Candi Nusantara: Candi Gayatri

Penampakan Candi Gayatri, di Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.


Kerajaan Majapahit besar dan jaya pada masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi dan Hayam Wuruk. Namun sesungguhnya, otak dari kemajuan itu adalah Sang Gayatri Rajapatni. Dialah putri Raja Kertanegara –Raja Singosari, dan istri dari Raden Wijaya –sang pendiri Majapahit.
.
Putra Mahkota Majapahit si Jayanegara, adalah putra R Wijaya dengan Darapetak (putri persembahan dari Melayu –cek kisah Ekspedisi Pamelayu). Pernikahan R Wijaya dengan Darapetak menimbulkan konflik batin bagi Gayatri. Ia merasa tidak sejalan karena sang suami mengambil “selir” dan kemudian melahirkan sang Putra Mahkota, pewaris takhta karena Jayanegara anak lelaki pertama bagi R Wijaya. Gayatri pun enggan berbela debat dan ia pun mundur dari istana. Meninggalkan Trowulan dan menyepi sebagai biksuni di Boyolangu, Tulungagung. Pilihan ini sebenarnya adalah pilihan strategis. Gayatri bisa mengatur putusan-putusan penting lewat kaki tangan dan orang-orangnya di istana tanpa gangguan. Selain itu jarak Trowulan Boyolangu relatif dekat dan mudah aksesnya.

Sisi lain dari Candi Gayatri, Boyolangu, Tulungagung. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Gayatri pun mulai menata langkah, demi merebut takhta agar kembali pada garis keturunannya, bukan keturunan Dara Petak (Melayu). Saat itu si Jayanegara yang doyan perempuan dan kurangajar hendak menikahi saudara kandungnya (anak-anak Gayatri). Hal inilah yang membuat sang Ibunda Gayatri murka. Politik skandal pun dibuat dengan cermat.
.
Istri jelita Ratanca –tabib pribadi Jayanegara pun diumpankan untuk menggoda dan berada di sekitar sang Putra Mahkota. Ratanca pun dendam dan merasa sang Jayanegara telah berbuat aniaya yang melanggar dharma kesatriya, ngrusak pager ayu. Ratanca tidak pernah tahu bahwa semua itu sudah didesain. Dendam Ratanca menemui jalan ketika Jayanegara sakit. Sebagai tabib istana, ketika mengobati Jayanegara, Ratanca pun langsung membunuhnya. Saat itu juga, Gadjah Mada membunuh Ratanca tanpa sidang dan tidak pernah ada yang mengangkat kisah pembunuhan Putra Mahkota ini ke persidangan kerajaan Majapahit. Padahal kita tahu, betapa detailnya hukum peradilan Majapahit.

Gambaran sosok Gayatri Rajapatni. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Matinya Jayanegara, membuat Tribhuwana Tunggadewi –anak Gayatri dan R Wijaya, naik tahta. Majapahit tidak mengenal sistem raja/penguasa harus laki-laki; meskipun bila ada garis putra mahkota akan tetap diutamakan. Di sinilah terlihat bagaimana Gayatri mempersiapkan suksesi untuk garis keturunannya. Sang Mahapatih tua yang sakit-sakitan dan mengajukan pensiun saat itu, ditolak mentah-mentah oleh Gayatri. Sang Biksuni Agung ini sedang mempersiapkan posisi itu untuk Gadjah Mada.
.
Begitu siap, Gadjah Mada langsung jadi mahapatih. Dari seorang bekel (komandan pasukan penjaga raja) naik kasta sebagai perdana menteri. Konon ini adalah bentuk balas budi Gayatri karena berhasil membunuh Jayanegara lewat Ratanca.
.
Melalui Gadjah Mada di bawah Tribhuwana Tunggadewi, Gayatri mendikte seluruh perluasan wilayah Majapahit di Nusantara. Cita-cita luhur Kertanegara yang terwujud lewat Hayam Wuruk.
.
Hampir seluruh negeri di Asia Tenggara bernaung di bawah panji Majapahit; kecuali Pasundan. Lalu negeri kecil inilah yang melahirkan kisah Perang Bubad. Hayam Wuruk ingin meminang dan menjadikan Dyah Pitaloka sebagai Ratu Majapahit. Tapi Gadjah Mada merancang acara ini sebagai siasat untuk penaklukan Negeri Pasundan. Seluruh pasukan dan rombongan Raja Pasundan diserangbunuh di perbatasan gerbang Majapahit. Dyah Ayu Pitaloka pun memilih suduk salira (bunuh diri) daripada menjadi putri boyongan Majapahit. Kisah yang membawa duka cita bagi Hayam Wuruk dan petanda tidak harmonisnya hubungan Sang Raja dengan Mahapatih Gadjah Mada. Kisah yang menandai kemunduran demi kemunduran Dinasti Majapahit.
.
Gayatri Rajapatni meninggal di usia 76 tahun, mengatur, mengendalikan, dan menyaksikan anak dan cucunya membesarkan Majapahit. Abunya disemayamkan di Candi Gayatri. Candi ini sebagai tempat “makam” Sang Ratu Agung Majapahit.
.
Sayangnya, Candi Gayatri mengalami banyak perusakan. Patung Gayatri pun hilang bagian kepala dan sebagian anggota badan. Batu-batu candi pun banyak yang hilang.
.
Semoga hal itu tidak menghilangkan jejak kebesaran Gayatri di masa lampau. Nah, kamu sudah main ke candi ini atau belum?
.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Pitonan: Selamatan Bayi 7 Bulan (245 Hari)

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 25 Juni 2022 dengan link berikut ini. https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313741367/pitonan-selamatan-bayi-7-bulan-245-hari

Pitonan atau lebih dikenal sebagai tedhak siten merupakan selamatan untuk bayi yang berumur 7 bulan (Jawa) atau 245 hari. Setiap bulan versi orang Jawa dihitung 35 hari atau selapan. Jadi sebutan bayi 7 bulan itu berarti 7 bulan dikalikan selapan yang berarti 245 hari.

Kebiasaan orang Jawa biasanya mengadakan upacara seperti ini tidak persis di hari hitungannya. Kadang-kadang ditunda sehari atau dua hari. Kadang-kadang pula dipaskan pada hari libur, Sabtu atau Minggu. Tujuannya agar tidak mengganggu pekerjaan orang tuanya dan memudahkan kerabat untuk menghadiri acara tedhak siten.

 Seperti acara selamatan bayi lainnya, yaitu brokohan, sepasaran, selapanan, maupun telonan, selamatan pitonan ini pada prinsipnya merupakan acara syukuran atas kelahiran bayi. Acara ini merupakan kegiatan untuk memohonkan perlindungan dan keselamatan si bayi kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Acara pitonan atau tedhak siten merupakan selamatan bayi yang mendapatkan perhatian khusus di kalangan orang Jawa. Pada saat ritual tedhak siten, si bayi sudah mulai melangkah atau menjejak di tanah. Tujuan selamatan pitonan ini demi mendapatkan masa depan yang cerah bagi si bayi. Selamatan pitonan merupakan bentuk bimbingan dari orang tua kepada si buah hati. Tradisi tedhak siten sudah ada sejak zaman dulu kala dan diwariskan secara turun temurun.

Tradisi telonan atau tedhak siten ini memerlukan ubarampe lebih banyak daripada selamatan bayi lainnya. Bayi umur 7 bulan sudah bisa melangkah ke bumi  dan ini merupakan proses penting. Seorang bayi yang semula harus digendong orang lain, kini sudah bisa mulai melangkah dengan kakinya sendiri.

Itulah sebabnya selamatan ini juga disebut dengan tedhak siten. Tedhak berarti melangkah atau turun. Adapun siten berarti “siti” atau tanah yang berarti tanah atau bumi. Sekurangnya tedhak siten berarti turun ke bumi atau melangkah ke bumi. Tradisi tedhak siten merupakan gambaran kesiapan seorang anak untuk menjemput kehidupan yang sukses di masa depan.

Dalam tradisi orang Jawa, acara tedhak siten biasanya pagi hari dan diadakan di halaman rumah orang tua si bayi. Selamatan ini menggunakan berbagai ubarampe yang menunjukkan  kesiapan si bayi menghadapi masa depan. Segala ubarampe yang dipersiapkan untuk acara tedhak siten merupakan simbol permohonan kepada Tuhan agar memberikan perlindungan, keselamatan, dan keberkahan pada hidup si bayi.

Ubarampe untuk kegiatan tedhak siten sangat banyak dengan berbagai ketentuan. Semakin mampu suatu keluarga, biasanya mempersiapkan acara tedhak siten ini semakin komplet dan mewah.

Berikut ini adalah beberapa ubarampe yang harus disiapkan untuk acara tedhak siten.

  • Kurungan Ayam.

Kurungan ayam ini terbuat dari bambu untuk mengurung ayam hidup. Kurungan ayam ini biasanya dihiasi semeriah dan semenarik mungkin agar terlihat bagus dan keren. Hiasannya biasanya warna-warni yang sangat cerah dan menggembirakan anak-anak. Di dalamnya biasanya disediakan buku tulis, alat tulis, perhiasan, uang, kain, gunting, dll barang yang bermanfaat.

  • Jenang Warna-Warni.

Jenang ini dibuat dari ketan dengan tujuh warna. Biasanya warna yang digunakan adalah merah, putih, kuning, jingga, hijau, biru, dan ungu. Ini sebagai penanda bahwa kehidupan itu beragam warna dari yang terang maupun tidak terang.

  • Tangga dan Kursi.

Tangga dan kursi yang dipersiapkan untuk acara tedhak siten ini adalah tangga kursi yang dibuat dari tebu. Tebu ini singkatan antebing kalbu yang berarti kesungguhan tekad si bayi dalam menghadapi kehidupan.

  • Ayam Panggang.

Ayam panggang pada bagian ini merupakan ayam panggang yang ditusukkan pada batang tebu. Pada bagian ayam panggang ini di sekitarnya diberi pisang, beraneka barang dan berbagai jenis alat permainan.

  • Tumpeng Robyong.

Tumpeng robyong merupakan salah satu jenis tumpeng di Jawa dengan ciri tertentu, yaitu adanya telur, cabai, bawang merah dan terasi yang ditusukkan pada bagian puncaknya. Sementara di bagian bawah tumpeng akan tersedia berbagai lauk pauk, sayur, hingga isian lainnya.

  • Bubur.

Bubur dalam hal ini sama dengan bubur untuk selamatan bayi lainnya, yaitu bubur merah dan bubur putih. Kedua bubur merah putih ini melambangkan kehidupan atau kerukunan orang tua si bayi.

  • Jadah.

Jadah dalam hal ini juga terdiri dari 7 warna, yaitu merah, putih, kuning, jingga, hijau, biru, dan ungu. Jadah dibuat dari ketan yang melambangkan kekuatan persatuan. Dengan bersatu padu, segala sesuatu yang sulit akan mudah diatasi.

  • Buah-buahan.

Biasanya akan disediakan 7 jenis buah-buahan yang populer atau sedang musim di lingkungan orang Jawa. Buah-buahan yang sering disediakan adalah jeruk, apel, pisang, duku, salak, jambu, semangka. Jenis buah-buahan ini bebas sesuai dengan selera penyelenggara.

  • Jajanan Pasar.

Jajanan pasar yang disediakan dalam hal ini juga ada 7 macam. Jenisnya bebas tergantung dari masing-masing penyelenggara. Jajanan pasar yang umum disediakan adalah onde-onde, wajik, lemper, pisang goreng, dadar gulung, serabi, dan kue  lumpur.

  • Udik-udik.

Udik-udik berarti uang kertas atau uang recehan yang disebarkan pas acara tedhak siten. Penyebarnya adalah ayah dan kakek si bayi. Besaran uang untuk udik-udik tergantung kemampuan masing-masing penyelenggara tedhak siten.

  • Air

Air yang telah dibiarkan semalam terkena embun dan pagi sudah terkena sinar matahari. Ini menyimbolkan kesabaran untuk mendapatkan sesuatu.

  • Ayam Hidup.

Ayam hidup ini dilepaskan pada saat acara dan ada sesi untuk dibiarkan ditangkap oleh tamu undangan. Siapa yang berhasil mendapatkan ayam tersebut, boleh membawanya pulang sebagai sedekah dari orang tua si bayi.

  • Bunga Sri Taman.

Bunga untuk memandikan bayi saat acara tedhak siten hampir rampung demi membersihkan segala kotoran dan memiliki aroma yang harum. Bunga sritaman terdiri dari mawar, melati, magnolia, dan kenanga.

  • Pakaian Bayi.

Pakaian bayi untuk acara ini harus pakaian bayi yang baru, indah dan sesuai untuk si bayi. Tujuannya agar bayi bergembira dan berbahagia dalam kehidupannya.

Biasanya bayi yang dipitoni akan didandani sebagus atau secantik mungkin untuk dokumentasi dan untuk menyambut tamu-tamu undangan yang datang. Setelah semua ubarampe disiapkan, keluarga si bayi akan berkumpul di tempat upacara. Tamu undangan biasanya ada di sekitarnya atau di tempat yang telah ditentukan.

Acara pitonan biasanya dimulai dengan pembukaan oleh sesepuh yang dipasrahi untuk memimpin acara. Doa pembuka permintaan selamat dan berkah akan dibacakan pada saat ini.

Selanjutnya akan dilakukan ritual berikut ini untuk si bayi.

  • Berjalan Pada 7 Warna.

Si bayi akan dipandu untuk berjalan melewati jenang 7 warna; merah, putih, kuning, jingga, hijau, biru, dan ungu. Ritual ini menggambarkan bahwa di masa depan si bayi diharapkan dapat melalui dan mengatasi semua hambatan dalam kehidupannya.

  • Menginjak Tangga dari Tebu.

Sesepuh membimbing si bayi untuk menginjak tangga yang terbuat dari tebu jenis “Arjuna” dan selanjutnya dibawa untuk segera turun. Tebu dalam versi orang Jawa merupakan singkatan dari antebing kalbu yang berarti kekuatan hati sebagai pejuang kehidupan.

Dari kegiatan ini menunjukkan pengharapan orang tua kepada anaknya, bahwa kelak di kemudian hari dia akan menjadi pejuang sejati seperti Arjuna. Si anak pun diharapkan dapat menghadapi kehidupan dengan kesatria seperti tokoh Arjuna yang penuh semangat.

  • Jalan Di Tumpukan Pasir.

Setelah anak dari tangga tebu kemudian dipandu oleh sesepuh untuk melangkah sebanyak dua langkah dan didudukkan di atas tumpukan pasir yang telah disiapkan. Biasanya si anak akan melakukan eker dengan kedua kakinya, atau bermain pasir. Dalam bahasa Jawa ini disebut dengan ceker-ceker yang berarti anak tersebut dapat bekerja untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

  • Masuk ke Kurungan Ayam.

Setelah anak beberapa saat dibiarkan ceker-ceker di pasir, tetua akan membimbing anak masuk ke kurungan ayam yang telah dihias. Di dalam kurungan ayam tersebut, di sudah tersedia beragam barang yang bermanfaat, seperti buku tulis, alat tulis, perhiasan, dll.

Anak akan masuk ke kurungan ayam tersebut dan dibiarkan untuk memilih barang yang menurutnya menarik. Barang-barang yang dipilih si anak dianggap melambangkan pekerjaan yang cocok untuk si anak di masa depan. Misalnya si anak memilih buku tulis, kemungkinan besar dia bekerja di bidang yang berkaitan dengan buku dan pendidikan. Adapun bila si anak memilih kain, mungkin dia akan bekerja di dunia pertekstilan atau fashion, dan seterusnya.

Acara ini merupakan simbol profesi atau pekerjaan yang akan menjadi pilihan si bayi di masa depan. Kurungan ayam menunjukkan bahwa pekerjaan yang telah dipilih dengan baik, akan menghasilkan pendapatan yang baik, dan harus dijaga dengan baik-baik pula.

  • Menyebarkan Udik-udik.

Pada saat anak dibiarkan berada di dalam kurungan ayam, pihak ayah dan kakek si anak menyebarkan uang, baik yang berupa uang kertas maupun uang receh yang biasa disebut dengan “udik-udik”. Uang ini boleh dan bebas diambil oleh para tamu undangan. Makna dari penyebaran udik-udik ini bahwa si anak setelah mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang memadai, dia harus bersikap dermawan. Mau membagikan sebagian kekayaannya kepada orang lain yang membutuhkan.

  • Memandikan Bayi dengan Bunga Sritaman.

Setelah anak masuk ke kurungan ayam dan sudah memilih barang tertentu, ia harus dikeluarkan dari kurungan dan dimandikan. Pada saat memandikan bayi ini, disediakan air dengan bunga sritaman. Bunga sritaman terdiri dari mawar, melati, magnolia, dan kenanga. Tujuan memandikan bayi dengan bunga sritaman ini untuk menunjukkan harapan bahwa si bayi kelak akan mengharumkan nama dirinya, keluarga, bangsa, dan negaranya dengan tindakan-tindakan yang baik.

  • Memakaikan Pakaian Baru.

Setelah semua ritual selesai, si bayi segera dipakaikan baju yang bagus dan indah. Baju ini harus yang indah dan baru. Hal ini menggambarkan bahwa si bayi siap menghadapi kehidupan yang baru dengan baik dan makmur.

Itulah selamatan pitonan atau tedhak siten di kalangan orang Jawa. Biaya selamatan tedhak siten ini cukup besar. Oleh karena itu tidak semua orang Jawa mengadakan acara ini. Mereka tetap mengadakan selamatan, tetapi dengan sederhana. Mereka mengadakan kenduri dan membagikan sego berkat kepada kerabat dan tetangga dekat.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Please follow and like us:

Gelang Emas

Cerkak atau cerita cekak atau cerita pendek dalam bahasa Jawa, Gelang Emas ini sudah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 18 Juni 2022 dengan link berikut ini. https://www.nongkrong.co/apresiasi/pr-4313697649/gelang-emas

Sesore njenggrung, Rosi mumet nggoleki gelange sing mara-mara ilang. Gelang emas sing biyasane dinggo neng tangan tengen, ora ana lan ora cetha neng endi ilange. Dheweke babar pisan ora kelingan. Ngerti-ngerti nalika sore arep adus njur niyat nyopot gelange, tibake gelange wis ora ana.

Rosi njur opyak. “Mboook…! Mbok Jilah….!” celuke Rosi.

Mbok Jilah sing wis setengah tuwa itu nyedhak. “Wonten napa, Mbak Rosi?”

“Rewangana aku, Mbok. Gelangku ilang embuh copot neng endi aku kok ora ngerti. Genah neng ngomah, wong sedina aku ora lunga iki mau,” tambahe Rosi.

Simbok Jilah katon kaget sawetara wektu, ning njur biyasa maneh. “Nggih, Mbak. Kula padosane. Sepuntene yen mboten kepanggih.”

“Ya, Mbok. Pokoke wis digoleki dhisik,” kandhane Rosi karo terus mider mlebu metu kamar nggoleki gelange sing ilang.

Mbok Jilah semono uga. Katon ibet nggoleki gelang emas cilik ning mbejaji kuwi. Rosi ya terus nggoleki gelange neng sajrone omah, sinambi ngeling-eling sedina iku mau neng endi bae. Ning dheweke isih eling mau esuk pas resik-resik taman ngarep isih nganggo gelang. Cetha yen gelange mesthi copot neng kiwa tengene omah, ora mungkin ilang neng nggon adoh.

Nganti kesel ngubengi ngomah, gelang emas sing digoleki Rosi panggah ora ketemu. Rosi njur thenger-thenger. Gelang emas iku dudu sembarangan gelang emas. Gelang kuwi olehe tuku seka nglumpukne dhuit sethithik mbaka sethithik. Nyicil tuku gelang emas neng Toko Emas Bumi nganti genep lan gelange isa digawa bali. Sajeke kuwi, gelang emas kuwi tansah melu neng ngendi bae Rosi. Paling-paling mung dicopot yen arep adus.

Gelang emas kuwi bunder gilig dadi bobote lumayan, watara limalasan gram. Dhuite rada akeh. Gelang kuwi ya wes bola-bali nylametne Rosi yen ana keperluan dadakan rada gedhe. Disekolahne neng pegadaian utawa digadhekne. Njur dheweke isa nyicili sithik mbaka sethithik nganti lunas lan digawe maneh. Ngono terus wis watara rongpuluhan tahun. Dadi gelang kuwi cetha barang wigati banget kanggone Rosi.

Merga nganti meh surup durung ketemu, Rosi akhire mupus. Sesuk maneh arep digoleki. Sapa ngerti isa ketemu. Masiya neng ati ya rada tida-tida, kok isa dheweke ora ngerti gelange copot. Mestine yen gelang kuwi ceblok neng jubin, dheweke ya krasa utawa krungu. Ning Rosi mung gedheg-gedheg, mbokmenawa krana dheweke nyrempeng gaweyan nganti ora krasa yen gelange copot. Mbuh saiki neng endi, Rosi ora ngerti.

“Wis Mbok, nggolekine sesuk maneh bae. Yen isih rejekiku mesthi ketemu, dene yen ora ya kepiye maneh,” kandhane Rosi pasrah. Terang dheweke ra isa nyalahne sapa-sapa. Sing salah ya jelas dheweke dhewe. Mbokmenawa kuncine gelang rada lobok njur ora dibenakne, akhire copot lan ora ngerti.

Merga kekeselan, bubar Isyakan Rosi wis turu angler. Wis ora mikir maneh perkara gelange sing ilang. Gela kuciwa lha ya cetha, lha ning kepriye maneh wong digoleki ora ketemu. Sesuke Rosi isih mbudidaya nggoleki gelange neng saentero omah. Dheweke yo wis njaluk Mbok Jilah rewangi nggoleki, ning ya ora ketemu.

Rosi wes pasrah tenan. Tinimbangane mangkel tansah kelingan gelang sing ilang, akhire Rosi tuku gelang maneh. Bobote padha persis karo gelange sing ilang. Ning modhele ora padha. Saiki tukune langsung bayar lunas, ora ndadak nyicil kaya biyen. Lha wong saiki Rosi wis nyambut gawe mapan dadi pegawai bank pemerintah.

Wedi yen gelange ilang maneh, Rosi mung nyimpen bae gelang sing mentas dituku kuwi. Sing penting yen ana butuh dadakan, dheweke isa nggadhekne gelang kuwi. Masiya rasane wis tetaunan Rosi ora tau maneh nggadhekne gelang utawa priyasan liyane. Malah saiki sregep nabung emas nggo jaga-jaga yen ana kebutuhan ndadak. Yen nabung dhuit, biyasane kecuwil-cuwil terus njur ora nglumpuk.

Perkara gelange ilang kuwi, ya mung Rosi dhewe sing ngerti lan Mbok Jilah. Rosi ya wis ora mikir maneh. Mbokmenawa pancen jatah rezekine gelang kuwi melu dheweke mung nganti semono. Gelang kuwi wis akeh jasane kanggo Rosi. Dadi masiya ilang, Rosi ya wis ora gela maneh. Coba yen ora ana gelang kuwi, dheweke ra ngerti kepriye ngurusi ragat sekolahe sing nambah-nambah luwih saka beasiswane zaman semana.

Esuk kuwi Mbok Jilah gawe sarapan sega goreng kaya biyasane. Ning porsine luwih akeh. “Dingaren nggawe sega goreng akeh, Mbok? Mengko diterke tangga kiwa tengen bae. Kurang enak dinggo mangan awan,” kandhane Rosi.

“Anuu… Mbak Rosi, niki mengke sekedhap malih yoga kula kalih semahe ngriki. Kersane mengke dipangan.”

“Oh, lha kok ndengaren. Ana perlu karo Simbok apa mung kangen?” takone Rosi.

Anak lanange Mbok Jilah pancen kala-kala sesasi utawa rong sasi pisan tilik simboke. Sok-sok yen Rosi ora sepira repot, dheweke sing ngeterne Mbok Jilah mulih nyang Magelang njur baline nyang Yogya diterke anake sepeda montoran. Biyasane Mbok Jilah mulih tilik anak putune sesasi pisan. Mung rong dina. Rosi ya ora kabotan.

Masiya simboke mung rewang, ning anake Mbok Jilah dadi wong kabeh. Anake lanang loro dadi pegawai negeri. Sakjane anak-anake yo wis ngongkon simboke leren mburuh rewang neng nggone Rosi. Ning simboke ngomong yen ora nyambut gawe malah nglangut lan awake lara kabeh.

Tur maneh ngrewangi nggone Rosi ora sepira abot gaweyane. Mung resik-resik omah, umbah-umbah nyetrika, lan nggawekne sarapan esuk sadurunge Rosi ngantor. Mung yen Rosi neng omah, masake ping telu sing entheng-entheng. Gawe sega goreng, gawe sop ayam, lan liyane sing cepet rampunge. Saliyane kuwi, Mbok Jilah isa thenguk-thenguk leyehan sinambi nonton teve.

Ora watara suwe, anake Mbok Jilah sing mbarep karo bojone teka neng omahe Rosi. Merga durung wiwit sarapan, Rosi ngajak kalorone sarapan pisan. Semono uga Mbok Jilah. Rosi ora tau mbedakne rewang lan majikan. Yen sarapan dheweke ya sameja karo Mbok Jilah.

Mung kala-kala Mbok Jilah ora gelem, isih alesan ngurusi iki kuwi. Ning Rosi ngerti, kuwi mergane Mbok Jilah sungkan. Dheweke yo ora tau meksa. Wis ben sakepenake Mbok Jilah. Idep-idep gantine wong tuwa neng ngomah.

Bubar sarapan, mergane dina Minggu, Rosi njur manggakne anak lan mantune Mbok Jilah. Lungguh neng kursi tamu. Mbok Jilah nggawakne wedang jeruk sereh sing anget-anget.

“Mbak Rosi, niki ngapunten sakderengipun. Kula kalih semah kula, ugi simbok kula pun kesalahan kalih panjenengan,” kandhane anake Mbok Jilah sing jenenge Bagus mbukani rembug. Rosi nyawang anake Mbok Jilah, bojone, lan Mbok Jilah genti genten. Katone sajak abot arep rembugan.

“Lha salah apa, Mas, Mbak? Ana apa iki, Mbok Jilah? Kok aku ora mudheng,” kandhane Rosi.

Mantune Mbok Jilah njur ngetokne bungkusan cilik saka tase, diseleh neng ngarepe Rosi. “Niki lho Mbak Rosi. Menika gelang emas panjenengan….,” kandhane mantune Mbok Jilah sing aran Nurma karo nyelehne bungkusan neng ngarepe Rosi.

Rosi kaget lan njur mbukak bungkusan. Isine beneran gelang emas. Gelange sing ilang watara setahunan kepungkur. Lha kok isa neng nggone mantune Mbok Jilah ki larah-larahe kepriye, kuwi sing Rosi ora mudheng.

“Nggih Mbak Rosi, ngapunten saderenge. Ampun ndadosne panjenengan kuciwa penggalih. Dados setahun kepengker, kula kalih semah kula kenging musibah. Kula dituduh nggelapne dhuit kantor watawis kalih dasa yuta. Padahal saestu, kula mboten ndamel lan mboten ngertos,” ceritane Bagus.

“Kantor geger lan duka dospundi pokokne selamine proses pemeriksaan, kula ken nggentosi riyin arta kalih dasa wau, yen mboten kula dikunjara. Kula wis etung wonten arta tigang yuta, nyilih adik kula angsal tigang yuta. Dados taksih kirang patbelas yuta. Lha rekane kula mung ajeng nembung simbok badhe nyuwung ngampil panjenengan. Ning simbok mboten kersa. Kula pun ajenge sowan langsung ngriki, kalih simbok nggih mboten diangsali. Nggih sampun.”

“Lha kok sesuk enjinge simbok criyos nemu gelang emas neng lurung ngajengan ndalem njenengan. Kula njur muni taksilihe masiya embuh niku duweke sinten. Simbok nggih ngolehi, wong mboten ngertos niku gelange sinten. Milane kula ndadak ngriki riyen nggo mendhet gelange niku. Saking ngriki, gelange langsung kula gadhekne nggo nggenepi dhuit kurangane. Pun niku kula bayarne kantor, kasuse lajeng diproses.”

“Alhamdulillah, kula mboten klentu. Dhuite rong puluh yuta pun dibalekne njur langsung kula damel mbalekne utange neng adik kula lan nebus gelang. Lha niki kula aturne kondur. Soale riyin nika dinten bentene simbok nggih kandha kula, yen gelang sing ditemu niku tibakne gelange panjenengan sing ilang. Wah, kula ewa sekel nika, Mbak Rosi. Arep matur bingung yen kon mbalekne, ora matur kok salah lan dudu barange.”

“Inggih, Mbak Rosi,” sambunge Nurma. “Akhire kula iguh teng bapakne lare-lare, menawi pun ditebus mawon matur blaka suta sakwontene teng penjenengan. Ngapunten, menika saestu ingkang kula aturne kalih semah kula.”

Rosi manggut-manggut. “Oalah… dadi gelangku ki pancen ilang copot yo, Mbok. Ning aku ora ngerti. Ya wes, ora apa-apa. Alhamdulillah kabeh wis tlesih. Mbok sarehne simbok sing nemokne, sasi iki gajimu takdobel loro.”

“Maturnuwun, Mbak Rosi,” kandhane Mbok Jilah karo ngepuk-ngepuk pundhake Rosi.  “Sajane kula ajrih pas ngertos njenengan opyak kelangan gelang. Lha dospundi, saderenge mboten ngertos trus pun dibeta anak kula digadhekne. Mengke yen dijaluk rak mboten wonten arta nggo nebus.”

“Ora apa-apa, Mbok. Sesuk maneh kandha bae apa anane. Dadi aku ora bingung,” kandhane Rosi. “Kanggo Mas Bagus Mbak Nurma, wis maturnuwun sanget kersa mbalekne. Taktampa lan ora perlu rumangsa salah. Pancen mbokmenawa lakone gelang kuwi pancen ngono. Nggo tetulung lan ngrampungne urusane sampeyan sakloron. Wis mangga diunjuk, ora apa-apa.”

“Nggih Mbak Rosi, maturnuwun sanget,” kandhane Bagus lan Nurani bebarengan.

Rosi njur langsung nganggo maneh gelang kuwi. Handphone Rosi muni. Bagus lan bojone milih pamitan sadurunge Rosi ngangkat telepon. Mbok Jilah reresik kamar tamu.

Rosi nampa telepon karo mesem nyawang gelange sing wes manggon neng tangan tengene maneh. Batine maturnuwun karo Gusti Allah lan muni yen rezeki pancen tetep balik utuh. ****

Please follow and like us: