Bromo (4) Gajinya Kecil, Amal Jariyahnya Besar

Saya di areal lautan pasir. Sudah penuh kabut. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Usai sarapan di lautan pasir, saya tanya Mas Brian (TL) di mana lokasi toilet. Cukup jauh, tapi karena saya mau mandi dan ganti baju, saya pun bergegas. Dengan pesan ke Bu Fifi kalau saya belum kembali, berarti masih di toilet.

Lautan pasir di sepanjang hamparan mata memandang. Dengan jeep-jeep berseliweran, kuda-kuda berlarian, orang berlalu lalang, motor-motor meraung di areal pasir, hingga pedagang hilir mudik ramai menawarkan dagangan.

Sampai toilet, terkejutlah saya. Antrian mengular. Kotor pasir di mana-mana. Wah, bisa-bisa nggak jadi mandi ini. Karena kalau kelamaan di kamar mandi digedor pintunya.

Pas saya antri itu, seseorang di depan menanyai saya dari mana. Setelah saya jawab Jogja, ibu itu kelihatan gembira sekali. Lalu cerita begitu saja, dua anak lelakinya sebelumnya kuliah di UIN dan UII lalu dapat beasiswa S2 di Mesir dan Arab Saudi. Sementara 2 anak lainnya sekarang kuliah di UAD dan UNY.

“Semuanya saya suruh cari beasiswa, sekolah tinggi biar bisa jadi dosen, Mbak. Nggak apa-apa gajinya kecil, tapi insyaallah berkah dan amal jariyahnya banyak.”

Kata-kata ibu itu sebenarnya biasa saja, tapi seperti godam bertalu-talu di telinga saya. Hampir 3 tahunan ini saya menetap jadi dosen UPY; tapi lebih sering kesal dengan gaji yang seiprit, keribetan administrasi, potongan tunjangan-tunjangan karena belum publikasi artikel internasional; yang bikin penghasilan saya sebagai dosen sebulan untuk transport umum pun, saya masih nombok.

Kalau nggak inget ibu saya yang lebih senang saya jadi dosen daripada jadi penulis, wes tahun pertama saya hengkang. Dosen memang bukan keinginan saya. Saya studi S3 lulus 2016 itu karena memang perlu ilmu untuk menulis buku-buku saya. Dan sampai 2021, ijazah dan gelar doktor yang banyak orang mati-matian berjuang itu, di saya nganggur saja. Ada tawaran dosen dari ini itu, tapi karena semua di luar Jogja, saya pilih emoh.

Pas ditawarin di UPY karena di Jogja, saya pikir ya weslah oke. Tapi mana tahu kalau gaji dosen pake ijazah S3 pun begitu kecil. Saya rasa pemerintah kalau ingin mencerdaskan bangsa, itu aturan penggajian guru, dosen, ustad/dzah dll sebutan pendidik anak bangsa kudu diupgrade 5-10x lipat dari sekarang biar fokus mendidik.

Lha gimana mau fokus kerja, gajinya seimit dengan kebutuhan keluarga segerobak? Saya beruntung jadi dosen, wes solid ekonomi dari pekerjaan sebagai penulis profesional. Lha kalau enggak, nomboki kekurangan biaya operasional itu dari mana kalau nggak ngutang-ngutang?

Saya diam agak lama, tapi merasa sepertinya Allah sedang mengajak saya berbicara lewat ibu yang entah siapa ini. Ya weslah, mari ikhlas-ikhlasan aja. Wes gak usah terlalu dipikirin urusan duitnya kalau jadi dosen.

Sepanjang waktu ini toh saya yo wes maksimal berusaha tetep jadi dosen yang baik, tanpa mikirin gaji itu. Karena saya yakin Allah memberi ganti lewat jalur lain. Meskipun sering kesal juga dengan tuntutan institusi (yang versi saya) nggak masuk akal dengan fee yang mereka berikan.

Tahu-tahu kok hati saya plong sendiri. Wes benlah, saya akan ingat kata-kata itu. Gajinya kecil, tapi amal jariyahnya besar. Mana tahu justru itu yang kelak bawa saya ke surga. Biar nggak terlalu bikin kesal hati lagi. Atau seperti kata manajer saya, gaweyan dosen dianggap kerja bakti saja. Haish, kerja bakti kok tiap hari 😅😂

Pas giliran saya masuk toilet; saya gosok gigi, cuci muka, mengguyur seluruh tubuh dengan air biar nggak lengket keringat; lalu bersicepat memakai baju. Membereskan kerudung dan make up di luar toilet.

Pas sudah beres saya melihat lihat ke atas dulu. Seingat saya kawah Bromo ada di atas. Saya njur kasak kusuk nyari informasi dari orang-orang yang nawarin kuda dan ojek.

Kalau mau ke kawah Bromo, kita harus jalan kaki dan naik tangga-tangga. Sekira jalan naik ya perlu 30-40 menit. PP berarti wes sejam lebih. Foto-foto 10 menitan, berarti butuh waktu paling cepat 1.5 jam untuk bolak-balik kawah ke areal ini. Ada tukang kuda yang nawarin untuk nemenin kalau saya mau naik. Dia minta bayar 50 rb, sudah termasuk memotretkan.

Saya ngecek cara ke kawah Bromo itu karena di Itinerary nya Ceria ada tour ke kawah pas usai sarapan. Jam 7-9. Cuman karena semua wes telat molor dari awal, jelas ini nggak mungkin ke sana. Saya masih ingak inguk antara pergi ke kawah atau enggak. Kalau ada yang motretin gini malah karuan jelasnya.

Jam wes setengah 9, berarti free time-nya tinggal 30 menit. Repot kalau saya cuman setengah jalan ke kawah; dengan kaki yang rasanya wes gempor dihabiskan oleh Mbak Seruni.

Akhirnya saya memutuskan turun saja, nggak ke kawah. Kembali ke areal makan. Jumpa Bu Fifi katanya orang-orang eksplor di belakang tempat kami sarapan.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bromo (3) Mbak Seruni yang Menggemaskan

Sunrise di Bromo yang sempat saya abadikan, sebelum kabut menebal dan menutup matahari dari langit. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Jam 2 dini hari rombongan jeep kami bergerak ke atas menuju Bromo. Peh, duduk berdua sekursi itu bikin pegel semua badan saya. Terlebih medannya bikin jeep guncang-guncang berdisko ria. Sungguh sejam lebih itu terasa sangat lama versi saya. Beberapa waktu saya ngajak si driver ngobrol, cuma karena jawabannya sepatah-patah, akhirnya saya diam.

Sekurangnya saya tahu di Bromo ada 1700 an jeep yang beroperasi 24 jam. Tiket masuk areal Bromo 130 rb plus 12 rb untuk 1 orang. Anggap saja 150 rb berarti 1 jeep chargenya 750 rb an. Versi saya terlalu murah untuk medan yang begitu sulit dan jauh.

Kami sempat tertahan lama di urusan tiket. Entah siapa yang salah, biro Ceria atau TN BTS (Taman Nasional Bromo, Tengger, Semeru) saya nggak tahu. Mungkin miskom saja, tapi menghabiskan waktu.

Kalau ikut OT Ceria, urusan tiket dan jeep sudah terkoper biaya ke biro. Tapi turun dari parkiran jeep untuk ke areal Seruni (salah satu puncak untuk lihat sunrise) itu bayar ojek motor 30 rb; sampeyan kudu bayar sendiri.

Ojek motor ini akan berhenti di areal kuda. Kalau sampeyan malas jalan, sewa kuda pp kena biaya 300-400 rb. Pastikan dulu, karena ada yang mau 300 rb ada yang ngotot 400 rb.

Kuda akan berhenti di areal tangga-tangga naik ke gapura Pura Poten di puncak Seruni. Jadi meskipun bayar ojek dan kuda, untuk sampai ke puncak Seruni, sampeyan tetep kudu jalan kaki.

Saya pas turun dari jeep itu masih bersama Bu Fifi dan Fahri (mahasiswa magang di OT Ceria). Jalan sampai ke pos kuda. Saya nggak naik ojek karena saya lihat jalan masih datar dan cukup dekat. Beberapa orang memilih naik ojek.

Setelah itu kami berhenti untuk minum dan ke toilet. Lalu jalan menanjak yang ndeder tinggi dan terasa nggak sampai-sampai. Itu sepanjang jalan, tukang tukang kuda ramai terus nawarin sewa kuda.

Saya wes hampir sewa kuda aja, karena memang sudah cari info sebelumnya tentang sewa kuda ini. Tapi dua kawan saya memilih jalan, wah, saya nggak jadi sewa.

Setelah setengah jam yang lama, barulah kami sampai pos perhentian. Di sini saya jumpa Bu Ita dan Bu Lies dari Semarang. Saya istirahat lama, sebelum memutuskan jalan lagi. Fahri entah ke mana. Bu Fifi ikut rombongan saya. Berempat kami naik.

Sudah lebih terlatih di sini, tapi jian capek tenan. Di perhentian, kami istirahat lagi. Saya memutuskan Shubuh di situ karena wes setengah lima. Kalau kamu muslim ikut OT Ceria, silakan atur waktumu sendiri untuk sholat di setiap ishoma ya…

Kami naik lagi. Di perhentian, ya istirahat lagi. Nah di sini Bu Fifi entah ke mana, saya nggak tahu. Jadi tinggal saya, Bu Ita, Bu Lies. Ya wes bertiga. Mereka sholat saya memesan minum panas. Baru lanjut ke atas lagi. Satu kali perhentian, kami naik tangga-tangga yang masih panjang berkelok, sebelum akhirnya sampai di gapura Pura Poten.

Jangan tanya gempornya kaki. Saya yang biasa jalan dan lari pun, terasa kemeng pegel pegel, apalagi yang nggak biasa. Terus gitu pas sudah sampai puncak Seruni, matahari terbit nya malu malu tertutup kabut dan awan. Wes, gemesin tenan.

Saya sebenarnya cukup “heran” kenapa orang-orang kita seperti terobsesi dengan sunrise dan sunset. Indah iya. Tapi dengan effort yang begitu besar, kadang bikin saya wes malas duluan diajak ngurusin liat matahari ini.

Lha dari lantai atas rumah saya itu, pagi sore saya bisa melihat sunrise dan sunset. Mungkin itu juga yang bikin saya nggak terlalu mau bekejaran dengan sunrise atau sunset.

Sepanjang kami bertiga jalan, saya nggak ngelihat orang-orang Ceria yang 40-an itu… kru nya juga nggak terlihat oleh saya. Dalam hati saya yakin, karena ini kami yang lambat. Tiap perhentian selalu break istirahat, wes payah tenan.

Saya melihat jam wes lewat jam 6 masih di atas. Padahal inget saya Itinerary nya di areal Seruni itu sampai jam 6 dan jam 7 sudah ada di areal lautan pasir untuk sarapan dan ke Kawah Bromo.

Saya sudah nggak mood foto-foto. Kabut makin tebal. Terus nggak ada yang motoin. Bu Ita sedang banyak gawe foto dengan Bu Lies. Jadinya saya di atas itu malah mung ngelihatin orang lalu lalang. Merekam view sekitaran sebanyak mungkin, tapi nggak ada foto saya 😂😅

Untung itu Mas Sidik jurfot Ceria ke atas, tapi ra nggawa kamera. Ya wes saya minta difotokan beberapa dengan HP, paling nggak ada foto saya di atas. Oh Bu Ita ternyata sempat memotretkan saya beberapa, tapi saya nggak ingat sebelumnya.

Wes, kami bertiga pun turun. Ketemu teman-teman yang pada telat. Saya tahu itu jam sudah lewat, tapi ya gimana lagi. Capek jalan kan yo kudu istirahat dulu.

Dan betullah, kami naik jeep ki wes jam 7 lewat. Jadi maklum saja kalau tiba di lokasi sarapan sudah hampir jam 8. Sudah lewat sejam dari jadwal acuan.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bromo (2) Soal Bus dan Jeep

Bus yang kami pakai. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Sebelum ke Bromo, saya cek kesehatan dulu. Standar pribadi yang saya lakukan sebelum pergi ke areal berat (versi saya). Kalau dokter bilang kondisi saya nggak aman, saya pilih mundur. Kalau aman, saya berangkat. Begitu dokter bilang oke, wes nggak ada alasan nggak ikut ke Bromo. Meskipun setengah bulan hectic kegiatan, alhamdulillah kondisi saya prima.

Sabtu sejak pagi saya wes uleng dengan gaweyan kampus. Kalau sampeyan jadi dosen, percayalah wes nggak mungkin cuman nyambut gawe di kampus. Karena kudu bikin laporan, penelitian, pengabdian, bikin artikel ilmiah, buku ajar dan kruncilannya, koreksi dll, belum rapat-rapat yang bikin waktu habis.

Tahu-tahu wes jam dua siang. Inget belum packing untuk ke Bromo. Bagi yang sudah terbiasa pergi, packing ya gampang. Saya masukin baju dll keperluan, nggak sampai sejam. Lalu mandi dan beberes. Saya masih nonton film, ketika Tim Ceria upload di grup kalau bus sudah tiba di Jombor. Lha, jam berapa ini?

Baru jam tiga lewat. Kok rajin tenan ini kru busnya wes di titik kumpul. Padahal jam yang ditentukan jam 16 atau 4 sore. Jadinya saya ikutan bersegera dan meluncur. Walah, saya malah nongkrong berdiri di SPBU Adisutjipto sejam-an nungguin bus datang dari Jombor. Biasanya OT Ceria on time berangkat, kali ini karena 40 an orang; jadi sedikit mundur dari jadwal. Masih bisa dimaklumi.

Masuk bus, mulailah saya mengeluhkan beberapa hal. Lhah kok busnya kecil banget. Kaki saya yang nggak panjang bae gasruk. Terus kabin atas mung cilik, bawah kursi gak bisa untuk naruh tas besar. Untung backpack saya mung segitu, jadi masih muat ditaruh di bawah kursi. Cuman kaki saya jadi sulit gerak. Pas saya mulai duduk, langsung terasa kalau panas. AC nya nggak dingin sama sekali. Waduh, saya wes mulai resah. Jelas gakbisa tidur nanti kalau panas begini.

Besok-besok Ceria perlu memastikan armada dalam kondisi yang prima dan layak untuk orang dewasa standar. Ini berat banget lho buat mereka yang big size. Buat saya aja yang kecil, kursi sesak apalagi yang besar.

Mana begitu pas pulang dan hujan deras, bocor pula atapnya. Untung sebagian peserta sudah turun, sehingga bisa pindah kursi. Kalau enggak, pasti ada yang harus berdiri.

Kalau kru bus mantap banget. Drivernya nyetir cepat, stabil, dan lempeng. Pak kernet yo banyak membantu kalau ambil barang atau perlengkapan di bagasi. Ini keknya masalah armadanya yang besok-besok perlu dicek ricek ulang oleh Ceria.

Di rest area Sragen saya nggak makan minum, wes bawa bekal untuk malam sampai besok pagi. Karena di rumah pas wes ada, saya bawa aja. Lumayan menghemat sekali makan minum.😅

Saya terselamatkan oleh hujan pas malam, sehingga bisa tidur karena lebih dingin. Sudah fresh waktu tiba di rest area Sukapura. Itu sekira jam satu dini hari.

Semua peserta bebersih, ada yang makan minum, ganti piranti untuk ke Bromo. Saya yang merasa udara panas, sebenarnya wes feeling nggak usah bawa jaket untuk ke Bromo. Tapi melihat semua orang krubut-krubut jaketan, pakai slayer, topi, sarung tangan, saya kok ya tergoda bawa gitu lho…

Dan ternyata yo memang nggak kepake di saya. Malah piranti itu memenuhi tas saya hingga tarikan resletingnya terlepas embuh ilang di mana….

Versi saya sekarang Bromo nggak dingin lagi. Kalau hanya 17-20 derajat C itu cincay banget buat saya. Sehari hari di ruangan saya pakai setelan 16 derajat C paling nyaman. Adem.

Keluhan saya berikutnya ke tim Ceria yang membagi anggota regu jeep. Saya ada di jeep 4. Ini ada 6 orang dewasa dan disuruh pake 5 kursi. Terpaksa saya dan Bu Ana duduk berdua di samping sopir. Saya tersiksa sengsara betul gak bisa bergerak sejam lebih dengan medan jalan yang bikin jeep full disco njeduk-njeduk di kepala. Sakit semua.

Besok-besok kudu dicek itu, jeep nya kalau untuk anak-anak yo muat 6 orang. Kalau dewasa ya berilah 1 kursi untuk 1 orang. Pas balik pake jeep, saya wes gak mau duduk berdua. Terus akhirnya suami Bu Ana yang pindah ke jeep 2.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bromo (1) Mosok Yo Nggak Berangkat?

Salah satu kawasan di Bromo. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Halo Teman-teman dan sahabat semuanya…. Kali ini saya akan ngeshare catatan pengalaman dolan ke areal Gunung Bromo, Januari 2025 ya. Semoga bermanfaat dan kunjungilah areal wisata ini saat badanmu masih sehat kuat, kakimu jenjang tegak melangkah. Karena ini salah satu destinasi wisata yang butuh energi dan tenaga ekstra untuk eksplorasinya. 😀

Desember 2024, saat banyak orang bikin resolusi, saya malah ngitung kira-kira berapa duit yang saya hasilkan dari profesi menulis di tahun 2025. Sangat besar, cukup besar, atau nggak besar. Berhitung cepat dan memutuskan mungkin seperti 2024, saya belum bisa piknik jauh.

Tahun kemarin, selain umroh via Singapura dan pergi ke Vietnam untuk gaweyan, saya di sekitaran bae dolannya. Eksplore Kulon Progo (Sungai Mudal, Nanggulan dskt), Sleman (Studio Gamplong dskt, Kaliurang dskt), Gunung Kidul dengan beragam pantai-pantai barunya, dan tentu saja Bantul dengan beragam jenis wisata barunya.

Saya juga ikut kegiatan wisata prosesi puja bakti Waisak dan pelepasan lampion (Borobudur, Magelang) yang bikin kaki gempor saking jauhnya jalan (untuk ke lokasi dari parkiran kendaraan) dan panjangnya antrian dari jam 19.00 WIB sd 01.00 WIB di Borobudur. Ketambahan trip ke Magelang dan Pacitan dengan OT Ceria (wes saya catat lengkap, cek saja di web arikinoysan.com ini).

Sebenarnya cukup sering dolan saya itu, tapi karena bagi saya dolan wes jadi “kebutuhan” berasanya kok kurang banget. Toh kalau budget nggak aman, saya juga emoh maksain diri piknik jauh. Lebih penting mengamankan operasional hidup sehari-hari 😅😂

Bromo ini, entah sudah berapa lama saya pingin ke sini yo mung lewat begitu saja. Pas dulu teman saya ngajak pergi dan mbayari (sudah tahunan silam), saya yo nggak bisa berangkat. Entah apa sebabnya saya wes lupa. Tahun-tahun berikut “pasir berbisik” yang populer itu seperti lewat dari daftar dolan saya.

Tahu-tahu saja Desember akhir tahun kemarin saya kok pingin ke sini. Yo wes daftar aja ke OT Ceria untuk tengah Januari 2025. Saya sudah ikut trip dengan mereka sebelumnya dan karena bagus layanannya, saya enteng aja ikut lagi ke trip yang berbeda. Beberes administratif. Januari saya rasa masih musim hujan. Jadi saat itu saya langsung berdoa agar pas di lokasi Bromo terang dan bisa foto-foto bagus.

Njur saya seperti terlupa. Karena Januari 2025 itu full kegiatan. Tahun Baru. Ulang Tahun. Dolan keluarga. Ngundhuh arisan. Ujian-ujian mahasiswa dan urusan administrasi dosen sebejibun yang bikin mumet. Gaweyan dua buku artis yang belum beres dan oyak-oyakan di saat orang libur Nataru.

Wes, tahu-tahu semuanya bikin klenger saya sebelum tengah bulan. Capek banget. Hampir saja, ke Bromo kali ini pun lewat lagi. Cuman karena wes bayar, saya mikir mosok iyo nggak berangkat?

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bagaimana Cara Bersyukur?

Salah satu sisi Masjid Nabawi. Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Bersyukur adalah salah satu kunci kebahagiaan dalam hidup. Dengan bersyukur, kita bisa melihat sisi positif dari berbagai hal, bahkan di tengah tantangan.

Namun, dengan kesibukan sehari-hari, terkadang kita lupa untuk bersyukur atas apa yang telah kita miliki.

Berikut beberapa cara sederhana untuk meningkatkan rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Membuat Jurnal Syukur

Bikin jurnal syukur adalah cara efektif untuk mengingatkan diri sendiri tentang hal-hal baik dalam hidup.

Setiap hari, luangkan waktu beberapa menit untuk menulis tiga hal yang sampeyan syukuri.

Bisa berupa hal kecil seperti secangkir kopi pagi yang nikmat, atau hal besar seperti pencapaian di tempat kerja.

  1. Mengucapkan Terima Kasih

Mengucapkan terima kasih kepada orang lain, baik secara langsung maupun melalui pesan singkat, adalah cara sederhana namun bermakna untuk menyebarkan rasa syukur.

Terima kasih yang tulus tidak hanya membuat orang lain merasa dihargai, tetapi juga memperkuat hubungan sosial.

  1. Refleksi Harian

Luangkan waktu beberapa menit sebelum tidur untuk merenungkan hari yang telah berlalu.

Pikirkan tentang hal-hal baik yang terjadi, pelajaran yang sampeyan dapatkan, dan momen-momen berharga yang layak disyukuri. Ini membantu menutup hari dengan perasaan positif.

  1. Fokus pada Hal Positif

Dalam menghadapi situasi sulit, cobalah untuk menemukan hal-hal positif yang bisa disyukuri.

Misalnya, jika Anda terjebak macet, pikirkan bahwa sampeyan memiliki kendaraan yang nyaman atau kesempatan untuk mendengarkan lagu-lagu favorit, nggak kepanasan, bisa makan minum di mobil.

  1. Membantu Orang Lain

Membantu orang lain adalah salah satu cara terbaik untuk merasa lebih bersyukur.

Ketika kita melihat orang lain yang mungkin kurang beruntung, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki.

Selain itu, perasaan senang karena telah membantu orang lain juga menambah kebahagiaan.

  1. Menghargai Hal-Hal Kecil

Seringkali kita lupa bahwa hal-hal kecil dalam hidup adalah sumber kebahagiaan.

Cobalah untuk lebih sadar dan menghargai hal-hal kecil seperti sinar matahari pagi, suara burung berkicau, atau senyuman orang yang sampeyan sayangi.

  1. Beribadah atau Meditasi

Bagi banyak orang, beribadah atau meditasi adalah cara untuk menghubungkan diri dengan sesuatu yang lebih besar dan memperdalam rasa syukur.

Aktivitas ini bisa menjadi momen untuk mengingat berkah yang telah diberikan dan memperkuat rasa syukur.

Dengan mempraktikkan cara-cara ini, rasa syukur dapat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Bersyukur nggak hanya bikin kita lebih bahagia, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan mental dan emosional. Mari kita mulai hari ini dengan lebih banyak bersyukur!

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tips Trik Packing untuk Travelling

Ambon Manise. Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Packing untuk perjalanan bisa menjadi tugas yang menantang, terutama jika sampeyan ingin bawa barang-barang penting tanpa bikin koper terlalu berat.

Sebelum mengecek tips trik berikut, pastikan sampeyan bawa tas atau koper yang sesuai ukuran untuk travelling; apakah durasi singkat (maks 3 hari), durasi menengah (maks 1 minggu), durasi panjang (10 hari lebih).

Berikut ini beberapa tips dan trik yang bisa membantu sampeyan packing dengan efisien dan efektif.

1. Bikin Daftar atau List Barang-barang

Sebelum mulai packing, buat daftar atau list barang-barang yang perlu dibawa. Ini membantu memastikan nggak ada yang terlupakan atau bikin sampeyan bawa barang yang nggak perlu.

2. Pakaian Serba Guna

Pilih pakaian yang bisa dipadukan dengan berbagai outfit. Misalnya, pilihlah kaus atau celana yang bisa dipakai lebih dari sekali dengan kombinasi berbeda.

3. Gunakan Teknik Melipat atau Gulung

Melipat pakaian secara tradisional atau menggulungnya dapat menghemat ruang dalam koper. Teknik gulung juga membantu mengurangi kerutan pada pakaian.

4. Manfaatkan Packing Cubes

Packing cubes atau kantong pemisah membantu mengatur barang-barang sampeyan dengan lebih rapi dan memudahkan kita menemukan barang tertentu tanpa harus mengeluarkan semuanya.

5. Gunakan Kantong Vakum untuk Pakaian Tebal

Jika sampeyan bawa pakaian tebal seperti jaket atau sweater, gunakan kantong vakum untuk mengompresnya sehingga lebih hemat tempat.

6. Bawa Toiletries Ukuran Travel

Alih-alih membawa botol besar, pindahkan toiletries ke botol kecil berukuran travel. Ini menghemat ruang dan sesuai dengan aturan penerbangan untuk cairan.

7. Bawa Sepatu Secukupnya

Batasi jumlah sepatu yang sampeyan bawa. Pilih sepatu yang nyaman dan cocok untuk berbagai kegiatan. Letakkan sepatu di bagian bawah koper dengan barang lain di dalamnya untuk menghemat ruang.

8. Manfaatkan Ruang Semaksimal Mungkin

Isi ruang kosong dalam koper dengan barang-barang kecil seperti kaus kaki, pakaian dalam, atau aksesori. Ini membantu mengoptimalkan penggunaan ruang.

9. Bawa Barang Penting di Tas Tangan

Simpan barang-barang penting seperti dokumen perjalanan, obat-obatan, dan barang elektronik di tas tangan. Ini mencegah kesulitan jika koper sampeyan masih belum bisa dibuka atau di bagasi bawah.

10. Laundry Bag

Bawa kantong khusus untuk pakaian kotor. Ini membantu memisahkan pakaian bersih dan kotor serta menjaga koper tetap rapi selama perjalanan.

Dengan mengikuti tips dan trik ini, sampeyan bisa packing dengan lebih terorganisir dan efisien. Travelling pun jadi lebih nyaman dan bebas stres. Happy Travelling 🤩

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bahagiamu, Tanggung Jawabmu…!

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Kebahagiaan itu sesuatu yang diidam-idamkan oleh banyak orang. Kebahagiaan versi saya, jadi tanggung jawab masing-masing. Bentuk kebahagiaan pun sangat bermacam-macam.

Kita bisa cek dari pertanyaan, “Apa yang bikin kamu bahagia?”

Nah, jawaban dari pertanyaan itu akan membantu kita untuk mendefinisikan kebahagiaan sesuai standar masing-masing. Dulu ketika masih kesulitan ekonomi, saya berpikir bahwa orang-orang kaya itu pasti bahagia. Setelah saya nyebur di dunia sinetron dan film, jumpa banyak sekali produser, artis, model, penyanyi, pengusaha kaya, pejabat dll publik figur yang kaya, lhoh mereka kok masih aja punya masalah. Hanya masalahnya bukan lagi uang, tapi beragam. Semakin kaya seseorang, semakin kompleks pula masalahnya. Ternyata mereka nggak selalu bahagia seperti yang saya pikirkan.

Saat itu saya melihat bahwa kebahagiaan tergantung respon kita pada berbagai situasi. Kita nggak selalu bisa mengontrol apa yang terjadi, tapi kita bisa memilih cara bereaksi terhadapnya.

Misalnya, ketika menghadapi situasi sulit, kita bisa memilih untuk tetap bersikap positif dan mencari solusi, daripada meratapi nasib. Dengan sikap optimis, kita bisa membuka peluang baru dari kesulitan tersebut.

Karena itulah, wes sejak lama saya memutuskan “bahagia” apapun keadaannya. Masih kekurangan ini itu, kalau saya happy, gembira, rasanya semua ya baik-baik. Hidup saya saat itu mungkin banyak kekurangan, tapi rasanya kok ya ringan saja.

Saya sudah menerima kondisi dan saat itu standar kebahagiaan saya sederhana saja. Kalau penghasilan saya cukup untuk seluruh kebutuhan, masih bisa “sedikit saja” menabung dan piknik, itu sudah lebih dari cukup untuk bergembira setiap hari. Meski beban pekerjaan di industri sinetron dan film nggak ringan.

Setiap individu memiliki definisi kebahagiaan yang berbeda. Bagi sebagian orang, kebahagiaan mungkin datang dari pencapaian karier. Bagi yang lain, mungkin datang dari hubungan yang harmonis dengan keluarga.

Siapapun boleh bikin standar kebahagiaan masing-masing. Tapi saya melihat, makin sedikit keinginan dan harapan, makin mudah bagi kita untuk bahagia. Ini berbeda dengan cita-cita ya, kalau ini wajib setinggi langit, kaki kita yang harus tetap membumi biar nggak jadi haluu….

Daripada memikirkan akan bahagia nanti kalau… (yang belum tentu kesampaian), kenapa nggak memutuskan saja untuk bahagia sekarang? Dengan mensyukuri dan bersuka cita dengan semua yang kita miliki saat ini?

Kita nggak perlu menggantungkan kebahagiaan pada orang lain atau keadaan eksternal. Ini adalah bentuk kesadaran bahwa kebahagiaan itu kita yang menentukan. Saya pun tegas pada diri sendiri, apapun yang nggak bikin happy, ya wes tinggalkan saja.

Tentu dengan berbagai konsekuensi. Misal, saya pernah bekerja berbulan-bulan dalam kondisi yang bikin depresi, tapi saya nggak bisa meninggalkan begitu saja. Ada tanggung jawab keuangan yang harus saya pikul. Cari kerja di tempat lain yang membayar hampir 3 digit sebulan, itu bukan hal mudah. Jadi saya kompromi dan mencari celah yang bikin saya happy di lingkungan kerja yang berat itu.

Ketika kita melepaskan harapan pada orang, benda, atau situasi tertentu yang akan bikin kita bahagia, kita jadi lebih mandiri secara emosional. Kita lebih mudah bahagia. Pada saat kita melepaskan ketergantungan pada apapun, kita belajar untuk bertanggung jawab pada kebahagiaan masing-masing.

Misalnya, daripada menunggu pengakuan dari orang lain untuk merasa dihargai, kita bisa mulai dengan menghargai diri sendiri. Dengan menerima diri kita apa adanya, menghargai pencapaian kecil maupun besar, kita bisa menciptakan kebahagiaan yang terus menerus.

Lepaskan saja harapan terhadap diri sendiri atau orang lain. Kalau banyak harapan, kita cenderung merasa kecewa ketika realitas nggak sesuai harapan. Bukan berarti kita menurunkan standar, tapi lebih pada memiliki harapan yang seimbang dan realistis. Dengan menerima bahwa hidup nggak selalu berjalan sesuai rencana, kita dapat lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan. Kita lebih mudah happy dalam berbagai situasi yang nggak terduga.

Percayalah, kebahagiaan nggak harus datang dari pencapaian besar. Kebahagiaan bisa kita temukan pada momen-momen sederhana. Misalnya, menikmati secangkir kopi di pagi hari, berjalan-jalan di taman, atau bersama orang-orang tercinta.

Dengan melatih diri untuk menghargai hal-hal kecil dalam hidup, kita dapat meningkatkan perasaan bahagia secara keseluruhan. Kita bisa bersyukur pada momen-momen kecil yang tampaknya sepele, tapi bisa saja luar biasa bagi orang lain.

Dengan rasa syukur, kita melatih fokus pada hal-hal positif dalam hidup. Setiap hari, mari kita luangkan waktu untuk bersyukur. Mensyukuri hal-hal sederhana; seperti memiliki tempat tinggal, makanan yang cukup, atau hubungan yang baik dengan orang lain.

Kalau saat ini kamu merasa nggak bahagia karena kurang ini itu, belum begini begitu, masih harus begono begunu, stop. Hentikan saja. Mulailah berhitung apa saja yang sudah kamu miliki. Ingat-ingat apa saja yang sudah kamu capai. Hitung perbaikan hidupmu dari tahun ke tahun.

Cek betapa kesehatanmu itu nggak murah. Keluarga yang rukun damai, itu kebahagiaan yang belum tentu dimiliki setiap rumah tangga. Anak-anak yang sehat dan sekolah baik. Pekerjaan yang mapan. Rumah yang tenang. Kendaraan yang memadai. Tetangga-kawan-kerabat yang baik. Ibadah bisa khusyuk. Makan enak, tidur nyenyak, pakaian layak. Dll yang semuanya sangat berharga.

Dari begitu banyak nikmat itu, kamu masih merasa nggak bahagia hanya karena berpikir kalau pakai berlian besar, pasti bahagia? Coba saja tanyakan pada perempuan yang sudah memakainya. Mungkin saja lho, dia iri dengan anak-anak sehat dan lucu yang kamu miliki!

Kebahagiaan itu tanggung jawab pribadi. Mari kita bersikap positif, menghargai hal-hal kecil, mengelola harapan, hingga membangun hubungan yang sehat demi kebahagiaan. Kebahagiaan itu proses, perjalanan panjang, bukan tujuan akhir.

Dengan mengambil tanggung jawab atas kebahagiaan, kita bisa menjalani hidup penuh kegembiraan dan rasa syukur. Bahagiamu, tanggung jawabmu!

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us: