Dalam berbagai mitos Cerita Rakyat di Nusantara, pelangi itu tangga bidadari turun ke Bumi dan atau kembali ke Kahyangan; jumlahnya selalu tujuh 😍 Padahal yang menikah dengan jejaka Bumi itu selalu satu dan pasti kembali ke Kahyangan; rada nyebelin kenapa nggak happy ending selama-lamanya 😂
Dalam berbagai versi pula, mereka inilah yang menurunkan garis raja-raja dan keturunannya. Hampir di semua kisah begitu. Ya wes ben, namanya raja ya istimewa ndak mau disamakan dengan rakyat; sebutan darahnya aja biru 😄😅
Lalu banyak versi sesepuh mengatakan tujuh itu dalam bahasa Jawa berarti pitu, yang artinya pitulungan atau pertolongan. Kalau dirunut cerita bidadari mungkin yang paling tua berasal dari Tanah Jawa (dari Negeri Majapahit yang kemudian menguasai Nusantara). * Dan konon lelaki perempuan menikah kalau jumlah weton (hari lahir dan pasaran lahir dalam versi budaya Jawa) perhitungannya tujuh, maka hidupnya akan selalu mendapatkan pertolongan Tuhan. Ketika itu, meski dalam hati nyekikik —saya sungguh takberani terang-terangan bilang tidak percaya; ndak kuwalat sama orang tua😅
Iseng saya kambuh, bertanya hitungan saya dan seseorang😅 Lalu dihitunglah dengan cepat; 25 yang berarti jumlah tujuh. “Jadi Mbak Ari, kalau menikah sama dia mau kena badai apapun, pertolongan Tuhan akan selalu hadir. Hidup bahagia, berkelimpahan, saling cinta, ada anak-anak, dan rukun sampai akhir hayat.”
Jeda. Saya seperti sedang dibaca 😁😂 “Kalau jodoh tidak akan ke mana, Mbak Ari.” Ujungnya klise banget kan 😂🤣 Haha…. kadang fun aja mendengarkan sesepuh memberi kuliah, meski hati saya tidak bersepakat.
Pesan buku ini bisa ke andipublisher.com atau wa.me/6281380001149.
Kita tidak pernah benar-benar tahu karakter seseorang, sebelum berurusan masalah uang dengannya. Kita juga tidak pernah benar-benar tahu kebiasaan buruk seseorang, sebelum kita tinggal serumah, tidur seranjang dengannya.
Oleh karena itu memilih klien untuk bidang jasa penulisan, ya boleh dibilang sulit sulit gampang. Gampang gampang nggak mudah. Karena tiap klien beda pendekatannya. Beberapa hal ini bisa jadi pertimbangan.
Jadi ghostwriter atau menulis biografi memang jalan cepat dapat duit banyak dari menulis. Tapi ya ini dapatnya nggak selalu mudah. Cari kliennya sulit sulit gampang.
Tapi kalau sekali dapat, biasanya terus saja. Nah, saya tidak tahu bagaimana cara memilih klien untuk ghostwriter atau biografi, karena setiap kali beda orang beda model pendekatannya.
Yang jelas kalau manajer saya oke, umumnya saya oke saja. Tidak banyak keribetan. Baru kalau manajernya setengah yakin setengah enggak, saya perlu bertemu dan bisa lihat niy orang masalah apa enggak.
Eh yang namanya masalah klien itu nggak cuma urusan sulit atau tidak bayar lho. Klien beribet revisi bongkar bongkir materi itu juga problem. Klien sulit diajak kompromi, itu juga keribetan.
Jadi dalam model kinerja apapun, yang berkaitan dengan ghostwriter dan biografi, pastikan anda senang orangnya, senang materinya, asyik duitnya juga. Kalau tidak, jangan memaksakan nanti makan hati; bisa langsing mendadak 😂
Ada model model klien yang tidak terduga yang mungkin tidak saya kenali. Tapi kalau sepanjang semua oke oke saja, ya tidak apa. Meskipun mungkin ada banyak karakter orang yang tidak seide dengan pikiran saya.
Yang penting Teman-teman, jangan terima klien karena terpaksa. Sengsara nanti. Karenanya kalau jadi penulis harus bagus mengatur keuangan agar tidak ada alasan terima klien semata mata karena uang.
Penulis itu bukan tukang ketik. Anda harus pake otak; pikiran, hati, energi waktu dll yang tidak sedikit. Kalau nggak senang nggak ikhlas, percayalah anda hanya akan terbebani 2x atau 3x dari energi yang semestinya sudah cukup untuk merampungkan satu buku. Jadi pilih pilih klien itu penting agar oke semuanya.
Pake intuisi, kalau feeling baik boleh diikuti. Kalau enggak ya jangan memaksakan diri. Cek cek juga informasi yang berseliweran di internet berkaitan dengan calon klien.
Kalau memilih klien karena terpaksa, misalnya nggak suka materinya tapi bayarnya tinggi sekali, kuncilah mulutmu dari berkeluh kesah. Tidak ada yang menuntutmu atau mewajibkan kamu mengambil pilihan itu. Kalau sudah diambil, ikutilah dan terimalah segala konsekuensinya dengan hati terbuka.
Semoga memberi gambaran tentang masih “gelapnya” cara memilih klien jasa penulisan. Tapi kalau sudah terbiasa, ya nanti ketemu sendiri celah jalan untuk menemukan dan memilih dengan baik. Selamat mencoba 🙏
Salah satu kotak uang di rumah saya dan dibuka jelang lebaran seperti ini. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.
Alhamdulillah, saya menganggap diri sendiri wes kaya; dengan standar pribadi. Kaya versi saya itu kebutuhan sebagai manusia wes banyak terpenuhi.
Sekurangnya kita sebagai manusia ada tiga kebutuhan, yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Nah, kalau kebutuhan primer dan sekunder sudah terpenuhi, sebenarnya orang sudah boleh berasa “kaya”. Tapi mungkin karena kultur kita itu kebanyakan “sambatan”, “berkeluh kesah”, kadang orang kaya pun rela “memiskinkan” diri demi bansos, BLT, dll bantuan yang tidak seberapa.🙏
Kalau saya, alhamdulillah kebutuhan dasar (primer) –sandang, pangan, papan layak: sudah terpenuhi; keinginan pertama (sekunder) –sekolah tinggi, investasi ilmu pengetahuan, investasi dasar, tabungan: mayoritas terpenuhi; keinginan kedua (tersier) –haji, umroh, keliling Indonesia, keliling dunia, dll hobi bercharge tinggi: beberapa terpenuhi, beberapa sedang diusahakan. Dan yang penting, saya tidak punya utang-utang yang membebani.
Kondisi dan situasi itulah yang jadi dasar saya menyebut diri “kaya”, kecukupan dalam banyak hal. Syukur terimakasih ya Allah atas segala nikmat dan karunia-Mu❤️🙏
Pun kalau ada situasi tidak terduga, tidak ada penghasilan (seperti masa pandemi kemarin), sekurangnya saya masih bisa survive hidup layak selama beberapa tahun. Tanpa perlu menjadi tanggungan pihak lain atau berhutang. Dengan catatan semuanya normal, artinya saya dalam keadaan sehat; tidak ada penyakit yang memerlukan biaya tinggi.
Yach, kondisi merdeka finansial yang saya bangun sedari saya punya penghasilan dan tahu persis bahwa kurang garam sesendok pun, kita tetap harus beli dan bayar pakai uang. Tentu dengan gaya hidup yang tidak amburadul sakarepe dhewe saat membelanjakan uang.
Karena sifat uang itu, ketika masih berupa angka kayaknya besar, tapi begitu dipegang dan diatur ini itu tahu tahu loooos, kok sudah habis 😀🙏
Kondisi saya tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan orang lain. Dengan saudara-saudara dan ipar-ipar saya saja, rasanya saya paling miskin kalau dihitung dari kepemilikan aset dan uang. Apalagi kalau dibandingkan orang-orang yang kaya-kaya dengan kekayaan trilyunan. Wes jelas gak ada apa-apanya.
Tapi ya, hidup saya bukan hidup mereka. Saya bekerja, menikmati proses jatuh bangunnya, dan menikmati hasilnya dengan suka cita. Saya tidak terlalu ambil pusing dengan gaya hidup yang ameh-aneh. Versi saya, hiduplah sesuai dengan kemampuan, cari yang aman, nyaman, dan bikin happy. Itu prinsip yang saya anut.
Jadi, saya tidak pernah terganggu ketika saudara atau ipar saya beli (lagi dan lagi) rumah, tanah, mobil, saham-saham, atau aset lainnya. Pun dengan teman-teman dekat yang terus menambah kekayaan. Atau dengan tetangga tetangga yang beli ini itu yang bersifat menambah aset. Saya justru ikut mensyukurinya, turut senang dengan kegembiraan mereka, dan tidak tergoda ikut-ikutan membeli (apalagi memaksakan diri) sesuatu yang pada dasarnya tidak saya perlukan.
Mungkin itulah yang membuat hidup saya tenang. Tidak kemrungsung. Tidak terobsesi menghalalkan segala cara demi uang. Bisa bekerja dengan tenang. Mengerjakan apa yang saya senangi dan menghasilkan uang. Tidak terpengaruh dengan provokasi nggak wajar demi mendapatkan uang. Dan tetap senang kalau saya harus mengeluarkan uang untuk berderma atau sedekah dalam batas batas yang telah saya tentukan.
Yach, hidup saya memang sebegitu biasa-biasa saja. Sampai saya merasa kok hidup begini-begini saja ya, mengerjakan segala rutinitas yang sepertinya sudah saya kenali dengan baik. Mengerjakan segala hal dengan gembira, perlahan, tenang, rampung, dan menyenangkan.
Nah sebenarnya; ketenangan hidup itu versi saya bisa dilakukan dengan membangun perasaan kaya. Percayalah, kalau ada pertanyaan siapa yang kaya di kelas ini, misalnya, pasti tidak akan ada yang mau tunjuk jari atau menyebut nama.
Kalau saya menyebut sudah kaya dengan kriteria yang telah saya sebutkan. Memiliki perasaan kaya inilah salah satunya yang membuat kita ringan dan senang mengeluarkan uang. Lalu karena kita gembira, energi positif, ya uang datang datang lagi. Kalau sebaliknya orang pelit makin melarat. Karena uang akan malas datang dan malah semakin banyak kebutuhan tidak terduga karena adanya energi negatif merasa miskin.
Kita bisa melakukan hal-hal berikut ini untuk membangun perasaan kaya.
Pertama, syukur yang melimpah. Apapun keadaan hidupmu bersyukurlah yang banyak. Bahkan kalau nggak ada uang, syukuri saja keberadaan pasangan, anak-anakmu, sekolahmu, pekerjaanmu, rumahmu, dll yang bisa membuatmu menyungging senyum bahagia.
Kedua, anggarkan di depan untuk sedekah berderma. Islam punya aturan zakat 2.5 persen dari penghasilan atau kekayaan. Tapi saya memilih 10-20 persen dari penghasilan untuk segala jenis derma ini. Lumayan banyak dan bikin perasaan saya serasa orang kaya ❤️
Ketiga, bangun situasi kaya. Di rumah saya, ponakan saya pernah bertanya kenapa di rumah Bude Ari di mana mana ada tempat uang (yang ada isinya). Yach karena ini memberi pikiran di bawah sadar saya kalau saya banyak uang. Jadi kalau ada uang yang dikeluarkan untuk hal tidak terduga, pikiran saya; tenang saya masih punya uang di sana sini.
Bisa pakai celengan yang diisi uang dengan besaran tertentu. Saya memiliki celengan recehan, 2000-an, 5000-an, 10.000-an, 20.000-an, 50.000-an, sampai 100.000-an. Semua ada isinya meskipun selembar. Saya letakkan di tempat tempat yang berbeda. Pokoknya kena ingatan saya, di sana sini ada uang.
Kamu boleh memilih cara yang berbeda yang bikin dirimu merasa banyak uang.
Keempat, belanja hati hati tapi dengan gembira. Maksudnya ya cek cek kebutuhan, mana yang lebih murah terjangkau, mana yang diskon, dll. Tapi saat berbelanja jangan njegadul lihat tagihan yang beranjak ke dua digit misalnya, happy aja. Alhamdulillah ini semua kebutuhan terpenuhi. Nanti duit datang lagi.
Kelima, rajin rajin cari kerjaan tambahan. Iya, ini bener lho. Kita sering tidak cukup hanya dari satu sumber penghasilan. Lakukan saja yang bisa dan senang. Suka jualan ya berdagang, suka ngontent ya bikinlah yang bagus, suka masak ya boleh buka PO masakan dll. Intinya, mendapatkan penghasilan lain di luar “pokok” itu juga bikin kita berasa kaya.
Keenam, cek gaya hidupmu. Yach, percuma juga kalau penghasilan nambah terus, tapi gaya hidupnya juga makin tinggi. Biaya gaya hidup yang mahal, yang besar bisa bikin orang merasa miskin dadakan.
Ketujuh, jangan baperan. Saudara beli rumah baru ketiga, iri. Tetangga beli tas branded njur kesal, kawan arisan beli berlian malah dengki, dll. Yach beli saja saat rezekinya cukup dan sesuai. Baperan ini lho yang bikin orang sering menghalalkan segala cara demi tidak kalah tampil “wah” dan dianggap kaya. Hayaaa… saya siy ogah.
Kedelapan, hidup sederhana. Yach ini bukan berarti hidup ala orang miskin miskin ya. Jelas bukan. Hidup sesuai kemampuan. Saya tidak masalah pake tas, baju, sepatu, dll enggak merek branded; tapi kualitasnya prima, nyaman, aman, dan selamat dipakai 😀❤️🙏
Kesembilan, miliki hobi yang produktif. Artinya, kalau di luar pekerjaanmu kamu masih punya hobi yang menghasilkan; percayalah kamu akan irit waktu untuk ngerumpi, ghibah, iri dengki, julid, dll yang bawa energi negatif itu. Tapi akan lebih fokus untuk bertekun pada hobi yang menghasilkan uang.
Kesepuluh, ya dekat dengan Tuhan. Minta dijadikan kaya lahir batin dunia akhirat. Karena sejatinya kekayaan adalah segala hal yang kita nikmati, kita pake, kita gunakan untuk kebaikan hidup; bukan segala sesuatu yang kita miliki. Rumahmu boleh sepuluh, tapi pasti yang kamu tinggali ya satu rumah. Itu pun kalau kamu tidur, ya pasti cuma satu ruang kamar. Iya kan?
Mari kita nikmati hidup dengan sukacita. Bersyukur dengan segala kekayaan yang kita miliki. Karena sering, yang kita anggap “tidak berharga” itu adalah “kekayaan yang besar” bagi orang lain.
Buka Bersama dengan saudara. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.
Ramadan kayaknya nggak lengkap tanpa buka bersama. Mulai dari keluarga, kerabat, tetangga, instansi, perusahaan, yayasan, komunitas, dll mengadakan buka bersama. Kemasan dan modelnya pun beragam. Ada yang di hotel, di resto, di rumah, di fasum, di taman, di tempat wisata, dll tempat yang memungkinkan. Menunya pun beragam, dari yang model angkringan sampai elit ala bintang lima.
Dulu ketika saya jadi mahasiswa S1, betapa senangnya dapat undangan buka bersama. Meskipun itu undangan dari kampus dan harus ikut bayar (kecil saja) karena disubsidi kampus. Senang, gembira, makan minum sepuasnya dan jumpa alumni lintas bidang, lintas angkatan, dan semua sesepuh kampus hadir.
Lalu bekerja, undangan buka bersama saya pun bertambah. Makin tahun seiring bertambahnya pekerjaan dan relasi, undangan ini pun terus bertambah. Lalu menjadi beberapa catatan kebiasaan saya; diundang buka bersama berarti harus bawa sesuatu “buah tangan” untuk tuan rumah. Dan ini sering jadi problem tersendiri, saat waktu begitu mepet dan buru buru.
Karena kebiasaan itu, saat bekerja itu sebelum Ramadan saya wes nyiapin “buah tangan” yang akan saya bawa kalau datang ke undangan buka bersama.
Tidak semuanya begitu. Saya hanya menandai kebiasaan di kalangan tertentu. Makin ke sini, undangan yang saya terima makin banyak. Dan karenanya saya wes mulai “mangkir”, “melipir”, tidak datang karena bersamaan jadwal, tidak terlalu kenal, tidak ada “unsur gaweyan” dll pertimbangan.
Tibalah masanya saya resign dari PH sebagai pekerja tetap dan kembali jadi freelancer. Duuus, jumlah undangan buka bersama saya pun terjun bebas. Hanya beberapa biji dan senang bisa menghadirinya. Yach, konon makin penting, makin sibuk, makin kaya seseorang, makin banyak relasi undangan buka bersamanya. Pun sebaliknya.
Saya kembali ke dunia freelancer yang tidak banyak undangan buka bersama dan atau undangan kondangan hajatan; kecuali yang benar benar mengenal atau ya ada urusannya dengan gaweyan. Sepertinya menyenangkan untuk beberapa saat. Toh, ya tambah luas lingkungan dan relasi, tambah pula undangan buka bersamanya.
Lalu saya membuat aturan untuk diri sendiri, mana saja undangan buka bersama yang saya harus datang.
Mengenal betul pihak pengundang dan memiliki hubungan yang baik.
Undangan datang lebih dulu. Kalau ada yang bersamaan jadwal, yang belakangan harus ditinggalkan. Apalagi kalau yang awal sudah dikonfirmasi hadir.
Tempat dan jaraknya terjangkau. Kalau malam tidak riskan untuk perempuan pulang tanpa pengawalan. Ada undangan dari orang-orang yang saya kenali baik, tapi karena tempatnya jauh dan riskan kakau pulang malam, saya pilih menyampaikan maaf tidak hadir.
Undangan orang-orang dekat (keluarga, kerabat, tetangga, sekitaran yang dekat). Kalau tidak ada ujur atau sudah menyanggupi hadir di tempat lain, wajib datang.
Undangan buka bersama yang tergabung dengan rapat, meeting perusahaan, instansi, atau klien. Nah ini jelas kudu hadir, karena sebenarnya urgensinya meetingnya itu; bukan buka bersamanya.
Pertimbangan lain berkaitan dengan kedekatan dan orang-orang yang diundang. Kalau tidak terlalu kenal, ya skip aja.
Jangan takut mengatakan tidak hadir kalau menurut anda banyak hal yang membawa “masalah”. Misalnya anda diundang A yang baik, tapi di sana ada potensi anda jumpa Z yang jadi musuh bebuyutan karena dendam keluarga, ya tidak usah datang. Daripada gegeran di acara buka bersama orang. Eeh, saya pernah melihat kejadian setipe ini.
Pertimbangkan kesehatan. Kelihatannya mung makan minum, jumpa haha hihi, tapi beneran lho tiap hari datang ke buka bersama itu bisa lelah jiwa raga. Jadi kalau memang berasa memberatkan secara pribadi, boleh tidak hadir.
Dll pertimbangan yang kadang hanya bisa diambil pas dekat hari H undangan buka bersama. Misalnya hujan badai atau bencana lainnya, mendadak sakit, dll. Jangan takut mengatakan tidak hadir, kalau memang memberatkan. Hadirlah kalau anda yakin bisa senang dan sukacita.
Tahun ini, saya menerima undangan buka bersama tidak banyak, sekitar 15-an dan 9 atau 10-an yang saya hadiri. Itu saja rasanya sudah “lelah” betul. Hanya makan minum bae, sekali datang butuh waktu 3-5 jam. Berangkat lepas ashar jam 15.30 an, ramah tamah, buka puasa, sholat maghrib, pulang nyampe rumah wes jam 20 atau 21 tergantung jauh dekatnya. Belum macetnya. Belum persiapannya.
Mana begitu besoknya kerja nggak libur… malem harus bangun sahur pula… biyuuu… biyuuu… kalau nggak inget pertimbangan di atas, saya memilih mangkir absen kok. Lha daripada buang waktu, kan kalau buka di rumah 30 menit wes cukup.
Apapun itu, saya tetap senang dengan semangat buka bersama pas Ramadan. Tidak selalu jadi pengalaman yang menyenangkan, tapi itu jadi bukti bahwa kita ini masih bagian dari masyarakat dan ada yang mengenali kita untuk diajak silaturahmi. Itu siy yang paling berharga. Dan ya orang kita kan masih senang grubyak grubyuk, orang lain bikin apa, ya ngikut bae lah… hehe…
Bagaimana cerita buka bersama anda? Pasti banyak yang berkesan, entah pahit atau manis. Entah menyenangkan atau membagongkan 😀🙏
Lebaran tinggal beberapa hari. Wes penuh mall dengan orang belanja, makin berkurang orang yang tarawih di mesjid. Semoga kita nggak lupa justru di saat saat terakhir Ramadan banyak pahala istimewa, terutama malam lailatul qadar. Semoga Allah memberikan kita kesempatan mendapatkannya, menerima semua amal ibadah kita, mengampuni semua dosa, dan mengabulkan semua doa kita sepanjang Ramadan. Amin.
Lebih kurang situasi mudik lebaran. Ramai, sibuk, banyak orang.
Lebaran tahun ini siy masih agak lama. Tapi lebaran di Indonesia nggak bisa lepas dari mudik. Bahkan banyak keluarga di perantauan tiga bulan sebelum mudik, wes berburu tiket pesawat, kapal, kereta api, bus, travel, dll sarana transportasi mudik.
Yach, lebaran kita memang lebih sering identik dengan mudik. Meskipun nggak semuanya mudik, karena berbagai pertimbangan. Salah satunya mahalnya ongkos transportasi bila tempat domisili dan kampung halaman berjauhan. Terus gitu masih harus bawa banyak orang pula. Jadi yang bisa mudik, bersyukur sajalah.
Kisah mudik sering membuat saya “jungkir balik” hati dan perasaan ngadepin ragaman sikap, omongan, nyinyiran orang-orang –yang apesnya mung jumpa setahun sekali. Tapi yach, dengan sering menutup telinga, nggak usah dimasukin hati; yang begitu biasanya wes lupa kalau sudah tiba di perantauan lagi.
Berikut ini catatan saya tentang mudik. Mungkin bisa dijadikan cerminan.
1. Pastikan niatmu mudik untuk silaturahmi, menyambung persaudaraan yang (mungkin) lama tidak bersua. Niat baik akan membuat semua terasa ringan.
2. Jangan pamer; rumah baru, mobil baru, pasangan/pacar baru, anak baru, tas/barang branded, perhiasan serenteng gambreng, pangkat jabatan baru, gelar baru, dll. Selain nggak manfaat, bisa bikin orang sebel.
3. Jangan nyinyir julid kepada kawan, keluarga, saudara; kenapa belum nikah, kenapa bercerai, kenapa belum punya anak, kenapa belum kerja padahal lulus S2, kenapa masih numpang mertua/ortu meski sudah lama nikah, kenapa masih ngontrak, kenapa mobilnya itu itu saja, kenapa nggak kerja sayang dong sekolah tinggi-tinggi, kamu kok gendutan, kamu kok makin kurus kering apa nggak diurus suami/istrimu, dll sejenis kenapa yang bikin situasi nggak enak.
Percayalah, kamu nggak pernah tahu perjuangan mereka untuk pada sampai tahap yang kamu tanyakan dengan sekedar kenapa. Hidupmu sendiri belum tentu “pas” di mata orang lain. Coba pikirkan kalau “yang dianggap nggak pas” itu jadi bahan julidan pertanyaan pihak lain. Tentu kamu nggak akan senang.
Dengan menimbang begini, mungkin kamu bisa lebih mengontrol “mulutmu” untuk tidak bertanya hal-hal yang lebih sering bikin orang nggak enak hati.
4. Kontrol makanmu. Walaupun di mana- mana suguhan makan minum enak, pikirkan porsi kalorinya. Jangan sampai pulang mudik kamu penyakitan gegara kebanyakan makan. Sedikit angka timbangan naik bolehkah, tapi segera menambah porsi olahraga agar normal kembali.
5. Kontrol pengeluaranmu. Banyak bocil krucil yang harus diberi angpao. Pun saudara kerabat. Ini jumlahnya bisa sangat banyak.
Tahu sendiri, anak anak kecil pas ldbaran main jauh jauh ke tetangga desa, demi dapat angpao. Karena mereka nanti akan berhitung dan pamer dengan sesama saudara atau teman, siapa yang angpaonya paling banyak.
Pastikan kamu memberi angpao sesuai kemampuan. Jangan berlebihan hanya biar disebut “kaya”. Ingat, lepas mudik, masih banyak keperluan hidupmu.
Eeh, kalau nggak ada angpao, nggak ngasih juga nggak usah merasa bersalah. Karena keselamatan hidupmu lebih penting daripada memberi angpao pada orang lain.
6. Kontrol penampilanmu. Sekaya apapun kamu, ya nggak harus semua barang kamu tentengin di badan. Ntar kamu malah kayak ondel ondel dan jadi omongan orang.
Mobilmu lima ya nggak perlu kamu boyong semuanya ke kampung. Kecuali untuk mengangkut saudara kerabatmu mudik lebaran, itu mungkin beda cerita.
7. Kalau ke tempat wisata, jaga keselamatan. Lebaran. Liburan. Tempat wisata biasanya penuh. Jaga diri. Simpan barang-barang berharga di rumah. Patuhi aturan.
Kalau dilarang turun ke laut misalnya, ya jangan nekat. Jangan mati sia sia gegara kenekatan atau kekonyolanmu.
8. Kalau kamu datang ke orang tua dengan anak anakmu, urus makan tidur mereka. Jangan membebani orangtua atau saudaramu lainnya. Ingat, anak anak itu tanggunganmu dengan pasangan. Bukan urusan orang tua dan saudara/iparmu.
9. Kalau kamu dibawain oleh oleh banyak, pastikan kamu membalasnya di lain waktu. Jangan cuma seneng mendapatkan. Itu akan jadi karma buruk yang mengurangi jatah rezekimu secara tidak langsung.
10. Jaga sikap. Kamu boleh sudah menjabat, kaya, dan sukses. Jangan sombong. Roda terus berputar. Kamu tidak pernah tahu masa depan orang lain.
Well, kayaknya itu yang saya ingat. Biar mudikmu bikin semua senang. 🥰 Selamat mudik. Selamat lebaran. Mohon maaf lahir dan batin 🥰🙏
Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.
Seseorang sebut saja A curhat kepada saya bahwa dia merasa “sakit hati” dengan ucapan kawan kawan sejawatnya yang mengatakan bahwa dirinya kerja bertahun-tahun (sudah lebih dari lima tahun) tapi nggak punya apa-apa. Bahkan motornya pun masih motor lama yang dibeliin bapaknya untuk kuliah dulu. Mereka nggak tahu kalau dirinya menanggung ibunya yang sakit (sekarang tinggal kontrol rutin dan beli obat) dan adiknya yang masih kuliah di luar kota.
Yach, dialah tulang punggung keluarga setelah bapaknya meninggal (tentu tanpa pensiunan) dan ibunya tidak bisa lagi berdagang karena sakit). Itu sudah sejak adiknya kelas dua SMA dan kini hampir selesai kuliah.
Intinya kalau istilah sekarang, kondisi dia ini disebut generasi sandwich, orang yang bekerja dengan tanggungan ganda di luar dirinya.
Dia meminta saran masukan saya untuk menghilangkan sakit hati dan kejengkelannya itu. Duuuz, kisahnya mengingatkan pada saya kisah yang juga saya alami tahunan silam. Jadi alih alih langsung memberikan saran ABCDZ saya memilih menceritakan pengalaman hidup saya.
Saat bapak saya meninggal (tentu tanpa pensiunan atau warisan), keluarga saya beneran terpuruk. Kami berenam saudara (mestinya bertujuh, satu sudah meninggal) belum ada yang kerja mapan, belum mentas, masih kemruwet sekolah, hutang bapak ibu banyak dan di mana-mana, dan tentu saja ibu yang nggak bekerja. Keluarga besar? Ehm, bukankah lumrah ya kalau kita terpuruk mereka justru menjauh? Silakan terjemahkan sendiri keadaan itu.
Saya sebagai anak sulung kayak dibanting jatuh terhempas dari pohon kelapa yang tinggi. Sakit, remuk, bingung, putus asa. Kerja pun dengan duit yang belum seberapa, untuk menopang makan kami sehari hari saja tidak cukup.
Itu yang membawa saya melamar ke Kompas karena saat itu gapoknya wes standar Jakarta 5 jutaan (tahun 2000-an) dengan lain lain fasilitas bisa terima 7 juta tiap bulan. Kayaknya lebih cukup daripada gaji saya sebagai editor buku di Jogja yang mung kisaran 700 rb an setiap bulan. Eeh, tapi Jogja memang begitu sejak dulu ya. UMR rendah yang sampai sekarang pun belum sampai 2 juta. Sudah hampir 25 tahun dari saya mulai kerja saat itu. Pokoknya kalau cari uang, Jogja bukan pilihan.
Pikir saya, kalau saya dapat 7 juta, dengan biasa hidup 700 rb an, lainnya bisa memback up ibu dan adik adik saya. Tapi yo takdir Allah, saya gagal karena sakit parah dan nggak bisa datang ke wawancara. Oh ternyata ini jalan Allah untuk bawa saya ke Multivision Jakarta. Wes gak pake test, gak pake ribet ini itu, dan gajinya lebih besar dari harapan saya saat melamar di Kompas.
Yo wes, hidup lebih “terjamin” nggak cuma buat saya, tapi seluruh adik dan ibu saya. Itu pun masih sering kami jungkir balik. Adik saya ada yang berhari hari terpaksa tidur pindah pindah mesjid, di stasiun, di terminal, nebeng temennya karena nggak berani ke kos; lantaran belum bayar kos beberapa bulan.
Adik saya yang lain ada yang harus cuti kuliah dan kerja dulu, demi saudara lainnya tetep bisa sekolah. Yach karena duit saya itu harus dibagi-bagi, mana yang beneran urgent dan nggak bisa ditunda. Beneran ruwet mumet. Belum lagi tahu-tahu adik saya yang lain sakit dan butuh biaya tidak sedikit.
Teror penagih hutang, DC, rentenir pun tidak kurang kurang jadi momok mengerikan bagi kami. Sampai ada yang kelewatan dan itu pas saya di rumah. Saya mengatakan kalau ibu saya tidak lari, tidak kabur. Semua jelas. Rumahnya ada. Orangnya ada. Anak anaknya ada. Hanya memang belum ada uang untuk bayar hutang dan tidak ada barang berharga yang bisa diberikan.
Kalau dia berlebihan kelewatan mengancam keselamatan ibu dan saudara, saya akan lapor polisi sebagai teror dari rentenir. Ya kan rentenir ini bank plecit tidak berizin, yang sebenarnya bisa dipidanakan. Saya bilang, saya yang menanggung hutang-hutang ibu dan pasti akan saya bayar. Lagipula belum dibayar kan dia juga tetep ngitung bunganya. Kenapa ribet banget.
Pokoknya banyaklah keribetan saat itu. Tapi ya syukurlah kami rukun tidak beributan antar saudara. Lalu satu adik saya lulus kuliah, kerja, ikut memback up lainnya. Berikutnya lulus lagi saudara yang lain, bekerja dan turut membantu. Begitu seterusnya sampai si bungsu lulus sarjana.
Sekurangnya saya ada di masa itu selama 15 tahun; sampai semua hutang bapak ibu lunas. Termasuk menyelamatkan rumah ibu yang bertahun tahun sertifikatnya ada di tangan pemberi hutang.
Baru setelah itu semua, saya mulai “menata” hidup saya sendiri. Sekolah, keliling Indonesia, menapaki jalan untuk keliling dunia, menekuni hobi yang lain. Tidak terpikir ada beban untuk ibu atau adik adik saya lagi. Mereka sudah mandiri, ibu juga lebih terjamin; karena salah satu adik laki laki saya menanggung hidupnya setiap bulan. Tentu saya dan saudara lainnya juga tidak lepas dari mengirim uang untuk ibu secara rutin. Tidak jadi pikiran. Tidak ada yang perlu dicemaskan.
Yang perlu saya garis bawahi; kadang kita memang harus “terpaksa” jadi generasi sandwich dengan beragam sebab alasan atau keadaan. Tapi dari pengalaman saya:
1. Memberi batas yang tegas pada diri saya; kuatkan diri secara layak baru membantu. Ya kerja di Multivision memberi saya lebih dari cukup dana untuk hidup saya dengan baik dan menanggung lainnya. Selama kerja, saya tidak pernah utang dari kantor ataupun menarik uang dari kartu kredit untuk urusan ini. Semua murni dari penghasilan yang memang boleh dihabiskan.
Seperti standar keamanan penerbangan saat kondisi darurat, pake maskermu dulu sebelum pasangkan masker orang. Selamatin dirimu dulu, sebelum nolongin orang lain.
2. Fokus untuk menyelesaikan masalah, bukan mendengar omongan orang. Juliders tidak terhitung, pencaci maki banyak, yang suka menghina, meremehkan tidak terhitung. Tapi kalau fokus solusi, tidak akan ambil pusing dengan beragam omongan yang tidak membantu tapi malah merusuh hati itu.
3. Membuat dealing dengan yang ditanggung, sampai kapan harus dibantu. Saya memberi batasan saudara-saudara saya 3 bulan setelah lulus kuliah, semua fasilitas kiriman dihentikan. Jadi mereka harus mandiri dan kerja sebelum masa kiriman dihentikan.
4. Menghitung seluruh utang dan menanyakan semua pihak pemberi utang, bagaimana toleransi mereka atas utang utang itu. Ada beberapa yang membebaskan, kami nggak perlu bayar. Ada yang boleh dicicil. Ada yang boleh dibayar kapan saja ada uang. Ada yang maksa harus cepet dibayar. Ada yang bunganya tinggi sekali. Ada yang bunganya ringan. Jadi dengan tahu itu semua, kami bisa menentukan prioritas yang harus dibayar dulu.
5. Saya dan saudara juga melarang ibu utang dengan alasan apapun, dan siapapun pemberi utang tanpa sepengetahuan kami, tidak akan kami tanggung pengembaliannya. Tujuannya biar nggak ada utang tambahan atau utang baru.
6. Untuk masalah utang utang ini, saya bersyukur betul karena kuliah. Jadi sekurangnya wawasan hukum, birokrasi, aturan ini itu cukup ngerti dan bisa cari info yang bener.
Orang ngancam begini begitu, ya kita balas dengan kasih tahu aturan yang berlaku. Lhah kita itu nggak ada niatan mangkir bayar utang, cuma duitnya belum ada.
7. Yang dibantu juga harus dimandirikan secara finansial dan sadar untuk survive. Kalau saya, karena memandang satu satunya cara untuk memangkas kemiskinan itu sekolah tinggi; ya sekurangnya sarjana itu jadi modal dasar untuk bisa kerja layak. Jadi, yang saya usahakan bagaimana saudara saudara saya sarjana. Ya, setelah itu mereka bisa kerja sesuai kelayakan masing masing.
8. Di luar pekerjaan saya di Multivision saat itu, di hari sela atau liburan, saya tetap menulis, menerjemahkan, dan tentu belajar untuk upgrade ilmu keterampilan. Biar tetap update dan bisa menambah uang dari jalur non pekerja tetap.
Uang dari sinilah yang sebagian saya tabung untuk diri sendiri, seberapapun besar dan berat tanggungan saya untuk keluarga. Intinya tetap menabung untuk diri sendiri.
9. Berdoa dan meminta Tuhan ambil alih semua beban, saat semua terasa begitu berat. Nangis keras pas usai tahajud pun boleh. Karena curhat sama Tuhan pasti didengar dan tidak akan bocor oleh mulut ember.
10. Setelah semua beres, saya tidak pernah lagi beribetan ini itu. Saudara saya sama kuatnya satu sama lain. Semuanya sarjana. Semuanya kerja sesuai pilihan masing-masing.
Bahkan mereka sekarang jauh lebih mapan dan kaya (versi saya) dibandingkan saya. Dan tentu saja, saya juga tidak jadi tanggungan mereka. Saya ya tetap kerja mandiri. Tidak minta ini itu pada saudara. Saya mensyukuri semua itu sebagai pengalaman yang menguatkan kami semua.
Saya mengatakan pada si A, mungkin dari pengalaman saya; dia bisa bersepakat dengan adik satu satunya; bagaimana ke depannya. Asal dengan saudara rukun aja, masalah seberat apapun pasti bisa selesai. Tidak usah terlalu menghiraukan omongan orang. Kita menanggung ujian masing masing. Menolong orang tua dan saudara, pasti berbalas langsung. Saya sekarang toh yo baik baik saja, yo tetep hidup layak sesuai standar umum.
Ini adalah bagian dari perjalanan hidup saya. Alhamdulillah, semua sudah lewat. Terimakasih ya Allah atas penyertaan-Mu yang istimewa ❤ Terimakasih dan cinta untuk semua saudara saya yang luar biasa ❤ Terimakasih untuk cinta dan doa Ibunda yang tidak pernah berhenti menyemangati kami semua ❤ Bagi saya, hidup memanglah untuk menyelesaikan masalah satu demi satu dengan bergantung kuat pada sang Maha Pencipta ❤
Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.
Energi Gaib yang Negatif itu bisa bermacam-macam wujudnya. Kalau di kalangan orang Jawa biasa ada yang disebut dengan disantet, diguna-guna, dituju, dipelet, digendam, diedanake, dll bentuk yang bersifat merusak, mengganggu, membuat gila, hingga yang paling parah membunuh orang dari jauh tanpa jejak.
Walaupun sudah zaman modern seperti sekarang, ilmu yang begituan yo masih ada dan eksis. Bahkan ada banyak juga “dukun” yang mengiklankan diri via sosmed di internet, termasuk harga tarifnya. Dunia memang sudah setua itu ya… Duit bisa membuat orang lupa pada ajaran kebaikan dan kebenaran.
Kisah ini saya tulis berdasarkan pengalaman pribadi. Sebagai pengingat bahwa ujian hidup itu beragam macamnya. Sebagai peringatan juga agar saya lebih mendekatkan diri pada Allah. 🙏
Sudah beberapa hari pas awal Ramadan itu saya merasakan ada yang aneh dengan rumah saya. Sesuatu yang tidak biasa. Hawanya itu juga nggak enak, bawaannya bikin orang emosi dan pingin marah marah aja. Jelas bukan saya banget.
Saya ukur ukur pake SM (Soul Meter) ajaran Bunda Arsaningsih memang ada yang kirim “sesuatu” agar saya tidak tenang. Biar saya tidak bisa bekerja dan gagal dalam urusan gaweyan. Ngerti ya kalau penulis itu kerjanya kudu tenang, fokus, dan konsentrasi. Begitulah intinya.
Dalam hati saya kok ya ada orang yang begini. Padahal lho hidup saya kayaknya begitu begitu aja. Tidak ada yang istimewanya dibandingkan orang lain. Bahkan ujian hidup belum berjodoh pun, kadang berasa di hati saya sedihnya itu luar biasa.
Sebagai orang beriman, yang mempercayai semua takdir Allah itu baik; saya memilih untuk menjalani hidup saya sebaik baiknya. Tidak terlalu ambil pusing dengan omongan orang yang kalau didengarkan hanya makin menambah sedih. Tidak menambah atau memberi kontribusi kebaikan apalagi menambah duit saya 😂 Jadi biarkan saja, ada orang menggonggong; saya tetap memilih bahagia ❤
Sebenarnya kalau saya detailkan lagi dengan SM pasti akan ketemu siapa pengirimnya, kapan dikirim, dari mana dikirimkan, bentuknya apa yang dikirim, hingga siapa orang yang disuruh (dukun) untuk kirim, hingga latar belakang pelaku mengirim hal buruk itu untuk saya.
Namun menimbang daripada nanti saya “dendam” dan “tahu” untuk membalas, SM saya hentikan hanya pada mengetahui ada orang yang mengirim sesuatu yang buruk kepada saya. Saya harus fokus ke solusi masalah. Biar yang kirim itu masalah karma dan urusannya sama Tuhan aja. Begitu pikir saya.
Wujudnya apa? Sekujur badan saya gatal-gatal dengan bentol bentol merah, kepala pusing luar biasa disertai mual akut tapi nggak bisa muntah. Jelas tidak enak dan sempat mau membatalkan puasa.
Semula saya pikir ya sakit biasa. Pas hari pertama begitu, saya curiga ada ulat bulu yang masuk ke rumah dan bulunya berterbangan di seluruh ruangan. Karena kan di depan rumah ada taneman-taneman. Belum lagi seberang sungai masih hutan bambu yang lebat rimbun gitu.
Jadinya ya saya bersihkan semua sudut ruangan. Sprei kamar, taplak, sarung sarung bantal, korden dll –yang baru saja sebelum puasa sudah dicuci bersih; saya ganti dan yang kotor dicucikan lagi. Lantai pun saya pel lagi sebersihnya di semua ruangan.
Mungkin saja saya pusing mual karena ada bangkai yang tersembunyi. Ya namanya cicak kan kadang bisa aja mati nggak ketahuan di tempat tersembunyi.
Pusing mual coba saya tahan dengan sedikit beraktivitas dan mencium aroma minyak kayu putih. Hari pertama puasa itu syukur saya bisa puasa tunai sampai berbuka. Lepas maghrib saya wes klenger, keringat dingin, ditambah gatal di sekujur tubuh yang nggak kira-kira. Tapi setelah berbuka dan minum obat, saya merasa lebih enakan.
P3K saya termasuk obat anti gatal. Karena kalau kepanasan dikit aja, kulit saya bisa gatal gatal dan merah merah mengerikan. Baru kalau sudah minum obatnya, nanti ilang sendiri.
Artinya saya wes yakin kalau secara fisik mestinya tidak akan terkena lagi. Sudah bersih. Sudah minum obat. Esoknya lhah kok gitu lagi. Saya wes nggak mengganti sprei yang saya pakai. Mosok baru sehari wes diganti lagi. Toh nggak ada wujudnya ulat bulu atau sesuatu yang bikin gatal.
Tapi bingung juga lho dengan gatal dan bentol-bentol yang menyiksa. Muka saya pun kena. Gatalnya ampun. Hari ketiga pun masih kena penyakit yang sama. Saya sudah mulai merasa ada yang tidak beres. Dari situlah saya pake SM.
Setelah ketahuan itu, saya mikir lama. Nyembuhinnya gimana ini? Di meditasi harian dari Soul itu ada bebersih rumah juga. Tapi kayaknya nggak mempan; karena pagi atau malam saya pasti meditasi pake media itu. Lha masih kena gitu kok.
Manggil dukun? Ya kali kalau mau sholat dan ibadah saya nggak diterima 40 hari dan diitung syirik. Karena itu dukun pasti minta bantuan makhluk gaib, tidak minta bantuan Tuhan. Wes jelas saya pilih enggak.
Lalu saya inget inget kayaknya Bunda Arsaningsih pernah memberi meditasi online khusus untuk membersihkan rumah. Saya carilah itu di youtube. Ya, pembersihan energi rumah. Rencana mau saya pake meditasi pagi dan malam untuk bebersih rumah. Mungkin saja cocok dan membantu memberi gambaran.
Ealah baru sekali meditasi, saya wes mendengar dan melihat ada anak yang nangis kekejer sambil melarikan diri dengan membawa barang bawaannya. Karena di meditasi itu saya mohon pertolongan Allah (terhubung dengan Tuhan) untuk membersihkan rumah saya, menyingkirkan semua energi negatif dll sesuai petunjuk Bunda Arsaningsih dalam meditasi itu. Seketika itu juga semua bentol bentol, gatal, pusing mual, ambyar bablas ilang dengan sendirinya…
Lhoh berarti si anak gundul itu sudah beberapa hari ada di rumah saya. Pantesan hawa rumah nggak enak banget. Rupanya si bocah gundul itulah yang disuruh nyebarin sesuatu yang bikin saya gatal, bentol-bentol, pusing dan mual. Cuman ya wujudnya nggak tampak di mata biasa.
Dan itu bocah gundul memang disuruh di tempat saya dalam waktu cukup lama. Astagfirullah. Niat tenan yang kirim, bayar berapa banyak itu sama dukunnya. Edan. Tapi ya sudahlah.
Setelah itu, meditasinya saya ulang lagi sampai tiga kali. Biar beneran bersih rumah saya. Dan ya berasa lebih plong lega. Hawa di rumah saya berasa normal kembali. Adem sejuk seperti biasanya.
Alhamdulillah. Maturnuwun, Terimakasih Bunda Arsaningsih. Terimakasih ya Allah. Saya mohon perlindunganMu lahir batin dunia akhirat. Amiin.
Jadi temen temen yang rumahnya cukup luas, terus nggak semua ruangannya tiap hari kepake atau ada orangnya; ada baiknya bebersih rumah pake meditasi ini ya. Gratis bisa diakses bebas di youtube. Cari aja lewat googling. Kalau kamu merasa terbantu, jangan lupa berdonasi. Cek cek link dan rekeningnya juga ada di sana.
Yayasan Cahaya Cinta Kasih yang didirikan Bunda Arsaningsih dkk ini melakukan berbagai kegiatan di seluruh negeri dengan basis penyembuhan dan penguatan kesehatan mental seluruh umat. Kegiatannya lintas agama, lintas etnis, lintas budaya, lintas negara.
Beragam kegiatan bakti sosial juga sudah dan akan terus dilakukan di berbagai tempat. Tentu donasi kita semua akan sangat mendukung berbagai kegiatan mereka untuk semesta raya. Dan pastinya, setiap kebaikan kita berbalas dengan kebaikan juga. Terimakasih.