Artikel ini telah dimuat di penabicara.com hari Kamis, 23 Juni 2022 dengan link berikut ini. https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063729590/kalau-kamu-menikah
Suatu pagi saya masuk ke ruangan di kampus. Di situ ada 3 atau 4 orang —saya sudah agak lupa detailnya. Saya tidak mengenali mereka dan belum pernah bertemu. Tiba-tiba seseorang ala embok-embok menyeru keras kepada saya, “Gek ndang rabi. Kalau nggak punya pacar atau calon suami, sini takkenalin temenku. Dia duda, baru ditinggal mati istrinya dua bulan lalu. Nggak punya anak dan lagi cari istri baru. Kepenak to duda ra duwe anak.”
Saya kaget dan menjadi awkward dengan kosakatanya yang kasar. Saya menahan emosi. Sebagai penulis yang tidak hanya kenyang berkarya, tapi juga sudah lebih dari makan asam garam berhadapan dengan fans dan haters, saya merasa wes fans berat ini. Hehe…, kalau dia tidak ngefans, pasti tidak mau repot-repot mencari tahu tentang saya dan waton muni seperti itu. Lha saya tahu dia saja enggak, ketemu atau interaksi di sosmed juga belum pernah.
Pasti dia dengan pihak lain, wes ngrasani saya. Lalu menganggap saya yang belum menikah sebagai sesuatu yang buruk. Mungkin niatnya baik, tapi jadinya kurang etika karena tidak kenal. Baru kali itu saya berhadapan dengan orang nyinyir model begini.
Saya menurunkan emosi pada grade terendah. Eh, lah kok masih diteruskan nyinyirannya, “Kamu kan tahu, kalau orang Islam menjodoh-jodohkan dan sampai mereka menikah itu sama seperti membangun rumah di surga.”
Wahaha… enteng betul dia mengkapling surga untuk dirinya sendiri? Dengan nyinyiran yang mirip pisau jagal sapi? Entahlah. Karena tidak hendak berbalas kata, saya pun pergi. Demi menetralisir energi negatif kiriman si julid, saya bermeditasi sejenak. Saya dengan sadar mendoakan jiwa si embok nyinyir, memaafkan kelakuannya, dan meminta maaf pada diri saya yang masih “terbawa emosi” sesaat. Setelah tenang, saya meneruskan gaweyan.
Dalam fase kehidupan kita yang normal, dari seseorang lahir bayi, anak-anak, remaja, dewasa, kuliah, kerja, menikah, beli rumah-kendaraan, punya anak, membesarkan anak, menikahkan anak, lalu fase hidup kembali berulang. Demikian itu pola kehidupan yang mainstream diterima dan dilakoni masyarakat kita. Lalu mereka yang tidak begitu, dianggap “salah”; terutama kaum perempuan.
Pada saat lebih belia, saya juga berpikir untuk mengikuti pola itu. Namun dengan banyaknya jatuh bangun urusan pernikahan, saya memilih berdamai dan menerima takdir. Saya sempat menduga ada masalah dengan kepribadian saya. Dengan sadar diri saya menemui psikolog, menjalani serangkaian tes dan pemeriksaan psikologi. Hasilnya saya baik-baik saja dengan beberapa keiistimewaan.
Saya juga tidak berlatar belakang keluarga broken home yang bisa membuat orang trauma dengan pernikahan. Ibu bapak saya menikah di usia belia, hingga usia pernikahan 35 tahun saat bapak meninggal. Ibu saya setia tidak menikah lagi hingga sekarang, hampir 20 tahun sejak bapak meninggal. Saudara-saudara saya menikah, punya anak-anak, dan keluarganya baik-baik.
Saya pernah mengadukan persoalan hidup kepada Tuhan. Seperti sebuah keajaiban, Tuhan seolah mengajak saya berbicara. Bagai slide film yang terpampang di depan mata, saya diajak menengok perjalanan hidup saya sejak lahir hingga tiba di depan Ka’bah saat itu. Tergambar berlimpahnya anugerah yang telah saya terima. Saya jadi merasa malu bertanya mengapa Tuhan belum memberikan pernikahan. Saya pun menangis sejadi-jadinya.
Menyadari saya ini mung wayang yang kudu manut dhawuhe sang Dhalang. Sebagai orang yang beriman pada kehidupan dunia akhirat, saat itu saya menyadari terlalu mengurusi satu hal yang belum diberi, dan kurang mensyukuri banyak hal yang sudah dianugerahkan Tuhan.
Sejak itu, saya bertekad untuk menikmati seluruh anugerah yang diberikan Tuhan sepenuhnya. Saya tidak perlu merisaukan apa yang belum atau tidak diberikan kepada saya. Sekembali dari Mekah, hanya dalam 3 tahun; kaki-kaki mungil saya telah menapaki 25 negara dengan berbagai latar belakang: pekerjaan, sponsor wisata, dolan, breakdown lokasi syuting, dll. Perjalanan yang kalau saya tuliskan sebagai novel, butuh sekurangnya 25 tahun.
Dalam waktu 3 tahun juga, negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini telah saya jejaki dengan sempurna. Mungkin kalau tidak terjeda pandemi, lebih banyak lagi tempat yang menjadi catatan rekam jejak saya. Saya mengerjakan banyak sekali pekerjaan penulisan, sehingga memungkinkan saya membeli rumah seperti beli buku saja dan menaruh beberapa hal untuk masa depan.
Alhamdulillah. Saya tidak akan ge-er ada orang yang iri dengki dengan pencapaian saya. Ada banyak orang dengan pencapaian hidup yang lebih banyak, lebih bagus. Tapi bagi saya, semua itu adalah anugerah istimewa. Hidup sejatinya tentang penerimaan semua takdir baik buruk dengan penuh rasa syukur.
Bagi saya ternyata lebih menyenangkan untuk melihat sunset di Papua yang elok, menapaki perjalanan panjang untuk sampai ke Pantai Ora di Maluku, merasakan dingin air bawah Laut Bunaken sementara di atas cuaca sedang panas membara, atau menyaksikan sepasang lumba-lumba meloncat di ketinggian Laut Banda, menyaksikan ikan-ikan hitam besar di kedalaman Danau Toba, dll perjalanan dibandingkan beribet dengan urusan momong anak, beributan membangunkan anak di waktu pagi, mengurusi seabrek gaweyan rumah tangga yang konon tidak ada habisnya.
Bahwa ada banyak perempuan yang berbahagia hidup berumah tangga, yes itu pilihan mereka. Saya tidak berhak menakar kebahagiaan mereka dengan standar saya. Kalau ukuran sepatu saya 40, dipaksa memakai sepatu nomor 37 ya kesakitan, pun kalau diminta memakai sepatu nomor 43 jelas tidak pas.
Saya memahami bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah. Kalau pernikahan itu mudah, pasti tidak banyak kasus perceraian. Tidak akan ada orang-orang yang rumah tangganya terlihat adem ayem, tahu-tahu bercerai. Tidak akan ada banyak LBH-LBH (Lembaga Bantuan Hukum) yang menangani kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) —termasuk di lingkungan terdidik dan terhormat, penipuan janji pranikah, penggelapan warisan mertua, ipar-ipar yang merecoki, mertua yang menjengkelkan, suami/istri yang ternyata tidak sesuai harapan, dll kasus yang berujung pada perceraian dan kasus-kasus pidana.
Coba cek di sekitarmu, berapa banyak perempuan yang bagai sapi perah kerja rodi dalam pernikahan. Sudah bekerja sepagi sore yang melelahkan, dibebani mengurusi anak dan rumah tangga, dengan suami yang ongkang-ongkang seperti benalu masih selingkuh sampai punya anak pula. Betapa banyak istri-istri yang diam-diam menangis darah karena kelakuan suaminya yang tidak beradap. Ada banyak kejahatan rumah tangga dalam bingkai pernikahan yang terasa lebih ekstrim dari kisah pilu sinetron jeritan para istri.
Saya juga menyaksikan banyak pernikahan bahagia. Suami istri yang rukun. Mereka bahu membahu membesarkan anak. Saling menolong, saling menopang. Saling menghormati, terus setia dan saling mencintai —lebih dari selamanya. Banyak dari mereka yang pasangannya sudah meninggal, tetap setia. Rumah tangga orang tua saya pun, versi saya adalah contoh riil sepasang anak manusia bersetia cinta dalam pernikahan; melewati jatuh bangun kehidupan dan membesarkan ketujuh orang anak —jelas perjalanan panjang yang tidak mudah.
Saya pun bersyukur tinggal di lingkungan rumah dengan tetangga-tetangga yang berbahagia seperti ini. Memiliki pernikahan dengan cinta berlimpah. Kalau sang istri sedang repot mengurusi anak, si suami yang sudah lelah bekerja pun tidak segan mengangkati jemuran, membersihkan rumah. Atau sebaliknya. Banyak tindakan yang riil yang menunjukkan betapa mereka bekerja sama menghidupkan pernikahan dengan kasih sayang.
Saya berharap kalau kamu perempuan yang menikah dan bahagia bersama keluargamu, pasanganmu orang baik, hidup sejahtera dengan pekerjaan mapan, anak-anakmu penuh berkat, bersyukurlah dan jagalah semuanya baik-baik. Karena Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang (bisa) mengambil semuanya sewaktu-waktu.
Sementara kalau kamu perempuan yang belum atau tidak menikah dengan beragam sebab, tetap berbahagia dan bersyukurlah. Tidak usah iri dengki dengan mereka yang menikah dan terlihat lebih bahagia. Bahagia itu bukan urusan sudah menikah atau belum menikah; tapi pada keikhlasan menerima dan menjalani takdir kita dengan berlipat syukur. Setiap orang menjalani ujiannya masing-masing, termasuk mereka yang sudah menikah.
Saya belum menikah, iya betul. Kalau dengan keadaan itu hidup saya dianggap salah, bermasalah, atau tidak bahagia, saya menolak sepenuhnya. Hidup saya baik-baik saja. Saya berlatar belakang sekolah tinggi. Memiliki pekerjaan dan karir yang baik sebagai penulis. Masih ditambah pekerjaan sebagai dosen —baik tetap maupun tidak tetap. Memiliki orang-orang dekat dan keluarga yang penuh cinta. Tinggal di rumah yang nyaman dengan tetangga-tetangga yang selayaknya keluarga. Hidup sehat, tenang damai, makmur sejahtera.
Bagi saya sekarang, pernikahan seperti fase kehidupan lainnya. Ada orang-orang yang mendapatkan cepat, ada yang lebih lambat, ada yang memutuskan tidak mengambilnya. Urusan seperti ini saja, kok ada orang yang senggang banget nyinyiri kehidupan saya, yang bahkan kenal juga enggak. Kalau kenal, malah ngomongnya hati-hati karena saling menjaga perasaan.
Saya mungkin sudah tahap pada selesai dengan diri sendiri. Saya menerima diri saya dan orang lain dengan semestinya. Tidak terlalu terganggu dengan omongan orang, apalagi kalau tidak menambah kontribusi baik dalam kehidupan saya.
Seperti suatu pagi tiba-tiba saya disapa seseorang, “Kok Bu Ari tumben ke kampus ngojek?”
Saya berusaha keras mengingat, tapi rasanya belum pernah bersapa sua dengan orang ini. Sepertinya fans saya di kampus ini banyak :D, jadi yang suka nimbrung kepo ini itu —ada saja. Saya jawab, “Iya, kalau ke sini ngojek.”
Saya tidak merasa bahwa pertanyaan dan jawaban itu menjatuhkan harga diri saya atau terus tiba-tiba berubah jadi miskin. Itu sudah lewat dari hidup saya. Senyatanya kalau mau bawa motor atau mobil ya bisa. Tiap orang memiliki pertimbangan berbeda. Kalau terlalu peduli dengan remeh temeh ginian, habis waktu kita. Kita tidak akan sempat berkarya yang bermanfaat bagi sesama.
Buat kaum nyinyirens, ojo waton muni alias jangan asal bicara. Terlebih pada orang-orang yang tidak kamu kenal. Tidak semua orang memiliki kekuatan hati seperti saya. Bisa saja suatu ketika kamu mencela orang, berbalas ramai dan berbuntut kasus hukum. Terus…, bagaimana nasib embok nyinyirens di atas? Saya berpikir lebih baik menghindarinya. ****