Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, 2 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063510765/menerima-takdir
Judul di atas saya beri tanda petik “Menerima Takdir” karena ini bukan hal yang mudah. Menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita, butuh jiwa besar dan hati yang lapang. Kadang-kadang perlu waktu untuk bisa menerima kenyataan pahit.
Mari kita ingat peristiwa di sekitar kita atau kejadian yang kita alami. Kita sudah belajar mati-matian, giliran nilai ujian keluar, kita hanya mendapat nilai B. Sementara teman yang kelihatan tidak belajar, justru mendapat nilai A. Kita sudah bekerja sampai lembur-lembur, yang dapat promosi kawan dari meja sebelah. Atau kita sudah berjuang dengan segala cara demi gebetan, hadeuh dianya nikah sama teman semeja kita. Kita menabung sedikit demi sedikit untuk beli mobil, tetangga seberang dapat undian hadiah mobil yang kita inginkan.
Ada banyak lagi hal-hal setipe yang terjadi di sekitar kita. Lalu, secara tidak sadar kita menganggap Tuhan kok rasanya jadi tidak adil. Kita yang kepingin dan berusaha sepenuh jiwa raga, yang dikasih justru mereka yang sepertinya tidak ada usaha atau tidak perlu-perlu amat. Pada saat seperti itu, pasti kita ingin marah, kecewa, kesal, dll emosi negatif. Kalau kita tidak segera berlapang dada, bisa-bisa kemarahan itu akan merusak seluruh kebahagiaan kita.
Kalau saya pribadi, karena tidak membandingkan dengan orang lain, cenderung mudah menerima takdir. Tidak mudah-mudah amat siy! Terlebih kalau rasanya sudah I do my best, itu ya rada bikin saya sewot hati. Untungnya saya tidak baperan. Setelah beberap menit, ya sudah. Belum rezeki saya.
Sebenarnya kalau saya mau mengulik mereka yang terlihat santai ongkang-ongkang itu, tidak sepenuhnya benar. Mereka bekerja lebih keras daripada saya, tapi saya tidak tahu. Waktu kerja saya dan mereka tidak sama. Mereka bertemu saya ketika sedang santai. Di luar itu, mereka bekerja ekstra. Jadi ya wajar, kalau hasil kerja mereka lebih baik daripada saya.
Ketika saya menyadari hal itu, sirik buta saya langsung menguap. Justru saya harus berkawan untuk mengetahui cara mereka berprestasi. Penghargaan saya atas kelebihan masing-masing, membuat saya menerima prestasi orang lain dengan ikut gembira.
Lalu bagaimana caranya agar kita mudah menerima takdir? Biar kita tidak iri dengki dengan anugerah orang lain?
Jawabannya bisa beragam. Hal ini tergantung pada karakter dan kepribadian setiap orang. Tips-tips berikut dapat kita gunakan agar kita mudah menerima kekalahan dan kemenangan setiap waktu.
Pertama, berdamai.
Saat kita sudah berjuang dan ternyata hasilnya tidak sesuai harapan, ya sudah. Terima saja kenyataan itu dan berdamai. Penerimaan itu akan membuat kita ringan hati. Kita juga tidak menganggap orang lain tidak berhak atas prestasi atau anugerah tersebut.
Kalau kita percaya adanya takdir, tentu mengetahui hal ini. Segala sesuatu yang tidak tertulis di dalam takdir, mau jungkir balik sebegitu keras pun, ya tidak akan sampai ke genggaman kita. Sebaliknya kalau sudah ditakdirkan, ibaratnya berusaha sedikit saja, pasti jadi.
Pengetahuan tersebut akan mencegah kita dari keterpurukan. Kita justru mempelajari, mencermati kekurangan, sehingga bisa belajar dan memperbaikinya. Pada saat ada kesempatan lagi, kita bisa mendapatkan prestasi atau hasil yang lebih baik.
Kedua, menyampaikan pada pihak lain.
Kecewa itu jelas tidak menyenangkan. Ada baiknya kita menyampaikan kekecewaan pada pihak lain yang kita percayai. Bisa orang tua, pasangan, sahabat, kerabat, anak, dll. Biar kekecewaan itu tidak menggumpal di dada yang bikin sesak hati.
Kalau khawatir orang lain tidak peduli dengan kekecewaan kita, mungkin kita bisa menuliskannya di ranah pribadi. Dengan menuliskan secara detail, kita bisa mengeluarkan semua ganjalan dan uneg-uneg sampai puas. Hati kita pun terasa lebih ringan. Siapa siy di dunia ini yang tidak pernah gagal? Hanya mereka yang tidak pernah mencoba melakukan sesuatu yang tidak pernah gagal.
Ketiga, jangan membandingkan diri kita dengan orang lain.
Biasanya kita tidak mudah berdamai dengan keadaan kita, karena membandingkan diri kita dengan orang lain. Terlebih saat kita merasa kita “lebih baik” daripada orang lain. Alih-alih bersyukur dengan segala perolehan kita, justru kita bisa mengacau dan membuat keributan dengan orang lain.
Pada saat kita sedang dirundung kekecewaan, ada baiknya menepi sejenak. Menyendiri mungkin lebih baik agar kita terhindar dari tindakan negatif yang merusak. Kalau prestasi orang lain itu diposting ramai-ramai di media sosial, perlu juga kita sejenak menonaktifkannya. Tujuannya untuk memberi ruang pada hati kita untuk menerima segala ketidaknyamanan akibat kekalahan.
Keempat, ingat prestasi atau anugerah kita yang lain.
Gagal sekali bukan berarti gagal seterusnya. Lulus dengan biasa saja, bukan berarti tidak sukses di masa depan. Tidak menang lomba, bukan berarti kita tidak bisa profesional. Dengan menyadari hal ini, kita akan lebih mudah menerima segala kekalahan atau kegagalan kita.
Saat kita gagal, ada baiknya kita mengingat prestasi dan anugerah kita yang lain atau sebelumnya. Hal ini akan membesarkan hati kita. Bahwa dalam perjalanan hidup kita, tidak melulu gagal atau melewati kegagalan. Ada masanya juga kita berjaya, mendapatkan prestasi, dan banyak anugerah.
Dengan mengingat itu, sekurangnya kita akan kembali percaya diri dan berbesar hati. Kita akan menerima, bahwa menang kalah, juara tidak juara, promosi atau tidak mendapat promosi, merupakan hal yang biasa dalam kehidupan. Dengan peristiwa yang beragam, hidup kita juga akan lebih berwarna. Ada banyak hal yang bisa kita jadikan hikmah atau cerminan di masa depan.
Kelima, senang menjalani proses.
Ketika kita menginginkan sesuatu, tentu ada prosesnya. Pada saat kita menjalani proses itu dengan riang dan gembira, kita tidak akan terlalu terganggu dengan hasilnya. Kalaupun hasil itu belum sesuai harapan, sekurangnya prosesnya telah kita lalui dengan gembira. Orang-orang yang bekerja dengan sukacita, cenderung “baik-baik saja” terhadap semua kemungkinan hasil kerja. Bagi mereka, hasil hanyalah dampak dari kinerja yang mereka lakukan.
Mereka tidak terganggu dengan hasilnya. Kegembiraan dan keceriaan sudah jadi warna kehidupan mereka. Sebagian kita setelah menjadi dewasa, sering lupa caranya bergembira. Hidup kita terlalu dibebani dengan aneka program dan target, lalu kita lupa cara menikmati hidup. Padahal hidup adalah anugerah yang paling berharga.
Mungkin kita perlu menengok ke anak-anak balita, betapa mereka selalu gembira dalam segala suasana. Saat jatuh ketika belajar berjalan pun, mereka hanya menangis sesaat, lalu bangkit lagi, berjalan lagi dan berlari. Mereka tidak takut jatuh, karena mereka lebih sadar senangnya bisa berjalan dan berlari.
Keenam, memberi semangat diri sendiri.
Setiap orang, bisa saja gagal. Namun kalau dia sudah belajar menerima kegagalan dan tetap semangat untuk belajar, terus bertumbuh, dia pasti akan mendapatkan kesuksesannya. Berapa lama? Ya, tergantung usaha dan jalan takdirnya.
Kita harus menerima bahwa takdir itu kadang-kadang seperti perjudian. Kita tidak tahu wujudnya sebelum terjadi. Kita tidak pernah tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah. Jangankan yang jauh ke depan, lima menit saja, kita tidak bisa meramalkan masa depan. Jangan coba-coba mendikte takdir, kalau tidak ingin hidup kita penuh dengan beban derita.
Cara seseorang untuk memotivasi diri atau memberikan semangat itu berbeda-beda. Cobalah periksa niat dan tujuan anda melakukan sesuatu. Kalau sudah ketemu, anda bisa kembali mengafirmasi diri dengan muatan positif, memeriksa cara kerja, mempelajari kesalahan, dll. Intinya, cara boleh berubah, tapi jangan mengubah tujuan awal anda.
Ketujuh, mencoba lagi.
Ketahanan mental dan kekuatan hati seseorang tidak sama. Ada yang gagal berulang, tetap saja mencoba dan mencoba lagi sampai berhasil. Dia memiliki motivasi dan semangat pendukung yang kuat. Namun ada yang sekali gagal, lalu trauma dan tidak mau mencoba lagi. Dia takut kembali gagal dan tidak ingin lagi berkecimpung di bidang tersebut.
Setiap kita memiliki pandangan yang berbeda. Alangkah bijaknya, kalau kita mengetahui tujuan kita. Dari sana kita bisa menentukan akan berjuang lagi atau berhenti. Dalam hal ini, yang terpenting anda tidak menyesali pilihan anda. Kalau berulang mencoba, tidak mengeluh. Kalau berhenti, tidak nyinyir pada mereka yang terus berusaha.
Kedelapan, sabar.
Sabar ini termasuk kosakata yang mudah diucapkan, tapi tidak mudah dijalankan. Sabar dengan kegagalan apalagi. Kalau bukan diri kita yang menguatkan hati, tentu sulit untuk membuat kita sabar.
Saat pertama gagal, mungkin kita harus mencoba lagi. Silakan periksa banyak riwayat atau biografi orang sukses. Mereka sering kali mengalami kegagalan yang berulang. Namun mereka tidak menyerah. Mereka terus berusaha. Mereka tetap sabar menjalani prosesnya sampai mendapatkan kemenangan.
Kesembilan, mencari ilmu.
Segala sesuatu ada ilmunya. Kalau kita ingin mempercepat kesuksesan, kita perlu mencari guru atau mentor. Mereka yang berilmu dan berpengalaman, biasanya sudah mengetahui “lubang-lubang” yang biasa membuat seseorang jatuh atauh gagal. Dengan adanya guru ini, kita tidak perlu terjatuh di “lubang-lubang” jebakan tersebut. Kita bisa menghindarinya dan mempercepat waktu kesuksesan dengan adanya guru.
Berguru memang memerlukan waktu khusus, energi, biaya, fasilitas, sarana prasarana, dll. Namun itu sesuatu yang pantas untuk sebuah perjuangan. Kalau dengan berguru kita bisa memangkas waktu keberhasilan menjadi lebih cepat, kenapa tidak? Sekurangnya, kalau versi saya dengan berguru kita jauh lebih termotivasi. Karena contoh suksesnya ada, jalan perolehannya pun tersedia.
Kesepuluh, berdoa.
Ini sebenarnya tidak ada korelasinya secara langsung. Namun berdoa itu bisa jadi spirit yang luar biasa untuk keberhasilan kita. Berdoa membuat kita yakin kalau kita tidak sendirian. Ada tangan Tuhan yang turut bekerja dalam usaha kita. Berdoa versi saya, pilihlah dengan bahasa yang kita pahami, sehingga lebih khusyuk dan khidmat.
Yach, seperti itulah proses menerima takdir. Tidak selalu mudah. Toh kalau sudah terjadi, tetap harus kita terima dan harus kita hadapi. Jadi, kenapa tidak kita sambut dengan syukur dan gembira? Sekurangnya kegembiraan membantu kita keluar dari keputusaan dan kekecewaan lebih cepat. Orang-orang yang gembira sering kali mendapatkan bala bantuan lebih banyak daripada mereka yang bermuram durja.