Kenapa (hanya) Kartini?

Saya dan Kartini. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Sejak lama, banyak pihak mempertanyakan kenapa harus Kartini yang dipilih sebagai pahlawan kemajuan perempuan Indonesia. Dan kenapa hanya Kartini yang hari lahirnya diperingati sebagai “hari kemajuan perempuan” Indonesia?

Kenapa bukan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Christina Martha Tiahahu, atau Nyi Ageng Serang, dll yang menurut banyak versi lebih banyak kiprahnya bagi kaum perempuan Indonesia

Betul, Kartini memang tidak melakukan hal-hal besar dalam bentuk perubahan atau peperangan fisik seperti perempuan perempuan hebat yang disebutkan.

Kartini hanya menulis surat kepada sahabat-sahabatnya di Eropa, berkaitan dengan pemikirannya tentang perempuan. Surat-surat itulah yang dikumpulkan oleh J.H Abendanon dalam buku “Door Duisternis tot Licht” (1911) yang kemudian diterjemahkan oleh Arminj Pane dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” Balai Pustaka (1922).

Sejak itulah pemikiran Kartini tentang perempuan tersebar luas di Nusantara dan kemudian dengan Keputusan Presiden No 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno menetapkan Kartini sebagai salah satu pahlawan nasional dan jadilah 21 April hari kelahiran Kartini diperingati sebagai hari nasional.

Bagaimana dengan perempuan hebat lainnya yang disebutkan oleh berbagai versi? Tentu saja, mereka tidak menulis. Oleh karena itu, apa yang mereka lakukan hanya bisa dikenali dari identifikasi yang dilakukan orang lain, yang sangat beragam dan tidak otentik pemikiran pribadi masing-masing perempuan hebat tersebut.

Nyatanya itu tidak cukup kuat untuk menyebut mereka sebagai peletak dasar kemajuan pemikiran perempuan Indonesia. Rekam jejak tertulis sebagai bukti otentik pemikiran mereka tidak ada.

Lalu, kenapa TIDAK MENULIS? Apapun pekerjaan anda, MENULISLAH. REKAM JEJAK SEJARAH anda pribadi agar segala sesuatu yang berharga, bisa dinikmati dan dimanfaatkan banyak orang di masa mendatang. Ilmu seluas apapun, kalau tidak anda tulis dan tidak anda sebarluaskan, akan hancur musnah begitu anda mati.

Jadi, masih beralasan juga untuk TIDAK MENULIS? Tidak usah khawatir terhadap segala sesuatu yang tidak anda tahu. MENULIS simpel saja seperti sehari-hari menulis di media yang anda gunakan untuk berkomunikasi.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Memilih Penerbit yang Baik

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Kadang sebagai penulis, kita masih berpikir penerbit yang baik itu seperti apa. Dari berbagai jenis penerbit, kiranya pertimbangan berikut dapat kita jadikan acuan.

  1. Periksa buku-buku terbitannya di toko buku, kalau terus menerus, dan selalu ada dalam jumlah banyak, umumnya penerbitnya mapan secara finansial.
  2. Periksa update di internet. Internet menyediakan informasi apa saja tentang penerbitan buku. Ada banyak kabar yang bisa kita cari tahu dari internet. Cari yang bagus.
  3. Tanya ke penulis dan pihak-pihak lain yang pernah berhubungan atau bekerja sama dengan penerbit yang bersangkutan.
  4. Gabunglah di komunitas-komunitas yang berkaitan dengan dunia penerbitan. Biasanya, di komunitas lebih terbuka dan blak-blakan. Berita apa saja umumnya dishare. Kalau berita baik biasanya tidak sampai heboh, tapi kalau berita buruk umumnya banyak orang yang tahu.
  5. Datang ke workshop penulisan dan workshop-workshop yang berkaitan dengan dunia penerbitan. Biasanya di sana ada sharing tentang penerbitan yang bagus.
  6. Coba temui pihak penerbit sebelum bekerja sama. Tatap muka dan diskusi, biasanya memberikan kita gambaran penerbitannya seperti apa.
  7. Menyesuaikan tulisan yang dikirim dengan visi misi penerbit. Jangan sampai buku kita religi, tapi mengirimnya ke penerbit yang hanya menerbitkan buku pertanian, misalnya.
  8. Menyesuaikan kemampuan penulisan dengan penerbit yang dikirimi. Maksudnya, kalau kita penulis yang baru sama sekali dan tidak ada link, tidak salah kok mencoba ke penerbit kecil yang profesional dan bagus. Kemungkinkan diterima dan diterbitkan lebih besar.
  9. Memilih penerbit melalui perantara atau agensi. Sekarang sudah banyak agensi naskah. Biasanya mereka lebih kenal medan penerbitan. Yang penting, pilih yang baik.
  10. Gunakan intuisi. Ya, tiap orang beda-beda. Kadang-kadang ketika harus mengambil keputusan dalam waktu cepat, mau menerima tawaran kerja sama atau tidak, sementara saya tidak banyak tahu hal tentang partner baru ini, saya menggunakan hati dan intuisi saya. Melihat kondisi yang terlihat pada mata pikiran saya. Kalau di hati kok rasanya bagus, biasanya saya ikuti. Kalau rasanya tidak bagus, meski tawarannya terlihat “menggiurkan” saya pilih meninggalkannya.

Nah, selamat mencoba. Silakan kalau ada yang mau menambahkan.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Menulis dengan Hati

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Zaman dulu, saat saya mulai belajar menulis bukan zaman internet seperti sekarang. Nggak ada kelas-kelas penulisan. Nggak ada guru menulis, apalagi di kampung saya yang pelosok –nulisnya pun masih pakai mesin ketik. Suaranya cetak cetok mengganggu kalau malam sunyi.

Kalau kirim naskah ke media harus disertai perangko balasan biar dikembalikan dengan catatan koreksi. Tapi ya tentu saja saya tetap nggak mudeng, di sekolah nggak ada pelajaran menulis.

Saya buangi saja naskah kembalian di tempat sampah ruang belajar, begitu dikembalikan dari redaksi. Jadi saya nggak pikiran sudah nulis begitu banyak. Saya ngitungnya ya tetep satu naskah yang sedang saya kerjakan.

Tahunya pas saya sudah jadi penulis, sudah lama banget, ibunda saya ngasih tuh naskah-naskah yang ditolaki media…. 111 naskah. Bayang pun 🤣🙈 Betapa heroiknya saya menulis dengan membabibuta, tak tahu arah jalan dan cara yang benar.

Terus entah kapan begitu ibu saya menemukan lagi sekitar 10-an, jadi ya 121. Kalau sekarang mengingat lagi, saya bersyukur diberi “mudah lupa” tidak terlalu mengingat apa yang sudah lewat. Nulis terus, dengan satu fokus: dimuat di media 😃💪

Jadi asli, sebel banget kalau ada calon penulis yang baru 3x naskah ditolak sudah teriak menye-menye ke seluruh dunia, hidupnya paling apes…. lah, yang ngerasa apes kan dirinya sendiri 😂

Menulislah dengan sungguh sungguh, pakai hati. Lamban gakpapa yang penting progress.
Buruk gakpapa yang penting jujur dan
tulisan sendiri, bukan plagiat apalagi ketik ulang naskah orang yang sudah publish
dan mengakui sebagai milik sendiri.
Itu sungguh tidak patut!

Menulislah sendiri. Lamban dan buruk itu proses menulis dengan cepat dan baik.
Berlatihlah dan terus belajar hingga menulis
jadi gampang dan menyenangkan 😊😍🤗

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Berkurban dengan Niat

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Jumat, tanggal 8 Juli 2022 dengan link berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063845978/berkurban-dengan-niat

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Dalam perjalanan hidup saya bersaudara, pernah ada masa yang sangat gelap. Jangankan memikirkan untuk lulus kuliah, besok makan apa saja, kami tidak tahu. Praktis setelah usaha bapak bangkrut, hidup kami menjadi tidak mudah. Banyak hal yang terbiasa ada, tiba-tiba hilang. Dan itu semakin parah ketika bapak meninggal, saat kami enam bersaudara masih semrawut, belum ada yang mentas (mapan).

Kami semakin tenggelam dalam duka mendalam, karena ternyata almarhum bapak meninggalkan utang-utang yang sangat banyak. Ibaratnya rumah satu-satunya yang dimiliki ibu (yang saat itu selamat dari penyitaan bank) karena tidak jadi agunan bank  —dijual pun tidak akan menutup semua utang bapak.

Semasa hidupnya, bapak dan ibu sengaja tidak memberitahukan semua hal itu kepada anak-anaknya, agar kami tidak ikut resah. Begitu bapak meninggal —rasanya kita tahu ya, harus diinformasikan penanggung jawab utang dari si mayit. Karena ibu saya masih ada, ya tentu utang-utang bapak menjadi tanggungan ibu saya. Dengan kondisi ibu sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja, hal itu tentu bukan sesuatu yang mudah.

Beberapa waktu setelah lewat masa berduka, ibu berpikir untuk menjual saja rumah miliknya untuk membayar utang bapak. Saya bersaudara ramai beribut, kalau rumah dijual harus tinggal di mana. Mengontrak rumah bukan urusan mudah, belum kalau harus pindah-pindah karena harga kontrakan yang terus naik.

Saya bersikukuh agar rumah tidak dijual dan bersama saudara membereskan utang-utang almarhum bapak. Saudara-saudara lainnya pun sepakat. Tahu kan ya, kalau rumah dijual dadakan, pasti harganya jatuh miring. Terlebih itu satu-satunya rumah yang ada kenangan bersama keluarga. Kalau dijual hilang pula memori keluarga kami.

Tidak mudah, karena yang baru lulus kuliah baru saya. Lainnya masih embuh, entah bisa sekolah atau tidak. Lha untuk urusan makan sehari-hari saja kami mumet. Namun janji Allah itu benar. Setelah kesulitan ada kemudahan. Ada banyak pertolongan yang tidak terduga.

Saya ditarik bekerja ke Multivision Plus yang memberikan ruang penghasilan besar. Saudara saya ada yang mendapatkan beasiswa kuliah penuh. Saudara saya yang lain memutuskan bekerja sambil kuliah. Sementara yang tinggal di rumah masih sekolah, harus turut membantu menjaga ibu kalau para penagih utang datang.

Sedikit demi sedikit utang bapak berkurang. Karena jumlahnya besar dan kami harus berjibaku tetap harus kuliah dan hidup, maka pembayaran utang-utang itu memakan waktu sepuluh tahun. Tentu tidak mulus begitu saja. Ada banyak “caci maki” dan “cercaan” yang mengerikan. Terlebih kalau utang itu pada bank plecit atau rentenir yang menerapkan sistem bunga berbunga.

Karena menanggung utang-utang bapak dan biaya hidup rumah tangga orang tua, sebenarnya saat itu saya jelas tidak perlu berkurban. Hukum berkurban itu sunah muakad, sunah yang sangat penting —tetapi tetap tidak menghilangkan arti sunahnya. Kalau tidak mampu, ya tidak perlu berkurban.

Saat itu saya sudah berniat untuk berkurban. Karena penghasilan yang saya peroleh itu, kalau dihitung setiap tahunnya sudah lebih dari wajib untuk berkurban. Jadi begitu masuk kantor di Jakarta, saya menyisihkan sebagian uang saya berkurban. Malu rasanya saya diberi pekerjaan mudah, penghasilan besar, tapi tidak berkurban. Bahwa uangnya untuk beragam keperluan, itu kan tidak meninggalkan kenyataan saya mendapatkan penghasilan besar.

Bagaimana cara dulu berhemat untuk berkurban? Misalnya harusnya saya beli makan 50 ribu, saya memilih yang 40 ribu atau kurang, sehingga ada sedikit sisa untuk masuk “kantong kurban”. Sepanjang proses pembayaran utang-utang dan mengawal saudara-saudara saya kuliah, ya mung kambing itu yang bisa saya kurbankan.

Dasar pertimbangan saya, memohon kemudahan membereskan urusan yang banyak  dan tidak muda itu. Syukur alhamdulillah semua dapat beriringan. Alhamdulillah, dengan jatuh bangun dan bergandengan tangan bersaudara; rumah ibu ya tetap utuh, kami semua sarjana atau lebih, utang-utang bapak ya lunas.

Setelah itu, saya mulai menambah porsi berkurban. Kalau sebelumnya kambing, lalu ikut sapi untuk bertujuh, terus seekor sapi. Saya kadang merasa tidak fair menaruh seekor sapi di satu tempat. Jadi saya mengikuti keumuman berkurban  rata-rata, seekor sapi dibagi bertujuh. Tapi saya lakukan di tujuh tempat berbeda. Kalau dihitung total ya tetep seekor sapi dengan ruang pembagian yang lebih luas. Saya tetep berprinsip harus mengutamakan berkurban di tempat tinggal, baru ke daerah yang jauh-jauh.

Nah, dari pengalaman saya itu, saat ditanyain kawan tentang pilihan berkurban atau bayar utang dulu, saya kembalikan pada pertimbangannya. Tentu saja dalam pemahaman awam sebagai orang yang tidak ahli urusan agama Islam dan hukum ibadahnya dengan detail, maka saya mengatakan kalau versi saya; bayar utang dulu, baru berkurban.

Pemikiran saya itu berkaitan dengan pemahaman kalau orang mati, bila dia memiliki utang, dia bisa tidak disholatkan sebelum ada yang bersedia menanggung utang-utangnya. Seorang yang mati syahid pun terampuni semua dosa-dosanya, kecuali utangnya. Jadi, bayar utang jelas wajib hukumnya.

Sementara hukum berkurban yang saya pahami adalah sunah muakad, artinya ibadah yang sunah yang sangat disarankan. Mengingat aturan ada sunahnya ini, tentu berkurban ini diperuntukkan bagi yang mampu berkurban. Berkurban kan harus dengan binatang ternak yang diperbolehkan, yaitu kambing, sapi, kerbau, unta. Padahal binatang-binatang ternak ini, cukup ada harganya yang harus dibayar oleh mereka yang hendak berkurban.

Keumuman berkurban di Indonesia menggunakan kambing atau sapi. Harga kambing di Indonesia saat ini kisaran 2.5 sampai 5 juta per ekor. Sementara harga sapi yang umum kisaran 20-35 juta per ekor. Makin besar bobotnya, biasanya harganya juga akan semakin besar. Semakin mendekati hari raya kurban atau Idul Adha, kadang-kadang harga kedua binatang ternak itu semakin mahal. Itulah sebabnya untuk berkurban di Indonesia yang paling banyak adalah berkurban seekor kambing atau seekor sapi yang ditanggung oleh tujuh orang.

Kalau seseorang sudah berniat untuk berkurban, sebaiknya dari satu tahun sebelumnya sudah memikirkan biayanya. Apakah ia harus menabung dulu, melakukan penggemukan kambing atau sapi, beriuran dengan saudara atau teman ataukeluarga, mencicil harga kambing atau sapi, dst. Banyak pilihan yang bisa disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Terus, bagaimana mereka yang memiliki utang? Tentu harus membayar utang lebih dulu sebelum berkurban. Dalam pemikiran saya, semestinya setiap orang bisa memikirkan mana yang terbaik bagi dirinya. Masing-masing memiliki tanggungan dan kepentingan keuangan yang berbeda-beda. Tidak bisa disamaratakan.

Bisa saja dia masih punya banyak utang, tapi memutuskan berkurban  —seperti yang saya lakukan di masa lalu. Ada juga kondisi seseorang tidak punya utang, tapi tidak sanggup berkurban. Ada yang kondisinya pas-pasan saja, tapi bersikeras menabung untuk membeli hewan kurban. Ada yang menitipkan kambing atau sapi pada peternak dengan membeli anakannya dan membayar biaya perawatan sampai tiba hari penyembelihan binatang kurban.

Ada pula yang berombongan tujuh orang dan beriuran menanggung harga seekor sapi selama satu tahun. Misalnya seekor sapi dibandrol 35 juta. Dari harga 35 juta untuk seekor sapi berarti setiap orang menanggung 7 juta, yang dicicil selama 12 bulan. Berarti setiap bulan setiap orang cukup mencicil 400-500 ribu. Tidak akan terasa berat bagi mereka yang punya penghasilan rutin gajian standar menengah 5-10 juta tiap bulan. Kalau harga sapi lebih rendah di kisaran 25 juta, maka iuran bulanannya bisa lebih kecil. Nanti mendekati hari H Idul Adha, rombongan bertujuh ini tinggal membeli sapi dengan menambah kekurangan biayanya. Namun untuk hal seperti ini, pengelolanya harus amanah dan bisa dipercaya lho ya. Jangan sudah mencicil tertib, tahu-tahu yang pegang duit kabur. Wah, bisa celaka dua belas kalau begitu!

Masing-masing bisa mengukur dan menakar kemampuannya. Tidak pernah ada pemaksaan untuk berkurban. Menurut saya, boleh saja kok seseorang “ngotot” untuk berkurban. Hal ini akan mendorongnya untuk bekerja lebih baik. Biasanya siy, yang saya rasakan secara langsung, urusan-urusan sulit jadi lebih mudah. Apakah itu dampak dari rutin berkurban, saya tidak tahu.

Petunjuk bahwa berkurban sangat baik, itu yang saya terima dengan totalitas. Kalau saya bisa mengerjakan, ya saya lakukan. Kalau tidak bisa, ya tidak saya kerjakan. Membawa ringan hati saja urusan seperti ini. Karena saya tahu, Islam itu mudah dan memudahkan.

Tentu kita tidak boleh mencari pembenaran sesuka kita. Seperti karena berkurban ini sifatnya sunah muakad, jadi menganggap tidak wajib. Sudah punya banyak rumah bertingkat dengan mobil bermerek jejer-jejer di garasinya, eh tetap saja tidak mau berkurban. Atau kalau mau berkurban pakai pecicilan ngatur minta bagian ini itu pada panitia. Biyuuu…. bikin ruwet ribet aja mereka yang begitu. Apakah ada? Banyak. Cek saja kalau anda jadi panitia kurban. Kalau seperti itu ya, jangan menyesal kalau Allah sewaktu-waktu mengambil semua kekayaan.

Saya sering mengingat kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tentang berkurban. Alangkah Maha Bijaksana Allah SWT. Kurbannya diganti dengan kambing gibas. Bayangkan kalau aturan berkurban yang diminta anak sulung laki-laki, betapa tragisnya. Nyatanya yang diminta seekor kambing atau sapi setiap tahun. Itupun dengan sukarela dan kesadaran masing-masing.

Akhirnya, mau berkurban atau tidak, mau berkurban atau bayar utang dulu; semua kembali pada pertimbangan masing-masing. Saya mengajak kepada siapa saja, kalau mau berkurban niatkan saja dulu. Bismillah minta dimudahkan rezeki untuk membeli hewan kurban. Insyaallah nanti ada saja tambahan rezeki tidak terduga untuk melakukan kurban.

Kalau masih punya utang, berniat saja dulu. Biar bisa bayar utang dan berkurban bersamaan. Allah itu sesuai persangkaan hamba-Nya. Kalau kita berpikiran dan bertekad baik, Allah akan memudahkan perwujudan kebaikan itu dari berbagai arah. Praktikkan dan buktikan saja. Tidak usah kebanyakan nanya dalil dan teorinya. Malah bisa-bisa nggak jadi berkurban nanti!

Selamat Idul Adha 1443 H. Selamat berkurban. Kalau tahun ini belum berkurban, niatkan sungguh-sungguh agar tahun depan bisa berkurban. Bagi mereka yang sudah mampu berkurban tahun ini atau dari tahun-tahun sebelumnya, semoga tetap bisa istikomah berkurban setiap tahun sepanjang hayat. Amin Yaa Rabbal Alamin.****

Please follow and like us:

Ritual Sebelum Pernikahan Orang Jawa

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 30 Juli 2022 dengan link sebagai berikut.

https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4314014904/ritual-sebelum-pernikahan-orang-jawa

NONGKRONG.CO —Pernikahan merupakan hal yang penting bagi orang Jawa.  Tradisi yang berlangsung berkaitan dengan pernikahan dalam adat Jawa sangat banyak. Tahapan sebelum pernikahan di kalangan orang Jawa ada dua macam, yang tidak menggunakan ritual dan yang menggunakan ritual.

Tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang tidak menggunakan ritual ada tiga macam, yaitu (1) pembicaraan pernikahan, (2) pembentukan saksi-saksi, dan (3) pembentukan panitia hajatan. Ketiga tahapan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama, Pembicaraan Pernikahan.

Pembicaraan pernikahan pada prinsipnya merupakan pertemuan kedua keluarga yang akan menikahkan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Keluarga mereka bertemu, berkenalan secara resmi, melakukan prosesi lamaran, hingga pembicaraan lain yang berkaitan dengan pernikahan putra putri mereka. Ubarampe dan kelengkapan dalam kegiatan ini sesuai kemampuan masing-masing. Ada yang sangat praktis modern, ada pula yang semuanya menggunakan pakaian adat Jawa.

Kedua, Pembentukan Saksi-saksi.

Keberadaan saksi-saksi pernikahan merupakan hal penting. Pembentukan saksi-saksi ini adalah permintaan orang-orang di luar keluarga, bisa tetangga dekat atau kerabat dekat untuk menjadi saksi prosesi pernikahan.

Pembentukan atau penentuan saksi-saksi ini tidak memerlukan ritual. Hanya permintaan dan kesediaan sebagai saksi kegiatan sebelum pernikahan. Kesaksian diperlukan pada empat acara, yaitu (a) srah-srahan, (b) peningsetan, (c) asok tukun, dan (d) gethok dina.

Keempat acara ini biasanya memerlukan ritual, terutama pada acara srah-srahan. Srah-srahan adalah penyerahan perlengkapan sarana dan prasarana untuk pernikahan, seperti cincin, makanan tradisional, pakaian wanita, uang, perhiasan, bahan pangan, dll sesuai aturan dan kesepakatan.

Peningsetan adalah acara tukar cincin antara pihak calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Asok tukon berarti menyerahkan sejumlah uang kepada calon mertua dari pihak calon pengantin laki-laki. Gethok dina adalah menetapkan hari untuk akad nikah dan resepsi dan lain-lain yang berkaitan.

Ketiga, Pembentukan Panitia Hajatan.

Pembentukan panitia hajatan bertujuan untuk memperlancar acara mantu. Panitia ini biasanya melibatkan keluarga dan orang dekat dari kedua belah pihak calon pengantin. Kalau acara mantunya besar-besaran, panitia hajatan ini dibentuk secara khusus di luar pihak keluarga atau orang dekat dari kedua belah pihak.

Itulah tiga tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang tidak menggunakan ritual. Sementara tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang menggunakan ritual ada sepuluh, yaitu (1) pasang tratag, (2) membuat kembar mayang, (3) pasang tuwuhan, (4) sungkeman, (5) siraman, (6) adol dawet, (7) potong tumpeng dan dulang pungkasan, (8) menanam rambut dan melepas ayam, (9) midodareni, dan (10) srah-srahan.

Pertama, Pasang Tratag.

Pasang tratag berarti memasang tenda di depan rumah dengan tarub dan hiasan alami di depan pintu masuk. Pemasangan ini sebagai penanda bahwa keluarga tersebut sedang merayakan pernikahan.

Orang Jawa umumnya menggunakan janur lengkung kuning. Janur lengkung kuning ini menandakan permohonan kesejahteraan dan keberkahan bagi calon pasangan pengantin dan keluarga besarnya. Selain itu sebagai perwujudan syukur kepada Tuhan bahwa anak-anak mereka telah dewasa dan akan menikah.

Kedua, Membuat Kembar Mayang.

Kembar mayang dibuat dari akar, batang, daun, buah, dan bunga. Daun kembar mayang ditekuk dan dimasukkan ke batang pisang. Bentuknya mirip gunung, cambuk, payung, kering, burung, dan belalang. Kembar mayang merupakan lambang kebijaksanaan dan motivasi hidup bahagia.

Ketiga, Pasang Tuwuhan.

Pasang tuwuhan atau menanam buah-buahan di dekat tempat siraman. Buah yang ditanam biasanya pisang raja satu tundun. Pasang tuwuhan melambangkan tanda kemantapan pasangan pengantin dalam pernikahan. Selain itu juga ada harapan agar pasangan pengantin segera memiliki anak.

Keempat, Sungkeman.

Ritual sungkeman berarti permohonan doa restu dari calon pengantin kepada orang tua kedua belah pihak. Sungkeman juga merupakan penanda terimakasih anak kepada orang tuanya telah membesarkan dan mendidik mereka sebelum menikah. Ritual ini biasanya ditandai dengan pemberian sesuatu dari calon pengantin kepada orang tua sebagai bukti cinta.

Selain permohonan doa restu dan pemberian tanda cinta, acara sungkeman juga diikuti dengan permohonan maaf atas segala kesalahan baik dari pihak anak maupun orang tua. Permohonan maaf ini demi memperbaiki hubungan orang tua dan anak yang mungkin saja ada kesalahan.

Kelima, Siraman.

Siraman berarti mandi sebelum pernikahan. Siraman ini dilakukan oleh pasangan pengantin. Siraman dilakukan dengan pakaian adat lengkap dengan beberapa aturan khusus. Air yang digunakan untuk siraman berasal dari tujuh sumber mata air dengan tujuh bunga yang harum; seperti mawar, melati, kenanga, kaca piring, sri tanjung, magnolia, dan wijaya kusuma.

Air untuk siraman dicampur dengan semua bunga yang telah dipersiapkan dan diendapkan sekurangnya 1 malam agar wanginya menguar kuat. Siraman dilakukan oleh tujuh orang keluarga dekat sang pengantin. Terakhir siraman dilakukan oleh orang tua pengantin.

Siraman ini merupakan simbol pembersihan diri dari segala kekotoran jiwa raga. Dengan jiwa raga yang bersih dan suci, pasangan pengantin diharapkan dapat memulai kehidupannya dengan baik dan bahagia.

Keenam, Adol Dawet.

Ritual adol dawet dilakukan oleh orang tua kedua calon pengantin. Dawet adalah salah satu minuman tradisional Jawa yang menyegarkan. Orang tua pengantin harus menjual dawet tersebut kepada para hadirin atau tamu undangan.

Uang yang digunakan dalam acara ini adalah kreweng atau mata uang dari pecahan genting tanah liat. Semua tamu harus membeli dawet yang dijual, tidak boleh ada tamu yang terlewat tidak membeli dawet tersebut.

Adol dawet merupakan simbol dari kesejahteraan dan cara orang Jawa memenuhi keperluan hidupnya. Berdagang merupakan simbol pekerjaan yang bisa dilakukan oleh siapa saja untuk mandiri.

Ketujuh, Potong Tumpeng dan Dulang Pungkasan.

Pada acara potong tumpeng dan dulang pungkasan ini, harus ada nasi tumpeng lengkap dengan ingkung ayam. Nasi tumpeng nantinya akan dipotong dan dimakan bersama-sama (kenduri) para undangan.

Sementara bagian nasi tumpeng yang dipotong akan diberikan kepada orang tua kedua pengantin untuk disuapkan kepada calon pengantin. Ini adalah simbol tanggung jawab orang tua terakhir kali sebelum putra putri mereka menikah.  

Kalau sebelum menikah calon pengantin lelaki dan calon pengantin perempuan masih jadi tanggungan orang tua, setelah menikah mereka harus mandiri. Mereka tidak lagi disuapi oleh orang tuanya, tetapi harus mengarungi hidup baru secara mandiri. Mereka harus bertanggung jawab pada kehidupan keluarga barunya.

Kedelapan, Menanam Rambut dan Melepas Ayam.

Kedua pengantin dipotong sebagian rambutnya. Rambut ini akan ditanam di tanah. Tujuan dari penanaman rambut ini adalah menjauhkan hal buruk yang mungkin terjadi dalam kehidupan pernikahan.

Berikutnya, orang tua pengantin akan melepaskan ayam hitam secara bebas. Ayam hitam yang dilepaskan hidup bebas ini merupakan simbol keikhlasan orang tua melepaskan anaknya untuk menikah. Anak-anak yang sebelumnya hidup dalam buaian orang tua, kini telah dilepaskan untuk hidup mandiri dalam pernikahan.

Kesembilan, Midodareni.

Midodareni merupakan ritual pelepasan masa lajang bagi anak perempuan. Pada saat ini, calon pengantin perempuan tidak boleh bertemu dengan calon pengantin laki-laki. Waktu yang ditentukan adalah jam 18 sampai 24 WIB atau dari lepas Maghrib sampai tengah malam.

Biasanya di rumah pengantin perempuan, si calon pengantin perempuan didampingi oleh ibunya dan para sesepuh. Mereka memberikan nasihat dan petuah tentang kehidupan setelah pernikahan. Tujuannya memberikan bekal dan pandangan yang cukup bagi calon pengantin perempuan yang akan menikah.

Kesepuluh, Srah-Srahan.

Srah-srahan berarti menyerahkan berbagai barang keperluan kehidupan dari calon pengantin lelaki kepada calon pengantin perempuan. Bentuk srah-srahan ini sangat beragam, dan biasanya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Dalam kebiasaan orang Jawa modern, barang srah-srahan ini sering pula dibeli bersama-sama oleh pihak pengantin lelaki dan perempuan dengan tanggungan si pihak lelaki. Pihak perempuan hanya menentukan jenis barangnya, agar saat diserahkan nanti semuanya bermanfaat dan tidak ada yang terbuang.

Srah-srahan dilakukan oleh pihak calon pengantin lelaki kepada pihak calon pengantin perempuan pada malam midodareni. Adanya srah-srahan ini menandakan bahwa pihak pengantin lelaki sudah menerima tanggung jawabnya atas pengantin perempuan yang akan dinikahinya. Mereka sudah siap menjalani kehidupan berumah tangga.

Seperti itulah tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang menggunakan ritual. Tidak setiap keluarga yang menikahkan anaknya menggunakan seluruh ritual tersebut. Namun secara umum, mereka yang masih memegang tradisi Jawa akan menjalankan keseluruhan ritual tersebut. Selain sebagai tanda syukur atas pernikahan putra putrinya, juga semangat untuk ikut melestarikan tradisi Jawa.

Catatan:

Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. atau Ari Kinoysan Wulandari adalah peneliti budaya, dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

Please follow and like us:

Hargai Waktumu…!

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, tanggal 7 Juli 2022 dengan link berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063838683/hargai-waktumu

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Suatu hari, saya duduk menulis di suatu kafe. Tentu dengan makanan dan minuman yang sudah terhidang di meja. Saya tidak sedang menunggu orang. Tiba-tiba seorang ibu datang dan bertanya kepada saya, apakah dia bisa bergabung di meja saya.

Saya mempersilakannya, meskipun sempat menoleh kiri kanan dan melihat meja-meja yang masih kosong. Mestinya dia bebas memilih meja di ruangan itu. Masih pagi. Sang ibu mengatakan ia tidak terlalu senang menunggu sendirian. Saya pun maklum, dan meneruskan pekerjaan saya menulis.

Sang ibu bertanya lagi, apa yang saya kerjakan. Daripada nanti ditanya-tanya lagi, saya pun memperkenalkan diri secara lengkap. Nama, aktivitas, domisili, dan karya-karya. Saya pun memberikan alamat sosmed kepadanya agar dia dapat mencermati tulisan-tulisan saya. Lalu dengan meminta maaf, saya mengatakan sedang bekerja dan harus merampungkan deadline.

Ibu paroh baya yang kelihatan berkelas dan berduit itu pun menerima perkenalan saya. Dia juga menyebutkan nama dan tempat tinggalnya. Lalu dia sudah asyik dengan handphonenya. Mungkin memeriksa tulisan-tulisan dan karya-karya saya. Saya pun tenggelam dalam penulisan. Tidak memperhatikan apa yang dilakukannya.

Saya sudah menulis sekira tujuh halaman —berarti lebih kurang satu jam saya menulis; ketika mendengar si ibu menelpon dengan nada tidak senang. “Saya sudah menunggu lama. Sebaiknya kita batalkan saja rencana kerja sama. Kalau ada tagihan karena diskusi atau pembicaraan sebelumnya, silakan kirim ke asisten saya. Biar nanti ditransfer. Terimakasih.”

Saya tidak tahu dia berbicara dengan siapa dan dengan urusan apa. Dia pun berkata kepada saya, “Mbak Ari, saya minta waktu sebentar,” begitu katanya.

Singkat jelas, dia menceritakan bahwa sebenarnya dia sedang menunggu tim penulis yang akan mengerjakan buku biografinya. Sebelum-sebelumnya mereka sudah bertemu dengan asistennya dan mengirim format kerja sama. Hari ini mereka berjanji akan ketemu langsung dengan dirinya. Mereka yang menentukan jadwal dan dia sudah oke, tidak meminta pergantian waktu dan tempat. Nyatanya mereka yang mangkir janji tidak tepat waktu. Kalau urusan waktu saja tidak bisa menepati janji sendiri, ia khawatir bukunya tidak akan selesai tepat waktu.

Karena dia bertemu saya yang juga penulis, dan versinya dia cocok dengan gaya tutur saya, dia bertanya apakah saya bersedia menuliskan untuk dirinya. Sebenarnya saya sudah menolak halus dengan mengatakan fee saya cukup banyak dan tidak bisa ditawar. Saya lupa, bagi orang-orang tertentu, harga itu menjadi nomor sekian setelah cocok dan percaya.

Begitulah. Saya menerima gaweyan itu. Menyelesaikan dalam satu tahun. Menerima bayaran yang cukup besar dengan kerja yang mudah. Saya sebut mudah, karena sang ibu ini sangat disiplin, runtut berpikir, dan jelas apa yang diinginkannya dari suatu tulisan sejak awal hingga akhir. Saya ibaratnya tinggal mengawal ceritanya dalam versi tertulis dengan mengalir saja.

Itu adalah kerja dadakan saya karena rajin mojok nongkrong nulis di kafe. Dampak kebiasaan kurang baik saya, menulis berpindah dari satu tempat ngopi ke tempat ngeteh, atau lainnya. Kalau dihitung-hitung operasionalnya menjadi cukup banyak. Saya mengenali karakter kebosanan yang cukup tinggi, jadi ya biasa saja bagi saya.

Dalam pengerjaan gaweyan menulis, biaya itu sudah saya masukkan dalam hitungan charge yang harus dibayar oleh klien. Kalau tidak ada gaweyan, baru itu jadi masalah. Dan betul, selama pandemi yang mengharuskan kita kerja dari rumah itu, saya beberapa kali terkena psikosomatis. Masalah psikologis karena kebosanan yang akut berada di satu tempat yang sama pada waktu yang lama.

Dari apa yang saya ceritakan tersebut, terlihat jelas kalau saja si Tim Penulis yang pasti sudah repot sebelumnya bikin penawaran, proposal, dll nego dengan asisten si ibu itu tepat waktu; pasti pekerjaan itu tetap akan jadi milik mereka. Karena telat dan entah apapun alasannya, gaweyan bernilai ratusan juta itu melayang begitu saja.

Kejadian itu, menjadikan saya lebih menghargai waktu. Lebih teliti menggunakan waktu. Kalau menurut saya tidak akan menambah kontribusi kebaikan, lebih baik saya tinggalkan. Selain itu, mungkin karena lingkungan keluarga saya adalah wiraswasta, pengusaha, pekerja informal; jadi disiplin waktu itu sudah jadi urusan masing-masing. Kalau saya tidak disiplin menulis, ya kapan saya dapat duit. Kalau saya tidak tepat waktu mengirim karya, ya pasti lewat jadwal publikasi. Sedari kecil, saya dilatih untuk memeriksa jadwal sendiri dan mematuhinya atau menanggung konsekuensinya.

Masuk kampus biru, ya mau tidak mau saya terimbas dengan kedisiplinan lingkungan. Jarang sekali di tempat ini undangan jam sepuluh tidak dimulai jam sepuluh. Karena undangan jam sepuluh, semua sudah bersiap sedari jam sembilan atau setengah sepuluh. Bahkan terakhir, ketika ada acara dan saya sebagai moderator webinar, lalu jaringan internet saya bermasalah, acara tetap dimulai jam sepuluh dengan moderator pengganti. Ketika saya sudah bisa kembali ke ruang webinar, moderator pengganti menyerahkan seluruh acara kembali kepada saya untuk saya pimpin sampai akhir.

Artinya, lingkungan sudah membentuk saya untuk disiplin soal waktu. Pada waktu bekerja di PH pun demikian. Kalau sampai program saya tidak tayang tanpa alasan yang force majeur, maka PH harus membayar denda 200% dari biaya produksi. Kebayang kalau biaya per episode 700 juta, sampai program tidak tayang berarti harus bayar ke stasiun penyiar sebanyak 1,4 milyar. Biyuuu…, saya bisa digantung produser kalau sampai hal ini terjadi.

Oleh karenanya jadwal kapan skenario ditulis, kapan diserahkan ke bagian produksi, kapan diterima dalam bentuk video atau file jadi, kapan diserahkan ke stasiun, kapan tayang, dll itu menjadi sangat ketat dan harus diperhatikan. Lepas sehari saja di urusan skenario, semua jadwal pasti akan terganggu.

Ketika berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswa yang selonong boy seenaknya keluar masuk di kelas atau kuliah saya, saya langsung memintanya keluar kelas. Lebih baik tidak masuk kelas kalau sudah lewat setengah jam. Apalagi kalau sebelumnya sudah dibuat perjanjian kapan jam kelas dimulai setelah toleransi waktu. Orang yang berhasil kebanyakan tertib waktunya dan tidak banyak bikin alasan.

Tapi ya, tiap tempat beda karakter soal waktu saja. Saya stres dan sempat protes ketika undangan jam sepuluh, ternyata baru dimulai jam sebelas lewat. Ini si pembuat acara tidak menghitung kerugian riil. Anggap saja sejam setiap orang menggunakan kuota internet 0,5 GB dikalikan yang sudah menunggu sekitar 200-an orang, berapa banyak kerugiannya? Waktunya? Jelas 1 jam x 200 yang berarti 200 jam hampir 20 hari kerja terbuang.

Undangan dari mahasiswa? Bukan. Tingkat pejabat-pejabat kampus dan dosen-dosen. Tidak sekali dua kali. Tapi berulang kali. Undangan jam 7 s/d 10. Riilnya jam 7.38 s/d 12 siang. Sangat tidak bisa memperhitungkan waktu. Yang salah siapa? Yang bikin jadwal dan acara. Pengisinya kan bisa diingatkan waktunya terbatas, bukan ngombro-ombro kelamaan bicara, dll.

Jadi, saya berpikir kalau kemudian mahasiswa seenaknya bikin acara telat mulai sejam dan telat berakhir dua jam, itu seperti biasa saja. Bagi saya jelas tidak biasa dan merugikan. Tapi yang bisa mengubah habits begini, kan yo mulai dari atas-atas to, mosok yang krucukan bisa?

Beberapa senior mengingatkan saya agar tidak terlalu idealis. Astaga….! Soal tepat waktu saja kok dibilang idealis. Mau maju dan unggul, tapi telatan terus… ya mana bisa?! Pada titik-titik tertentu, akhirnya saya berdamai saja dengan sikon tersebut. Kalau sudah tahu habits begitu, tinggal saya menyiapkan piranti kerja tambahan agar jam-jam kemoloran dari acara mereka itu bisa saya gunakan untuk mengerjakan gaweyan yang tetep kudu dibereskan. Kalau yang krucukan telat, dipotong-potong pendapatan, tapi mereka bikin acara telat, santai lempeng saja.

Time is money. Begitu kata orang-orang Barat. Demikian menghargainya mereka terhadap uang, waktu pun bisa dihitung dengan uang. Versi saya, waktu adalah kehidupan. Kita yang masih hidup ini, berarti masih punya jatah waktu di dunia. Kalau sudah tidak punya waktu lagi, ya berarti mati. Selesai kehidupan di dunia.

Sumber daya yang sering kita sia-siakan dalam hidup ini adalah waktu dan kesehatan. Banyak orang beribetan di akhir waktu, karena tidak bersiap di awal waktu. Banyak orang mengabaikan kesehatan di masa muda, lalu menjadi beribet urusan kesehatan di masa tua.

Setiap orang punya pandangan yang berbeda tentang waktu. Ada yang menganggap waktu itu urusan sepele. Hadeuuuh, lha kalau kamu terbiasa bekerja dengan hitungan jam dengan charge besar, mungkin tidak akan menyepelekan waktu lagi. Karena waktu adalah satu-satunya sumber daya yang tidak bisa kita beli ulang. Begitu pula dengan kesehatan. Kalau kamu tidak mau menginvestasikan kesehatan di masa muda (olahraga, makan sehat, hidup sehat, dll) siap-siaplah sedari paroh baya hidup dengan obat-obatan.

Karenanya saya sebagai penulis profesional sejak bertemu klien sudah berhitung dan berdiskusi tentang waktu. Kalau pekerjaan secara umum perlu waktu 6 bulan, tapi si klien ngotot 3 bulan; saya menawarkan dua opsi: dia membayar 2 kali lipat (sehingga saya bisa membayar lebih banyak orang untuk lembur-lembur) atau menambahkan orang-orang untuk saya yang bekerja membantu membereskan gaweyan. Mereka akan memilih opsi tersebut atau tetap sama dalam waktu 6 bulan.

Lalu pekerjaan pun akan berlangsung dengan lancar. Salah satu hal yang saya syukuri sebagai penulis adalah, saya berhak menentukan dan mengatur apakah saya menerima atau menolak pekerjaan. Saya juga berhak mengatur lalu lintas pekerjaan yang harus diikuti oleh klien dan semua pihak yang terlibat kerja demi suksesnya gaweyan. Alhamdulillah, karena saya berusaha keras disiplin, ndilalah selama ini ketemu klien dan tim kerja yang juga senang berlari cepat dan disiplin, sehingga semuanya boleh dikatakan selesai dengan baik.

Bagaimana denganmu? Apakah kamu sudah menghargai waktumu? Atau kamu lebih sibuk bernyinyiran dan berjulidan di mana-mana, tapi gaweyan pokokmu dengan standar minimal saja tidak terpenuhi? Atau kamu merasa bahwa waktu berulang setiap hari, kenapa begitu ribetnya? Silakan merenungkan sesuai dengan pemahaman masing-masing. ****

Please follow and like us:

Pitonan: Selamatan Bayi 7 Bulan (245 Hari)

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 25 Juni 2022 dengan link berikut ini. https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313741367/pitonan-selamatan-bayi-7-bulan-245-hari

Pitonan atau lebih dikenal sebagai tedhak siten merupakan selamatan untuk bayi yang berumur 7 bulan (Jawa) atau 245 hari. Setiap bulan versi orang Jawa dihitung 35 hari atau selapan. Jadi sebutan bayi 7 bulan itu berarti 7 bulan dikalikan selapan yang berarti 245 hari.

Kebiasaan orang Jawa biasanya mengadakan upacara seperti ini tidak persis di hari hitungannya. Kadang-kadang ditunda sehari atau dua hari. Kadang-kadang pula dipaskan pada hari libur, Sabtu atau Minggu. Tujuannya agar tidak mengganggu pekerjaan orang tuanya dan memudahkan kerabat untuk menghadiri acara tedhak siten.

 Seperti acara selamatan bayi lainnya, yaitu brokohan, sepasaran, selapanan, maupun telonan, selamatan pitonan ini pada prinsipnya merupakan acara syukuran atas kelahiran bayi. Acara ini merupakan kegiatan untuk memohonkan perlindungan dan keselamatan si bayi kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Acara pitonan atau tedhak siten merupakan selamatan bayi yang mendapatkan perhatian khusus di kalangan orang Jawa. Pada saat ritual tedhak siten, si bayi sudah mulai melangkah atau menjejak di tanah. Tujuan selamatan pitonan ini demi mendapatkan masa depan yang cerah bagi si bayi. Selamatan pitonan merupakan bentuk bimbingan dari orang tua kepada si buah hati. Tradisi tedhak siten sudah ada sejak zaman dulu kala dan diwariskan secara turun temurun.

Tradisi telonan atau tedhak siten ini memerlukan ubarampe lebih banyak daripada selamatan bayi lainnya. Bayi umur 7 bulan sudah bisa melangkah ke bumi  dan ini merupakan proses penting. Seorang bayi yang semula harus digendong orang lain, kini sudah bisa mulai melangkah dengan kakinya sendiri.

Itulah sebabnya selamatan ini juga disebut dengan tedhak siten. Tedhak berarti melangkah atau turun. Adapun siten berarti “siti” atau tanah yang berarti tanah atau bumi. Sekurangnya tedhak siten berarti turun ke bumi atau melangkah ke bumi. Tradisi tedhak siten merupakan gambaran kesiapan seorang anak untuk menjemput kehidupan yang sukses di masa depan.

Dalam tradisi orang Jawa, acara tedhak siten biasanya pagi hari dan diadakan di halaman rumah orang tua si bayi. Selamatan ini menggunakan berbagai ubarampe yang menunjukkan  kesiapan si bayi menghadapi masa depan. Segala ubarampe yang dipersiapkan untuk acara tedhak siten merupakan simbol permohonan kepada Tuhan agar memberikan perlindungan, keselamatan, dan keberkahan pada hidup si bayi.

Ubarampe untuk kegiatan tedhak siten sangat banyak dengan berbagai ketentuan. Semakin mampu suatu keluarga, biasanya mempersiapkan acara tedhak siten ini semakin komplet dan mewah.

Berikut ini adalah beberapa ubarampe yang harus disiapkan untuk acara tedhak siten.

  • Kurungan Ayam.

Kurungan ayam ini terbuat dari bambu untuk mengurung ayam hidup. Kurungan ayam ini biasanya dihiasi semeriah dan semenarik mungkin agar terlihat bagus dan keren. Hiasannya biasanya warna-warni yang sangat cerah dan menggembirakan anak-anak. Di dalamnya biasanya disediakan buku tulis, alat tulis, perhiasan, uang, kain, gunting, dll barang yang bermanfaat.

  • Jenang Warna-Warni.

Jenang ini dibuat dari ketan dengan tujuh warna. Biasanya warna yang digunakan adalah merah, putih, kuning, jingga, hijau, biru, dan ungu. Ini sebagai penanda bahwa kehidupan itu beragam warna dari yang terang maupun tidak terang.

  • Tangga dan Kursi.

Tangga dan kursi yang dipersiapkan untuk acara tedhak siten ini adalah tangga kursi yang dibuat dari tebu. Tebu ini singkatan antebing kalbu yang berarti kesungguhan tekad si bayi dalam menghadapi kehidupan.

  • Ayam Panggang.

Ayam panggang pada bagian ini merupakan ayam panggang yang ditusukkan pada batang tebu. Pada bagian ayam panggang ini di sekitarnya diberi pisang, beraneka barang dan berbagai jenis alat permainan.

  • Tumpeng Robyong.

Tumpeng robyong merupakan salah satu jenis tumpeng di Jawa dengan ciri tertentu, yaitu adanya telur, cabai, bawang merah dan terasi yang ditusukkan pada bagian puncaknya. Sementara di bagian bawah tumpeng akan tersedia berbagai lauk pauk, sayur, hingga isian lainnya.

  • Bubur.

Bubur dalam hal ini sama dengan bubur untuk selamatan bayi lainnya, yaitu bubur merah dan bubur putih. Kedua bubur merah putih ini melambangkan kehidupan atau kerukunan orang tua si bayi.

  • Jadah.

Jadah dalam hal ini juga terdiri dari 7 warna, yaitu merah, putih, kuning, jingga, hijau, biru, dan ungu. Jadah dibuat dari ketan yang melambangkan kekuatan persatuan. Dengan bersatu padu, segala sesuatu yang sulit akan mudah diatasi.

  • Buah-buahan.

Biasanya akan disediakan 7 jenis buah-buahan yang populer atau sedang musim di lingkungan orang Jawa. Buah-buahan yang sering disediakan adalah jeruk, apel, pisang, duku, salak, jambu, semangka. Jenis buah-buahan ini bebas sesuai dengan selera penyelenggara.

  • Jajanan Pasar.

Jajanan pasar yang disediakan dalam hal ini juga ada 7 macam. Jenisnya bebas tergantung dari masing-masing penyelenggara. Jajanan pasar yang umum disediakan adalah onde-onde, wajik, lemper, pisang goreng, dadar gulung, serabi, dan kue  lumpur.

  • Udik-udik.

Udik-udik berarti uang kertas atau uang recehan yang disebarkan pas acara tedhak siten. Penyebarnya adalah ayah dan kakek si bayi. Besaran uang untuk udik-udik tergantung kemampuan masing-masing penyelenggara tedhak siten.

  • Air

Air yang telah dibiarkan semalam terkena embun dan pagi sudah terkena sinar matahari. Ini menyimbolkan kesabaran untuk mendapatkan sesuatu.

  • Ayam Hidup.

Ayam hidup ini dilepaskan pada saat acara dan ada sesi untuk dibiarkan ditangkap oleh tamu undangan. Siapa yang berhasil mendapatkan ayam tersebut, boleh membawanya pulang sebagai sedekah dari orang tua si bayi.

  • Bunga Sri Taman.

Bunga untuk memandikan bayi saat acara tedhak siten hampir rampung demi membersihkan segala kotoran dan memiliki aroma yang harum. Bunga sritaman terdiri dari mawar, melati, magnolia, dan kenanga.

  • Pakaian Bayi.

Pakaian bayi untuk acara ini harus pakaian bayi yang baru, indah dan sesuai untuk si bayi. Tujuannya agar bayi bergembira dan berbahagia dalam kehidupannya.

Biasanya bayi yang dipitoni akan didandani sebagus atau secantik mungkin untuk dokumentasi dan untuk menyambut tamu-tamu undangan yang datang. Setelah semua ubarampe disiapkan, keluarga si bayi akan berkumpul di tempat upacara. Tamu undangan biasanya ada di sekitarnya atau di tempat yang telah ditentukan.

Acara pitonan biasanya dimulai dengan pembukaan oleh sesepuh yang dipasrahi untuk memimpin acara. Doa pembuka permintaan selamat dan berkah akan dibacakan pada saat ini.

Selanjutnya akan dilakukan ritual berikut ini untuk si bayi.

  • Berjalan Pada 7 Warna.

Si bayi akan dipandu untuk berjalan melewati jenang 7 warna; merah, putih, kuning, jingga, hijau, biru, dan ungu. Ritual ini menggambarkan bahwa di masa depan si bayi diharapkan dapat melalui dan mengatasi semua hambatan dalam kehidupannya.

  • Menginjak Tangga dari Tebu.

Sesepuh membimbing si bayi untuk menginjak tangga yang terbuat dari tebu jenis “Arjuna” dan selanjutnya dibawa untuk segera turun. Tebu dalam versi orang Jawa merupakan singkatan dari antebing kalbu yang berarti kekuatan hati sebagai pejuang kehidupan.

Dari kegiatan ini menunjukkan pengharapan orang tua kepada anaknya, bahwa kelak di kemudian hari dia akan menjadi pejuang sejati seperti Arjuna. Si anak pun diharapkan dapat menghadapi kehidupan dengan kesatria seperti tokoh Arjuna yang penuh semangat.

  • Jalan Di Tumpukan Pasir.

Setelah anak dari tangga tebu kemudian dipandu oleh sesepuh untuk melangkah sebanyak dua langkah dan didudukkan di atas tumpukan pasir yang telah disiapkan. Biasanya si anak akan melakukan eker dengan kedua kakinya, atau bermain pasir. Dalam bahasa Jawa ini disebut dengan ceker-ceker yang berarti anak tersebut dapat bekerja untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

  • Masuk ke Kurungan Ayam.

Setelah anak beberapa saat dibiarkan ceker-ceker di pasir, tetua akan membimbing anak masuk ke kurungan ayam yang telah dihias. Di dalam kurungan ayam tersebut, di sudah tersedia beragam barang yang bermanfaat, seperti buku tulis, alat tulis, perhiasan, dll.

Anak akan masuk ke kurungan ayam tersebut dan dibiarkan untuk memilih barang yang menurutnya menarik. Barang-barang yang dipilih si anak dianggap melambangkan pekerjaan yang cocok untuk si anak di masa depan. Misalnya si anak memilih buku tulis, kemungkinan besar dia bekerja di bidang yang berkaitan dengan buku dan pendidikan. Adapun bila si anak memilih kain, mungkin dia akan bekerja di dunia pertekstilan atau fashion, dan seterusnya.

Acara ini merupakan simbol profesi atau pekerjaan yang akan menjadi pilihan si bayi di masa depan. Kurungan ayam menunjukkan bahwa pekerjaan yang telah dipilih dengan baik, akan menghasilkan pendapatan yang baik, dan harus dijaga dengan baik-baik pula.

  • Menyebarkan Udik-udik.

Pada saat anak dibiarkan berada di dalam kurungan ayam, pihak ayah dan kakek si anak menyebarkan uang, baik yang berupa uang kertas maupun uang receh yang biasa disebut dengan “udik-udik”. Uang ini boleh dan bebas diambil oleh para tamu undangan. Makna dari penyebaran udik-udik ini bahwa si anak setelah mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang memadai, dia harus bersikap dermawan. Mau membagikan sebagian kekayaannya kepada orang lain yang membutuhkan.

  • Memandikan Bayi dengan Bunga Sritaman.

Setelah anak masuk ke kurungan ayam dan sudah memilih barang tertentu, ia harus dikeluarkan dari kurungan dan dimandikan. Pada saat memandikan bayi ini, disediakan air dengan bunga sritaman. Bunga sritaman terdiri dari mawar, melati, magnolia, dan kenanga. Tujuan memandikan bayi dengan bunga sritaman ini untuk menunjukkan harapan bahwa si bayi kelak akan mengharumkan nama dirinya, keluarga, bangsa, dan negaranya dengan tindakan-tindakan yang baik.

  • Memakaikan Pakaian Baru.

Setelah semua ritual selesai, si bayi segera dipakaikan baju yang bagus dan indah. Baju ini harus yang indah dan baru. Hal ini menggambarkan bahwa si bayi siap menghadapi kehidupan yang baru dengan baik dan makmur.

Itulah selamatan pitonan atau tedhak siten di kalangan orang Jawa. Biaya selamatan tedhak siten ini cukup besar. Oleh karena itu tidak semua orang Jawa mengadakan acara ini. Mereka tetap mengadakan selamatan, tetapi dengan sederhana. Mereka mengadakan kenduri dan membagikan sego berkat kepada kerabat dan tetangga dekat.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Please follow and like us: