Nikmati dan Syukuri Hidupmu ❤❤

Salah satu sesi foto Trip Magelang. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Nikmati dan Syukuri Hidupmu ❤❤
☝️ Nasihat itu klasik dan klise banget yach. Saking jadulnya, saya kadang mikir itu masih relevan nggak siy dengan kehidupan era milenial, gen z sekarang?
.
Tapi ya hidup memang nggak selalu mudah. Jadi apapun kondisimu, bersyukur dan menikmati hidup adalah kunci bahagia 🥰 Saya pun menerima bahwa itu cara mudah untuk “mengukur kemampuan dan kekuatan diri”, tidak hidup di luar batas.
.
Piknik bagi sebagian orang kebutuhan wajib. Bahkan ada yang membuat program khusus untuk pergi bergantian ke negeri-negeri jauh. Bagi yang lain, piknik itu sekedar pengisi waktu luang kalau pas banyak rezeki.
.
Bagi saya, piknik salah satu cara merecharge energi kreatif. Dan sesi bebas di lapangan bersama Ceria kali ini, merupakan cara baik untuk kesehatan jiwa raga; karena kami bisa lompat, lelarian, dan teriakan. Tidak lama siy, tapi saya yakin nggak cuma saya yang merasa terbebas dari “beban emosional” yang kadang tidak kita sadari 🙏
.
Bagi saya, piknik tidak harus jauh dan mahal. Saya juga tidak malu bilang kalau belum pernah ke sini, sini —meskipun dekat, dan banyak daerah jauh yang sudah saya kunjungi. Karena jauh dekat itu relatif. Dan khusus piknik, itu berkaitan pula dengan dana, waktu, kesehatan fisik mental, libur kerja, teman berangkat, dll yang setiap orang tidak sama kondisinya.
.
Jadi kalau kamu ngerasa pingin piknik dan budgetmu terbatas, ya pergi ke daerah atau tempat wisata yang dekat-dekat saja, yang belum pernah kamu datangi. Kalau kamu malez ribet urus printilan kruncilan piknik, ya ikut open trip atau kelompok wisata yang baik dan terjangkau. Pakai Ceria boleh dicoba. Eeh, saya nggak mengendorse lho ini. Saya ikut yo bayar. Jadi jangan minta gratisan sama saya 😀🙏
.
Pergilah ke daerah baru yang belum kamu datangi. Bergembiralah. Berbahagialah. Hidupmu terlalu wagu kalau hanya kamu habiskan untuk kerja, memperkaya orang lain, dan membahagiakan orang lain. Ingat, orang yang paling baik, paling setia, paling cinta padamu, ya dirimu sendiri. Baik-baiklah kepadanya ❤❤❤❤
.
.
Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Selamat Tahun Baru 2024

Aneka Makanan: Boleh Berharap Tahun 2024 Ada Banyak Kebaikan dan Sukacita

Tahun Baru 2024 ❤️

Saya sudah tidak ingat, sejak kapan berhenti dari kebiasaan keluar rumah dan ikut tradisi pesta perayaan tahun baru. 🙏

Jalanan yang penuh kendaraan dengan kelakuan yang tidak semua tertib lalu lintas. Warung kaki lima hingga resto bintang lima yang antri panjang. Parkiran yang jadi melebar ke mana-mana. Tempat wisata sungguh ekstrem kepadatannya.

Hotel harga standar pun berlipat. Tiket transportasi yang jadi berasa sah untuk berbeda harga. Areal-areal untuk pelepasan kembang api tahun baru pun, dijejali beragam anak bangsa entah dari mana saja. Di banyak tempat; jutaan keluarga, kelompok, komunitas, institusi, dll berasa harus sekali “bakar-bakar” demi merayakan tahun baru.

Saya menikmati semua itu hingga di tahun-tahun awal saya bekerja. Dengan banyak kawan dan sahabat. Lalu waktu berlalu, semua jadi seperti rutinitas yang tidak lagi baru. Perlahan durasi waktu saya berada di hiruk pikuk keramaian malam tahun baru berkurang, dan semakin berkurang.

Akhirnya saya merasa biasa aja berada di rumah tanpa keributan perayaan tahun baru. Bahkan tidak jarang, saya dkk masih berjuang merampungkan deadline yang tayang 1 Januari. Dan tentu saya baik-baik saja. Orang sekitaran saya oke-oke saja. Waktu terus berjalan dengan atau tanpa perayaan tahun baru.

Pun tahun ini, 30-31 Des 2023 dan 1 Jan 2024 saya masih banyak gaweyan. Ada duo bocil, Mail dan Fara yang sukses bikin rumah seperti kapal pecah. Bikin saya sempat tereak karena mereka ribut lelarian gedebukan hingga dini hari ini; sementara saya pas harus konsen menulis.

Perayaan? Kami makan berame, boleh menghabiskan makanan yang tersedia. Plus doa permohonan terbaik untuk masa satu tahun. Mohon maaf dan memaafkan secara batin kepada semua pihak, semua peristiwa baik buruk yang sudah terlewati. Dan tahun baru pun datang dengan suara jlederan kembang api dan riuh petasan di luaran yang rada jauh dari rumah.

Jadilah baik hari-hari di Tahun 2024 ❤️ Berikan semua keberlimpahan berkah, sehat, panjang umur, murah rezeki, damai dan bahagia untuk warga semesta ❤️ Selamat Tahun Baru 2024 ❤️❤️

#arikinoysanwulandari#ariwulandari#kinoysanstory

Please follow and like us:

Alhamdulillah, Terimakasih 2023; Lebih Happy 2024

Mawar Merah Muda: Simbol Harapan untuk Kehidupan yang Lebih Baik

Hiruk pikuk bikin resolusi sering menyertai saat sebagian kita sibuk persiapan perayaan Natal, libur sekolah-tahun baru, agenda tahunan; camp, piknik, kunjungan, dll.

Saya? Lama jadi freelancer bikin saya “kalem” atas hidup. Target-target ada, tapi lentur dengan beragam situasi. Yo mosok, saya wes bikin target buku untuk penerbit dengan sistem royalti yang embuh kapan terbit dan dapat berapa; tetep harus saya dulukan saat ada gaweyan biografi yang jelas rampung dibayar? Tentu saya harus kompromi😀🙏

Pun tentang jumlah buku terbit, eps script yang ditulis, film yang diurus, judul yang disupervisi, dll. itu bagi saya jadi kurang signifikan. Kenapa harus ribut dengan jumlah karya, kl misalnya 1 biografi yang dikerjakan 6 bulan bisa untuk hidup layak 5 tahun? 😀🙏

Toh saya pekerja keras–versi saya lho 😅 Kl dijadwalkan, ya selesai. Gaweyan dadakan itu saya sebut rezeki tak terduga 💝 Tetap dengan kontrol terbaik; ada manajer, editor, proof reader, sutradara, produser, dll yang gak bakalan yo wes saja, salah kudu dibenerin, gak bagus kudu diganti, dst. Itu bikin saya terbiasa “terbaik”. Kerja beneran. Kl malas, mager, cuti saja.

2023 alhamdulillah; 3 buku terbit, ratusan artikel pop, 5 artikel ilmiah, ngisi embuh berapa workshop lupa, ngurus script lbh banyak, supervisor proyek buku beragam yang bikin saya ke Papua, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa; kayak alap-alap, bolakbaliknya hectic. Stres itu kl gak biasa pergi. Apalagi? Umroh Istimewa ❤️ Memetik matoa, durian dari pohonnya. Watersport ❤️

2024? Gaweyan standar. Kontrak dengan satu brand besar Tiongkok dll kerja penulisan, insyaallah pasti bikin 2024 lebih banyak berkah dan happy ❤️

Jujurly saya gak pernah beneran bikin resolusi. Saya bekerja keras-cerdas, terbuka, berdoa, sedekah, dll yang versi saya jadi jalan kemudahan sesuai aturan Islam. Monggo yang mo bikin resolusi 2024, bikin yang realistis, yang bikin anda happy saat merayakan tahun baru 2025 nanti. Catatan ini di web pribadi saya sebagai perangkum satu tahun 2023 yang supersibuk. Semoga tahun 2024 dengan lebih banyak tangan, lebih mudah untuk aktif mengisi web pribadi ini.

Selamat berlibur. Selamat Tahun Baru 2024. Semoga kita semua berlimpah berkah di Tahun Naga Kayu 😀

#ariwulandari#arikinoysanwulandari#resolusi#kinoysanstory#tahunbaru#bersyukur

Please follow and like us:

Sok Sibuk atau Produktif?

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Jumat, 29 Juli 2022 dengan link sebagai berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2064008440/sok-sibuk-atau-produktif

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Sehari semalam waktu kita sama 24 jam. Toh urusan kita tidak pernah sama. Kalau urusan mengukur “produktif” bagi mereka yang bekerja menetap dengan gaji bulanan, biasanya jauh lebih mudah. Di setiap institusi pemerintah atau non pemerintah, umumnya sudah ada aturan dan ketentuannya. Standar untuk memeriksanya pun sudah ada batas minimal yang harus dipenuhi.

Bagaimana untuk mengukur produktivitas kerja freelancer atau mereka yang bekerja di ranah informal? Jawabannya tergantung pada masing-masing orang. Bagaimana cara seseorang mengukur produktivitasnya, cenderung berhubungan dengan karakter pribadi dan keperluan hidupnya.

Mereka yang memiliki keperluan hidup lebih banyak dalam hidupnya, bekerja sebagai freelancer justru akan memompa kemampuan atau kapasitas terbaiknya. Mereka akan menghasilkan banyak, sehingga hasil kerjanya dapat dikomersialkan. Arti dari dikomersialkan berarti dapat dikonversikan dengan uang atau sejenis yang dapat dipertukarkan secara ekonomis (emas, ternak, sawah, tanah, hak eksploitasi, dollar Singapura atau Amerika, hak kelola, dll).

Sebagai freelancer, menyadari bahwa saya bukan orang gajian tiap bulan —bisa berulang kali menerima fee, honor, royaltie, share hasil, dll dalam jumlah besar, tapi juga bisa dalam masa tertentu saya hanya mendapat penghasilan tidak besar. Oleh karena itu, manajemen duit saya kudu bener.

Bukan berarti saya tidak menikmati hidup lho. Hidup saya sangat baik dan happy sesuai dengan standar pribadi. Saya hidup sewajarnya sepatutnya orang hidup. Itu pun ya sudah jauh di atas rata-rata kebanyakan orang. Saya nyaris tidak berkonflik dengan pengaturan uang pribadi.

Sekurangnya kalau saya mau dolan jauhan sedikit, saya tidak perlu merasa bersalah melihat charge yang harus saya bayar. Atau kalau saya sedang kalap memborong kain-kain khas daerah (wastra nusantara), saya pun tidak ada perasaan piye-piye. Atau berhari-hari saya ngepos di hotel ya tidak merasa sayang.  Duit-duit saya sendiri, kalau nggak saya nikmati atau saya gunakan untuk sesuatu yang bermanfaat, kalau saya mati ya tidak saya bawa.

Dengan kondisi tersebut, dengan sadar saya kudu bikin aturan kerja secara mandiri. Pada awalnya tidak mudah. Apalagi sebelumnya saya bekerja menetap dengan sistem gajian dan bonus. Bekerja dengan ritme deadline yang ketat yang sudah ditentukan bersama, membuat saya sudah tinggal menjalani. Seperti berlari dari satu tayangan ke tayangan lain. Ya begitulah kalau mengurusi sinetron dan film di Multivision Plus Jakarta.

Saat melepaskan pekerjaan itu, saya seperti jobless dan limbung mau ngapain, bingung. Mulailah saya memetakan pekerjaan, klien, sponsor, relasi, dll yang berkaitan dengan penunjang kinerja saya. Dari sana saya pun mulai mengatur waktu. Saya memastikan jam hidup saya adalah 03 pagi sampai 23 malam waktu WIB. Lainnya untuk tidur. Dari sekian banyak waktu itulah yang saya gunakan untuk semua aktivitas. Termasuk urusan gaweyan.

Kalau di Jakarta saya terbiasa bekerja dari pagi sampai pagi lagi, maka kembali ke Jogja adalah menikmati hidup yang selow-selow. Jogja tidak bisa dibuat saklek on time seperti Jakarta. Lha prinsipnya saja alon-alon waton kelakon, pelan-pelan asal terlaksana. Mayoritas orang-orangnya tidak bisa diajak berlari kencang.

Kalau di Jogja, mengajak orang lembur dari jam 18 ke 20 WIB saja sulit. Ada saja alasannya untuk cepat pulang. Akhirnya, untuk gaweyan-gaweyan yang rawan lembur-lembur, saya mengajak mereka yang terbiasa dengan ritme kerja di Jakarta. Nggak rampung gaweyan, nggak bayaran! Jadi saya tidak perlu berbual mulut untuk memastikan deadline terpenuhi.

Seiring waktu, saya kembali menikmati hidup di Jogja yang santai. Segala kuliner dan aneka tempat wisata bisa saya nikmati dengan murah. Beberapa kali saya sering syok, dengan harga-harganya yang sering versi saya tidak masuk akal. Hidup di Jakarta dengan segala fasilitas kantor yang mudah, penghasilan besar sekaligus biaya-biaya hidup yang tidak ringan, membuat saya terbiasa dengan “harga mahal” itu.

Jadi, biaya makan saya saja di Jakarta, wis bisa untuk hidup dengan layak saya bersama anak-anak asuh yang semuanya sekolah. Istilahnya, saya bekerja tetap dengan standar hitungan Jakarta, tapi untuk biaya hidup di Jogja. Ya jelas makmur. Meskipun tentu, dalam beberapa hal saya tetap harus bekerja mengikuti ritme Jakarta. Kadang-kadang saya harus bekerja dari pagi sampai pagi beberapa hari demi mengawal pekerjaan-pekerjaan urgent yang kudu naik layar.

Di hari yang lain, saya bisa selow tenan. Rebahan, nonton, baca, ngrusuhi ponakan-ponakan saya, nginguk teman-teman, nyambangi panti asuhan dan anak-anak asuh, pesantren, ngopeni tanduran, atau ibut menata buku dan souvenir yang sudah rapi diganti formasi, dll aktivitas yang sama sekali nggak ada duitnya. Itulah yang menghidupkan saya.

Sibuk? Iya. Setelah kembali ke Jogja, saya ya lebih banyak menulis buku, mengurusi anak-anak sekolah penulisan, dll yang tidak terlalu menguras energi fisik dan mental. Sekurangnya sekarang saya sudah ada 125 judul buku yang terbit di penerbit mayor.

Terbit di penerbit mayor itu artinya semua naskah tersebut sudah lolos seleksi standar penerbitan. Saya tidak perlu bayar biaya produksi, tinggal mengawal saja sampai terbit dan beredar di toko buku offline maupun online. Seterusnya saya perlu membantu promosi dengan maksimal, dan tiap enam bulan terima royalti.

Dengan 125 judul buku tersebut saya tulis dalam masa 20 tahun sejak saya mempublikasikan buku saya pertama di tahun 2002. Bukan dadakan langsung jleb ujug-ujug sebanyak itu. Sedikit demi sedikit. Kadang satu, dua, tiga, lima, atau maksimal dalam satu waktu bersamaan terbit enam judul buku.

Sekarang dengan adanya pembaruan untuk membuat semua buku akan dialihkan dalam versi digital atau ebook, jelas potensi pasar yang luar biasa. Kalau secara kasar dibilang, tidak perlu bekerja lagi pun, saya wis bisa hidup layak di Jogja ini. Ya karena royalti buku akan dibayarkan terus menerus selamanya —selama buku masih terjual. Lha kepenak to dadi penulis buku? 😀  

Tapi kan hidup kalau mung thenguk-thenguk ya nggak produktif. Sehari-hari saya tetap bekerja. Menulis, mengajar, mengawal kelas, mendampingi penulis, mengikuti berbagai program kerja PH, dll. Semuanya saya pilih yang menyenangkan. Ada yang (tidak/belum) ada duitnya, ada yang duitnya tidak banyak, ada yang duitnya banyak, sering pula ada duitnya sangat banyak. Saya bersyukur dengan semua berkat Tuhan.

Sebagai penulis yang sering dilabeli produktif dengan jumlah buku banyak hingga saat ini, saya hanya tersenyum. Kalau dihitung jumlah, mungkin iya produktif. Tapi apakah bagi saya ukuran produktif itu hanya jumlah karya baru?

Tentu tidak. Bagi saya pribadi, produktif berarti menghasilkan uang secara riil dari hasil karya. Itu berarti harus banyak buku terjual, sinetron yang rating, film yang box office, share hasil yang banyak, dll. sehingga menghasilkan uang yang melimpah.

Kalau tidak, berarti produktivitas itu hanya semu. Saya sebagai freelancer profesional berhitung berapa banyak uang yang dihasilkan. Dengan demikian, ada lebih banyak waktu untuk ongkang-ongkang tanpa bingung uang.

Jadi, kalau kamu merasa seharianmu sudah sibuk sedari bangun tidur sampai mau tidur —rasanya untuk selaw-selaw tidak bisa, coba cek aktivitasmu. Coba sekali saja, data kegiatanmu dalam satu hari penuh. Mungkin saja waktumu banyak terbuang untuk hal sia-sia.

Misalnya terlalu ngurusi kehidupan orang lain. Scrolling medsos tanpa henti tanpa tujuan. Nonton video-video dan cuplikan-cuplikan pendek yang hanya sekian detik, tahu-tahu sudah sejam. Bolak-balik update status di sosmed padahal nggak penting-penting amat. Bagian dari kaum juliders dan nyinyirens yang mengganggu perasaan orang lain. Terlibat dalam gosip dan perdebatan —baik di dunia nyata atau sosmed; ngobrol ke sana sini tanpa arah; dll yang saya yakin setiap pembaca bisa memetakan dengan baik.

Saya kalau pas selow, bisa mung rebahan dengan nonton saja seharian. Apalagi sekarang ada platform film murah-murah yang bisa diakses dari rumah. Asal internetmu lancar jaya, sehari semalam mo nonton ya bisa. Ini kelihatannya tidak produktif, bagi saya ya tetap produktif. Begitu rampung nontonnya, saya akan bikin ulasannya untuk media, PH, klien atau sponsor. Dan tentu sajaa dibayar, dapat duit.

Kalau berkaitan dengan produktif, saya yakin setiap orang bisa memetakan kemampuan riilnya. Kemampuan ini tidak hanya keahlian lho ya. Termasuk di dalamnya kesempatan, waktu, akses ke sumber daya, jejaring kerja, dll yang bisa menjadi sarana percepatan produktivitas.

Misalnya sampeyan ibu rumah tangga dan sudah sepakat dengan pasangan untuk ngurusi rumah dan anak-anak. Sementara suami bekerja keras memenuhi semua kebutuhan keluarga. Sebenarnya sampeyan punya skill menulis, menggambar, melukis, fotografi, dll. yang bisa dikomersialkan. Karena kesibukan mengurusi anak-anak dan rumah tangga itu ibaratnya 27 jam sehari, ya tidak usah ngoyo ingin  produktif seperti mereka yang profesional bekerja di bidang tersebut.

Dalam kasus-kasus seperti ini, saya biasanya menyarankan untuk membuat jadwal  sehingga kemampuannya tidak hilang. Misalnya bisa menulis, ya isi saja blog pribadi setiap hari secara rutin. Tidak usah memikirkan hal besar, ambil saja dari sesuatu yang dialami atau dilakukan. Ini merupakan hal yang mudah. Selain gampang dilakukan, juga bisa menjadi sarana untuk pereda stress menghadapi keriuhan anak-anak super yang kadang kelakuannya bikin lelah jiwa raga.

Nah, dari ulasan saya di atas silakan menghubungkan dengan kondisi riil masing-masing. Silakan ngecek peta kapasitas atau kemampuan dan tentukan target yang wajar sesuai dengan situasi dan kondisi. Karena versi saya, produktif berkarya sekalipun kalau nggak menikmati hidup, ya tidak ada gunanya. Hidup kalau hanya untuk grundelan urusan gaweyan ya jelas mengganggu.

Pilihlah apa saja yang memungkinkan sampeyan semua agar produktif versi masing-masing. Sungguh tidak masuk akal kalau ada yang berteriak atau bilang, nggak bisa apa-apa. Yach, kecuali mereka yang sudah terbaring dengan begitu banyak selang pembantu hidup di ruang ICU, baru itu benar.

Kalau anda sehat, keluarga baik-baik, terdidik, punya lingkungan yang baik, lalu bilang tidak bisa apa-apa, saya tidak percaya. Mungkin sampeyan tipikal orang yang sok sibuk dan tidak mau produktif. Sampeyan pilih yang mana?. ****

Please follow and like us:

Dapat Rezeki Kok Protes…!

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, 21 Juli 2022 dengan link berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063938749/dapat-rezekikok-protes

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Beberapa waktu lalu kampus saya mengadakan acara jalan sehat dalam rangka ulang tahun yang berhadiah doorprize. Namanya juga doorprize, jelas untung-untungan.  Mereka yang beruntung sajalah yang mendapatkannya. Doorprizenya siy macam-macam. Mulai dari hadiah remeh temeh sperti voucher belanja 25 atau 50 ribu sampai yang besar; TV 32 inch, mesin cuci, sepeda bermerek, dll.

Tentu setiap orang yang ikut jalan sehat dan mendapatkan kupon undian berharap mendapatkan hadiah yang besar-besar itu. Kalau bisa merekalah yang mendapatkan TV, mesin cuci, sepeda, dll. Sungguh hal yang manusiawi. Saya pun kalau bisa ikut mendapatkan hadiah yang besar.

Sebenarnya doorprize yang dibagikan cukup banyak. Kalau saya tidak salah menghitung, ada sekitar 100-an item. Namun karena peserta jalan sehat sekitar 200 orang, maka dapat dipastikan bahwa 100 orang lainnya tidak akan mendapatkan doorprize.

Itulah sebabnya kalau saya mempunyai hak suara dan ikut memutuskan kegiatan seperti ini, saya meminta panitia untuk menghitung jumlah seluruh peserta. Lalu jumlah hadiah doorprize harus sama dengan jumlah peserta atau lebih. Dengan demikian, semua orang yang berpartisipasi mendapatkan hadiah doorprize. Jadi, semua orang yang ikut serta dapat bergembira dan bersuka cita bersama.

Mulailah sesi pengundian doorprize dimulai. Hadiah-hadiah kecil dibagikan lebih dulu. Saya duduk saja di lantai sambil menikmati munyukan; kacang rebus dan pisang rebus yang disajikan. Lalu seseorang di dekat saya mendapatkan hadiah. Nomor kupon undiannya dipanggil untuk maju dan mengambil hadiah. Tentu hadiahnya masih yang kecil.

Saya tidak tahu wujud hadiahnya karena dibungkus. Tapi yang saya ingat adalah ekspresi si perempuan yang dapat hadiah itu. Lepas dari depan dan hendak duduk kembali, dengan muka masam dibantingnya hadiah tersebut. “Aku kan mau mesin cuci. Kok malah dapat ginian. Huuh…!”

Si Mbak tadi bukannya bersyukur alhamdulillah dapat hadiah, tapi malah protes. Karena hadiahnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Tanggapan orang-orang di sekitarnya pun beragam. Ada yang tertawa. Ada yang mengatakan suruh bersyukur karena dirinya saja tidak mendapat doorprize. Ada yang diam dan tidak menanggapi. Ada yang bilang kalau dia tidak mau, biar hadiahnya buat dirinya saja.

Apakah kamu bisa menghubungkan peristiwa di atas dengan sesuatu? Ya seperti itulah kebanyakan dari kita. Tuhan sudah memberi segala sesuatu kepada kita, bahkan yang tidak kita minta pun diberikan. Tapi alih-alih mensyukurinya, kita lebih sering protes dan cenderung marah-marah. Kita merasa Tuhan tidak adil. Karena Tuhan tidak memberikan seperti apa yang kita inginkan.

Ya, kita sering marah, kesal, kecewa, dll emosi negatif karena kita menginginkan sesuatu yang tidak dikehendaki Tuhan. Jadinya hidup kita begitu kemrungsung, ingin ini itu tidak pernah selesai. Kita sibuk mengejar semua hal yang kita inginkan, sampai lupa menikmati dan mensyukuri segala sesuatu yang sudah ada di depan kita.

Dalam hidup ini, keinginan kita yang tidak terkontrol itulah yang menyebabkan banyak masalah. Ada banyak orang terlibat utang berkepanjangan demi gengsi yang tidak pernah membuatnya puas. Ada banyak orang korupsi demi memenuhi ambisinya untuk dianggap sebagai orang kaya raya. Ada banyak kejahatan yang tidak beradab demi memenuhi nafsu angkara murka yang tidak pernah ada titik akhirnya.

Kesadaran bahwa keinginan seseorang tidak akan pernah terpuaskan, kecuali dirinya sendiri yang menghentikan itulah, yang membuat saya menjadi lebih sabar. Saya tidak lagi tergoda untuk iri dengki dengan rezeki orang lain. Saya lebih banyak menikmati hidup dengan segala yang sudah saya miliki. Alhamdulillah, hidup menjadi terasa penuh kebahagiaan dan hal baik.

Mengejar yang belum ada? Iya, pasti.  Karena orang hidup harus memiliki tujuan dan target-target agar bersemangat menyongsong hari baru. Saya pun berniat keras mencapai tujuan dan target tersebut dengan kapasitas terbaik saya.

Ketika saya sudah melakukan usaha mati-matian dengan I do my best, ternyata Tuhan tidak memberikannya, saya kalem saja. Oh, bukan rezeki atau belum rezeki. Semuanya menjadi ringan dan tidak berpikir untuk melakukan segala cara demi mendapatkan rezeki yang belum tentu baik bagi saya. Karena saya yakin, kalau sudah rezeki ya pasti akan sampai ke tangan saya. Kalau tidak rezeki, dikejar siang malam pun tetap saja melicin lepas dari genggaman saya.  

Hal seperti ini mudah dikatakan, mudah dituliskan. Tapi percayalah, tidak mudah dilakukan. Tidak segampang membalik tangan untuk menjalaninya. Saya belajar terus menerus untuk berusaha “ikhlas” dengan kehidupan. Ini merupakan proses pembelajaran seumur hidup.

Ada masanya juga saya begitu kesal dan marah, bahkan iri dengki dengan pihak lain yang versi saya —tidak bekerja maksimal, tapi mendapatkan banyak. Atau mereka yang terlihat tidak bekerja, tapi hartanya tidak pernah habis tujuh turunan.

Manusiawi? Wajar? Jelas. Ketika saya berusaha mengulik lebih banyak dan lebih dalam, oh, ternyata mereka melakukan banyak hal yang tidak saya tahu. Mereka berperan serta lebih bermanfaat bagi banyak orang daripada saya. Ketika menyadari hal itu, saya menjadi lebih bisa menerima keberuntungan orang lain.

Hidup kadang tidak selalu sesuai logika manusia. Apalagi kalau kita tinggal di lingkungan yang hedonis dan menakar segala sesuatu dengan harta benda. Mereka yang tidak kuat mental, akan cenderung mengikuti arus. Mereka akan mengusahakan dengan segala cara demi bisa pamer harta benda. Dan yang begini ini, tentu ada harga atau biaya yang harus dibayar.

Bagi mereka yang mampu, tentu oke saja. Kalau tidak mampu dan tidak kuat mental, ya pasti akan berusaha bagaimanapun caranya agar terlihat glamour dan mewah. Mereka bahkan tidak peduli kalau utangnya pecicilan di mana-mana. Jadilah saat gajian besar pun, mereka ini tetap tidak bisa tertawa bahagia.

Mengapa? Ya karena gajinya hanya numpang lewat. Begitu masuk rekening, sudah langsung didebet untuk aneka cicilan demi membayari hidupnya agar tampak mewah atau glamour tadi. Orang lain yang menyelamati atas kepemilikan harta kamu yang baru, apakah mereka ikut serta membayari cicilan kamu? Jelas tidak. Bahkan, mungkin mereka sudah tidak ingat lagi dengan harta barumu yang dia selamati. Sementara cicilanmu? Masih berpanjang tahun baru akan lunas.

Hidup adalah pilihan. Ada orang yang hidupnya sederhana, tapi tenang damai. Anak-anak mereka pun sekolah tinggi dan mapan. Mereka bahkan masih bisa membantu kiri kanan dengan banyak kebaikan.

Sementara ada orang yang hidupnya mewah glamour, ternyata tiap hari pusing memikirkan cicilan dan kartu kreditnya. Kadang harus ngutang kiri kanannya untuk nomboki utang lain yang jatuh tempo. Bekerja pun sudah digadaikan demi membayari utang-utang yang digalinya. Jangankan memikirkan untuk bersyukur dan menikmati hidup, mereka yang begini pasti akan selalu beributan cara “meraup banyak uang”.

Saya dengan banyak pengalaman membayar utang orang tua, termasuk yang emoh memikirkan utang dan cicilan. Kalau saya mampu ya beli. Kalau belum mampu ya tidak beli atau cari substitusinya. Prinsip itulah yang membuat hidup saya anteng, tenang damai. Seberapapun rezeki yang saya terima, saya syukuri dengan sukacita.

Bagi saya pribadi, bebas dari utang itu rasanya merdeka. Ya tentu, dalam kehidupan selalu ada masalah dan ujian. Terlebih kalau ada orang yang iyig mulai itung-itungan harta kekayaan. Belum lagi menghadapi kaum nyinyirens dan juliders yang ada di mana-mana.

Menghadapi mereka itu kalau tidak kuat mental, ya kolaps lho kita. Bayangkan, saya saja pernah harus menghadapi CS (customer service) bank yang iyig. Sudah jelas saya mengambil uang tabungan  —yang karena jumlahnya banyak, harus ada catatan penggunaan. Jadi ya saya catat: membeli rumah (tentu dengan alamat yang jelas). Dan embuh piye waktu itu kok dari teller saya dipindahkan ke CS.

Nah, si CS ini berulang kali meminta saya untuk tidak mengambil tabungan dan mengganti pembelian rumah dengan KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Wah, manis tenan bujuk rayunya.

“Bu Ari kan bisa memakai uang ini untuk keperluan lainnya. Sudah bisa dapat rumah dengan mendebet 6 jutaan setiap bulan. 20 tahun, nanti tahu-tahu lunas sendiri. Saya uruskan sekarang ya?! Bu Ari tinggal tanda tangan dengan jaminan sejumlah tabungan yang dibekukan.”

Dalam hati saya, mbahmu itu lunas sendiri. Saya berhitung cepat, berapa banyak uang hasil “kerja keras” yang harus saya setorkan ke bank kalau saya ambil KPR? Hampir 400% selama 20 tahun. Tentu saja saya menolaknya. Awalnya saya masih sabar, lama-lama habis waktu.

“Mbak, saya ini mengambil uang tabungan sendiri. Riwayat penabungan saya sedikit demi sedikit juga bisa dilacak dari transaksi bank. Saya mau KPR kalau harganya sama dengan harga sekarang, tanpa bunga, tanpa penalty. Kalau begitu, saya urus sekarang. Kalau tidak, keluarkan uang itu. Sampeyan menyalahi aturan melayani nasabah dengan ramah, cepat, praktis, efektif dan efisien.”

Akhirnya saya pun “dilepaskan” untuk mengambil uang tabungan. Petugas kok iyig. Saudara saya ngakak pas saya cerita hal ini. Kalau saya mau KPR, dia kan dapat komisi. Banknya dapat pendapatan rutin selama sekurangnya 20 tahun. Iya betul. Mereka itu sebenarnya memeras keringat kerja keras kita puluhan tahun dengan balutan kosakata yang aduhai manis sekali. Kita saja yang sering tidak berdaya menghadapi tuntutan gaya hidup, karena pemikiran yang kurang pas.

Saya pun kadang merasa hidup saya kok mung begitu-begitu saja ya?! Setelah saya hitung-hitung lagi, ya tidak begitu juga. Selalu ada penambahan-penambahan yang karena sedikit demi sedikit, menjadi tidak terasa. Saya bekerja dengan tenang, tidak ngoyo karena tidak ada tuntutan membayari cicilan atau utang.  

Nah, kamu jenis penerima rezeki yang mana? Yang selalu protes kalau dapat rezeki karena tidak sesuai dengan keinginanmu? Atau mensyukuri dan menikmati semuanya yang ada? Silakan cek diri masing-masing.

Mungkin saja, hidupmu selalu banyak masalah karena kamu kurang mensyukuri semua yang sudah ada. Kamu terlalu sibuk mengejar yang belum ada. Hidup adalah pilihan. Kalau pilihanmu tidak membuatmu bahagia, sepertinya kamu perlu melakukan evalusi mendalam. ****

Please follow and like us:

Ritual Sebelum Pernikahan Orang Jawa

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 30 Juli 2022 dengan link sebagai berikut.

https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4314014904/ritual-sebelum-pernikahan-orang-jawa

NONGKRONG.CO —Pernikahan merupakan hal yang penting bagi orang Jawa.  Tradisi yang berlangsung berkaitan dengan pernikahan dalam adat Jawa sangat banyak. Tahapan sebelum pernikahan di kalangan orang Jawa ada dua macam, yang tidak menggunakan ritual dan yang menggunakan ritual.

Tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang tidak menggunakan ritual ada tiga macam, yaitu (1) pembicaraan pernikahan, (2) pembentukan saksi-saksi, dan (3) pembentukan panitia hajatan. Ketiga tahapan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama, Pembicaraan Pernikahan.

Pembicaraan pernikahan pada prinsipnya merupakan pertemuan kedua keluarga yang akan menikahkan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Keluarga mereka bertemu, berkenalan secara resmi, melakukan prosesi lamaran, hingga pembicaraan lain yang berkaitan dengan pernikahan putra putri mereka. Ubarampe dan kelengkapan dalam kegiatan ini sesuai kemampuan masing-masing. Ada yang sangat praktis modern, ada pula yang semuanya menggunakan pakaian adat Jawa.

Kedua, Pembentukan Saksi-saksi.

Keberadaan saksi-saksi pernikahan merupakan hal penting. Pembentukan saksi-saksi ini adalah permintaan orang-orang di luar keluarga, bisa tetangga dekat atau kerabat dekat untuk menjadi saksi prosesi pernikahan.

Pembentukan atau penentuan saksi-saksi ini tidak memerlukan ritual. Hanya permintaan dan kesediaan sebagai saksi kegiatan sebelum pernikahan. Kesaksian diperlukan pada empat acara, yaitu (a) srah-srahan, (b) peningsetan, (c) asok tukun, dan (d) gethok dina.

Keempat acara ini biasanya memerlukan ritual, terutama pada acara srah-srahan. Srah-srahan adalah penyerahan perlengkapan sarana dan prasarana untuk pernikahan, seperti cincin, makanan tradisional, pakaian wanita, uang, perhiasan, bahan pangan, dll sesuai aturan dan kesepakatan.

Peningsetan adalah acara tukar cincin antara pihak calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Asok tukon berarti menyerahkan sejumlah uang kepada calon mertua dari pihak calon pengantin laki-laki. Gethok dina adalah menetapkan hari untuk akad nikah dan resepsi dan lain-lain yang berkaitan.

Ketiga, Pembentukan Panitia Hajatan.

Pembentukan panitia hajatan bertujuan untuk memperlancar acara mantu. Panitia ini biasanya melibatkan keluarga dan orang dekat dari kedua belah pihak calon pengantin. Kalau acara mantunya besar-besaran, panitia hajatan ini dibentuk secara khusus di luar pihak keluarga atau orang dekat dari kedua belah pihak.

Itulah tiga tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang tidak menggunakan ritual. Sementara tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang menggunakan ritual ada sepuluh, yaitu (1) pasang tratag, (2) membuat kembar mayang, (3) pasang tuwuhan, (4) sungkeman, (5) siraman, (6) adol dawet, (7) potong tumpeng dan dulang pungkasan, (8) menanam rambut dan melepas ayam, (9) midodareni, dan (10) srah-srahan.

Pertama, Pasang Tratag.

Pasang tratag berarti memasang tenda di depan rumah dengan tarub dan hiasan alami di depan pintu masuk. Pemasangan ini sebagai penanda bahwa keluarga tersebut sedang merayakan pernikahan.

Orang Jawa umumnya menggunakan janur lengkung kuning. Janur lengkung kuning ini menandakan permohonan kesejahteraan dan keberkahan bagi calon pasangan pengantin dan keluarga besarnya. Selain itu sebagai perwujudan syukur kepada Tuhan bahwa anak-anak mereka telah dewasa dan akan menikah.

Kedua, Membuat Kembar Mayang.

Kembar mayang dibuat dari akar, batang, daun, buah, dan bunga. Daun kembar mayang ditekuk dan dimasukkan ke batang pisang. Bentuknya mirip gunung, cambuk, payung, kering, burung, dan belalang. Kembar mayang merupakan lambang kebijaksanaan dan motivasi hidup bahagia.

Ketiga, Pasang Tuwuhan.

Pasang tuwuhan atau menanam buah-buahan di dekat tempat siraman. Buah yang ditanam biasanya pisang raja satu tundun. Pasang tuwuhan melambangkan tanda kemantapan pasangan pengantin dalam pernikahan. Selain itu juga ada harapan agar pasangan pengantin segera memiliki anak.

Keempat, Sungkeman.

Ritual sungkeman berarti permohonan doa restu dari calon pengantin kepada orang tua kedua belah pihak. Sungkeman juga merupakan penanda terimakasih anak kepada orang tuanya telah membesarkan dan mendidik mereka sebelum menikah. Ritual ini biasanya ditandai dengan pemberian sesuatu dari calon pengantin kepada orang tua sebagai bukti cinta.

Selain permohonan doa restu dan pemberian tanda cinta, acara sungkeman juga diikuti dengan permohonan maaf atas segala kesalahan baik dari pihak anak maupun orang tua. Permohonan maaf ini demi memperbaiki hubungan orang tua dan anak yang mungkin saja ada kesalahan.

Kelima, Siraman.

Siraman berarti mandi sebelum pernikahan. Siraman ini dilakukan oleh pasangan pengantin. Siraman dilakukan dengan pakaian adat lengkap dengan beberapa aturan khusus. Air yang digunakan untuk siraman berasal dari tujuh sumber mata air dengan tujuh bunga yang harum; seperti mawar, melati, kenanga, kaca piring, sri tanjung, magnolia, dan wijaya kusuma.

Air untuk siraman dicampur dengan semua bunga yang telah dipersiapkan dan diendapkan sekurangnya 1 malam agar wanginya menguar kuat. Siraman dilakukan oleh tujuh orang keluarga dekat sang pengantin. Terakhir siraman dilakukan oleh orang tua pengantin.

Siraman ini merupakan simbol pembersihan diri dari segala kekotoran jiwa raga. Dengan jiwa raga yang bersih dan suci, pasangan pengantin diharapkan dapat memulai kehidupannya dengan baik dan bahagia.

Keenam, Adol Dawet.

Ritual adol dawet dilakukan oleh orang tua kedua calon pengantin. Dawet adalah salah satu minuman tradisional Jawa yang menyegarkan. Orang tua pengantin harus menjual dawet tersebut kepada para hadirin atau tamu undangan.

Uang yang digunakan dalam acara ini adalah kreweng atau mata uang dari pecahan genting tanah liat. Semua tamu harus membeli dawet yang dijual, tidak boleh ada tamu yang terlewat tidak membeli dawet tersebut.

Adol dawet merupakan simbol dari kesejahteraan dan cara orang Jawa memenuhi keperluan hidupnya. Berdagang merupakan simbol pekerjaan yang bisa dilakukan oleh siapa saja untuk mandiri.

Ketujuh, Potong Tumpeng dan Dulang Pungkasan.

Pada acara potong tumpeng dan dulang pungkasan ini, harus ada nasi tumpeng lengkap dengan ingkung ayam. Nasi tumpeng nantinya akan dipotong dan dimakan bersama-sama (kenduri) para undangan.

Sementara bagian nasi tumpeng yang dipotong akan diberikan kepada orang tua kedua pengantin untuk disuapkan kepada calon pengantin. Ini adalah simbol tanggung jawab orang tua terakhir kali sebelum putra putri mereka menikah.  

Kalau sebelum menikah calon pengantin lelaki dan calon pengantin perempuan masih jadi tanggungan orang tua, setelah menikah mereka harus mandiri. Mereka tidak lagi disuapi oleh orang tuanya, tetapi harus mengarungi hidup baru secara mandiri. Mereka harus bertanggung jawab pada kehidupan keluarga barunya.

Kedelapan, Menanam Rambut dan Melepas Ayam.

Kedua pengantin dipotong sebagian rambutnya. Rambut ini akan ditanam di tanah. Tujuan dari penanaman rambut ini adalah menjauhkan hal buruk yang mungkin terjadi dalam kehidupan pernikahan.

Berikutnya, orang tua pengantin akan melepaskan ayam hitam secara bebas. Ayam hitam yang dilepaskan hidup bebas ini merupakan simbol keikhlasan orang tua melepaskan anaknya untuk menikah. Anak-anak yang sebelumnya hidup dalam buaian orang tua, kini telah dilepaskan untuk hidup mandiri dalam pernikahan.

Kesembilan, Midodareni.

Midodareni merupakan ritual pelepasan masa lajang bagi anak perempuan. Pada saat ini, calon pengantin perempuan tidak boleh bertemu dengan calon pengantin laki-laki. Waktu yang ditentukan adalah jam 18 sampai 24 WIB atau dari lepas Maghrib sampai tengah malam.

Biasanya di rumah pengantin perempuan, si calon pengantin perempuan didampingi oleh ibunya dan para sesepuh. Mereka memberikan nasihat dan petuah tentang kehidupan setelah pernikahan. Tujuannya memberikan bekal dan pandangan yang cukup bagi calon pengantin perempuan yang akan menikah.

Kesepuluh, Srah-Srahan.

Srah-srahan berarti menyerahkan berbagai barang keperluan kehidupan dari calon pengantin lelaki kepada calon pengantin perempuan. Bentuk srah-srahan ini sangat beragam, dan biasanya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Dalam kebiasaan orang Jawa modern, barang srah-srahan ini sering pula dibeli bersama-sama oleh pihak pengantin lelaki dan perempuan dengan tanggungan si pihak lelaki. Pihak perempuan hanya menentukan jenis barangnya, agar saat diserahkan nanti semuanya bermanfaat dan tidak ada yang terbuang.

Srah-srahan dilakukan oleh pihak calon pengantin lelaki kepada pihak calon pengantin perempuan pada malam midodareni. Adanya srah-srahan ini menandakan bahwa pihak pengantin lelaki sudah menerima tanggung jawabnya atas pengantin perempuan yang akan dinikahinya. Mereka sudah siap menjalani kehidupan berumah tangga.

Seperti itulah tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang menggunakan ritual. Tidak setiap keluarga yang menikahkan anaknya menggunakan seluruh ritual tersebut. Namun secara umum, mereka yang masih memegang tradisi Jawa akan menjalankan keseluruhan ritual tersebut. Selain sebagai tanda syukur atas pernikahan putra putrinya, juga semangat untuk ikut melestarikan tradisi Jawa.

Catatan:

Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. atau Ari Kinoysan Wulandari adalah peneliti budaya, dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

Please follow and like us:

Hargai Waktumu…!

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, tanggal 7 Juli 2022 dengan link berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063838683/hargai-waktumu

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Suatu hari, saya duduk menulis di suatu kafe. Tentu dengan makanan dan minuman yang sudah terhidang di meja. Saya tidak sedang menunggu orang. Tiba-tiba seorang ibu datang dan bertanya kepada saya, apakah dia bisa bergabung di meja saya.

Saya mempersilakannya, meskipun sempat menoleh kiri kanan dan melihat meja-meja yang masih kosong. Mestinya dia bebas memilih meja di ruangan itu. Masih pagi. Sang ibu mengatakan ia tidak terlalu senang menunggu sendirian. Saya pun maklum, dan meneruskan pekerjaan saya menulis.

Sang ibu bertanya lagi, apa yang saya kerjakan. Daripada nanti ditanya-tanya lagi, saya pun memperkenalkan diri secara lengkap. Nama, aktivitas, domisili, dan karya-karya. Saya pun memberikan alamat sosmed kepadanya agar dia dapat mencermati tulisan-tulisan saya. Lalu dengan meminta maaf, saya mengatakan sedang bekerja dan harus merampungkan deadline.

Ibu paroh baya yang kelihatan berkelas dan berduit itu pun menerima perkenalan saya. Dia juga menyebutkan nama dan tempat tinggalnya. Lalu dia sudah asyik dengan handphonenya. Mungkin memeriksa tulisan-tulisan dan karya-karya saya. Saya pun tenggelam dalam penulisan. Tidak memperhatikan apa yang dilakukannya.

Saya sudah menulis sekira tujuh halaman —berarti lebih kurang satu jam saya menulis; ketika mendengar si ibu menelpon dengan nada tidak senang. “Saya sudah menunggu lama. Sebaiknya kita batalkan saja rencana kerja sama. Kalau ada tagihan karena diskusi atau pembicaraan sebelumnya, silakan kirim ke asisten saya. Biar nanti ditransfer. Terimakasih.”

Saya tidak tahu dia berbicara dengan siapa dan dengan urusan apa. Dia pun berkata kepada saya, “Mbak Ari, saya minta waktu sebentar,” begitu katanya.

Singkat jelas, dia menceritakan bahwa sebenarnya dia sedang menunggu tim penulis yang akan mengerjakan buku biografinya. Sebelum-sebelumnya mereka sudah bertemu dengan asistennya dan mengirim format kerja sama. Hari ini mereka berjanji akan ketemu langsung dengan dirinya. Mereka yang menentukan jadwal dan dia sudah oke, tidak meminta pergantian waktu dan tempat. Nyatanya mereka yang mangkir janji tidak tepat waktu. Kalau urusan waktu saja tidak bisa menepati janji sendiri, ia khawatir bukunya tidak akan selesai tepat waktu.

Karena dia bertemu saya yang juga penulis, dan versinya dia cocok dengan gaya tutur saya, dia bertanya apakah saya bersedia menuliskan untuk dirinya. Sebenarnya saya sudah menolak halus dengan mengatakan fee saya cukup banyak dan tidak bisa ditawar. Saya lupa, bagi orang-orang tertentu, harga itu menjadi nomor sekian setelah cocok dan percaya.

Begitulah. Saya menerima gaweyan itu. Menyelesaikan dalam satu tahun. Menerima bayaran yang cukup besar dengan kerja yang mudah. Saya sebut mudah, karena sang ibu ini sangat disiplin, runtut berpikir, dan jelas apa yang diinginkannya dari suatu tulisan sejak awal hingga akhir. Saya ibaratnya tinggal mengawal ceritanya dalam versi tertulis dengan mengalir saja.

Itu adalah kerja dadakan saya karena rajin mojok nongkrong nulis di kafe. Dampak kebiasaan kurang baik saya, menulis berpindah dari satu tempat ngopi ke tempat ngeteh, atau lainnya. Kalau dihitung-hitung operasionalnya menjadi cukup banyak. Saya mengenali karakter kebosanan yang cukup tinggi, jadi ya biasa saja bagi saya.

Dalam pengerjaan gaweyan menulis, biaya itu sudah saya masukkan dalam hitungan charge yang harus dibayar oleh klien. Kalau tidak ada gaweyan, baru itu jadi masalah. Dan betul, selama pandemi yang mengharuskan kita kerja dari rumah itu, saya beberapa kali terkena psikosomatis. Masalah psikologis karena kebosanan yang akut berada di satu tempat yang sama pada waktu yang lama.

Dari apa yang saya ceritakan tersebut, terlihat jelas kalau saja si Tim Penulis yang pasti sudah repot sebelumnya bikin penawaran, proposal, dll nego dengan asisten si ibu itu tepat waktu; pasti pekerjaan itu tetap akan jadi milik mereka. Karena telat dan entah apapun alasannya, gaweyan bernilai ratusan juta itu melayang begitu saja.

Kejadian itu, menjadikan saya lebih menghargai waktu. Lebih teliti menggunakan waktu. Kalau menurut saya tidak akan menambah kontribusi kebaikan, lebih baik saya tinggalkan. Selain itu, mungkin karena lingkungan keluarga saya adalah wiraswasta, pengusaha, pekerja informal; jadi disiplin waktu itu sudah jadi urusan masing-masing. Kalau saya tidak disiplin menulis, ya kapan saya dapat duit. Kalau saya tidak tepat waktu mengirim karya, ya pasti lewat jadwal publikasi. Sedari kecil, saya dilatih untuk memeriksa jadwal sendiri dan mematuhinya atau menanggung konsekuensinya.

Masuk kampus biru, ya mau tidak mau saya terimbas dengan kedisiplinan lingkungan. Jarang sekali di tempat ini undangan jam sepuluh tidak dimulai jam sepuluh. Karena undangan jam sepuluh, semua sudah bersiap sedari jam sembilan atau setengah sepuluh. Bahkan terakhir, ketika ada acara dan saya sebagai moderator webinar, lalu jaringan internet saya bermasalah, acara tetap dimulai jam sepuluh dengan moderator pengganti. Ketika saya sudah bisa kembali ke ruang webinar, moderator pengganti menyerahkan seluruh acara kembali kepada saya untuk saya pimpin sampai akhir.

Artinya, lingkungan sudah membentuk saya untuk disiplin soal waktu. Pada waktu bekerja di PH pun demikian. Kalau sampai program saya tidak tayang tanpa alasan yang force majeur, maka PH harus membayar denda 200% dari biaya produksi. Kebayang kalau biaya per episode 700 juta, sampai program tidak tayang berarti harus bayar ke stasiun penyiar sebanyak 1,4 milyar. Biyuuu…, saya bisa digantung produser kalau sampai hal ini terjadi.

Oleh karenanya jadwal kapan skenario ditulis, kapan diserahkan ke bagian produksi, kapan diterima dalam bentuk video atau file jadi, kapan diserahkan ke stasiun, kapan tayang, dll itu menjadi sangat ketat dan harus diperhatikan. Lepas sehari saja di urusan skenario, semua jadwal pasti akan terganggu.

Ketika berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswa yang selonong boy seenaknya keluar masuk di kelas atau kuliah saya, saya langsung memintanya keluar kelas. Lebih baik tidak masuk kelas kalau sudah lewat setengah jam. Apalagi kalau sebelumnya sudah dibuat perjanjian kapan jam kelas dimulai setelah toleransi waktu. Orang yang berhasil kebanyakan tertib waktunya dan tidak banyak bikin alasan.

Tapi ya, tiap tempat beda karakter soal waktu saja. Saya stres dan sempat protes ketika undangan jam sepuluh, ternyata baru dimulai jam sebelas lewat. Ini si pembuat acara tidak menghitung kerugian riil. Anggap saja sejam setiap orang menggunakan kuota internet 0,5 GB dikalikan yang sudah menunggu sekitar 200-an orang, berapa banyak kerugiannya? Waktunya? Jelas 1 jam x 200 yang berarti 200 jam hampir 20 hari kerja terbuang.

Undangan dari mahasiswa? Bukan. Tingkat pejabat-pejabat kampus dan dosen-dosen. Tidak sekali dua kali. Tapi berulang kali. Undangan jam 7 s/d 10. Riilnya jam 7.38 s/d 12 siang. Sangat tidak bisa memperhitungkan waktu. Yang salah siapa? Yang bikin jadwal dan acara. Pengisinya kan bisa diingatkan waktunya terbatas, bukan ngombro-ombro kelamaan bicara, dll.

Jadi, saya berpikir kalau kemudian mahasiswa seenaknya bikin acara telat mulai sejam dan telat berakhir dua jam, itu seperti biasa saja. Bagi saya jelas tidak biasa dan merugikan. Tapi yang bisa mengubah habits begini, kan yo mulai dari atas-atas to, mosok yang krucukan bisa?

Beberapa senior mengingatkan saya agar tidak terlalu idealis. Astaga….! Soal tepat waktu saja kok dibilang idealis. Mau maju dan unggul, tapi telatan terus… ya mana bisa?! Pada titik-titik tertentu, akhirnya saya berdamai saja dengan sikon tersebut. Kalau sudah tahu habits begitu, tinggal saya menyiapkan piranti kerja tambahan agar jam-jam kemoloran dari acara mereka itu bisa saya gunakan untuk mengerjakan gaweyan yang tetep kudu dibereskan. Kalau yang krucukan telat, dipotong-potong pendapatan, tapi mereka bikin acara telat, santai lempeng saja.

Time is money. Begitu kata orang-orang Barat. Demikian menghargainya mereka terhadap uang, waktu pun bisa dihitung dengan uang. Versi saya, waktu adalah kehidupan. Kita yang masih hidup ini, berarti masih punya jatah waktu di dunia. Kalau sudah tidak punya waktu lagi, ya berarti mati. Selesai kehidupan di dunia.

Sumber daya yang sering kita sia-siakan dalam hidup ini adalah waktu dan kesehatan. Banyak orang beribetan di akhir waktu, karena tidak bersiap di awal waktu. Banyak orang mengabaikan kesehatan di masa muda, lalu menjadi beribet urusan kesehatan di masa tua.

Setiap orang punya pandangan yang berbeda tentang waktu. Ada yang menganggap waktu itu urusan sepele. Hadeuuuh, lha kalau kamu terbiasa bekerja dengan hitungan jam dengan charge besar, mungkin tidak akan menyepelekan waktu lagi. Karena waktu adalah satu-satunya sumber daya yang tidak bisa kita beli ulang. Begitu pula dengan kesehatan. Kalau kamu tidak mau menginvestasikan kesehatan di masa muda (olahraga, makan sehat, hidup sehat, dll) siap-siaplah sedari paroh baya hidup dengan obat-obatan.

Karenanya saya sebagai penulis profesional sejak bertemu klien sudah berhitung dan berdiskusi tentang waktu. Kalau pekerjaan secara umum perlu waktu 6 bulan, tapi si klien ngotot 3 bulan; saya menawarkan dua opsi: dia membayar 2 kali lipat (sehingga saya bisa membayar lebih banyak orang untuk lembur-lembur) atau menambahkan orang-orang untuk saya yang bekerja membantu membereskan gaweyan. Mereka akan memilih opsi tersebut atau tetap sama dalam waktu 6 bulan.

Lalu pekerjaan pun akan berlangsung dengan lancar. Salah satu hal yang saya syukuri sebagai penulis adalah, saya berhak menentukan dan mengatur apakah saya menerima atau menolak pekerjaan. Saya juga berhak mengatur lalu lintas pekerjaan yang harus diikuti oleh klien dan semua pihak yang terlibat kerja demi suksesnya gaweyan. Alhamdulillah, karena saya berusaha keras disiplin, ndilalah selama ini ketemu klien dan tim kerja yang juga senang berlari cepat dan disiplin, sehingga semuanya boleh dikatakan selesai dengan baik.

Bagaimana denganmu? Apakah kamu sudah menghargai waktumu? Atau kamu lebih sibuk bernyinyiran dan berjulidan di mana-mana, tapi gaweyan pokokmu dengan standar minimal saja tidak terpenuhi? Atau kamu merasa bahwa waktu berulang setiap hari, kenapa begitu ribetnya? Silakan merenungkan sesuai dengan pemahaman masing-masing. ****

Please follow and like us: