Menerima Takdir

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, 2 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063510765/menerima-takdir

Judul di atas saya beri tanda petik “Menerima Takdir” karena ini bukan hal yang mudah. Menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita, butuh jiwa besar dan hati yang lapang. Kadang-kadang perlu waktu untuk bisa menerima kenyataan pahit.

Mari kita ingat peristiwa di sekitar kita atau kejadian yang kita alami. Kita sudah belajar mati-matian, giliran nilai ujian keluar, kita hanya mendapat nilai B. Sementara teman yang kelihatan tidak belajar, justru mendapat nilai A. Kita sudah bekerja sampai lembur-lembur, yang dapat promosi kawan dari meja sebelah. Atau kita sudah berjuang dengan segala cara demi gebetan, hadeuh dianya nikah sama teman semeja kita. Kita menabung sedikit demi sedikit untuk beli mobil, tetangga seberang dapat undian hadiah mobil yang kita inginkan.

Ada banyak lagi hal-hal setipe yang terjadi di sekitar kita. Lalu, secara tidak sadar kita menganggap Tuhan kok rasanya jadi tidak adil. Kita yang kepingin dan berusaha sepenuh jiwa raga, yang dikasih justru mereka yang sepertinya tidak ada usaha atau tidak perlu-perlu amat. Pada saat seperti itu, pasti kita ingin marah, kecewa, kesal, dll emosi negatif. Kalau kita tidak segera berlapang dada, bisa-bisa kemarahan itu akan merusak seluruh kebahagiaan kita.

Kalau saya pribadi, karena tidak membandingkan dengan orang lain, cenderung mudah menerima takdir. Tidak mudah-mudah amat siy! Terlebih kalau rasanya sudah I do my best, itu ya rada bikin saya sewot hati. Untungnya saya tidak baperan. Setelah beberap menit, ya sudah. Belum rezeki saya.

Sebenarnya kalau saya mau mengulik mereka yang terlihat santai ongkang-ongkang itu, tidak sepenuhnya benar. Mereka bekerja lebih keras daripada saya, tapi saya tidak tahu. Waktu kerja saya dan mereka tidak sama. Mereka bertemu saya ketika sedang santai. Di luar itu, mereka bekerja ekstra. Jadi ya wajar, kalau hasil kerja mereka lebih baik daripada saya.

Ketika saya menyadari hal itu, sirik buta saya langsung menguap. Justru saya harus berkawan untuk mengetahui cara mereka berprestasi. Penghargaan saya atas kelebihan masing-masing, membuat saya menerima prestasi orang lain dengan ikut gembira.

Lalu bagaimana caranya agar kita mudah menerima takdir? Biar kita tidak iri dengki dengan anugerah orang lain?

Jawabannya bisa beragam. Hal ini tergantung pada karakter dan kepribadian setiap orang. Tips-tips berikut dapat kita gunakan agar kita mudah menerima kekalahan dan kemenangan setiap waktu.

Pertama, berdamai.

Saat kita sudah berjuang dan ternyata hasilnya tidak sesuai harapan, ya sudah. Terima saja kenyataan itu dan berdamai. Penerimaan itu akan membuat kita ringan hati. Kita juga tidak menganggap orang lain tidak berhak atas prestasi atau anugerah tersebut.

Kalau kita percaya adanya takdir, tentu mengetahui hal ini. Segala sesuatu yang tidak tertulis di dalam takdir, mau jungkir balik sebegitu keras pun, ya tidak akan sampai ke genggaman kita. Sebaliknya kalau sudah ditakdirkan, ibaratnya berusaha sedikit saja, pasti jadi.

Pengetahuan tersebut akan mencegah kita dari keterpurukan. Kita justru mempelajari, mencermati kekurangan, sehingga bisa belajar dan memperbaikinya. Pada saat ada kesempatan lagi, kita bisa mendapatkan prestasi atau hasil yang lebih baik.

Kedua, menyampaikan pada pihak lain.

Kecewa itu jelas tidak menyenangkan. Ada baiknya kita menyampaikan kekecewaan pada pihak lain yang kita percayai. Bisa orang tua, pasangan, sahabat, kerabat, anak, dll. Biar kekecewaan itu tidak menggumpal di dada yang bikin sesak hati.

Kalau khawatir orang lain tidak peduli dengan kekecewaan kita, mungkin kita bisa menuliskannya di ranah pribadi. Dengan menuliskan secara detail, kita bisa mengeluarkan semua ganjalan dan uneg-uneg sampai puas. Hati kita pun terasa lebih ringan. Siapa siy di dunia ini yang tidak pernah gagal? Hanya mereka yang tidak pernah mencoba melakukan sesuatu yang tidak pernah gagal.

Ketiga, jangan membandingkan diri kita dengan orang lain.

Biasanya kita tidak mudah berdamai dengan keadaan kita, karena membandingkan diri kita dengan orang lain. Terlebih saat kita merasa kita “lebih baik” daripada orang lain. Alih-alih bersyukur dengan segala perolehan kita, justru kita bisa mengacau dan membuat keributan dengan orang lain.

Pada saat kita sedang dirundung kekecewaan, ada baiknya menepi sejenak. Menyendiri mungkin lebih baik agar kita terhindar dari tindakan negatif yang merusak. Kalau prestasi orang lain itu diposting ramai-ramai di media sosial, perlu juga kita sejenak menonaktifkannya. Tujuannya untuk memberi ruang pada hati kita untuk menerima segala ketidaknyamanan akibat kekalahan.

Keempat, ingat prestasi atau anugerah kita yang lain.

Gagal sekali bukan berarti gagal seterusnya. Lulus dengan biasa saja, bukan berarti tidak sukses di masa depan. Tidak menang lomba, bukan berarti kita tidak bisa profesional. Dengan menyadari hal ini, kita akan lebih mudah menerima segala kekalahan atau kegagalan kita.

Saat kita gagal, ada baiknya kita mengingat prestasi dan anugerah kita yang lain atau sebelumnya. Hal ini akan membesarkan hati kita. Bahwa dalam perjalanan hidup kita, tidak melulu gagal atau melewati kegagalan. Ada masanya juga kita berjaya, mendapatkan prestasi, dan banyak anugerah.

Dengan mengingat itu, sekurangnya kita akan kembali percaya diri dan berbesar hati. Kita akan menerima, bahwa menang kalah, juara tidak juara, promosi atau tidak mendapat promosi, merupakan hal yang biasa dalam kehidupan. Dengan peristiwa yang beragam, hidup kita juga akan lebih berwarna. Ada banyak hal yang bisa kita jadikan hikmah atau cerminan di masa depan.

Kelima, senang menjalani proses.

Ketika kita menginginkan sesuatu, tentu ada prosesnya. Pada saat kita menjalani proses itu dengan riang dan gembira, kita tidak akan terlalu terganggu dengan hasilnya. Kalaupun hasil itu belum sesuai harapan, sekurangnya prosesnya telah kita lalui dengan gembira. Orang-orang yang bekerja dengan sukacita, cenderung “baik-baik saja” terhadap semua kemungkinan hasil kerja. Bagi mereka, hasil hanyalah dampak dari kinerja yang mereka lakukan.

Mereka tidak terganggu dengan hasilnya. Kegembiraan dan keceriaan sudah jadi warna kehidupan mereka. Sebagian kita setelah menjadi dewasa, sering lupa caranya bergembira. Hidup kita terlalu dibebani dengan aneka program dan target, lalu kita lupa cara menikmati hidup. Padahal hidup adalah anugerah yang paling berharga.

Mungkin kita perlu menengok ke anak-anak balita, betapa mereka selalu gembira dalam segala suasana. Saat jatuh ketika belajar berjalan pun, mereka hanya menangis sesaat, lalu bangkit lagi, berjalan lagi dan berlari. Mereka tidak takut jatuh, karena mereka lebih sadar senangnya bisa berjalan dan berlari.

Keenam, memberi semangat diri sendiri.

Setiap orang, bisa saja gagal. Namun kalau dia sudah belajar menerima kegagalan dan tetap semangat untuk belajar, terus bertumbuh, dia pasti akan mendapatkan kesuksesannya. Berapa lama? Ya, tergantung usaha dan jalan takdirnya.

Kita harus menerima bahwa takdir itu kadang-kadang seperti perjudian. Kita tidak tahu wujudnya sebelum terjadi. Kita tidak pernah tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah. Jangankan yang jauh ke depan, lima menit saja, kita tidak bisa meramalkan masa depan. Jangan coba-coba mendikte takdir, kalau tidak ingin hidup kita penuh dengan beban derita.

Cara seseorang untuk memotivasi diri atau memberikan semangat itu berbeda-beda. Cobalah periksa niat dan tujuan anda melakukan sesuatu. Kalau sudah ketemu, anda bisa kembali mengafirmasi diri dengan muatan positif, memeriksa cara kerja, mempelajari kesalahan, dll. Intinya, cara boleh berubah, tapi jangan mengubah tujuan awal anda.

Ketujuh, mencoba lagi.

Ketahanan mental dan kekuatan hati seseorang tidak sama. Ada yang gagal berulang, tetap saja mencoba dan mencoba lagi sampai berhasil. Dia memiliki motivasi dan semangat pendukung yang kuat. Namun ada yang sekali gagal, lalu trauma dan tidak mau mencoba lagi. Dia takut kembali gagal dan tidak ingin lagi berkecimpung di bidang tersebut.

Setiap kita memiliki pandangan yang berbeda. Alangkah bijaknya, kalau kita mengetahui tujuan kita. Dari sana kita bisa menentukan akan berjuang lagi atau berhenti. Dalam hal ini, yang terpenting anda tidak menyesali pilihan anda. Kalau berulang mencoba, tidak mengeluh. Kalau berhenti, tidak nyinyir pada mereka yang terus berusaha.

Kedelapan, sabar.

Sabar ini termasuk kosakata yang mudah diucapkan, tapi tidak mudah dijalankan. Sabar dengan kegagalan apalagi. Kalau bukan diri kita yang menguatkan hati, tentu sulit untuk membuat kita sabar.

Saat pertama gagal, mungkin kita harus mencoba lagi. Silakan periksa banyak riwayat atau biografi orang sukses. Mereka sering kali mengalami kegagalan yang berulang. Namun mereka tidak menyerah. Mereka terus berusaha. Mereka tetap sabar menjalani prosesnya sampai mendapatkan kemenangan.

Kesembilan, mencari ilmu.

Segala sesuatu ada ilmunya. Kalau kita ingin mempercepat kesuksesan, kita perlu mencari guru atau mentor. Mereka yang berilmu dan berpengalaman, biasanya sudah mengetahui “lubang-lubang” yang biasa membuat seseorang jatuh atauh gagal. Dengan adanya guru ini, kita tidak perlu terjatuh di “lubang-lubang” jebakan tersebut. Kita bisa menghindarinya dan mempercepat waktu kesuksesan dengan adanya guru.

Berguru memang memerlukan waktu khusus, energi, biaya, fasilitas, sarana prasarana, dll. Namun itu sesuatu yang pantas untuk sebuah perjuangan. Kalau dengan berguru kita bisa memangkas waktu keberhasilan menjadi lebih cepat, kenapa tidak? Sekurangnya, kalau versi saya dengan berguru kita jauh lebih termotivasi. Karena contoh suksesnya ada, jalan perolehannya pun tersedia.

Kesepuluh, berdoa.

Ini sebenarnya tidak ada korelasinya secara langsung. Namun berdoa itu bisa jadi spirit yang luar biasa untuk keberhasilan kita. Berdoa membuat kita yakin kalau kita tidak sendirian. Ada tangan Tuhan yang turut bekerja dalam usaha kita. Berdoa versi saya, pilihlah dengan bahasa yang kita pahami, sehingga lebih khusyuk dan khidmat.

Yach, seperti itulah proses menerima takdir. Tidak selalu mudah. Toh kalau sudah terjadi, tetap harus kita terima dan harus kita hadapi. Jadi, kenapa tidak kita sambut dengan syukur dan gembira? Sekurangnya kegembiraan membantu kita keluar dari keputusaan dan kekecewaan lebih cepat. Orang-orang yang gembira sering kali mendapatkan bala bantuan lebih banyak daripada mereka yang bermuram durja.

Please follow and like us:

Brokohan: Selamatan Bayi Lahir

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 28 Mei 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313470327/brokohan-selamatan-untuk-bayi-lahir

Kelahiran bayi merupakan salah satu siklus penting dalam kehidupan orang Jawa. Manusia dalam siklus hidupnya akan memulai kehidupan dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, menikah, berkeluarga, membesarkan anak-anak, tua, renta, dan mati. Siklus kehidupan yang terus berulang pada setiap kehidupan.

Kelahiran bayi merupakan hal yang istimewa. Karena ada banyak perempuan yang mengandung bayi, tetapi tidak sampai melahirkan bayinya. Hal itu bisa disebabkan karena kecelakaan, meninggal, keguguran akibat sakit, tindakan medis pengangkatan janin demi penyelamatan jiwa si ibu, terpaksa aborsi, dll.

Oleh karena itu, kelahiran bayi dan keberadaan bayi yang lahir dengan sehat, selamat, sempurna tubuh fisiknya, merupakan anugerah bagi suami istri dan keluarga besarnya di kalangan orang Jawa. Mereka telah memiliki satu generasi penerus  untuk kelanggengan trah dan keturunannya.

Demi rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah itulah, orang Jawa kemudian mengadakan selamatan atau upacara selamat dengan mengadakan berkatan atau membagikan berkat berupa beberapa makanan dengan aturan tertentu dan doa selamat agar bayi terus hidup sehat, selamat, sejahtera, damai berkah hidupnya sepanjang masa sampai akhir hayatnya.

Selamatan bayi di kalangan orang Jawa sekurangnya ada enam, yaitu (1) brokohan —ketika bayi lahir, (2) sepasaran —5 hari dari bayi lahir, (3) selapanan —36 hari dari bayi lahir, (4) telonan —3 bulan dari bayi lahir, (5) pitonan —7 bulan dari bayi lahir, dan (6) setahun —1 tahun dari bayi lahir. Masing-masing selamatan ini memiliki aturan dan ketentuan yang berbeda-beda.

Sebagian masyarakat Jawa mengadakan acara selametan bayi tersebut tidak persis di hari perhitungannya. Misalnya bayi lahir hari ini, maka selamatan brokohan akan dilakukan keesokan harinya. Tujuan dari sedikit masa penundaan ini adalah untuk membiasakan si bayi agar kelak di kemudian hari tidak sakdeg saknyet (meminta segala sesuatu seketika itu juga). Harapannya dengan terbiasa sedikit ditunda haknya sedari lahir, si bayi akan memiliki sifat sabar, welas asih (penuh kasih sayang), dan tidak semena-mena pada pihak lain.

Pada kesempatan ini, saya mengulas tentang satu selamatan bayi yang paling awal, yaitu brokohan. Kata brokohan bukan asli dari bahasa Jawa. Istilah brokohan berasal dari serapan bahasa Arab barokah —berkah; yang berarti memohon berkah dari Allah SWT atas kelahiran si bayi dengan cara menyiapkan nasi berkat untuk kenduri dan doa bersama.

Namun seperti kita ketahui bersama, orang Jawa lidahnya ya orang Jawa. Mereka sulit untuk mengucapkan kata barokah, sehingga serapan itu menjadi brokah. Selanjutnya kegiatan memohon barokah itu menjadi brokahan, —penanda akhiran —an dalam bahasa Jawa berarti kegiatan, seperti syawalan, natalan, dll. Dari kata brokahan itulah yang selanjutnya menjadi brokohan, seperti yang kita kenal sekarang.

 Dalam perkembangan selanjutnya, brokohan dikenali sebagai upacara selamatan bayi saat bayi lahir. Selamatannya lebih sebagai pengiring prosesi penguburan atau pemendaman ari-ari bayi yang sudah dipotong. Ari-ari bayi yang lahir dipotong, kemudian dikubur atua dipendam dalam tanah. Biasanya kalau orang Jawa beranggapan, ari-ari bayi laki-laki dipendam di halaman depan rumah. Sedangkan ari-ari bayi perempuan dipendam di halaman belakang rumah. Setelah itu, tanah di atas pendaman ari-ari bayi tadi akan diberi penanda berupa kerobong, tutup dari bambu atau dipagari dan diberi penerangan lampu di waktu malam.

Orang Jawa melakukan hal ini karena mereka menganggap ari-ari bayi merupakan teman lahir si bayi ke dunia. Ari-ari bayi atau dalam dunia medis modern disebut dengan plasenta inilah yang mengirimkan segala keperluan bayi selama dalam kandungan, hingga tiba saatnya dilahirkan ke dunia. Pihak yang wajib mengubur ari-ari bayi adalah si bapak atau orang tua laki-laki si bayi. Tindakan ini merupakan simbol atau bentuk tanggung jawab orang tua laki-laki kepada anaknya.

Menu wajib dalam selamatan brokohan ini adalah (1) sega ingkung (nasi ingkung ayam), (2) sega gudangan (nasi dengan sayuran dan kelapa parut yang sudah diolah),  (3) bubur abang putih (bubur merah dan putih), dan (4) jajan pasar. Masing-masing menu tersebut memiliki makna filosofis yang berbeda-beda.

Pertama, Sega Ingkung (Nasi Ingkung Ayam)

Nasi ingkung ayam melambangkan simbol permohonan perlindungan pada bayi yang baru lahir tersebut. Kata ingkung sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Jawa Kuno ‘jinangkung’ dan ‘manekung’. Jinangkung berarti melindungi, mengayomi, menjaga. Manekung berarti bersujud, menghamba, memohon sungguh-sungguh dan dengan merendahkan diri.

Secara umum ingkung berarti bersujud, bermohon, menghambakan diri (pada Tuhan) untuk mendapatkan perlindungan, penjagaan, dan pelimpahan berkah. Dengan adanya ingkung pada saat selamatan bayi, merupakan tanda permohonan kepada Tuhan agar selalu menjaga dan melindungi bayi tersebut dari segala aral marabahaya.

Adapun pemilihan ayam sebagai bahan ingkung karena ayam itu merupakan simbol dari kelahiran bayi tersebut. Itulah sebabnya wujud ingkung adalah ayam utuh yang dimasak dan disajikan secara utuh dalam bentuk tersungkur.

Kalaupun sekarang ini ingkung ayam banyak dijual bebas di pasaran sebagai pendukung pariwisata budaya, tetapi pada saat-saat tertentu, ingkung ayam dibuat dengan tujuan sakral dan penuh filosofis.

 Kedua, Sega Gudangan (Nasi dengan Sayuran dan Kelapa Parut Yang Sudah Diolah)

Nasi dalam hal ini merupakan nasi putih yang lengket (diolah dari beras yang baik, sehingga nasinya dapat lengket satu sama lain). Nasi putih ini melambangkan kedekatan si bayi kelak dengan sesama. Artinya si bayi dapat hidup rukun bermasyarakat dengan warga lainnya.

Adapun gudangan terdiri aneka sayuran rebus, lauk pauk, dan kelapa parut yang sudah dibumbui dan dimasak atau lebih dikenal dengan urap. Bumbu urap ini menandakan adanya kehidupan. Hidup itu harus urip, urap yang berarti mampu menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya agar dapat berbahagia.

Sayur yang terdapat dalam gudangan biasanya terdiri dari tauge, kacang panjang, dan bayam. Taoge atau kecambah melambangkan pertumbuhan. Seseorang harus terus tumbuh semakin baik dari hari ke hari. Sementara kacang panjang menyimbolkan panjang umur, kehidupan yang harus dipikirkan panjang-panjang (matang, teliti, cermat), sehingga bisa mengambil tindakan yang tepat dan bijaksana. Adapun bayam menandakan harapan untuk hidup yang tenteram sejahtera, makmur damai, bahagia di dunia dan akhirat.

Sementara lauknya berupa ikan asin atau gereh pethek goreng, tempe rebus atau goreng, dan telur rebus. Ikan asin menandakan kerukunan hidup bersama. Hal ini dilihat dari sifat gereh pethek yang hidup di laut secara bersama-sama atau bergerombol. Manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk sosial.

Adapun tempe menunjukkan kesederhanaan. Tempe merupakan salah satu olahan kuliner orang Jawa yang menjadi makanan semua kalangan. Sedangkan telur rebus menandakan ketelitian, kehati-hatian dalam bertindak. Seperti sifat telur mentah kalau tidak hati-hati, sedikit terkena benturan saja langsung pecah. Itulah sebabnya harus direbus (digodok pemikirannya) agar matang sebelum bertindak. Dengan demikian, tidak akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari.

Secara umum sega gudangan ini melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Ketiga, Bubur Abang Putih (Bubur Merah Dan Putih)

Bubur merah putih merupakan representasi lelaki dan perempuan dalam kehidupan. Bubur merah putih melambangkan kerukunan hidup antara lelaki dan perempuan. Diharapkan dengan rukunnya orang tua baik lelaki maupun perempuan, si bayi akan mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang penuh dengan kasih sayang.

Proses pembuatan bubur merah putih untuk acara ritual seperti ini tidak bisa dibuat secara sembarangan. Ada doa dan resep khusus demi hasil yang terbaik. Pemasak bubur pun tidak boleh perempuan yang sedang datang bulan. Konon kalau pemasak buburnya sedang datang bulan, rasa bubur menjadi tidak sedap dan tidak enak.

Keempat, Jajan Pasar. 

Jajan pasar dalam kehidupan orang Jawa sangat banyak macamnya. Kalau disebutkan secara rinci, mungkin ada lebih dari seribu jenis. Namun dalam tradisi selamatan brokohan ini orang Jawa umumnya menggunakan sekurangnya tujuh macam jajan pasar. Ketujuh jajan pasar itu misalnya (a) wajik, (b) jadah, (c) onde-onde, (d) lupis, (e) klepon, (f) nagasari, dan (g) lemper.

 Tidak ada aturan baku berkaitan dengan jumlah jenis jajan pasar yang perlu disediakan ini. Secara umum, semakin mampu seseorang biasanya jenis jajanan pasar yang ada dalam berkatannya semakin banyak.

Jajan pasar ini secara umum melambangkan aneka rupa warna kehidupan yang akan dihadapi oleh si bayi di masa depan. Artinya, dalam kehidupan itu tidak hanya ada satu hal yang terasa manis, tetapi kadang juga asam, asin, pahit, hingga pedas. Harapannya dengan mengetahui aneka rasa tersebut, si bayi kelak tidak terkejut menghadapi beragam peristiwa kehidupan.

Menu selamatan ini akan diberikan doa selamat oleh tetua atau orang yang dituakan di lingkungan keluarga. Kadang-kadang membayar dukun atau tetua adat. Baru kemudian dimakan bersama. Sebagian diantarbagikan ke tetangga dan kerabat dekat.

Sekarang ada banyak orang Jawa yang mengganti semua komponen menu brokohan tersebut dengan sembako (beras, minyak goreng, gula, mie instan dll) demi kepraktisan dan kemudahan. Selain itu juga untuk alasan bahan mentah lebih tahan lama daripada masakan matang. Apabila masakan matang dikirimkan dan tidak segera dimakan, maka makanan tersebut akan menjadi basi dan dibuang.

Di lingkungan tradisional masyarakat Jawa, selamatan brokohan ini masih dilakukan. Kalaupun berkat yang dibagikan tidak banyak, tetapi syarat dan ketentuan dasar pelaksanaan brokohan tersebut telah memenuhi syarat. Kalau orang Jawa bilang, nggo syarat atau syarat dasar selamatannya telah terpenuhi. Ada sebagian masyarakat yang berpandangan kalau selamatan ini tidak dilaksanakan sesuai aturan, nantinya akan terjadi brahala ‘celaka’ dan rubeda ‘keribetan, banyak masalah’ pada si bayi dalam kehidupannya.

Namun di lingkungan perkotaan, tradisi seperti ini sebagian besar sudah dilupakan atau dihilangkan. Mereka yang beretnis Jawa, sebenarnya tahu tradisi ini, tetapi sengaja tidak melakukannya. Selain karena pertimbangan biaya dan keribetannya, mereka yang beragama Islam juga cenderung memberlakukan satu sikap melakukan aqiqah. Dengan menyembelih seekor kambing bagi anak perempuan, atau menyembelih dua ekor kambing bagi anak laki-laki, buat selamatan, lalu semuanya selesai. Tentu setiap orang berhak memilih pandangannya masing-masing.

Tetap baik juga berbagai selamatan brokohan karena ini secara praktis memberitahukan kepada tetangga, kerabat dekat, dan lingkungan sekitar tentang kehadiran warga baru. Selamatan itu juga bukti bahwa keberadaan bayi telah lahir selamat dan ibunya dalam keadaan baik. Bukankah bijak untuk mewartakan berita baik dengan berbagi kegembiraan?

 

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

 

Please follow and like us:

Jangan Omong Besar

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, 26 Mei 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063472803/jangan-omong-besar

Suatu waktu –sebut saja A cerita bahwa omzet UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah)-nya antara Rp 2-5 juta per hari. Saya berhitung cepat dengan harga jual produk Rp 10 s/d 50 ribu per item, sekurangnya omzet Rp 2 juta sehari dengan produk Rp 10 ribuan (katanya paling laris) berarti butuh 200 paket. Belum kalau omzetnya lebih dari Rp 2 juta. Dengan omzet Rp 2 juta sehari, berarti sebulan minimal omzetnya Rp 60 juta. Keuntungan anggaplah 30% dari omzet, berarti ada Rp 18 juta sebulan. Wah, itu sudah penghasilan makmur untuk hidup di Jogja.

Jelas kinerja yang sibuk: datangnya bahan produksi, pembuatan produk, penjualan yang ramai, packing yang banyak, alur pengiriman barang via pasukan oranye dan pasukan ijo (kurir marketplace), atau pasukan warna gado-gado (kurir non marketplace) yang akan bolak-balik, orang bekerja, dll.

Saya sempat bertanya pada A tentang tempat usahanya. Dia bilang semua dilakukan dari rumahnya dengan penjualan online. Toh yang saya saksikan adalah rumahnya yang sepi, kotor, dan tidak terurus. Nyaris tanpa kesibukan sebagai UMKM dengan omzet Rp 2-5 juta sehari.

Tidak sesuai dengan ombes —omong besarnya. Saya nyaris lupa dengan cerita itu. Sampai saya lihat ada tanda segel dari bank bahwa rumah si A dalam masa penyitaan. Catatan dari bank tertempel di dinding rumah. Pihak yang bersangkutan sudah lama tidak membayar cicilan KPR (Kredit Perumahan Rakyat)-nya. Menurut saya, horor juga ya peringatan dari bank model begini.

Kening saya sempat berkerut. Bank menyita rumah KPR tentu tidak karena satu atau dua bulan menunggak cicilan, pasti berbulan-bulan. Saya mengabaikan fakta tersebut dan menganggap usahanya sedang kena ujian.

Sampai seorang kawan saya —sebut saja B yang lama tidak ketemu, menelpon dan bilang mau mampir. Saya senang dengan kawan ini. Praktis, tidak banyak omong. Versi saya, dia sudah banyak memberdayakan orang dan keluarga miskin menjadi mandiri dan sejahtera melalui usaha-usahanya.

Kawan saya ini ternyata membeli rumah si A sebagai bentuk kepeduliannya agar si A punya cukup uang modal usaha dan rumah tidak disita bank. “Sudah aku lunasi utang banknya. Daripada pikiran, Ri. Ini aku urus balik namanya. Kudu minta surat-surat dari perangkat desa. Kusuruh pindah dalam tiga bulan, dia minta ngontrak setahun. Ntar mau dibeli lagi. Kalau dia pindah siy, kurobohin aja. Bangun baru untuk tempat usaha.”

Saya bilang ooo… dan tidak membahas cerita si A pada saya dengan si B. Ternyata cerita belum usai. Beberapa waktu kemudian si A masih ombes. “Itu Bu Ari, saya pulang lama untuk jual tanah di kampung. Rumah saya sudah kebeli lagi.”

Padahal versi si B saat ketemu saya, si A menghilang lama untuk menghindari orang-orang bank yang berulang datang. Saya tanya ke si B dan jawabannya, “Masih ngontrak, Ri. 12 juta setahun, minta keringanan. Aku kasih 8 juta, nyicil 4 kali.”

Anda tentu tahu, kepada siapa saya lebih percaya. Untungnya, saya bukan orang yang iseng mengirimkan jawaban si B kepada si A. Ketika cerita ini sampai kepada ibu saya, beliau merespon, “Dia tidak mau kalah sama kamu. Kelihatan pengangguran, tapi punya duit.” Saya ngakak. Pekerja kreatif kan sering identik sebagai pengangguran. Apalagi kalau kerjanya di rumah.

Kisah setipe pernah juga saya alami ketika perjalanan pulang ke rumah ibu. Di kereta, saya mempersiapkan laptop dll piranti kelas online. Masuklah seorang gadis remaja —sebut saja C. Atribut dandanannya banyak merek. Saya tersenyum, berbasa-basi. Saya sejenak “stres” saat bocah milenial ini memanggil saya “Dik” dan mengatakan mau ke Malang. Mungkin muka saya tanpa kacamata terlihat begitu belia.

Saya melanjutkan gaweyan. Saya sempat merasa aneh dengan kelakuannya. Dia memangku map bagus —yang saya tahu itu tempat dan pelindung ijazah dari UGM (Universitas Gadjah Mada). Lah dia bawa backpack besar, kenapa tidak dimasukkan ke tasnya yang sudah ditaruh di kabin atas? Haha… saya tidak sempat memikirkan lebih jauh.

Gadis belia ini terus beramah tamah kepada saya. Bertanya ini itu. Beberapa kali saya jawab. Rupanya dia tidak menyadari kesibukan saya, masih saja ngecuprus. Dari nada ceritanya terdengar betapa dia bahagia dan bangga (agak lebay).

Dia menceritakan betapa sulitnya seleksi masuk UGM, jurusan kuliahnya, proses pembelajaran yang tidak mudah, tugas-tugas yang banyak, dosen-dosen yang killer termasuk yang galak, sampai proses kelulusan yang tidak mudah. Yahaa… UGM sudah sejak dulu kondang, masuk (lolos seleksi) tidak mudah, keluar (lulus ujian berijazah) juga tidak gampang. Sudah mainstream yang dikenali umum karena UGM sebagai salah satu kampus terbaik di Negeri Khatulistiwa.

Saya, karena mengajar online menyambungi ceritanya dengan pendek-pendek: iya, oh begitu, hem, betul, dll. Kalau orang peka situasi, pasti sadar bahwa saya sedang mengerjakan hal lain. Sempat saya katakan sedang mengikuti kuliah online. Eh, si bocah milineal ini tetap cerita dengan kebanggaan lebaynya tentang UGM. Biyuuu… biyuuu….

Mengajar online dua jam, terus meeting online, dll kesibukan kerja online. Jadi saya tetap fokus gaweyan sambil mendengarkan si eneng yang berulang cerita tentang kuliahnya di UGM. Termasuk bapak ibunya yang menyiapkan pesta besar. Undangan resminya saja ada 500 sebagai bentuk syukuran kelulusannya. Dia juga menyebutkan salah satu nama hotel di Malang sebagai tempat acara. Biyuuu… biyuuu….

Saat kereta sudah sampai Kediri, saya pun menutup laptop dan membereskan piranti kerja. Saya memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Sebentar lagi kereta akan sampai Tulungagung dan saya harus turun. Barulah saya bisa “menanggapi” si bocah yang seusia dengan anak-anak saya ini.

Saya memaklumi kebanggaannya. Saya pun mengerti, bagi sebagian orang UGM adalah kampus idaman. Kalau kampus lain memiliki slogan mendidik calon pemimpin masa depan, kampus biru ini sudah teruji melahirkan pemimpin-pemimpin kelas dunia. Masuk UGM —sekurangnya jadi semacam “jaminan” masa depan yang lebih baik dan lebih cerah. Jejaring alumninya yang mendunia mampu memberikan akses dan kesempatan kerja  di ranah internasional.

Begitu pemberitahuan kereta akan berhenti di Tulungagung, saya menarik backpack. Tersenyum pada si C dan mengatakan akan turun. Dia memberi jalan. Saya menatap matanya yang berkilauan penuh rasa bangga itu dan berkata terang.

“Nak, selamat atas wisudamu ya! Silakan lanjut S-1 di kampus lain, biar nanti bisa kembali kuliah S-2 di UGM. Seperti katamu, seleksi UGM tidak mudah. Saya juga alumni UGM. Bukan hanya D-3, tapi sudah komplit S-3. Jadi lebih dari tahu jatuh bangun kuliah di UGM. Nama lengkap saya Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. Kamu bisa googling. Sudah ya, saya turun dulu!”

Saya menekankan kata “Nak”, agar dia tahu bahwa saya bukan remaja yang lebih muda dari umurnya. Anda terbayang ekspresi wajahnya? Sayang —saya harus turun dari kereta. Ketika cerita ini sampai ke adik saya, dia ngakak dan bilang, “Buaya dikadalin…!”

Ya, kami yang alumni UGM tahu kalau program-program diploma, baik D-1, D-2, D-3, atau D-4 yang ada di kampus biru adalah “program swasta”-nya UGM. Semua seleksi, aturan, dll perkuliahan program diploma menggunakan manajemen tersendiri. Mereka yang mengikuti program ini, di masa lampau bisa dengan mudah transfer (pindah) ke program S-1 di UGM setelah lulus diploma. Sekarang sepertinya tidak berlaku lagi. Mereka harus transfer studi S-1 di kampus lain non UGM. (cmiiw)

Jadi, tidak usah lebay dan jumawa berada di kampus ini. Apalagi kalau baru seunyik belajar. Ada banyak orang ahli yang berasal dari kampus ini. Mereka memilih berkontribusi untuk bangsa dan negara dalam sunyi —yang mungkin tidak anda kenali, tapi suara peran sertanya membahana ke bumi langit dunia.

Anda merasa cerita di atas setipe dengan banyak hal yang anda alami dalam kehidupan? Ada saja, orang yang entah kenapa selalu ombes kepada pihak lain —yang bahkan tidak dikenalnya. Ombes bisa dalam beragam bidang, mulai dari kepemilikan harta, pekerjaan, ibadah, wisata luar negeri, pendidikan, anak-anak, kerabat berkuasa, pasangan hebat, dll. Hampir semua hal pernah ada jenis cerita setipe.

Apakah ombes tidak boleh?

Pada tataran orang-orang ring satu (keluarga dan orang dekat), versi saya boleh, terutama dalam konteks untuk motivasi dan cita-cita. Misalnya, dulu saya bersaudara ketika masih bersulit kebutuhan sehari-hari, bayar kos, bayar SPP kuliah, dll. yang rasanya putus kuliah lebih mudah, kami ombes untuk menyemangati diri. Kami membesarkan hati dengan memikirkan betapa bahagianya kalau kami melempar toga wisuda, bekerja mapan, dan mendapatkan penghasilan yang baik.

Berasa seperti ombes saat itu bagi kami. Karena untuk makan besok saja kami pun (belum) tahu. Tapi itulah yang menjadi semangat dan mengantarkan kami mencapai satu demi satu jenjang pendidikan sebagai pendukung kinerja.

Tapi kalau ombes pada orang lain?

Wah, kayaknya anda perlu pikir-pikir dulu. Apalagi kalau anda tidak begitu kenal dengan lawan tutur anda. Kan rasanya “memerah muka” kalau lawan tutur anda ternyata membalas ombes anda dengan fakta yang tidak terbantahkan. Selain itu, hidup ini berputar. Roda kehidupan terus bergulir sesuai dengan garis takdirnya.

Kita tidak pernah tahu masa depan. Kita juga tidak pernah benar-benar tahu masa lalu seseorang. Kita tidak pernah mengalami sesuatu yang sama persis seperti yang dialami orang lain. Oleh karenanya, daripada ombes yang bikin kita malu hati, apakah tidak lebih baik kita berendah hati dan hidup sederhana sesuai kemampuan?

Ilmu padi ada baiknya digunakan. Semakin berisi semakin merunduk, semakin kuat semakin sederhana. Saya mencermati pengalaman dari banyak orang yang kuat secara ekonomi, ilmu, kekuasaan, keahlian, ibadah, dll. cenderung anteng —sunyi. Mereka tidak bersuara, tapi dunialah yang menyuarakannya dengan lebih nyaring dalam jangkauan yang lebih luas. Anda pilih yang mana? Jawabannya ada di hati anda masing-masing.

Ari Kinoysan Wulandari

 

Please follow and like us:

Terus Belajar

Semangat yang saya bawa dalam keseharian adalah “terus belajar”. Dengan demikian, saya tetap merasa ringan hati kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan. Penerimaan diri pada proses belajar itu membuat saya tidak berambisi untuk jadi sempurna dalam mengerjakan sesuatu.

Setiap tindakan atau langkah sesuatu saya ikuti sebaik mungkin, tetapi dalam penentuan hasilnya saya tidak lagi merasa perlu terlibat. Proses kerja kita akan menunjukkan hasilnya. Kalau selama prosesnya, kita mengerjakan dengan sungguh-sungguh, maka hasilnya pun akan terbaik. Sebaliknya kalau kita asal-asalan pada prosesnya, maka hasilnya pun tidak akan memberikan versi terbaiknya.

Proses kinerja kreatif saya dan pengaturannya dapat anda baca di buku Manajemen Penulisan Kreatif ini. Pemesanan buku bisa langsung wa.me/6281380001149

Lepas lebaran kemarin, sebagian kerja sudah mulai dari kantor dengan sistem tatap muka sehari penuh. Manajer saya mengatakan kalau dengan perubahan itu, saya tidak mungkin merampungkan buku untuk penerbitan buku sistem reguler. Saya pun mengerti,

Saya rasa tidak ada masalah. Selama pandemi sampai sebelum lebaran itu, hampir keseluruhan waktu kerja saya untuk merampungkan buku-buku reguler yang tertunda. Artinya, naskah “stok” untuk terbit masih cukup banyak. Kecuali kalau penerbit tiba-tiba juga melakukan perubahan dengan mempercepat publikasinya, bisa saja stok naskah saya habis.

Lalu saya bertanya apa yang harus saya kerjakan di luar gaweyan yang sudah ada. Dia mengatakan ada beberapa penulisan artikel pendek-pendek yang cukup banyak. Saya menyanggupi. Itu hal yang ringan untuk saya kerjakan. Karena bahasannya artikel, saya jadi ingat janji pada kawan untuk menulis artikel pada medianya.

Saya pun memeriksa medianya dan ketemu model penulisannya. Saya mendiskusikan beberapa hal. Akhirnya ya sudah, saya sepakat untuk menulis satu artikel harian setiap minggu. Kalau di media penabicara.com ini saya tinggal menulis dan orang mereka yang mengurus kruncilannya sampai publish. Salah satu tulisan saya dapat dibaca di link ini: https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063422118/kebangkitan-nasional-bebas-dari-utang?fbclid=IwAR0KpLlqIWV0hFiUKFNk98Wp7SnHK3aQqYw0XBLIRppvB2eRnl7VgIFM0Ig

Setelah hampir sebulanan, ritme waktu saya mulai terbaca. Beberapa waktu masih selow, dan saya memiliki bank naskah berkaitan dengan budaya. Saya bertanya pada manajer apakah ada klien yang memerlukan naskah seperti itu. Jawabannya sementara belum. Saya pun membiarkannya.

Lalu saya ketemu media nongkrong.co yang ada bahasan budayanya. Segera saya mencari tahu siapa pemred atau penanggung jawabnya. Begitu contact, saya menanyakan apakah saya bisa bergabung dengan menulis artikel seminggu sekali. Wah, tanggapannya cepat dan memberikan kesempatan penuh pada saya.

Salah satu artikel saya dapat dibaca di link ini: https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313426523/tamba-teka-lara-lunga-obat-datang-sakit-pun-pergi

Saya mendapatkan form yang harus saya isi dengan banyak hal berkaitan data diri, mulai dari nama, nik, no rek, npwp, foto, dll persyaratan. Saya “semoyo” karena tahu bahwa ngisi hal begitu kudu waktu tenang dan hati-hati. Saya memforward link ke manajer, dan dijawab kudu saya isi sendiri karena ada foto selfie.

Saya pun menunda beberapa waktu. Biyu… biyu…, pemrednya seperti khawatir kalau saya membatalkan rencana. Beliau meminta saya mengirim data saja biar diisikan oleh anak buahnya. Saya bilang nanti saya isi dulu. Saya langsung mengirimkan materi artikel lebih dulu, biar beliau tenang.

Setelah itu, pas sempat saya mulai mempelajari tutorialnya. Ya ampun, bikin isian untuk ID saja, nggak segampang yang saya pikir. Beberapa kali tertolak karena format tidak sesuai. Ya saya belajar lagi, sampai akhirnya bisa dan memiliki ID yang dapat saya gunakan untuk akses penulis.

Setelah itu, masalah belum usai. Memproses hasil penulisan untuk publish, saya pun bolak-balik salah dan tidak sesuai. Berulang saya harus tanya, iki piye, habis itu bagaimana, kenapa ini muncul dua kali, kenapa itu didelete tetap masih ada, dll.

Ya ampun, kalau saya nggak punya semangat terus belajar, mungkin saya sudah jengkel. Tapi saya hanya tersenyum saja, menerima itu bagian dari proses pembelajaran saya. Dan begitu bisa dengan lebih baik, sekurangnya sesuai standar, saya pun gembira 🙂

Semangat terus belajar itulah yang menjadikan saya ringan hati terhadap hal-hal baru. Seberapapun orang mengatakan “ahli” pada saya untuk penulisan kreatif, saya selalu memandang bahwa selalu ada hal baru yang saya “tidak ahli”. Dan ini menjadi ringan untuk saya belajar, ketika saya menyadari ketidakahlian saya itu. Semangat untuk terus belajar itu mungkin juga yang menjadikan saya selalu “muda” karena saya tidak khawatir dengan tantangan pembelajaran. Jiwa pembelajar adalah jiwa muda. Kalau anda memutuskan untuk berhenti belajar dalam kehidupan ini, saat itulah anda menjadi tua.

Ari Kinoysan Wulandari

#kinoysanstory #artikelmedia #belajar #semangat #ariwulandari #arikinoysanwulandari #mediaonline

Please follow and like us:

Tamba Teka Lara Lunga

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co hari Sabtu, 21 Mei 2022 dengan link https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313426523/tamba-teka-lara-lunga-obat-datang-sakit-pun-pergi

Tamba teka lara lunga ‘obat datang, sakit pun pergi’ merupakan salah satu pitutur luhur budaya Jawa yang cukup populer. Nasihat itu mencerminkan pemikiran dan pandangan orang Jawa bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya. Setiap orang sakit pasti dapat disembuhkan.

Dimensi pemikiran orang Jawa ini tidak hanya memuat masalah sakit dan obatnya, tetapi kalau kita cermati ternyata mengandung banyak pandangan berkaitan dengan penyakit dan pengobatannya di lingkungan orang Jawa. Bahasan tersebut sekurangnya terdiri dari lima hal penting, yaitu (1) sakit – penyakit, (2) obat – pengobatan, (3) ahli pengobatan tradisional, (4) sikap orang Jawa terhadap sakit dan penyakit, hingga (5) adaptasi orang Jawa terhadap kemajuan pengobatan modern.

Pertama, sakit penyakit.

Sakit adalah bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dihindari. Seseorang dapat mengalami sakit karena di dalam tubuhnya ada penyakit. Penyakit merupakan sesuatu yang mengganggu atau gangguan di dalam tubuh manusia, yang menyebabkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan tersebut mengganggu harmonisasi kinerja tubuh secara keseluruhan, sehingga penderitanya terkena sakit.

Berdasarkan penyebab sakit, orang Jawa mengelompokkan penyakit menjadi dua, yaitu  lelara lumrah ‘penyakit wajar’ dan lelara ora lumrah ‘penyakit  tidak wajar’. Penyakit wajar adalah penyakit fisik yang secara umum mudah diidentifikasi, seperti batuk, panas, bisul, cacar, dll. Adapun penyakit tidak wajar ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh “perbuatan agen” —manusia dengan perantara jin, setan, makhluk halus (black magic), seperti disanthet, diteluh, diguna-guna, kesurupan, dll.

Adanya jenis penyakit tidak wajar itulah yang menyebabkan pengobatan tradisional di Jawa tetap tumbuh dengan subur. Bahkan di era teknologi seperti sekarang ini, meskipun rumah sakit dengan piranti dan perobatan medis modern sudah bertebaran di mana-mana; pengobatan tradisional Jawa tetap eksis. Hal ini terjadi, karena ada jenis-jenis penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh medis modern.

Kalau ada kasus orang kesurupan (penyakit tidak wajar), maka keluarga si penderita tidak akan membawanya ke Puskemas, rumah sakit, atau dokter. Mereka akan segera memanggil dukun, paranormal, kyai, atau ustadz —yang dianggap mumpuni untuk mengatasi kesurupan. Demikian juga untuk kasus-kasus penyakit tidak wajar lainnya, seperti disantet, diguna-guna atau lainnya.

Kedua, obat – pengobatan.

Obat dan pengobatan merupakan hal yang berkaitan untuk menyembuhkan sakit dan penyakit. Pengobatan tradisional Jawa ada tiga jenis, yaitu (1) tamba ‘pengobatan’ bisa berupa obat, ramuan, cara pengobatan (2) jamu ‘jamu’ adalah obat yang dimakan atau diminum, dan (3) ritual ‘berkaitan dengan ritus (tata cara dalam upacara adat/keagamaan)’.

Tamba ‘pengobatan’ digunakan untuk menyembuhkan penyakit, orang masuk angin ‘masuk angin’ ditambani ‘diobati’ dengan kerokan ‘dikerok’. Adapun jamu selain digunakan untuk menyembuhkan penyakit juga untuk menjaga kesehatan. Misalnya dengan minum jamu beras kencur ‘beras kencur’ orang akan lebih sehat dan kondisi tubuhnya terjaga. Jamu juga untuk mengatasi sakit yang bukan penyakit, misalnya wanita sakit setelah melahirkan diberi jamu tertentu agar badannya lekas sehat dan pulih.

Ritual dalam pengobatan tradisional Jawa lebih berkaitan untuk penyembuhan penyakit tidak wajar, seperti suker ‘sakit-sakitan karena hal supranatural’ atau sukerta ‘orang yang terkena suker’ dapat disembuhkan dengan ruwatan ‘ruwatan’.

Pengobatan tradisional Jawa merupakan tradisi yang sudah mapan yang dapat dirunut sejarahnya dari relief candi, serat-serat, dan primbon-primbon pengobatan. Misalnya pada relief Candi Borobudur, yaitu pada relief Karmawibhangga panel 2, panel 11, panel 18, dan panel 19.

Adapun naskah-naskah yang membahas jenisjenis penyakit dan cara pengobatannya secara tradisional, antara lain Serat Centhini, Serat Primbon, Serat Primbon Sarat Warna-warni, Buku Primbon Jampi Jawi, Punika Kagungan Dalem Jampi, Serat Primbon Jampi-jampi, Catatan Jamu Tradisional I, Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, Serat Primbon Ratjikan Djampi Djawi Djilid 1-4, dan Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi. 

Panel 2 Relief Karmawibhangga Candi Borobudur (Pengobatan terhadap Anak yang Sakit oleh Laki-laki dan Perempuan)
Dokumentasi Ari Wulandari, 2015

Pemberian obat dan pengobatan oleh orang Jawa berdasarkan gejala-gejalanya, baru menentukan tindakan terhadap penyakit. Gejala penyakit dalam pandangan orang Jawa terdiri dari gejala katon ‘yang tampak’ atau fisik dan gejala ora katon ‘yang tidak tampak’ atau nonfisik.

Gejala fisik adalah gejala-gejala penyakit yang bersifat fisik, mudah diidentifikasi melalui pengamatan, penciuman, dan sentuhan. Misalnya mata abang ‘mata merah’ (identifikasi melalui pengamatan), abab mambu ‘nafas bau’ (identifikasi melalui penciuman), dan awak adhem ‘badan dingin’ (identifikasi melalui sentuhan). Pengenalan gejala yang tidak tampak atau nonfisik umumnya melalui tanya jawab antara penderita dan pengobat tradisional.

Gejala penyakit nonfisik adalah pengindikasian keberadaan suatu penyakit yang terjadi oleh diri pribadi atau orang lain. Hal ini biasanya bersifat subjektif menurut pengamatan atau pengalaman penderita, kemudian dipastikan melalui diagnosis pengobat tradisional.

Ketiga, ahli pengobatan tradisional.

Mereka yang bisa mengidentifikasi penyakit dan memilih pengobatan yang tepat adalah ahli pengobatan tradisional. Ahli pengobatan tradisional Jawa terdiri dari dukun, paranormal, wong tuwa ‘orang yang dituakan’, wong pinter ‘orang pintar’, kyai ‘kiai’, dan sesepuh ‘orang yang dituakan’. Dari ahli pengobatan tradisional Jawa tersebut ada yang dapat mengobati penyakit wajar dan penyakit tidak wajar. Ada yang bisa mengobati penyakit wajar saja, ada yang bisa mengobati penyakit tidak wajar saja.

Keberadaan para ahli pengobatan tradisional ini masih dapat ditemukan di seluruh tanah Jawa. Kadang-kadang tempat operasional mereka berdampingan dengan Puskesmas, rumah sakit, klinik bersalin, atau tempat praktik dokter. Hal ini menunjukkan orang Jawa menerima dengan baik adanya pengobatan tradisional dan pengobatan modern.

Keempat, sikap orang Jawa terhadap sakit dan penyakit.

Pada saat sakit, orang Jawa umumnya tidak langsung pergi ke Puskesmas, rumah sakit, dokter atau ahli pengobatan tradisional. Biasanya mereka akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut. Langkah pertama, mereka akan melakukan pengurangan aktivitas secara mandiri. Misalnya mereka yang terkena batuk atau pilek tetap akan bekerja seperti biasa, meskipun dengan pengurangan aktivitas.

Apabila dengan pengurangan tersebut, badan menjadi lebih sehat, mereka akan kembali beraktivitas penuh. Pada saat ini mereka tidak melakukan pengobatan sama sekali. Mereka sering menganggap gejala batuk, pilek, pusing, demam, panas ringan, tidak enak badan, dll yang setipe merupakan kondisi tubuh lelah dan harus istirahat.

Langkah kedua, kalau dalam tiga hari mereka melakukan pengurangan aktivitas fisik dan tubuhnya belum merasa sehat, mereka akan mencari obat. Pengobatan dalam hal ini merupakan jenis pengobatan mandiri. Mereka biasanya membeli obat di warung, apotik, supermarket terdekat sesuai dengan pengetahuan masing-masing. Misalnya obat sakit kepala, obat batuk, obat flu, dll. obat-obatan yang bebas beli tanpa perlu resep dokter.

Langkah ketiga, kalau sudah meminum obat dalam waktu tertentu, mereka belum sembuh; barulah mereka akan datang ke Puskesmas, rumah sakit, klinik, atau dokter terdekat. Pemikiran seperti inilah yang menyebabkan banyak sekali orang Jawa datang ke rumah sakit atau dokter setelah kondisinya parah.

Ada banyak kasus pengobatan yang lama dan berat, karena pemikiran yang seperti ini. Orang Jawa menganggap sakit bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Kalau mereka bisa mengobati secara mandiri, mereka menganggap tidak perlu berobat.

Langkah keempat, kalau sudah mendapatkan pengobatan dengan dokter atau ahli pengobatan tradisional yang mereka percayai, mereka akan mematuhinya. Terlebih kalau dengan kepatuhan tersebut mereka merasakan tubuhnya lebih sehat dan lebih enak untuk beraktivitas kembali.

Umumnya pada penyakit-penyakit wajar yang bersifat ringan dan sudah jelas pengobatannya, mereka yang menderita sakit dapat dengan mudah disembuhkan. Kecuali beberapa penyakit berat yang keberhasilannya masih cenderung kecil —seperti raja singa (HIV, aids), edan (gila, schizoprenia, depresi), kanker darah, kanker otak, stroke, demensia, dll.

Langkah kelima, orang Jawa menganggap bila seseorang sudah menjalani beragam pengobatan sampai titik maksimal yang bisa mereka dan keluarganya usahakan, tetapi tidak kunjung sembuh; kecenderungannya orang Jawa akan pasrah. Mereka harus bisa menerima dan menjalaninya dengan ikhlas. Mereka harus menganggap bahwa itu bagian dari takdir kehidupan manusia.

Kelima, adaptasi orang Jawa terhadap kemajuan pengobatan modern. Orang Jawa dengan budayanya yang sangat tua dan mapan, merupakan salah satu etnis di Indonesia yang terbuka, adaptif, dan mengikuti perkembangan zaman. Hal ini terbukti dengan adanya banyak perubahan dan modernisasi pada pengobatan tradisional Jawa. Modernisasi tersebut antara lain terlihat pada lima hal penting sebagai berikut.

Pertama, identifikasi penyakit mengikuti medis modern. Selain menggunakan identifikasi penyakit secara tradisional, pengobatan tradisional Jawa juga mulai mengikuti tradisi identifikasi penyakit dalam medis modern, seperti pemeriksaan denyut nadi, pemeriksaan darah, dan berbagai kemajuan lain untuk mempermudah pengobatan tradisional.

Kedua, komputerisasi atau pencatatan riwayat medis. Sebelumnya riwayat medis penderita berdasarkan ingatan pengobat tradisional, kini sebagian telah menggunakan sistem komputer atau sekurangnya dicatat secara teratur.

Ketiga, obat Jawa dalam bentuk modern. Pengobatan tradisional Jawa telah mengolah bahan-bahan obat dalam berbagai bentuk, seperti konsentrat, kering, teh, cair, kapsul, dll. sehingga lebih praktis, tahan lama, dan mudah dibawa ke mana-mana bila penderita berasal dari tempat yang jauh dari tempat pengobatannya.

Keempat, masalah izin dan tarif. Umumnya pengobatan tradisional tidak berbayar atau sak ikhlase ‘seikhlasnya’. Seiring perkembangan zaman, sebagian pengobatan tradisional telah menjadikan keahlian mengobati sebagai profesi.

Mereka pun mengikuti prosedur standar, mengurus izin, memasang tarif, dan berlomba-lomba pamer keahlian. Sebagian yang lain masih praktik tanpa izin karena menganggap “mengobati penyakit” adalah “panggilan hati”.

Kelima, medis tradisional Jawa bertemu medis modern. Orang Jawa termasuk etnis yang terbuka terhadap perubahan. Para ahli pengobatan tradisional memanfaatkan kemajuan medis modern untuk memperkuat medis tradisional. Kesadaran perlunya kerja sama antara medis tradisional dan medis modern itulah yang menyebabkan pengobatan tradisional Jawa tetap lestari dan terus berkembang.

Seperti itulah hal-hal yang berkaitan dengan nasihat tamba teka lara lunga ‘obat datang, sakit (pun) pergi’. Adanya pemikiran dan pandangan yang luas tersebut menunjukkan kearifan lokal orang Jawa. Kearifan lokal yang tercermin dalam pemikiran dan tindakan-tindakan orang Jawa berkaitan dengan obat dan penyakit.

Catatan:

Tulisan ini merupakan sebagian kecil dari hasil penelitian Disertasi S-3 Ari Wulandari, “Istilah Penyakit dan Pengobatan Tradisional Orang Jawa: Sebuah Kajian Linguistik Antropologis”, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2016.

#publikasimedia #ariwulandari #artikelpopuler #jawa #kinoysanstory

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Kebangkitan Nasional: Bebas dari Utang

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com hari Kamis, 19 Mei 2022 dengan link berikut: https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063422118/kebangkitan-nasional-bebas-dari-utang?fbclid=IwAR0KpLlqIWV0hFiUKFNk98Wp7SnHK3aQqYw0XBLIRppvB2eRnl7VgIFM0Ig

Hari Kebangkitan Nasional kita peringati setiap tanggal 20 Mei sebagai bentuk penghargaan dan peringatan atas perjuangan para generasi muda pendahulu kita, demi Indonesia Merdeka. Kini kita sudah 76 tahun merdeka dengan bentuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dari Sabang sampai Merauke. Kita terus melakukan pembangunan di segala bidang demi tercapainya bangsa Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

Terlalu jauh kalau saya membahas urusan pembangunan dengan semangat kebangkitan nasional. Kebangkitan dalam versi saya sebenarnya bagaimana seseorang mengatasi kondisi buruk dan mengubahnya menjadi kondisi baik. Hal yang seperti ini ada banyak di sekitar kita. Bisa jadi kita pun mungkin mengalami. Tidak mungkin dalam kehidupan kita selamanya mulus-mulus saja. Pasti ada jatuh bangunnya, mulas mualnya —yang harus kita selesaikan.

Persoalan yang sering mengurung kita terpuruk dalam kehidupan adalah masalah utang dengan berbagai latar belakang. Utang membuat kita serasa terpenjara dalam kehidupan. Kita cenderung tidak bebas mengatur keuangan kalau punya utang. Mereka yang tidak punya utang —biasanya lebih “merdeka”, hidup tenang tidur nyenyak, tidak khawatir menyambut hari-hari baru.

Sebagai freelancer yang menekuni dunia tulis menulis dalam kurun hampir sepanjang hidup, saya tahu persis rasanya mendapatkan rezeki besar, rezeki sedang, rezeki kecil, atau bahkan tidak ada rezeki selama berbulan-bulan. Kalau manajemen keuangan saya tidak baik, pasti sudah sejak lama saya terjebak dengan masalah utang saat tidak ada pekerjaan yang langsung menghasilkan uang.

Toh di sekitaran kita, tidak hanya freelancer yang terlibat masalah utang. Mereka yang berpenghasilan tetap dan besar pun bisa terlibat masalah utang. Biasanya utang-utang ini terjadi karena gaya hidup yang berlebihan, ibarat besar pasak daripada tiang. Atau bisa juga karena manajemen keuangan yang kurang baik. Uang dan seluruh penghasilan seperti menguap begitu saja, tanpa tahu persis penggunaannya.

Dalam kehidupan ini, siapa siy yang tidak pernah terlibat masalah utang? Porsi utang tiap orang dan sebab alasannya berbeda-beda. Utang tidak selalu buruk. Ada orang yang memutuskan untuk mengalihkan investasinya sebagai utang. Kalau tidak “berutang” mereka tidak bisa menyisihkan uangnya.

Sebagai contoh, ada orang yang bekerja menetap dan tiap bulan mendapatkan gaji. Dia memilih untuk menanggung cicilan logam mulia emas 100 gram sebesar 1 gram setiap 1 bulan. Tentu saja biaya 1 gram itu harus ditambah biaya-biaya administrasi dan nilai perubahan selama masa mengangsur. Cicilan itu didebet langsung setiap bulan dari rekening gajinya.

Secara nalar, sebenarnya biaya mencicil logam mulia 100 gram itu jauh lebih besar dibandingkan kalau yang bersangkutan membeli logam mulia 1 gram setiap bulan. Namun pertimbangannya tidak seperti itu. Kalau membeli logam mulia 1 gram setiap bulan, dia belum tentu bisa. Sebaliknya kalau dipotong langsung setiap bulan (meskipun dengan biaya tambahan), dia selalu bisa. Hingga akhirnya lunas juga cicilan logam mulia 100 gram  dan emas pun menjadi miliknya.

Tentu utang seperti itu banyak jenisnya. Bisa untuk beragam kebutuhan besar; rumah, program pendidikan tinggi, mobil baru, haji – umroh, pensiunan, wisata ke luar negeri, dll kebutuhan hidup. Mereka pun sudah tahu dari mana sumber uang untuk membayar “utang” itu. Biasanya pihak pemberi utang juga sudah menentukan serangkaian syarat —termasuk kemampuan si pengutang untuk membayar.

Kalau utang seperti ini rasanya bolehlah kita menganggapnya “bukan utang”, tetapi cicilan. Utang yang sudah jelas peruntukan dan sumber pembayarannya. Utang-utang yang sering tidak terduga itu lho yang membuat banyak orang sering kelimpungan. Utang kartu kredit, penggunaan paylater yang berlebihan, utang online, utang-utang pribadi karena hal-hal yang tidak urgent. Pembelian produk branded untuk sekedar memenuhi gengsi dan keinginan tanpa menghitung secara cermat kemampuan, biasanya menjadikan orang terjebak utang berkepanjangan.

Sekali terlibat utang model begini, agak sulit terbebas. Intinya, boleh utang dengan tetap mengukur kemampuan masing-masing. Ingat saja, pujian orang pada barang-barang yang anda beli (dengan cicilan) tidak bisa membayari cicilan anda saat kesulitan uang.

Berutang boleh saja, asal kita memerlukannya. Pada saat sudah memiliki uang, bila memungkinkan segera bayar lunas utang-utang anda. Jangan menunda-nunda. Uang itu licin. Ke sana ke sini, merasa punya uang tanpa sadar menggunakan sedikit demi sedikit. Tidak terasa tahu-tahu uang habis tanpa tahu persis penggunaannya.

Bagaimana kalau saat ini kita masih terlibat utang yang banyak? Mungkinkah kita bisa terbebas dari utang? Jelas sangat mungkin. Ada banyak orang yang hidupnya tenang, bahagia, damai, sehat sentausa karena bebas utang.

Bagaimana caranya bebas utang? Sebenarnya ini tergantung dari setiap pribadi. Saya percaya setiap orang punya role atau model pengaturan keuangan yang berbeda. Carilah yang cocok dan nyaman, lalu terapkan. Kalau sudah ketemu yang cocok, jangan beralih lagi.

Ada beberapa tips yang saya gunakan sejak bertahun-tahun silam agar terbebas dari utang, meskipun bekerja sebagai freelancer. Bagi mereka yang bekerja menetap dengan gajian tiap bulan, tentu lebih mudah lagi mengaturnya. Berikut ini uraian detailnya.

Kesatu, penghasilan. Petakan dan hitung keseluruhan penghasilan anda dalam setahun. Bagi freelancer bisa menggunakan penghasilan tahun sebelumnya sebagai patokan. Kalau anda berpasangan (suami/istri/partner/sahabat/saudara), hitung pula semua penghasilan yang anda berdua peroleh. Termasuk bonus-bonus dll yang pasti diterima sepanjang tahun.

Anda bisa menggunakan aplikasi pencatat keuangan yang free akses untuk memudahkan saat sudah mulai menerapkannya. Demikian juga dengan hal lain-lain. Dengan pencatatan detail menggunakan aplikasi akan memudahkan anda mengetahui secara pasti keadaan keuangan anda.

Kedua, pengeluaran. Petakan dan hitung semua kebutuhan pokok dalam setahun. Namanya saja kebutuhan pokok. Berarti mulai dari tempat tinggal (kalau anda mencicil, kontrak, kos, sewa, dll pembayaran), makan, pakaian, pendidikan anak-anak, kesehatan, transport, komunikasi, dll yang rinciannya bisa sangat banyak. Perhatikan juga perubahan-perubahan yang terjadi. Kalau tahun sebelumnya keluarga dengan dua anak, tahun berikutnya ada tiga anak; tentu tidak bisa menyamakan jumlah kebutuhan pokok dan pengeluaran. Semakin rinci keperluan dan jumlah yang harus dikeluarkan akan semakin baik.

Ketiga, sedekah. Sebenarnya ini tidak ada aturan dalam manajemen keuangan; tapi pastikan anda membagikan sebagian rezeki kepada fakir miskin dan orang yang lebih membutuhkan. Besarannya beragam antara 2.5% s/d 10% sesuai dengan kemampuan anda. Ini bagian dari sedekah untuk menolak bala dan biar rezeki kita terus mengalir lancar sepanjang masa.

Keempat, dana darurat. Kalau sudah tahu berapa total penghasilan. pengeluaran setahun; hitung berapa jumlah uang yang tersisa dalam setahun. Uang ini bisa anda gunakan sebagian untuk dana darurat. Berapa besaran dana darurat, tiap orang memiliki pandangan yang berbeda. Sekurangnya harus ada dana untuk 1 bulan biaya keperluan hidup. Jangan sampai tidak ada dana darurat sama sekali.

Kelima, total utang. Hitung semua utang anda. Ini tidak termasuk yang saya anggap “cicilan” seperti uraian di atas. Hal ini sudah termasuk kebutuhan pokok yang harus anda keluarkan. Hitunglah semua utang yang belum ada jaminan pembayarannya. Dengan mengetahui total keseluruhan utang, akan membantu anda untuk fokus melunasinya.

Keenam, bayar utang. Hitung uang yang tersisa dari sebagian dana darurat (langkah keempat). Bagi yang memiliki utang, anda bisa menggunakannya untuk membayar utang-utang. Harus segera membayarkan, terlebih kalau pihak pemberi utang memberi kelonggaran anda untuk mencicil.

Misalnya anda punya utang 150 juta pada beberapa pihak, tapi ada pemberi utang mengizinkan anda mencicil. Setiap punya uang harus langsung mencicil utang. Kalau anda menunggu sampai jumlahnya terpenuhi mungkin lebih sulit. Kalau tidak mungkin dicicil, berusahalah menabungkan dana bayar utang di rekening non-ATM dan non-aplikasi, sehingga segera terpenuhi untuk membayar utang.

Langkah kesatu sampai keenam itu, mungkin saja tidak mudah bagi anda yang baru berniat membebaskan diri dari utang. Ini berarti anda harus hidup hemat, memangkas beberapa hobi dan kesenangan, dll. Kegiatan atau kesenangan yang biasanya boleh dilakukan menjadi “ditunda” dulu. Versi saya, kalau mau bebas utang ya harus sedikit “berpuasa”.

Selanjutnya langkah ketujuh, penghasilan tambahan. Apabila memungkinkan carilah pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan. Anda bisa menekuni hobi yang menghasilkan uang. Anda bisa memanfaatkan aset-aset di rumah anda untuk berkarya atau kerja. Ingat, kalau anda tahu persis berapa utang yang ingin anda lunasi; cara ini biasanya menambah semangat.

Kedelapan, fokus melunasi utang. Kalau niat awalnya bekerja tambahan untuk membereskan utang; fokuslah di situ. Jangan uangnya untuk foya-foya karena akan timbul masalah lagi. Membebaskan diri dari utang ini perlu waktu yang beragam tergantung besar kecilnya utang yang anda. Makin cepat beres makin baik jadinya.

Kesembilan, mengatur ulang. Kalau utang-utang sudah beres, anda boleh mengatur kembali manajemen keuangan. Uang-uang yang biasanya untuk membayar utang sudah mulai bisa untuk menabung, investasi, atau memenuhi keperluan besar lain —wisata luar negeri, pendidikan tinggi, haji – umroh, membeli tanah rumah baru, dll sesuai keinginan anda.

Kesepuluh, hidup sederhana. Kalau sudah terbebas dari utang-utang, jangan jumawa, jangan sombong. Tetaplah hidup sederhana. Tetaplah fokus pada kebutuhan, bukan keinginan untuk hidup sehari-hari. Sementara untuk keinginan besar, anda bisa mulai menabung dan tidak perlu terlibat utang.

Kalau harus berutang untuk keinginan, pilihlah utang yang cerdas. Misalnya, anda ingin umroh dan sudah menyiapkan dana 30 juta. Namun bank anda memberikan fasilitas kerjasama dengan agensi umroh. Pembayaran anda itu bisa diubah jadi cicilan 30 bulan dengan per bulan hanya 1 juta tanpa bunga selama 30 bulan.

Kalau ada tawaran seperti itu, ya anda ikut saja. Uang 30 juta yang sudah anda siapkan bisa anda gunakan untuk investasi lain. Sementara anda bisa pergi umroh cukup dengan membayar 1 juta per bulan. Tidak selalu punya utang itu buruk. Tidak selalu tidak punya utang itu cerdas secara finansial. Pilih-pilihlah yang paling sesuai yang paling bikin anda bahagia.

 

#ariwulandari #publikasimedia #mediaonline #bebasdariutang #kinoysanstory #artikelmedia

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Pendidikan Nasional: Belajar dengan Gembira

Tulisan ini sudah dimuat di penabicara.com hari Kamis, 12 Mei 2022 dengan link berikut ini: https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063383757/pendidikan-nasional-belajar-dengan-gembira?fbclid=IwAR00brdhD4HmC0n9-wfv-k1HSTbcOOp7xl_gbo_TSZQXIULYT0EV-3a3gNc

Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei sudah lewat beberapa hari. Namun karena pas hari itu kita masih merayakan Idul Fitri atau berlebaran, maka saya baru mengulas materi ini sekarang. Menurut saya, pendidikan tetap akan menjadi tema atau bahasan yang selalu up to date; karena di dalam pendidikan itu selalu ada proses belajar terus menerus untuk memperbaiki kehidupan.

Saya termasuk orang yang mempercayai bahwa pendidikan tinggi adalah satu-satunya jalan untuk memangkas kemiskinan. Kita secara langsung atau tidak langsung dapat melihat, mereka yang memiliki pendidikan tinggi —secara umum memiliki tata ekonomi yang lebih mapan. Tidak selalu seperti itu, tapi kecenderungan umum begitu. Mereka yang mendapatkan pendidikan formal lebih layak (tinggi), bisa mengakses pekerjaan formal secara lebih luas dibandingkan mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi.

Oleh karena itu, meskipun bertahun-tahun sejak belia saya adalah freelancer sebagai penulis profesional, saya tetap memutuskan untuk sekolah tinggi. Saya melihat bahwa sekolah formallah yang membantu kita berpikir secara teoretis dan konstruktif. Sekolah formal mendorong kita untuk terbiasa melihat segala sesuatu secara sistematis dan menyeluruh. Sekolah tinggi bagi saya bukan semata-mata demi menambah gelar dan ijazah —yang ora payu ‘tidak laku’ di dunia freelancer, tetapi tentang membentuk pola pikir dan meluaskan jaringan atau relasi.

Saya bersyukur bahwa Tuhan sudah memberikan kepada saya kesempatan sekolah formal sampai tingkat tertinggi. Dan inilah yang menjadi persoalan ketika kemudian saya ditanya oleh mereka yang ingin menempuh sekolah tinggi; bagaimana cara lulus dari salah satu kampus terbaik dengan waktu yang sangat cepat. Pertanyaannya mudah, tetapi untuk menjawabnya saya perlu waktu untuk sedikit berpikir.

S-1 Sastra Indonesia UGM saya tempuh 3 tahun 1 bulan, S-2 Ilmu Linguistik UGM saya selesaikan 1 tahun 4 bulan, S-3 Ilmu-Ilmu Humaniora UGM saya rampungkan 3 tahun 3 bulan. Saya bejo alias beruntung dengan latar belakang anak desa nun jauh di Tulungagung, bisa mengenyam pendidikan tinggi di kampus biru ini. Waktu studi yang singkat, tidak menghalangi saya untuk menjadi bagian dari lulusan-lulusan terbaik.

Waktu studi yang singkat itu bisa saya tempuh, salah satu faktornya adalah kuliah dengan biaya mandiri alias mbayar dhewe. Semakin lama studi saya, tentu semakin besar biaya yang harus saya keluarkan. Kuliah dengan bekerja, tentu tidak sama dengan mereka yang hanya fokus kuliah dan dibiayai. Karenanya sejak awal kuliah, saya merasa wajib bertemu pembimbing dan dosen terkait untuk membicarakan soal masa studi dan cara agar saya bisa lulus cepat.

Selain itu, saya yakin yang mendorong saya lulus cepat adalah belajar dengan gembira. Saya senang pada materi pembelajaran yang saya pilih. Tantangan dan hambatan selama masa studi menjadi seperti lewat begitu saja. Jatuh bangun kuliah demi mendapatkan hasil terbaik, tidak menjadi beban bagi diri saya. Semua dapat saya lalui dengan hati riang gembira sebagai proses yang membuka mata ilmu saya.

Jauh sebelum saya menempuh pendidikan tinggi, tentu saya juga harus melewati masa pendidikan yang bernama sekolah —pendidikan dasar. Ada banyak kegembiraan sekolah di masa saya belia. Karena dulu saat masuk SD (Sekolah Dasar) tidak ada kewajiban untuk anak harus punya ijazah TK (Taman Kanak-Kanak) apalagi PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Jadi, saya sekolah mulai dari SD (Sekolah Dasar). Sekolahnya pun sekolah pemerintah, sekolah negeri. Kurikulum yang saya terima, tentu sesuai dengan kurikulum negara. Anak-anak masuk jam tujuh pagi dan pulang jam sepuluh siang untuk kelas satu dan dua. Selanjutnya setelah kelas tiga, masuk kelas jam tujuh pagi pulang jam dua belas siang. Setelah masuk SMP (negeri) dan SMA (negeri), sekolah pun tetap masuk kelas jam tujuh pagi dan pulang jam dua belas siang.

Apesnya karena orang tua saya terbatas secara ekonomi dan harus menyekolahkan enam orang anaknya, maka kami tidak dileskan ini itu atau diikutkan kursus pelajaran beragam. Waktu kami bebas untuk bermain di siang hari sampai tiba jam tiga sore. Jam empat sampai enam sore, saya bersaudara masuk pesantren untuk belajar agama Islam dari belia sampai lulus SMA.

Semuanya berlangsung begitu saja dengan kegembiraan. Ke sekolah, ke pesantren, saya gembira. Selain bertemu teman-teman ya karena sekolah tidak terlalu lama. Tugas-tugas sekolah dan dari pesantren ada, tapi tidak banyak dan tetap bisa dikerjakan dengan bermain-main. Saya pikir gembira dalam belajar itulah yang harus kita terapkan pada diri kita; bahkan saat kita bekerja. Hati yang riang gembira akan menjadikan semua proses sulit terasa lebih ringan dan mudah.

Mari kita lihat kondisi dunia pendidikan sekarang. Setiap anak yang mau masuk SD sudah harus punya ijazah PAUD dan TK. Selain itu ada semacam tuntutan masuk SD sudah harus bisa baca tulis. Sebagian sekolah swasta masih ditambah syarat pemenuhan lulus seleksi sesuai dengan standar yayasan.

Melihat anak-anak balita (PAUD dan TK) sudah menggotong tas berat berisi buku-buku atau materi pelajaran, bikin saya miris. Keponakan-keponakan saya pun begitu. Demi bisa lulus PAUD dan TK sebelum sekolah di SD. Mereka masuk kelas, berinteraksi dengan teman-teman, tapi dengan banyak pelajaran yang dituntut harus bisa, harus lulus. Versi saya, pendidikan dasar selazimnya memperkenalkan adab demi membentuk kepribadian yang baik. Bukankah semestinya proses belajar itu adab dulu baru ilmu?

Saya tidak hendak menyalahkan pembuat keputusan dunia pendidikan. Saya lebih ingin melihat beban pada anak-anak belia. Alangkah baiknya kalau mereka benar-benar “sekolah bermain”; tidak perlu dites ini itu demi selembar ijazah yang tidak berarti apa-apa.

Lha mbok yakin, ijazah PAUD sama TK itu lho, untuk apa nantinya saat mereka dewasa? Tidak berguna. Bahkan sekarang untuk ijazah SD, SMP, dan SMA pun bisa dianggap “tidak berguna” karena ora payu di dunia kerja. Dunia kerja kita (terutama yang formal) sudah menuntut minimal sarjana untuk setiap kesempatan.

Toh nyatanya banyak dari kita sebagai orang tua yang tergila-gila memfasilitasi anak-anak dengan beragam kesibukan sekolah sejak dini. Setelah anak-anak masuk SD, SMP, SMA —orang tua pun latah untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah terbaik dengan biaya mahal dengan beban kurikulum yang berat.

Semua itu menjadikan anak-anak ini seperti robot yang menghabiskan waktunya di ruang pembelajaran. Mereka tidak lagi memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Waktu mereka habis untuk sekolah dan tugas-tugas. Belum lagi les atau kursus ini itu —demi ambisi orang tua.

Sekolah telah menjadi “momok” bagi sebagian anak. Pembelajaran tidak lagi terasa menyenangkan. Sekolah telah menjadi kewajiban semata bagi sebagian pelajar. Banyak anak kehilangan minat belajarnya justru karena beban belajar yang berlebihan. Beban yang berat itu masih harus diikuti dengan serangkaian tuntutan dari orang tua yang ingin anaknya selalu juara. Mereka memberikan beban “belajar” tambahan yang berbiaya tinggi, demi anak-anak bisa menjadi juara-juara atau posisi-posisi terbaik. Juara di sekolah, juara di berbagai kegiatan lomba.

Saat memperoleh kejuaraan tersebut, apakah anak-anak itu bergembira? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Tapi yang jelas orang tuanya pasti gembira. Mereka merasa telah “berhasil” mendidik anak-anaknya menjadi generasi terbaik, terpandai, terpintar, dll sebutan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dibahas.

Bagi anak, seperti yang pernah saya alami di masa belia, kegembiraan yang paling benar adalah bermain bersama teman-teman, tertawa tanpa beban pekerjaan rumah atau tugas-tugas sekolah. Bisa jadi, kegembiraan anak versi sekarang sudah berubah; tetapi kalau beban sekolah terlalu berat akan menjadikan anak justru tidak tumbuh kembang secara optimal.

Saya tahu, kurikulum sekolah bertujuan baik untuk mendidik generasi yang terampil, cerdas, terbuka dan mampu berkompetensi di tengah kemajuan global. Tujuan yang sangat mulia. Pendidikan menjadi ujung tombak pembangunan mental suatu bangsa. Tapi perlukah itu semua untuk anak-anak di usia pendidikan dasar hingga SMA? Hingga kita harus rela mengorbankan masa bermain anak-anak?

Hanya pemikiran sederhana saya, bukankah lebih baik kalau pendidikan dasar itu anak-anak diajak untuk “beradab” dan setelah lepas SMA barulah dibawa untuk “berilmu”? Beradab tentu saja berarti memiliki adab yang baik dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian dari pendidikan dasar kita akan mendapatkan generasi yang tahu apa artinya antri, mengerti bagaimana tertib berlalu lintas, menghormati orang tua, menyayangi yang lebih muda, menghargai perbedaan, dll.

Dari pendidikan dasar ini akan “tercipta” generasi bangsa yang beradab dan berkepribadian luhur. Setelah anak memasuki masa perkuliahan barulah kita menuntut mereka untuk “berilmu”. Mereka bisa memiliki ilmu sesuai dengan passion masing-masing agar dapat berkompetisi di dunia kerja.

Tentu pemikiran ini, bukan sesuatu yang mudah untuk diterapkan dengan kultur pendidikan di Indonesia. Negeri kita ini sangat gila gelar dan ijazah. Ada banyak orang yang merencengi gelar tanpa kontribusi yang tetap diagung-agungkan. Sementara ada banyak orang tanpa gelar dengan kontribusi besar pada masyarakat, justru dipandang dengan sebelah mata.

Perlu satu tata perubahan keputusan dan keberanian untuk menjadikan pendidikan di Indonesia lebih “beradab” dan “berilmu” untuk mencetak generasi-generasi terbaik. Perlu kebesaran hati kita para orang tua untuk mengizinkan anak-anaknya belajar dengan gembira. Biarkan mereka memilih jalur pendidikan yang sesuai minat dan bakatnya.

Siapkah kita untuk itu? Bersediakah kita memberi ruang kepada anak-anak untuk gembira saat sekolah? Bisakah kita membebaskan mereka untuk tidak menjadi juara-juara di setiap hal?

Sekurangnya jawaban dari pertanyaan itulah yang dapat menolong anak-anak kita untuk tetap belajar dengan gembira. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itulah, yang membuat kita lebih arif ketika mendapati anak-anak kita ternyata tidak selalu menjadi anak-anak nomor satu. Gembira dalam belajar, sejatinya membawa kegembiraan dalam kehidupan. Hati yang riang gembira adalah obat dari segala persoalan kehidupan.

#tulisanmedia #publikasimedia #mediaonline #ariwulandari #kinoysanstory #pendidikannasional #belajardengangembira

Ari Kinoysan Wulandari

 

Please follow and like us: