Terus Belajar

Semangat yang saya bawa dalam keseharian adalah “terus belajar”. Dengan demikian, saya tetap merasa ringan hati kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan. Penerimaan diri pada proses belajar itu membuat saya tidak berambisi untuk jadi sempurna dalam mengerjakan sesuatu.

Setiap tindakan atau langkah sesuatu saya ikuti sebaik mungkin, tetapi dalam penentuan hasilnya saya tidak lagi merasa perlu terlibat. Proses kerja kita akan menunjukkan hasilnya. Kalau selama prosesnya, kita mengerjakan dengan sungguh-sungguh, maka hasilnya pun akan terbaik. Sebaliknya kalau kita asal-asalan pada prosesnya, maka hasilnya pun tidak akan memberikan versi terbaiknya.

Proses kinerja kreatif saya dan pengaturannya dapat anda baca di buku Manajemen Penulisan Kreatif ini. Pemesanan buku bisa langsung wa.me/6281380001149

Lepas lebaran kemarin, sebagian kerja sudah mulai dari kantor dengan sistem tatap muka sehari penuh. Manajer saya mengatakan kalau dengan perubahan itu, saya tidak mungkin merampungkan buku untuk penerbitan buku sistem reguler. Saya pun mengerti,

Saya rasa tidak ada masalah. Selama pandemi sampai sebelum lebaran itu, hampir keseluruhan waktu kerja saya untuk merampungkan buku-buku reguler yang tertunda. Artinya, naskah “stok” untuk terbit masih cukup banyak. Kecuali kalau penerbit tiba-tiba juga melakukan perubahan dengan mempercepat publikasinya, bisa saja stok naskah saya habis.

Lalu saya bertanya apa yang harus saya kerjakan di luar gaweyan yang sudah ada. Dia mengatakan ada beberapa penulisan artikel pendek-pendek yang cukup banyak. Saya menyanggupi. Itu hal yang ringan untuk saya kerjakan. Karena bahasannya artikel, saya jadi ingat janji pada kawan untuk menulis artikel pada medianya.

Saya pun memeriksa medianya dan ketemu model penulisannya. Saya mendiskusikan beberapa hal. Akhirnya ya sudah, saya sepakat untuk menulis satu artikel harian setiap minggu. Kalau di media penabicara.com ini saya tinggal menulis dan orang mereka yang mengurus kruncilannya sampai publish. Salah satu tulisan saya dapat dibaca di link ini: https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063422118/kebangkitan-nasional-bebas-dari-utang?fbclid=IwAR0KpLlqIWV0hFiUKFNk98Wp7SnHK3aQqYw0XBLIRppvB2eRnl7VgIFM0Ig

Setelah hampir sebulanan, ritme waktu saya mulai terbaca. Beberapa waktu masih selow, dan saya memiliki bank naskah berkaitan dengan budaya. Saya bertanya pada manajer apakah ada klien yang memerlukan naskah seperti itu. Jawabannya sementara belum. Saya pun membiarkannya.

Lalu saya ketemu media nongkrong.co yang ada bahasan budayanya. Segera saya mencari tahu siapa pemred atau penanggung jawabnya. Begitu contact, saya menanyakan apakah saya bisa bergabung dengan menulis artikel seminggu sekali. Wah, tanggapannya cepat dan memberikan kesempatan penuh pada saya.

Salah satu artikel saya dapat dibaca di link ini: https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313426523/tamba-teka-lara-lunga-obat-datang-sakit-pun-pergi

Saya mendapatkan form yang harus saya isi dengan banyak hal berkaitan data diri, mulai dari nama, nik, no rek, npwp, foto, dll persyaratan. Saya “semoyo” karena tahu bahwa ngisi hal begitu kudu waktu tenang dan hati-hati. Saya memforward link ke manajer, dan dijawab kudu saya isi sendiri karena ada foto selfie.

Saya pun menunda beberapa waktu. Biyu… biyu…, pemrednya seperti khawatir kalau saya membatalkan rencana. Beliau meminta saya mengirim data saja biar diisikan oleh anak buahnya. Saya bilang nanti saya isi dulu. Saya langsung mengirimkan materi artikel lebih dulu, biar beliau tenang.

Setelah itu, pas sempat saya mulai mempelajari tutorialnya. Ya ampun, bikin isian untuk ID saja, nggak segampang yang saya pikir. Beberapa kali tertolak karena format tidak sesuai. Ya saya belajar lagi, sampai akhirnya bisa dan memiliki ID yang dapat saya gunakan untuk akses penulis.

Setelah itu, masalah belum usai. Memproses hasil penulisan untuk publish, saya pun bolak-balik salah dan tidak sesuai. Berulang saya harus tanya, iki piye, habis itu bagaimana, kenapa ini muncul dua kali, kenapa itu didelete tetap masih ada, dll.

Ya ampun, kalau saya nggak punya semangat terus belajar, mungkin saya sudah jengkel. Tapi saya hanya tersenyum saja, menerima itu bagian dari proses pembelajaran saya. Dan begitu bisa dengan lebih baik, sekurangnya sesuai standar, saya pun gembira 🙂

Semangat terus belajar itulah yang menjadikan saya ringan hati terhadap hal-hal baru. Seberapapun orang mengatakan “ahli” pada saya untuk penulisan kreatif, saya selalu memandang bahwa selalu ada hal baru yang saya “tidak ahli”. Dan ini menjadi ringan untuk saya belajar, ketika saya menyadari ketidakahlian saya itu. Semangat untuk terus belajar itu mungkin juga yang menjadikan saya selalu “muda” karena saya tidak khawatir dengan tantangan pembelajaran. Jiwa pembelajar adalah jiwa muda. Kalau anda memutuskan untuk berhenti belajar dalam kehidupan ini, saat itulah anda menjadi tua.

Ari Kinoysan Wulandari

#kinoysanstory #artikelmedia #belajar #semangat #ariwulandari #arikinoysanwulandari #mediaonline

Please follow and like us:

Tamba Teka Lara Lunga

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co hari Sabtu, 21 Mei 2022 dengan link https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313426523/tamba-teka-lara-lunga-obat-datang-sakit-pun-pergi

Tamba teka lara lunga ‘obat datang, sakit pun pergi’ merupakan salah satu pitutur luhur budaya Jawa yang cukup populer. Nasihat itu mencerminkan pemikiran dan pandangan orang Jawa bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya. Setiap orang sakit pasti dapat disembuhkan.

Dimensi pemikiran orang Jawa ini tidak hanya memuat masalah sakit dan obatnya, tetapi kalau kita cermati ternyata mengandung banyak pandangan berkaitan dengan penyakit dan pengobatannya di lingkungan orang Jawa. Bahasan tersebut sekurangnya terdiri dari lima hal penting, yaitu (1) sakit – penyakit, (2) obat – pengobatan, (3) ahli pengobatan tradisional, (4) sikap orang Jawa terhadap sakit dan penyakit, hingga (5) adaptasi orang Jawa terhadap kemajuan pengobatan modern.

Pertama, sakit penyakit.

Sakit adalah bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dihindari. Seseorang dapat mengalami sakit karena di dalam tubuhnya ada penyakit. Penyakit merupakan sesuatu yang mengganggu atau gangguan di dalam tubuh manusia, yang menyebabkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan tersebut mengganggu harmonisasi kinerja tubuh secara keseluruhan, sehingga penderitanya terkena sakit.

Berdasarkan penyebab sakit, orang Jawa mengelompokkan penyakit menjadi dua, yaitu  lelara lumrah ‘penyakit wajar’ dan lelara ora lumrah ‘penyakit  tidak wajar’. Penyakit wajar adalah penyakit fisik yang secara umum mudah diidentifikasi, seperti batuk, panas, bisul, cacar, dll. Adapun penyakit tidak wajar ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh “perbuatan agen” —manusia dengan perantara jin, setan, makhluk halus (black magic), seperti disanthet, diteluh, diguna-guna, kesurupan, dll.

Adanya jenis penyakit tidak wajar itulah yang menyebabkan pengobatan tradisional di Jawa tetap tumbuh dengan subur. Bahkan di era teknologi seperti sekarang ini, meskipun rumah sakit dengan piranti dan perobatan medis modern sudah bertebaran di mana-mana; pengobatan tradisional Jawa tetap eksis. Hal ini terjadi, karena ada jenis-jenis penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh medis modern.

Kalau ada kasus orang kesurupan (penyakit tidak wajar), maka keluarga si penderita tidak akan membawanya ke Puskemas, rumah sakit, atau dokter. Mereka akan segera memanggil dukun, paranormal, kyai, atau ustadz —yang dianggap mumpuni untuk mengatasi kesurupan. Demikian juga untuk kasus-kasus penyakit tidak wajar lainnya, seperti disantet, diguna-guna atau lainnya.

Kedua, obat – pengobatan.

Obat dan pengobatan merupakan hal yang berkaitan untuk menyembuhkan sakit dan penyakit. Pengobatan tradisional Jawa ada tiga jenis, yaitu (1) tamba ‘pengobatan’ bisa berupa obat, ramuan, cara pengobatan (2) jamu ‘jamu’ adalah obat yang dimakan atau diminum, dan (3) ritual ‘berkaitan dengan ritus (tata cara dalam upacara adat/keagamaan)’.

Tamba ‘pengobatan’ digunakan untuk menyembuhkan penyakit, orang masuk angin ‘masuk angin’ ditambani ‘diobati’ dengan kerokan ‘dikerok’. Adapun jamu selain digunakan untuk menyembuhkan penyakit juga untuk menjaga kesehatan. Misalnya dengan minum jamu beras kencur ‘beras kencur’ orang akan lebih sehat dan kondisi tubuhnya terjaga. Jamu juga untuk mengatasi sakit yang bukan penyakit, misalnya wanita sakit setelah melahirkan diberi jamu tertentu agar badannya lekas sehat dan pulih.

Ritual dalam pengobatan tradisional Jawa lebih berkaitan untuk penyembuhan penyakit tidak wajar, seperti suker ‘sakit-sakitan karena hal supranatural’ atau sukerta ‘orang yang terkena suker’ dapat disembuhkan dengan ruwatan ‘ruwatan’.

Pengobatan tradisional Jawa merupakan tradisi yang sudah mapan yang dapat dirunut sejarahnya dari relief candi, serat-serat, dan primbon-primbon pengobatan. Misalnya pada relief Candi Borobudur, yaitu pada relief Karmawibhangga panel 2, panel 11, panel 18, dan panel 19.

Adapun naskah-naskah yang membahas jenisjenis penyakit dan cara pengobatannya secara tradisional, antara lain Serat Centhini, Serat Primbon, Serat Primbon Sarat Warna-warni, Buku Primbon Jampi Jawi, Punika Kagungan Dalem Jampi, Serat Primbon Jampi-jampi, Catatan Jamu Tradisional I, Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, Serat Primbon Ratjikan Djampi Djawi Djilid 1-4, dan Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi. 

Panel 2 Relief Karmawibhangga Candi Borobudur (Pengobatan terhadap Anak yang Sakit oleh Laki-laki dan Perempuan)
Dokumentasi Ari Wulandari, 2015

Pemberian obat dan pengobatan oleh orang Jawa berdasarkan gejala-gejalanya, baru menentukan tindakan terhadap penyakit. Gejala penyakit dalam pandangan orang Jawa terdiri dari gejala katon ‘yang tampak’ atau fisik dan gejala ora katon ‘yang tidak tampak’ atau nonfisik.

Gejala fisik adalah gejala-gejala penyakit yang bersifat fisik, mudah diidentifikasi melalui pengamatan, penciuman, dan sentuhan. Misalnya mata abang ‘mata merah’ (identifikasi melalui pengamatan), abab mambu ‘nafas bau’ (identifikasi melalui penciuman), dan awak adhem ‘badan dingin’ (identifikasi melalui sentuhan). Pengenalan gejala yang tidak tampak atau nonfisik umumnya melalui tanya jawab antara penderita dan pengobat tradisional.

Gejala penyakit nonfisik adalah pengindikasian keberadaan suatu penyakit yang terjadi oleh diri pribadi atau orang lain. Hal ini biasanya bersifat subjektif menurut pengamatan atau pengalaman penderita, kemudian dipastikan melalui diagnosis pengobat tradisional.

Ketiga, ahli pengobatan tradisional.

Mereka yang bisa mengidentifikasi penyakit dan memilih pengobatan yang tepat adalah ahli pengobatan tradisional. Ahli pengobatan tradisional Jawa terdiri dari dukun, paranormal, wong tuwa ‘orang yang dituakan’, wong pinter ‘orang pintar’, kyai ‘kiai’, dan sesepuh ‘orang yang dituakan’. Dari ahli pengobatan tradisional Jawa tersebut ada yang dapat mengobati penyakit wajar dan penyakit tidak wajar. Ada yang bisa mengobati penyakit wajar saja, ada yang bisa mengobati penyakit tidak wajar saja.

Keberadaan para ahli pengobatan tradisional ini masih dapat ditemukan di seluruh tanah Jawa. Kadang-kadang tempat operasional mereka berdampingan dengan Puskesmas, rumah sakit, klinik bersalin, atau tempat praktik dokter. Hal ini menunjukkan orang Jawa menerima dengan baik adanya pengobatan tradisional dan pengobatan modern.

Keempat, sikap orang Jawa terhadap sakit dan penyakit.

Pada saat sakit, orang Jawa umumnya tidak langsung pergi ke Puskesmas, rumah sakit, dokter atau ahli pengobatan tradisional. Biasanya mereka akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut. Langkah pertama, mereka akan melakukan pengurangan aktivitas secara mandiri. Misalnya mereka yang terkena batuk atau pilek tetap akan bekerja seperti biasa, meskipun dengan pengurangan aktivitas.

Apabila dengan pengurangan tersebut, badan menjadi lebih sehat, mereka akan kembali beraktivitas penuh. Pada saat ini mereka tidak melakukan pengobatan sama sekali. Mereka sering menganggap gejala batuk, pilek, pusing, demam, panas ringan, tidak enak badan, dll yang setipe merupakan kondisi tubuh lelah dan harus istirahat.

Langkah kedua, kalau dalam tiga hari mereka melakukan pengurangan aktivitas fisik dan tubuhnya belum merasa sehat, mereka akan mencari obat. Pengobatan dalam hal ini merupakan jenis pengobatan mandiri. Mereka biasanya membeli obat di warung, apotik, supermarket terdekat sesuai dengan pengetahuan masing-masing. Misalnya obat sakit kepala, obat batuk, obat flu, dll. obat-obatan yang bebas beli tanpa perlu resep dokter.

Langkah ketiga, kalau sudah meminum obat dalam waktu tertentu, mereka belum sembuh; barulah mereka akan datang ke Puskesmas, rumah sakit, klinik, atau dokter terdekat. Pemikiran seperti inilah yang menyebabkan banyak sekali orang Jawa datang ke rumah sakit atau dokter setelah kondisinya parah.

Ada banyak kasus pengobatan yang lama dan berat, karena pemikiran yang seperti ini. Orang Jawa menganggap sakit bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Kalau mereka bisa mengobati secara mandiri, mereka menganggap tidak perlu berobat.

Langkah keempat, kalau sudah mendapatkan pengobatan dengan dokter atau ahli pengobatan tradisional yang mereka percayai, mereka akan mematuhinya. Terlebih kalau dengan kepatuhan tersebut mereka merasakan tubuhnya lebih sehat dan lebih enak untuk beraktivitas kembali.

Umumnya pada penyakit-penyakit wajar yang bersifat ringan dan sudah jelas pengobatannya, mereka yang menderita sakit dapat dengan mudah disembuhkan. Kecuali beberapa penyakit berat yang keberhasilannya masih cenderung kecil —seperti raja singa (HIV, aids), edan (gila, schizoprenia, depresi), kanker darah, kanker otak, stroke, demensia, dll.

Langkah kelima, orang Jawa menganggap bila seseorang sudah menjalani beragam pengobatan sampai titik maksimal yang bisa mereka dan keluarganya usahakan, tetapi tidak kunjung sembuh; kecenderungannya orang Jawa akan pasrah. Mereka harus bisa menerima dan menjalaninya dengan ikhlas. Mereka harus menganggap bahwa itu bagian dari takdir kehidupan manusia.

Kelima, adaptasi orang Jawa terhadap kemajuan pengobatan modern. Orang Jawa dengan budayanya yang sangat tua dan mapan, merupakan salah satu etnis di Indonesia yang terbuka, adaptif, dan mengikuti perkembangan zaman. Hal ini terbukti dengan adanya banyak perubahan dan modernisasi pada pengobatan tradisional Jawa. Modernisasi tersebut antara lain terlihat pada lima hal penting sebagai berikut.

Pertama, identifikasi penyakit mengikuti medis modern. Selain menggunakan identifikasi penyakit secara tradisional, pengobatan tradisional Jawa juga mulai mengikuti tradisi identifikasi penyakit dalam medis modern, seperti pemeriksaan denyut nadi, pemeriksaan darah, dan berbagai kemajuan lain untuk mempermudah pengobatan tradisional.

Kedua, komputerisasi atau pencatatan riwayat medis. Sebelumnya riwayat medis penderita berdasarkan ingatan pengobat tradisional, kini sebagian telah menggunakan sistem komputer atau sekurangnya dicatat secara teratur.

Ketiga, obat Jawa dalam bentuk modern. Pengobatan tradisional Jawa telah mengolah bahan-bahan obat dalam berbagai bentuk, seperti konsentrat, kering, teh, cair, kapsul, dll. sehingga lebih praktis, tahan lama, dan mudah dibawa ke mana-mana bila penderita berasal dari tempat yang jauh dari tempat pengobatannya.

Keempat, masalah izin dan tarif. Umumnya pengobatan tradisional tidak berbayar atau sak ikhlase ‘seikhlasnya’. Seiring perkembangan zaman, sebagian pengobatan tradisional telah menjadikan keahlian mengobati sebagai profesi.

Mereka pun mengikuti prosedur standar, mengurus izin, memasang tarif, dan berlomba-lomba pamer keahlian. Sebagian yang lain masih praktik tanpa izin karena menganggap “mengobati penyakit” adalah “panggilan hati”.

Kelima, medis tradisional Jawa bertemu medis modern. Orang Jawa termasuk etnis yang terbuka terhadap perubahan. Para ahli pengobatan tradisional memanfaatkan kemajuan medis modern untuk memperkuat medis tradisional. Kesadaran perlunya kerja sama antara medis tradisional dan medis modern itulah yang menyebabkan pengobatan tradisional Jawa tetap lestari dan terus berkembang.

Seperti itulah hal-hal yang berkaitan dengan nasihat tamba teka lara lunga ‘obat datang, sakit (pun) pergi’. Adanya pemikiran dan pandangan yang luas tersebut menunjukkan kearifan lokal orang Jawa. Kearifan lokal yang tercermin dalam pemikiran dan tindakan-tindakan orang Jawa berkaitan dengan obat dan penyakit.

Catatan:

Tulisan ini merupakan sebagian kecil dari hasil penelitian Disertasi S-3 Ari Wulandari, “Istilah Penyakit dan Pengobatan Tradisional Orang Jawa: Sebuah Kajian Linguistik Antropologis”, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2016.

#publikasimedia #ariwulandari #artikelpopuler #jawa #kinoysanstory

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Kebangkitan Nasional: Bebas dari Utang

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com hari Kamis, 19 Mei 2022 dengan link berikut: https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063422118/kebangkitan-nasional-bebas-dari-utang?fbclid=IwAR0KpLlqIWV0hFiUKFNk98Wp7SnHK3aQqYw0XBLIRppvB2eRnl7VgIFM0Ig

Hari Kebangkitan Nasional kita peringati setiap tanggal 20 Mei sebagai bentuk penghargaan dan peringatan atas perjuangan para generasi muda pendahulu kita, demi Indonesia Merdeka. Kini kita sudah 76 tahun merdeka dengan bentuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dari Sabang sampai Merauke. Kita terus melakukan pembangunan di segala bidang demi tercapainya bangsa Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

Terlalu jauh kalau saya membahas urusan pembangunan dengan semangat kebangkitan nasional. Kebangkitan dalam versi saya sebenarnya bagaimana seseorang mengatasi kondisi buruk dan mengubahnya menjadi kondisi baik. Hal yang seperti ini ada banyak di sekitar kita. Bisa jadi kita pun mungkin mengalami. Tidak mungkin dalam kehidupan kita selamanya mulus-mulus saja. Pasti ada jatuh bangunnya, mulas mualnya —yang harus kita selesaikan.

Persoalan yang sering mengurung kita terpuruk dalam kehidupan adalah masalah utang dengan berbagai latar belakang. Utang membuat kita serasa terpenjara dalam kehidupan. Kita cenderung tidak bebas mengatur keuangan kalau punya utang. Mereka yang tidak punya utang —biasanya lebih “merdeka”, hidup tenang tidur nyenyak, tidak khawatir menyambut hari-hari baru.

Sebagai freelancer yang menekuni dunia tulis menulis dalam kurun hampir sepanjang hidup, saya tahu persis rasanya mendapatkan rezeki besar, rezeki sedang, rezeki kecil, atau bahkan tidak ada rezeki selama berbulan-bulan. Kalau manajemen keuangan saya tidak baik, pasti sudah sejak lama saya terjebak dengan masalah utang saat tidak ada pekerjaan yang langsung menghasilkan uang.

Toh di sekitaran kita, tidak hanya freelancer yang terlibat masalah utang. Mereka yang berpenghasilan tetap dan besar pun bisa terlibat masalah utang. Biasanya utang-utang ini terjadi karena gaya hidup yang berlebihan, ibarat besar pasak daripada tiang. Atau bisa juga karena manajemen keuangan yang kurang baik. Uang dan seluruh penghasilan seperti menguap begitu saja, tanpa tahu persis penggunaannya.

Dalam kehidupan ini, siapa siy yang tidak pernah terlibat masalah utang? Porsi utang tiap orang dan sebab alasannya berbeda-beda. Utang tidak selalu buruk. Ada orang yang memutuskan untuk mengalihkan investasinya sebagai utang. Kalau tidak “berutang” mereka tidak bisa menyisihkan uangnya.

Sebagai contoh, ada orang yang bekerja menetap dan tiap bulan mendapatkan gaji. Dia memilih untuk menanggung cicilan logam mulia emas 100 gram sebesar 1 gram setiap 1 bulan. Tentu saja biaya 1 gram itu harus ditambah biaya-biaya administrasi dan nilai perubahan selama masa mengangsur. Cicilan itu didebet langsung setiap bulan dari rekening gajinya.

Secara nalar, sebenarnya biaya mencicil logam mulia 100 gram itu jauh lebih besar dibandingkan kalau yang bersangkutan membeli logam mulia 1 gram setiap bulan. Namun pertimbangannya tidak seperti itu. Kalau membeli logam mulia 1 gram setiap bulan, dia belum tentu bisa. Sebaliknya kalau dipotong langsung setiap bulan (meskipun dengan biaya tambahan), dia selalu bisa. Hingga akhirnya lunas juga cicilan logam mulia 100 gram  dan emas pun menjadi miliknya.

Tentu utang seperti itu banyak jenisnya. Bisa untuk beragam kebutuhan besar; rumah, program pendidikan tinggi, mobil baru, haji – umroh, pensiunan, wisata ke luar negeri, dll kebutuhan hidup. Mereka pun sudah tahu dari mana sumber uang untuk membayar “utang” itu. Biasanya pihak pemberi utang juga sudah menentukan serangkaian syarat —termasuk kemampuan si pengutang untuk membayar.

Kalau utang seperti ini rasanya bolehlah kita menganggapnya “bukan utang”, tetapi cicilan. Utang yang sudah jelas peruntukan dan sumber pembayarannya. Utang-utang yang sering tidak terduga itu lho yang membuat banyak orang sering kelimpungan. Utang kartu kredit, penggunaan paylater yang berlebihan, utang online, utang-utang pribadi karena hal-hal yang tidak urgent. Pembelian produk branded untuk sekedar memenuhi gengsi dan keinginan tanpa menghitung secara cermat kemampuan, biasanya menjadikan orang terjebak utang berkepanjangan.

Sekali terlibat utang model begini, agak sulit terbebas. Intinya, boleh utang dengan tetap mengukur kemampuan masing-masing. Ingat saja, pujian orang pada barang-barang yang anda beli (dengan cicilan) tidak bisa membayari cicilan anda saat kesulitan uang.

Berutang boleh saja, asal kita memerlukannya. Pada saat sudah memiliki uang, bila memungkinkan segera bayar lunas utang-utang anda. Jangan menunda-nunda. Uang itu licin. Ke sana ke sini, merasa punya uang tanpa sadar menggunakan sedikit demi sedikit. Tidak terasa tahu-tahu uang habis tanpa tahu persis penggunaannya.

Bagaimana kalau saat ini kita masih terlibat utang yang banyak? Mungkinkah kita bisa terbebas dari utang? Jelas sangat mungkin. Ada banyak orang yang hidupnya tenang, bahagia, damai, sehat sentausa karena bebas utang.

Bagaimana caranya bebas utang? Sebenarnya ini tergantung dari setiap pribadi. Saya percaya setiap orang punya role atau model pengaturan keuangan yang berbeda. Carilah yang cocok dan nyaman, lalu terapkan. Kalau sudah ketemu yang cocok, jangan beralih lagi.

Ada beberapa tips yang saya gunakan sejak bertahun-tahun silam agar terbebas dari utang, meskipun bekerja sebagai freelancer. Bagi mereka yang bekerja menetap dengan gajian tiap bulan, tentu lebih mudah lagi mengaturnya. Berikut ini uraian detailnya.

Kesatu, penghasilan. Petakan dan hitung keseluruhan penghasilan anda dalam setahun. Bagi freelancer bisa menggunakan penghasilan tahun sebelumnya sebagai patokan. Kalau anda berpasangan (suami/istri/partner/sahabat/saudara), hitung pula semua penghasilan yang anda berdua peroleh. Termasuk bonus-bonus dll yang pasti diterima sepanjang tahun.

Anda bisa menggunakan aplikasi pencatat keuangan yang free akses untuk memudahkan saat sudah mulai menerapkannya. Demikian juga dengan hal lain-lain. Dengan pencatatan detail menggunakan aplikasi akan memudahkan anda mengetahui secara pasti keadaan keuangan anda.

Kedua, pengeluaran. Petakan dan hitung semua kebutuhan pokok dalam setahun. Namanya saja kebutuhan pokok. Berarti mulai dari tempat tinggal (kalau anda mencicil, kontrak, kos, sewa, dll pembayaran), makan, pakaian, pendidikan anak-anak, kesehatan, transport, komunikasi, dll yang rinciannya bisa sangat banyak. Perhatikan juga perubahan-perubahan yang terjadi. Kalau tahun sebelumnya keluarga dengan dua anak, tahun berikutnya ada tiga anak; tentu tidak bisa menyamakan jumlah kebutuhan pokok dan pengeluaran. Semakin rinci keperluan dan jumlah yang harus dikeluarkan akan semakin baik.

Ketiga, sedekah. Sebenarnya ini tidak ada aturan dalam manajemen keuangan; tapi pastikan anda membagikan sebagian rezeki kepada fakir miskin dan orang yang lebih membutuhkan. Besarannya beragam antara 2.5% s/d 10% sesuai dengan kemampuan anda. Ini bagian dari sedekah untuk menolak bala dan biar rezeki kita terus mengalir lancar sepanjang masa.

Keempat, dana darurat. Kalau sudah tahu berapa total penghasilan. pengeluaran setahun; hitung berapa jumlah uang yang tersisa dalam setahun. Uang ini bisa anda gunakan sebagian untuk dana darurat. Berapa besaran dana darurat, tiap orang memiliki pandangan yang berbeda. Sekurangnya harus ada dana untuk 1 bulan biaya keperluan hidup. Jangan sampai tidak ada dana darurat sama sekali.

Kelima, total utang. Hitung semua utang anda. Ini tidak termasuk yang saya anggap “cicilan” seperti uraian di atas. Hal ini sudah termasuk kebutuhan pokok yang harus anda keluarkan. Hitunglah semua utang yang belum ada jaminan pembayarannya. Dengan mengetahui total keseluruhan utang, akan membantu anda untuk fokus melunasinya.

Keenam, bayar utang. Hitung uang yang tersisa dari sebagian dana darurat (langkah keempat). Bagi yang memiliki utang, anda bisa menggunakannya untuk membayar utang-utang. Harus segera membayarkan, terlebih kalau pihak pemberi utang memberi kelonggaran anda untuk mencicil.

Misalnya anda punya utang 150 juta pada beberapa pihak, tapi ada pemberi utang mengizinkan anda mencicil. Setiap punya uang harus langsung mencicil utang. Kalau anda menunggu sampai jumlahnya terpenuhi mungkin lebih sulit. Kalau tidak mungkin dicicil, berusahalah menabungkan dana bayar utang di rekening non-ATM dan non-aplikasi, sehingga segera terpenuhi untuk membayar utang.

Langkah kesatu sampai keenam itu, mungkin saja tidak mudah bagi anda yang baru berniat membebaskan diri dari utang. Ini berarti anda harus hidup hemat, memangkas beberapa hobi dan kesenangan, dll. Kegiatan atau kesenangan yang biasanya boleh dilakukan menjadi “ditunda” dulu. Versi saya, kalau mau bebas utang ya harus sedikit “berpuasa”.

Selanjutnya langkah ketujuh, penghasilan tambahan. Apabila memungkinkan carilah pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan. Anda bisa menekuni hobi yang menghasilkan uang. Anda bisa memanfaatkan aset-aset di rumah anda untuk berkarya atau kerja. Ingat, kalau anda tahu persis berapa utang yang ingin anda lunasi; cara ini biasanya menambah semangat.

Kedelapan, fokus melunasi utang. Kalau niat awalnya bekerja tambahan untuk membereskan utang; fokuslah di situ. Jangan uangnya untuk foya-foya karena akan timbul masalah lagi. Membebaskan diri dari utang ini perlu waktu yang beragam tergantung besar kecilnya utang yang anda. Makin cepat beres makin baik jadinya.

Kesembilan, mengatur ulang. Kalau utang-utang sudah beres, anda boleh mengatur kembali manajemen keuangan. Uang-uang yang biasanya untuk membayar utang sudah mulai bisa untuk menabung, investasi, atau memenuhi keperluan besar lain —wisata luar negeri, pendidikan tinggi, haji – umroh, membeli tanah rumah baru, dll sesuai keinginan anda.

Kesepuluh, hidup sederhana. Kalau sudah terbebas dari utang-utang, jangan jumawa, jangan sombong. Tetaplah hidup sederhana. Tetaplah fokus pada kebutuhan, bukan keinginan untuk hidup sehari-hari. Sementara untuk keinginan besar, anda bisa mulai menabung dan tidak perlu terlibat utang.

Kalau harus berutang untuk keinginan, pilihlah utang yang cerdas. Misalnya, anda ingin umroh dan sudah menyiapkan dana 30 juta. Namun bank anda memberikan fasilitas kerjasama dengan agensi umroh. Pembayaran anda itu bisa diubah jadi cicilan 30 bulan dengan per bulan hanya 1 juta tanpa bunga selama 30 bulan.

Kalau ada tawaran seperti itu, ya anda ikut saja. Uang 30 juta yang sudah anda siapkan bisa anda gunakan untuk investasi lain. Sementara anda bisa pergi umroh cukup dengan membayar 1 juta per bulan. Tidak selalu punya utang itu buruk. Tidak selalu tidak punya utang itu cerdas secara finansial. Pilih-pilihlah yang paling sesuai yang paling bikin anda bahagia.

 

#ariwulandari #publikasimedia #mediaonline #bebasdariutang #kinoysanstory #artikelmedia

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Hari Buku Nasional: Buku Pesanan atau Buku Pribadi?

Sebagai penulis profesional, keseharian saya jelas tidak bisa dilepaskan dari segala kegiatan tulis menulis. Beragam aspek dan pihak yang berkaitan dengan penulisan pun tidak bisa saya tinggalkan. Mulai dari book drafting, pembacaan referensi dan data, penelitian lapangan, wawancara, observasi, fotografi, ilustrasi, deadline, template, klien, media, penerbit, PH, buyer, editor, dll. Menulis sudah mendarah daging di dalam nadi saya.

Menulis sebagai pekerjaan tentu berbeda dengan menulis sebagai hobi. Menulis naskah pesanan itu kadang tidak seasyik menulis secara mandiri materi yang disukai. Saya menyadari bahwa yang paling saya senangi adalah menulis fiksi. Tentu jenis naskah fiksi dalam beragam versi bentuk, seperti cermin —cerita mini, cerpen —cerita pendek, cerbung —cerita bersambung, novelet, novel, skenario.

Menulis fiksi membebaskan saya dari beragam referensi yang sering kali memusingkan. Meskipun tentu saja, menulis fiksi tidak boleh serampangan; tetapi berdasarkan pengalaman dll cerita orang pun, sudah boleh atau sah digunakan sebagai materi cerita fiksi.

Namun dalam perjalanan waktu dunia penulisan, tidak selalu berpihak pada penulis. Saat kita masuk industri kreatif, kita harus sadar bahwa peluang dan kompromi menjadi sangat penting. Dengan kondisi itulah, penulisan saya pun menjadi tidak terprediksi. Menulis buku nonfiksi populer dan referensi, biografi, beragam profil dari perseorangan, komunitas, korporasi, pidato, artikel, esai, dll karya populer menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam keseharian kerja.

Lelah? Ada masanya iya.

Bosan? Ada waktu iya banget.

Pingin berhenti saja? Kadang-kadang.

Sulit? Beberapa kali iya.

Yach, itu adalah kondisi-kondisi yang kurang menyenangkan saat menulis naskah-naskah pesanan. Dan saat-saat seperti itu, berhenti saja menjadi pilihan yang mudah. Meninggalkan pekerjaan penulisan, mungkin lebih gampang daripada memesan makanan via aplikasi online.

“Diam Sejenak dan Bacalah Buku. Nikmati Tiap Halamannya dengan Sukacita.”

 

Bagi saya, dengan beragam jatuh bangun dunia penulisan ya, berusaha mengatasi semua kesulitan dan tantangan yang ada. Paling prinsip yang tetap saya pegang dalam mengerjakan naskah pesanan apapun; saya harus senang materinya, deadline yang wajar, dan pembayaran yang sesuai dengan standar profesional. Sekurangnya, dengan ketiga hal itu saya tetap bisa bekerja dengan wajar dan menghasilkan karya terbaik.

Hal yang paling “menantang” dalam proses kinerja seperti ini, kalau ada perasaan sakaw menulis. Tidak ada waktu, tapi kepala saya penuh sekali dengan pemikiran dan ide-ide materi fiksi. Dan ini benar-benar mengganggu kalau tidak segera ditulis. Maka, kalau sudah seperti itu biasanya saya meninggalkan saja pekerjaan sejenak dan menulis pemikiran tersebut dari awal sampai akhir. Selengkapnya. Serampungnya versi saya.

Berapa lama hal itu saya lakukan? Saya membatasi maksimal “nyelow-nyelow” seperti ini adalah tiga hari dalam kerja sebulan. Jadi, tidak sampai membuat saya pening karena pikiran-pikiran yang menghantui dan tidak membuat saya kehilangan materi atau ide yang bagus. Ingat, pikiran manusia itu pengingat yang lemah. Harus direkam, harus dicatat. Kalau tidak pasti ilang.  Lalu menulisnya kapan? Ya nanti kalau saya pas tidak ada kejaran deadline naskah pesanan.

Mengapa saya mendahulukan naskah pesanan? Ya karena naskah-naskah seperti itu yang begitu selesai, publish, atau rilis, uangnya akan segera dikirim. Beberapa pihak yang sudah bekerja sama dalam waktu yang lama, terbiasa menghitung dan melakukan pembayaran di depan untuk masa tertentu. Tentu saya harus memprioritaskan hal ini dibandingkan menulis buku secara mandiri.

Sistem antrian naskah di penerbit mayor hingga tiba waktunya menerima royalti itu bisa bertahun-tahun; dengan situasi dan jumlah royalti yang tidak pasti. Kadang tidak ada, ada sedikit, ada banyak, dan selalu tidak bisa diprediksi. Jadi, perlu ekstra kerja di bagian yang sudah pasti uangnya kalau ingin hidup tetap terjamin baik dari sisi penulisan. Yach, itu wes lagu biasa bagi freelancer.

Hari ini 17 Mei, biasa kita ingat sebagai Hari Buku Nasional. Kalau ditanya jumlah buku yang saya baca, tentu saya bisa menjawab SANGAT BANYAK. Beragam buku sejak saya umur lima tahun bisa baca tulis, sudah saya baca hingga saat ini. Terlebih kalau harus menulis buku nonfiksi atau buku referensi, wes jelas kudu baca banyak buku.

Kalau ditanya jumlah buku yang saya miliki, saya baru bisa menjawab TIDAK BANYAK. Mungkin dari dus-dus dan rak rak buku itu isinya hanya sekitar 2000 an judul; yang sudah mulai saya bersihin lagi buat dikirim ke beragam pihak. Baca buku versi saya tidak harus memiliki buku. Pinjam di perpustakaan dengan membayar iuran tahunan jauh lebih efektif. Kalau bukunya nggak ada di perpus, baru deh mikir beli. Kalau bukunya semacam referensi wajib, ya kudu dikoleksi. Kadang membeli dua atau tiga eks untuk berjaga-jaga. Karena buku dipinjam jarang yang kembali pulang 🙁

Kalau ditanya berapa buku yang saya tulis, maka saya akan bilang BELUM BANYAK. Sekira 120 buku terbitan nasional di penerbit mayor, bagi saya masih terlalu lamban untuk menjawab ribuan pemikiran di kepala saya yang muncul setiap saat. Menggunakan berbanyak asisten, tidak selalu membuat saya senang dengan karyanya.

Akhirnya, saya menyadari ada karya yang memang harus dikerjakan secara soliter. Buku-buku pribadi yang diterbitkan secara mandiri harus saya tangani secara privat mulai dari book drafting sampai naskah selesai. Itu pun saya kadang masih iyig mengawal naskahnya sampai jadi agar tidak kecolongan produksinya lepas kendali atau tidak sesuai. Dan yach, ini lebih rieweuh, tapi selalu ada kegembiraan dari setiap kali karya publish.

Hari Buku Nasional, setidaknya kita bisa mengingat kita termasuk orang yang seperti apa terhadap buku. Sekurangnya hari ini mengajak kita untuk lebih peduli pada buku. Kalau orang sering menyebut buku jendela ilmu, bagi saya buku justru menjadi ajang rekreasi yang menyenangkan —saat saya belum bisa ke tempat-tempat baru yang indah di berbagai belahan dunia.

Buku juga telah mengajak saya lebih banyak memaklumi pemikiran orang-orang. Setiap buku, sejatinya tidak lahir dari kekosongan. Di sana ada pengalaman, ada pembacaan, ada harapan, ada renjana kalbu, ada inspirasi, ada tata cara, ada pandangan dll intelektual seorang penulis. Membaca banyak buku, secara tidak langsung mengajak saya untuk lebih toleran, lebih banyak menghargai dan menghormati pemikiran yang berbeda, lebih berempati pada hal-hal yang tidak sebaik perkiraan saya, lebih banyak membuka wawasan, dll.

Bagaimana anda memandang buku? Bebas sesuai dengan pemikiran masing-masing.

Bagi saya sebagai seorang penulis, yang terpenting belilah buku-buku yang asli. Karena ini jadi nyawa ribuan penulis dan penerbit. Tulislah buku-buku yang baik. Karena kita tidak pernah tahu, siapa saja yang membaca buku kita. Bacalah buku sebanyak anda ingin menulis. Ingin banyak menulis buku? Bacalah buku dulu sebanyak-banyaknya.

Selamat Hari Buku Nasional 17 Mei 2022.

#haribukunasional #ariwulandari #arikinoysanwulandari #kinoysanstory

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Pendidikan Nasional: Belajar dengan Gembira

Tulisan ini sudah dimuat di penabicara.com hari Kamis, 12 Mei 2022 dengan link berikut ini: https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063383757/pendidikan-nasional-belajar-dengan-gembira?fbclid=IwAR00brdhD4HmC0n9-wfv-k1HSTbcOOp7xl_gbo_TSZQXIULYT0EV-3a3gNc

Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei sudah lewat beberapa hari. Namun karena pas hari itu kita masih merayakan Idul Fitri atau berlebaran, maka saya baru mengulas materi ini sekarang. Menurut saya, pendidikan tetap akan menjadi tema atau bahasan yang selalu up to date; karena di dalam pendidikan itu selalu ada proses belajar terus menerus untuk memperbaiki kehidupan.

Saya termasuk orang yang mempercayai bahwa pendidikan tinggi adalah satu-satunya jalan untuk memangkas kemiskinan. Kita secara langsung atau tidak langsung dapat melihat, mereka yang memiliki pendidikan tinggi —secara umum memiliki tata ekonomi yang lebih mapan. Tidak selalu seperti itu, tapi kecenderungan umum begitu. Mereka yang mendapatkan pendidikan formal lebih layak (tinggi), bisa mengakses pekerjaan formal secara lebih luas dibandingkan mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi.

Oleh karena itu, meskipun bertahun-tahun sejak belia saya adalah freelancer sebagai penulis profesional, saya tetap memutuskan untuk sekolah tinggi. Saya melihat bahwa sekolah formallah yang membantu kita berpikir secara teoretis dan konstruktif. Sekolah formal mendorong kita untuk terbiasa melihat segala sesuatu secara sistematis dan menyeluruh. Sekolah tinggi bagi saya bukan semata-mata demi menambah gelar dan ijazah —yang ora payu ‘tidak laku’ di dunia freelancer, tetapi tentang membentuk pola pikir dan meluaskan jaringan atau relasi.

Saya bersyukur bahwa Tuhan sudah memberikan kepada saya kesempatan sekolah formal sampai tingkat tertinggi. Dan inilah yang menjadi persoalan ketika kemudian saya ditanya oleh mereka yang ingin menempuh sekolah tinggi; bagaimana cara lulus dari salah satu kampus terbaik dengan waktu yang sangat cepat. Pertanyaannya mudah, tetapi untuk menjawabnya saya perlu waktu untuk sedikit berpikir.

S-1 Sastra Indonesia UGM saya tempuh 3 tahun 1 bulan, S-2 Ilmu Linguistik UGM saya selesaikan 1 tahun 4 bulan, S-3 Ilmu-Ilmu Humaniora UGM saya rampungkan 3 tahun 3 bulan. Saya bejo alias beruntung dengan latar belakang anak desa nun jauh di Tulungagung, bisa mengenyam pendidikan tinggi di kampus biru ini. Waktu studi yang singkat, tidak menghalangi saya untuk menjadi bagian dari lulusan-lulusan terbaik.

Waktu studi yang singkat itu bisa saya tempuh, salah satu faktornya adalah kuliah dengan biaya mandiri alias mbayar dhewe. Semakin lama studi saya, tentu semakin besar biaya yang harus saya keluarkan. Kuliah dengan bekerja, tentu tidak sama dengan mereka yang hanya fokus kuliah dan dibiayai. Karenanya sejak awal kuliah, saya merasa wajib bertemu pembimbing dan dosen terkait untuk membicarakan soal masa studi dan cara agar saya bisa lulus cepat.

Selain itu, saya yakin yang mendorong saya lulus cepat adalah belajar dengan gembira. Saya senang pada materi pembelajaran yang saya pilih. Tantangan dan hambatan selama masa studi menjadi seperti lewat begitu saja. Jatuh bangun kuliah demi mendapatkan hasil terbaik, tidak menjadi beban bagi diri saya. Semua dapat saya lalui dengan hati riang gembira sebagai proses yang membuka mata ilmu saya.

Jauh sebelum saya menempuh pendidikan tinggi, tentu saya juga harus melewati masa pendidikan yang bernama sekolah —pendidikan dasar. Ada banyak kegembiraan sekolah di masa saya belia. Karena dulu saat masuk SD (Sekolah Dasar) tidak ada kewajiban untuk anak harus punya ijazah TK (Taman Kanak-Kanak) apalagi PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Jadi, saya sekolah mulai dari SD (Sekolah Dasar). Sekolahnya pun sekolah pemerintah, sekolah negeri. Kurikulum yang saya terima, tentu sesuai dengan kurikulum negara. Anak-anak masuk jam tujuh pagi dan pulang jam sepuluh siang untuk kelas satu dan dua. Selanjutnya setelah kelas tiga, masuk kelas jam tujuh pagi pulang jam dua belas siang. Setelah masuk SMP (negeri) dan SMA (negeri), sekolah pun tetap masuk kelas jam tujuh pagi dan pulang jam dua belas siang.

Apesnya karena orang tua saya terbatas secara ekonomi dan harus menyekolahkan enam orang anaknya, maka kami tidak dileskan ini itu atau diikutkan kursus pelajaran beragam. Waktu kami bebas untuk bermain di siang hari sampai tiba jam tiga sore. Jam empat sampai enam sore, saya bersaudara masuk pesantren untuk belajar agama Islam dari belia sampai lulus SMA.

Semuanya berlangsung begitu saja dengan kegembiraan. Ke sekolah, ke pesantren, saya gembira. Selain bertemu teman-teman ya karena sekolah tidak terlalu lama. Tugas-tugas sekolah dan dari pesantren ada, tapi tidak banyak dan tetap bisa dikerjakan dengan bermain-main. Saya pikir gembira dalam belajar itulah yang harus kita terapkan pada diri kita; bahkan saat kita bekerja. Hati yang riang gembira akan menjadikan semua proses sulit terasa lebih ringan dan mudah.

Mari kita lihat kondisi dunia pendidikan sekarang. Setiap anak yang mau masuk SD sudah harus punya ijazah PAUD dan TK. Selain itu ada semacam tuntutan masuk SD sudah harus bisa baca tulis. Sebagian sekolah swasta masih ditambah syarat pemenuhan lulus seleksi sesuai dengan standar yayasan.

Melihat anak-anak balita (PAUD dan TK) sudah menggotong tas berat berisi buku-buku atau materi pelajaran, bikin saya miris. Keponakan-keponakan saya pun begitu. Demi bisa lulus PAUD dan TK sebelum sekolah di SD. Mereka masuk kelas, berinteraksi dengan teman-teman, tapi dengan banyak pelajaran yang dituntut harus bisa, harus lulus. Versi saya, pendidikan dasar selazimnya memperkenalkan adab demi membentuk kepribadian yang baik. Bukankah semestinya proses belajar itu adab dulu baru ilmu?

Saya tidak hendak menyalahkan pembuat keputusan dunia pendidikan. Saya lebih ingin melihat beban pada anak-anak belia. Alangkah baiknya kalau mereka benar-benar “sekolah bermain”; tidak perlu dites ini itu demi selembar ijazah yang tidak berarti apa-apa.

Lha mbok yakin, ijazah PAUD sama TK itu lho, untuk apa nantinya saat mereka dewasa? Tidak berguna. Bahkan sekarang untuk ijazah SD, SMP, dan SMA pun bisa dianggap “tidak berguna” karena ora payu di dunia kerja. Dunia kerja kita (terutama yang formal) sudah menuntut minimal sarjana untuk setiap kesempatan.

Toh nyatanya banyak dari kita sebagai orang tua yang tergila-gila memfasilitasi anak-anak dengan beragam kesibukan sekolah sejak dini. Setelah anak-anak masuk SD, SMP, SMA —orang tua pun latah untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah terbaik dengan biaya mahal dengan beban kurikulum yang berat.

Semua itu menjadikan anak-anak ini seperti robot yang menghabiskan waktunya di ruang pembelajaran. Mereka tidak lagi memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Waktu mereka habis untuk sekolah dan tugas-tugas. Belum lagi les atau kursus ini itu —demi ambisi orang tua.

Sekolah telah menjadi “momok” bagi sebagian anak. Pembelajaran tidak lagi terasa menyenangkan. Sekolah telah menjadi kewajiban semata bagi sebagian pelajar. Banyak anak kehilangan minat belajarnya justru karena beban belajar yang berlebihan. Beban yang berat itu masih harus diikuti dengan serangkaian tuntutan dari orang tua yang ingin anaknya selalu juara. Mereka memberikan beban “belajar” tambahan yang berbiaya tinggi, demi anak-anak bisa menjadi juara-juara atau posisi-posisi terbaik. Juara di sekolah, juara di berbagai kegiatan lomba.

Saat memperoleh kejuaraan tersebut, apakah anak-anak itu bergembira? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Tapi yang jelas orang tuanya pasti gembira. Mereka merasa telah “berhasil” mendidik anak-anaknya menjadi generasi terbaik, terpandai, terpintar, dll sebutan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dibahas.

Bagi anak, seperti yang pernah saya alami di masa belia, kegembiraan yang paling benar adalah bermain bersama teman-teman, tertawa tanpa beban pekerjaan rumah atau tugas-tugas sekolah. Bisa jadi, kegembiraan anak versi sekarang sudah berubah; tetapi kalau beban sekolah terlalu berat akan menjadikan anak justru tidak tumbuh kembang secara optimal.

Saya tahu, kurikulum sekolah bertujuan baik untuk mendidik generasi yang terampil, cerdas, terbuka dan mampu berkompetensi di tengah kemajuan global. Tujuan yang sangat mulia. Pendidikan menjadi ujung tombak pembangunan mental suatu bangsa. Tapi perlukah itu semua untuk anak-anak di usia pendidikan dasar hingga SMA? Hingga kita harus rela mengorbankan masa bermain anak-anak?

Hanya pemikiran sederhana saya, bukankah lebih baik kalau pendidikan dasar itu anak-anak diajak untuk “beradab” dan setelah lepas SMA barulah dibawa untuk “berilmu”? Beradab tentu saja berarti memiliki adab yang baik dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian dari pendidikan dasar kita akan mendapatkan generasi yang tahu apa artinya antri, mengerti bagaimana tertib berlalu lintas, menghormati orang tua, menyayangi yang lebih muda, menghargai perbedaan, dll.

Dari pendidikan dasar ini akan “tercipta” generasi bangsa yang beradab dan berkepribadian luhur. Setelah anak memasuki masa perkuliahan barulah kita menuntut mereka untuk “berilmu”. Mereka bisa memiliki ilmu sesuai dengan passion masing-masing agar dapat berkompetisi di dunia kerja.

Tentu pemikiran ini, bukan sesuatu yang mudah untuk diterapkan dengan kultur pendidikan di Indonesia. Negeri kita ini sangat gila gelar dan ijazah. Ada banyak orang yang merencengi gelar tanpa kontribusi yang tetap diagung-agungkan. Sementara ada banyak orang tanpa gelar dengan kontribusi besar pada masyarakat, justru dipandang dengan sebelah mata.

Perlu satu tata perubahan keputusan dan keberanian untuk menjadikan pendidikan di Indonesia lebih “beradab” dan “berilmu” untuk mencetak generasi-generasi terbaik. Perlu kebesaran hati kita para orang tua untuk mengizinkan anak-anaknya belajar dengan gembira. Biarkan mereka memilih jalur pendidikan yang sesuai minat dan bakatnya.

Siapkah kita untuk itu? Bersediakah kita memberi ruang kepada anak-anak untuk gembira saat sekolah? Bisakah kita membebaskan mereka untuk tidak menjadi juara-juara di setiap hal?

Sekurangnya jawaban dari pertanyaan itulah yang dapat menolong anak-anak kita untuk tetap belajar dengan gembira. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itulah, yang membuat kita lebih arif ketika mendapati anak-anak kita ternyata tidak selalu menjadi anak-anak nomor satu. Gembira dalam belajar, sejatinya membawa kegembiraan dalam kehidupan. Hati yang riang gembira adalah obat dari segala persoalan kehidupan.

#tulisanmedia #publikasimedia #mediaonline #ariwulandari #kinoysanstory #pendidikannasional #belajardengangembira

Ari Kinoysan Wulandari

 

Please follow and like us:

Lebaran: Sudah Lebarkah Hati Kita?

Tulisan ini sudah dimuat di penabicara.com hari Kamis, tanggal 5 Mei 2022 dengan link berikut ini: https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063346820/lebaran-sudah-lebarkah-hati-kita?fbclid=IwAR0NY-xPBf5n-EiMDJyQWxx6LjzCDA5MWGRXl76vKoWlo3yPks-NzsQ4Wng

Mari kita ingat sejenak Ramadan 1443 H, bulan puasa kita tahun ini sebelum lebaran. Ramadan di bulan April 2022 ini, tidak terlalu mudah bagi sebagian orang Indonesia. Kehadiran saat puasa dibarengi dengan kenaikan harga aneka macam kebutuhan. Yach, nyaris sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Ramadan adalah bulan ketika banyak orang menganggap sah kenaikan harga segala macam keperluan.

Toh Ramadan tahun ini terasa berbeda dari bulan-bulan puasa sebelumnya. Selain kita masih dalam masa pandemi, sebelumnya kita telah dihebohkan dengan kasus menghilangnya minyak goreng dari pasaran. Kalau pun ada minyak goreng, harganya tidak seperti biasa alias membubung tinggi. Sosial media (sosmed) kita begitu riuh berpantun tentang minyak goreng ini.

Sebaliknya, di tengah hiruk pikuk kelangkaan minyak goreng dengan harga meroket, kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) berlangsung begitu senyap. Dominasi rumpian ibu-ibu terhadap minyak goreng meredam keributan yang biasa timbul kalau BBM naik. Kita pun maklum, begitu BBM naik —naik pulalah semua harga barang kebutuhan pokok.

Kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dari 10 persen menjadi 11 persen, juga nyaris tidak terdengar. Seolah ini menjadi hal yang wajar saja. Sebagai warga negara yang patuh kepada pemerintah, tentu kita wajib mengikutinya. Protes pun, tidak membuat harga-harga dan ketentuan itu turun.

Semua akan terus berjalan sesuai yang telah ditetapkan. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Pilihannya ada pada diri kita masing-masing, mau memakai atau tidak. Kalau pakai ya bayar sesuai harga; kalau tidak pakai, ya sudah diam saja.

Semua proses kenaikan harga itu rasanya teredam dengan keriuhan umat Islam dalam menentukan awal bulan Ramadan. Rupanya isu pencarian hilal atau penampakan bulan sebagai penanda awal Ramadan, jauh lebih seksi di kalangan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Sudah bisa ditebak, awal Ramadan tidak sama.

Ramadan kali ini pun diwarnai dengan beragam kejadian memilukan. Sejak awal Ramadan, sepanjang Ramadan, hingga akhir Ramadan —telah banyak peristiwa yang menuntut kesabaran kita. Selain kenaikan beragam harga, selama Ramadan kita kali ini tidak lepas dari demo-demo —yang semula dijanjikan berlangsung damai, berubah menjadi anarkhis. Beragam tindak kejahatan pun tidak terhenti sepanjang Ramadan.

Kekerasan dengan beragam bentuk menjadi tontonan live yang memilukan jiwa. Betapa nyeri hati kita, saat ada pihak-pihak yang menganggap kekerasan di negeri kita boleh saja untuk mereka yang dianggap “tidak segolongan”. Astaghfirullah hal adzim…. Lupakah mereka yang membuat pernyataan itu? Bahwa sekalipun tidak bersaudara dalam agama, semua umat itu bersaudara dalam kemanusiaan?

Ramadan yang dianggap sebagai bulan suci dengan seribu berkah dan ampunan, bulan saat setan-setan dipenjara, ternyata tak cukup mampu memenjarakan nafsu angkara murka kita. Betapa banyak kejahatan yang semestinya terhenti karena Ramadan, justru menyeruak dengan hebatnya di padang terang bulan suci.

Apapun kegaduhan kita sepanjang awal hingga akhir Ramadan, alhamdulillah kita sudah melewati masa Ramadan yang penuh suka cita. Gema takbir yang mengalun indah di seluruh negeri, menjadi penanda datangnya Idul Fitri. Lebaran telah tiba.

Allaahu akbar…. Allaahu akbar…. Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar wa lillaahil hamdu….

Ketika suara takbir sudah bersahutan dari satu masjid dengan masjid lain, dari mereka yang takbir keliling, dari lorong-lorong sunyi yang tetiba hidup meriah, pertanda lebaran jelang tiba. Alhamdulillah, lebaran 1443 H berlangsung serentak di Indonesia. Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2022 menggeser dengan  sukses peringatan Hari Buruh Internasional (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) di Indonesia.

Semua orang Indonesia nyaris larut dalam kemeriahan lebaran; zakat, THR (Tunjangan Hari Raya), kue-kue khas lebaran, parsel, takbir keliling, mudik, sholat ied, ketupat opor, salam dan salim silaturahmi, bermaafan – memaafkan, baju baru, angpao, dll. Semua terasa begitu meriah dan hidup. Kita berasa baru lebaran lagi.

Yach, terutama karena tahun ini pemerintah mengizinkan kita untuk mudik lebaran. Alhamdulillah, setelah dua tahun kita “diminta” tidak mudik lebaran karena pandemi. Gegap gempita mudik lebaran menjadi begitu riuh. Jumpa peluk cium saudara kerabat di kampung halaman menjadi seperti sesuatu yang “baru” lagi di lebaran kita kali ini.

Hari kemenangan telah tiba. Hari bermaafan telah datang. Hari kembali suci telah menyapa. Saatnya bersilaturahmi dan bermaaf-maafan di hari yang fitri. Urusan minta maaf dan memaafkan sejatinya bukanlah urusan yang mudah. Setiap orang memiliki kesulitan dan permasalahannya masing-masing untuk perkara meminta maaf dan memaafkan.

Perkara meminta maaf dan memaafkan ini memang cukup mudah diucapkan di mulut, tetapi apakah kita benar-benar telah meminta maaf dan memaafkan secara tulus lahir dan batin kita? Wallahua’alam.

Mari kita cermati satu per satu. Ada banyak konflik terjadi di sekitaran kita. Baik itu antara kita dengan saudara, kita dengan menantu – mertua, kita dengan besan, kita sebagai anak dan orang tua, kita sebagai teman, kita dengan tetangga, kita dengan partner kerja, kita dengan anggota komunitas dll. hubungan sosial antar manusia.

Semua hubungan sosial pada prinsipnya rawan masalah. Sedikit saja salah ucap, salah paham, bisa berakibat fatal. Lalu menjadi masalah yang membesar dan tidak selesai bertahun-tahun. Padahal, kalau semuanya mau berbesar hati, menghadapi, meminta maaf dan memaafkan, bisa jadi urusannya akan segera selesai.

Nyatanya ini tidak selalu mudah. Karena minta maaf dan memaafkan bukanlah berarti siapa yang salah dan siapa yang benar. Ini berkaitan dengan siapa yang mau mengalahkan ego dan menghargai hubungan yang telah terjalin sebelumnya. Dan momen lebaran, sebenarnya saat yang tepat untuk sedikit menurunkan ego —meminta maaf dan memaafkan lebih dulu. Terutama meminta maaf dan memaafkan secara batin demi kelapangan hati dan jiwa kita.

Meminta maaf dan memaafkan orang-orang yang tidak pernah terlibat konflik dan masalah dengan kita, tentu hal yang mudah. Namun bagaimana dengan urusan meminta maaf dan memaafkan orang-orang yang merugikan kita? Orang-orang yang menghancurkan hidup kita? Orang-orang yang menjegal usaha kita? Orang-orang yang membuat kita sakit hati, luka hati, hingga berdarah-darah?

Tentu tidak mudah untuk meminta maaf dan memaafkan mereka. Bahkan kalau bisa, seumur hidup kita tidak perlu bertemu atau berurusan dengan mereka. “Kan dia yang salah, kenapa harus saya yang minta maaf duluan?”

Seringkah kita merasa begitu? Kalau kita menjadi pihak yang meminta maaf dan memaafkan, sementara pihak lain tidak mau; kita memang tidak mengubah peristiwa yang telah terjadi. Namun sebenarnya, kita sudah mengizinkan diri kita untuk menapaki hari yang lebih baik. Kita sudah melepaskan ego, dengki, kesal, marah, dll perasaan negatif yang mengganjal langkah kita.

“Tapi kelakuannya itu sungguh menjengkelkan. Gara-gara dia, saya rugi sekian… gara-gara dia saya tidak jadi kuliah…, dll.”

Wait…! Kita minta maaf dan memaafkan itu, bukan berarti kita melupakan kelakuan buruk yang pihak lain lakukan pada kita. Kita tetap perlu mencatatnya dalam hati, bahwa ada hal yang perlu kita pertimbangkan lebih dalam —kalau misalnya nantinya kita perlu berhubungan atau berurusan lagi dengan mereka.

Dengan meminta maaf dan memaafkan, kita sudah tidak menyimpan dendam dan kekecewaan, kita sudah melepaskannya. Kita sudah bisa menerima, bahwa memang itulah yang harus terjadi. Kita harus bersegera move on mengejar masa depan kita yang lain. Bukannya malah terus menerus meratapi kesalahan yang diperbuat orang lain pada kita, atau bahkan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan.

Ya, karena urusan minta maaf dan memaafkan itu tidak hanya dari kita kepada orang lain; tetapi juga pada diri kita masing-masing. Coba ingat-ingat, berapa banyak kesalahan yang kita lakukan? Berapa banyak perbuatan yang ternyata kita sesali sepanjang hidup hingga saat ini —yang membuat kita tidak bisa memaafkan diri sendiri? Kesalahan yang membuat kita stuck saja di persoalan itu. Sementara hari-hari sudah berlari sangat cepat dengan kemajuan yang luar biasa. Hidup kita pun menjadi terasa berat dan penuh beban.

Padahal kalau kita mau berbesar hati, mengambil hikmah bahwa yang kita lakukan sudah versi terbaik; lalu mengizinkan kita melakukan kesalahan, kekurangan, tidak sesuai harapan; kemudian bergerak memperbaiki diri, tentu lebih banyak hal baik dan indah yang kita peroleh.

Memaafkan diri sendiri berarti kita membuka ruang seluas-luasnya bahwa kita ini manusia. Tidak ada manusia yang sempurna. Seberapa baik kita merancang atau merencanakan sesuatu, kalau tidak tertulis dalam takdir Tuhan, pasti meleset atau tidak tergenggam juga.

Dengan kesadaran manusiawi tersebut, kita menjadi manusia yang ringan langkah. Hidup terasa membahagiakan dan mudah. Kita juga akan menjadi manusia-manusia yang toleran. Kita tidak akan mudah menghakimi atau menghujat orang lain. Karena kita menyadari, bahwa kemanusiaan tertinggi seorang manusia adalah melakukan kesalahan yang manusiawi. Meskipun hal ini tidak berarti boleh menjadi pembenar setiap kesalahan.

Menyadari adanya kesalahan tersebut, menuntut kita untuk minta maaf dan memaafkan diri sendiri. Berdamai dengan semua peristiwa yang tidak menyenangkan yang pernah kita alami. Kalau kita tahu pasti, Tuhan saja Maha Pengampun, mengapa kita sulit minta maaf dan memaafkan orang lain? Mengapa kita mempersulit diri sendiri dengan tidak memaafkan kesalahan-kesalahan kita?

Lebaran ini, mari kita koreksi diri masing-masing. Sudah lebarkah hati kita? Sudah luaskah pintu maaf kita, untuk semua pihak yang ternyata begitu banyak salah kepada kita? Sudah terbukakah hati kita untuk mendahului minta maaf kepada mereka yang menyakiti dan melukai hati?

Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Semakin lapang hati kita, semakin mudah dan bahagia hidup kita. Semakin ringan langkah kita, semakin cerah masa depan kita. Damai sejahtera di bumi dan di surga.

Selamat berlebaran. Selamat Idul Fitri 1443 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Bermohon semua amal baik kita sepanjang Ramadan diterima Allah SWT dan tetap sehat, happy, berlimpah rezeki berkah, panjang umur sampai berjumpa Ramadan tahun depan. Amiiin.

#artikelmedia #publikasimedia #mediaonline #ariwulandari #penabicara #kinoysanstory

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Lebaran Paling Gado-gado

Ya, lebaran tahun 2022 sudah lewat beberapa waktu. Namun karena masih bulan Syawal, saya pun mengucapkan Selamat Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Bermohon doa semua amal kebaikan kita diterima Allah SWT. Dan kita diberi sehat panjang umur berkah, berjumpa lagi dengan Ramadan tahun depan. Amin.

Saya mencatat hal yang paling gado-gado sepanjang tahun-tahun lebaran yang saya alami. Sebagai pengingat agar saya lebih berhati-hati dan tidak menyepelekan gangguan kecil. Lebaran kali ini berbeda. Sebelumnya kita dilarang mudik karena pandemi. Dua kali kita tidak mudik. Lalu tahun ini boleh mudik. Tentu saja, saya senang. Biasanya kalau sudah disebut “mudik” bagi saya tidak sebentar, karena urusannya jadi ke sini ke situ.

Saya wes berniat mudik dengan kereta. Berangkat lebih awal dan pulang lebih akhir. Namun ya ampun, tiket kereta ke arah timur itu sungguh sudah habis sejak entah kapan hari. Adik saya lalu mengatakan ikut mudik saja bareng dia. Akhirnya saya setuju, meskipun itu berarti cuman berangkat berhenti di rumah ibu lalu balik pulang. Capeknya pasti…  lalu lintas jelas rame.

Hari Kamis sebelum lebaran, tanggal 28 April saya masih beberes urusan kampus. Di rumah, saya mengepel seluruh ruangan dan membersihkan kamar mandi. Setelah beberes, saya kok merasa pusing luar biasa. Saya pikir karena sahur terlalu awal jam 01 an WIB dini hari. Jadi lewat tengah hari sudah laper dan pusing.  Saya pun rebahan menunggu Maghrib. Setelah berbuka, saya minum obat sakit kepala.

Pusing saya tidak kunjung mereda. Lepas jam sembilan malam, saya minum obat pusing lagi dan tidur. Badan rasanya kok tidak karuan. Saya pikir capek karena pekerjaan beruntun. Ya ampun pas sahur, tangan kiri saya bengkak dan nyeri luar biasa saat digerakkan. Saya meneliti tangan saya, tidak ada yang aneh. Saya berusaha mengingat semingguan kerja apa saja. Segera saya mencari minyak rempah,  mengolesi semuanya. Rasa nyeri pun berkurang. Mungkin saya terlalu lelah mengetik. Sekitar satu tahun yang lalu, kedua tangan saya hampir bengkak; tapi karena saya sadar cepat, langsung diolesi minyak rempah dan sembuh.

Hari Jumat, saya masih berusaha bertahan dengan minyak oles. Tapi rasa nyeri dan meriangnya itu tidak keruan. Saya senteri tangan dari ujung ke ujung, lalu tampaklah ada bekas sengatan di ruas jari manis. Entah gigitan apa, tidak jelas. Saya mengingat aktivitas saya, dan benar tidak ingat apa yang menyengat dan di mana disengat.

Adik saya pas dengar cerita saya, mengatakan berarti sengatan itu terjadi saat saya kerja. Kalau saya diam, pasti tidak akan terjadi. Karena kalau hening, suara detak jam aja terdengar. Apalagi saya termasuk orang yang peka enam indera.

Adik saya bertanya apa harus dianter ke dokter. Dia bilang nanti sama dokter pasti diberi obat anti nyeri dan obat mengempiskan bengkak. Saya bilang sepertinya kalau sudah tahu sebabnya, saya di rumah saja dengan minum obat anti nyeri. Puasa-puasa, saya yo mager keluar rumah. Tapi itulah yang bikin sakit ini berkepanjangan. Sabtunya sakit saya wes tidak keruan dan ke dokter juga akhirnya.

Begini begitu, dokter bilang itu disengat kelabang atau lipan. Dia cukup takjub melihat begitu bengkaknya (seperti gajah abuh), saya masih sadar dan tidak pingsan, masih bisa jelas berkomunikasi dengan baik. Katanya lipan cukup besar karena racun cukup banyak. Berarti daya tahan tubuh saya luar biasa kuat. Tetap saja saya meringis dengan nyeri dan badan yang tidak keruan rasanya. Panas, meriang, berasa mual, nyerinya sampai punggung saat tangan digerakkan.

Sudah mendapat obat dari dokter, saya tenang. Meskipun jadi tidak berpuasa di ujung-ujung Ramadan karena kudu minum obatnya per tiga jam. Jumat, Sabtu, Minggu, bener-bener siksaan berat buat saya. Minggu malem pas takbiran, saya wes berniat pokmen kudu berangkat Sholat Ied. Ya, berangkat dengan tangan yang masih bengkak, tidak bisa menggenggam, tidak bisa mengangkat bahkan satu bolpoin. Ya Gustiii… ampunilah hamba-Mu ini dan sehatkanlah aku! Begitulah seru saya berulang-ulang dalam hati.

Lebaran saya masih ikut mider silaturahmi di perumahan yang berasa sunyi karena mayoritas mudik. Hanya beberapa keluarga saja yang tinggal. Itu pun karena daerah mudik mereka di sekitaran DIY. Mereka memilih mudik setelah sholat Ied di masjid komplek. Untunglah di deretan rumah saya, ada tetangga-tetangga yang tidak mudik. Begitu tahu keadaan saya, mereka menanyakan apa saya perlu ini itu dan akan membantunya. Saya bilang obat cukup, makan sudah ada frozen food yang aman, bisa gofood. Tapi tetap, mereka membawakan makanan ini untuk saya. Sungguh berkah juga lho, punya tetangga-tetangga yang baik dan peduli. Alhamdulillah.

Dan saya masih berjibaku dengan pengobatan. Kata dokter mestinya 4-5 hari sudah lebih reda nyerinya, tapi pulih 10-12 hari karena saya telat mengobati. Yo wes, semua jadwal halal bi halal dan unjung-unjung tetua di Jogja; saya skip. Bahkan mengirim ucapan selamat hari raya dan membalasnya pun saya terlewat, karena nyeri yang tidak tertahan kalau salah gerak.

Hari Kamis pagi, 5 Mei, adik dan ipar saya memberi tahu rencana perjalanan. Menanyakan apakah saya cukup sehat. Saya bilang oke. Tangan saya sudah tidak terlalu nyeri, bengkak juga sudah mengempis. Dan kesalahan saya itu, tidak tidur di perjalanan. Ngobrol ini itu sama adik dan ipar. Sampai besok siang beneran tidak tidur dan ada jam saya lupa minum obat.

Siang Jumat di rumah ibu —yach, kalaupun kami bisa membayar hotel, tapi lebaran tetap tidur di rumah ibu. Situasinya jelas  kami dengan krucilan bocil menjadi seperti pindang. Tidur seadanya. Baru sebentar saya tidur, ponakan saya entah ribut apa dan saya pun tidak jadi tidur. Malem pun kami lebih banyak cerita ini itu.

Ealah, nggak biasa-biasanya ipar saya bilang kalau sepanjang ke rumah ibu belum pernah dolan-dolan jauh. Mereka langsung cari browsing ini itu dan mengajak semua ke pantai keesokan harinya. Ada si bocil yang ulang tahun meminta ke KFC, yang gila —kami dua kali datang, antrian mengular panjang; kalau dijabanin itu lebih dari dua jam.

Saat mendengar rencana ke pantai itu, mestinya biar saja mereka pergi dan saya tidur di rumah ibu. Tapi kalau nggak sekarang njur kapan bisa sama saudara-saudara yang jauh-jauh. Yo wes saya ikut. Di pantai lho saya tidak banyak aktivitas. Mung keliling naik perahu dengan keluarga. Ciblon main air pun tidak. Tapi ini yo berasa bising… Pantai Gemah penuh sesak. Selain karena kurang sehat, saya malas berliburan di sesak kerumunan.

Setelah bebersih diri selepas keliling laut, kami nyari souvenir, sambil beli makanan kecil ini itu. Wes pulang. Makan-makan. Beberes njur sore balik Joga. Dan begitulah dosa-dosa saya akibat lupa minum obat yang berdurasi tiga jam itu, malamnya tangan saya luar biasa nyeri. Meriang, panas, beneran wes gak enak di badan. Berusaha tidur tapi nggak bisa tidur. Sampai Jogja lagi, saudara saudara dan ipar saya masih dolan liburan lebaran. Saya wes memutuskan off. Tidur.

Senin Selasa full di kantor, dari pagi hingga sore —sebenarnya ini juga maksain banget karena ada hal penting. Selasa malem, saya panas lagi, demam, nyeri, nggak beres aja badan. Rabu ke dokter lagi. Kena omelan karena wes dibilang istirahat saja sampai sembuh atau obatnya habis, malah pecicilan. Diberi resep dengan catatan kudu istirahat total sekurangnya tiga hari. Wes, Rabu Kamis Jumat saya rebahan gaya sultan, ora kerja. Semua urusan kerja saya skip. Zoom zoom bahkan breifing lomba-lomba. Ketemuan-ketemuan dengan kawan kerabat pun saya batalkan. Pokokmen saya mau sehat dulu. Meskipun tetep, sosmed ya kepegang lah…. namanya rebahan zaman sekarang, HP nggak ikut rebah 😀

Alhamdulillah, sehat. Sabtu pagi saya wes ngepit cukup jauh sekira 7 km pp atau ya 14 an km. Tangan sudah lentur, gerak cepat, kuat memegang, bisa menggenggam. Badan sudah enak segar bugar. Buat lelarian dan menyanyi keras-keras, wes bisa. Alhamdulillah. Malamnya saya bisa ikut halal bi halal di RT dari jam 19 an sd 22 an WIB dengan ikut aktivitas membantu ini itu, tanpa merasa ribet. Sehat itu memang nikmat.

Hal lain yang terjadi tahun ini yang mungkin akan jadi kebiasaan adalah saya menerima THR dan parsel wajib dari institusi saya menetap sebagai dosen. Hahah… dengar THR kayaknya asing banget bagi saya. Meskipun ini tahun ini besaran THR sekira 20% saja dari honor saya mengajar penulisan 2 jam, tetap saja saya gembira. Ora kerja opo-opo, dapat duit 🙂

Tentu lebaran ini juga saatnya saya memberikan THR pada orang-orang yang ngrewangi saya. Membagi angpao pada beberapa pihak. Alhamdulillah. Selain itu juga mengirimkan parsel-parsel pada semua pihak yang berada di sekitaran relasi, gaweyan, kerabat. Tetap saya syukuri semuanya. Alhamdulillah, meskipun tidak menetap bekerja di media, penerbit, atau PH, saya masih menerima angpao dan parsel dari mereka —hampir setiap tahun lebaran, termasuk tahun ini.  Semua itu menandakan tempat-tempat saya bernaung sebagai freelancer masih solid secara ekonomi dan finansial.

Yach, semua peristiwa itulah yang menjadi lebaran tahun ini terasa nano nano atau gado gado bagi saya. Banyak rasanya. Banyak pengalamannya. Saya seperti diingatkan untuk lebih peka pada gejala kecil. Kadang yang sepele itu, nggak sesederhana yang kita kira. Tanda yang sama, tidak selalu referen sakit atau penyakit yang sama. Bisa saja berbeda, hanya gejalanya sama.

Wes, sekarang sehat alhamdulillah. Saya beneran bersyukur wes balik sehat. Bisa gaspol kalau sehat mau makan ini itu enak, tidur nyenyak, kerja juga tenang. Tetep semakin tambah umur, kudu lebih protektif pada tubuh fisik. Imun kita bisa saja kuat, tapi kalau penyerang kekebalan tubuh lebih bebal, tetap kita yang akan jatuh.

Dan percayalah, semua tahu. Sakit itu tidak enak. Makanya, sehat itu butuh investasi. Makan yang sehat, istirahat cukup, olga cukup, hati jiwa pikiran tenang, dekat dengan Tuhan, dll. Mati memang sudah takdir, umur sudah ditentukan. Tapi menjaga jiwa raga segar bugar sehat lahir batin adalah tugas kita masing-masing.

#kinoysanstory #selfreminder #sehat #segarbugar #happywriter #happywriting #happylife #lebaran

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us: