pahit, dan pedas.

Kelima, bubur abang putih (bubur merah putih).

Bubur merah putih selain menjadi representasi lelaki dan perempuan, juga sering dianggap sebagai simbol kehidupan. Bahwa dalam kehidupan ini tidak hanya ada hal yang baik, tetapi juga ada yang kurang baik. Dengan kebijaksanaan dan kerukunan terhadap sesama, persoalan yang rumit pun pasti bisa diselesaikan dan diatasi dengan baik.

Keenam, nasi gudangan. 

Setipe dalam acara selamatan brokohan, nasi gudangan terdiri dari nasi putih dan sayur beserta lauk pauknya. Adanya nasi gudangan dalam selamatan sepasaran ini pada prinsipnya adalah peneguhan permohan dari orang tua si bayi kepada Tuhan agar si anak diberikan kehidupan yang berbahagia.

Dalam proses menjalani kehidupan tersebut, si anak kelak diharapkan dapat menghidupi dirinya dan keluarga secara mandiri. Kehidupan yang dibangun secara baik dan mandiri akan menghasilkan kehidupan yang tenteram lahir batin.

Kedamaian lahir dan batin diharapkan akan membawa kehidupan yang damai sejahtera, makmur, bahagia di dunia dan akhirat.

Nasi gudangan pada prinsipnya melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Ketujuh,  iwel-iwel (jajanan berasal dari ketan dan gula merah).

Adanya iwel-iwel ini merupakan akulturasi dari budaya Islam yang mempengaruhi pemikiran orang Jawa. Konon para tetua orang Jawa mengatakan kalau iwel-iwel itu adalah simbol dari ungkapan la haula wala quwwata illah billah yang berarti tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Orang Jawa mengakui sepenuhnya bahwa dirinya tidak berdaya, sementara yang kuat dan berdaya itu hanyalah Allah SWT.

Lalu sebagai simbol terhadap pengungkapan pengakuan terhadap tersebut, lalu dibuat olahan iwel-iwel ini. Dalam versi saya, pernyataan para tetua atau sesepuh orang Jawa ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Karena kata iwel-iwel itu sangat jauh dari ungkapan la haula wala quwwata illah billah.

Bagaimana prosesnya dari pernyataan pengakuan kekuatan Tuhan dalam bahasa Arab yang cukup panjang la haula wala quwwata illah billah itu, hingga menjadi singkat ringkas padat iwel-iwel ini, hampir semua informan saya mengatakan tidak mengerti. Mereka hanya mengatakan tahunya seperti itu.

Makanan iwel-iwel yang berasal dari ketan yang sudah ditumbuk dicampur dengan garam dan kelapa parut, di bagian tengahnya diberi gula aren, dibungkus dengan daun kelapa. Selanjutnya dikukus hingga matang. Secara sederhana ini mirip jajanan pasar lainnya. Namun saya pribadi agak kesulitan menemukan jenis iwel-iwel ini di pasar tradisional.

Para pedagang jajanan pasar umumnya mengatakan tidak berani bikin sembarangan, takut kuwalat. Jajanan yang menurut mereka simbol ketuhanan. Wah, saya mau tertawa takut kuwalat juga sama orang tua. Diam-diam saya bersyukur karena masih ada sebagian orang Jawa yang ngugemi adat tradisinya dan patuh pada “petuah para tetua”, termasuk tidak membuat iwel-iwel secara sembarangan.

Padahal dengan kemajuan industri pariwisata budaya, sudah banyak juga kuliner sakral yang kemudian bisa dikonsumsi setiap hari. Misalnya ingkung ayam, tumpeng, nasi berkat, dll. Sekarang itu bukan lagi kuliner sakral, tapi bisa dibeli atau ditemukan di banyak tempat wisata di Jawa.

Bisa jadi nantinya iwel-iwel juga akan mudah ditemukan di tempat orang berdagang jajanan pasar. Mungkin saja selama ini peminat atau pembelinya kurang, atau proses pembuatannya yang tidak cukup mudah, membuat makanan ini agak sulit ditemukan di pasar tradisional.

Secara umum itulah menu wajib yang ada dalam selamatan sepasaran bayi. Semua menu tersebut kemudian diberikan doa atau permohonan berkat oleh tetua atau sesepuh di kalangan keluarga tersebut. Setelah itu nasi berkat akan dimakan bersama-sama dan sebagian dibagikan kepada kerabat maupun tetangga-tetangga. Orang Jawa biasanya senang mengadakan acara selamatan. Ini merupakan bentuk syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berbagai karunia-Nya.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com