Kalau Hidupmu Terasa Biasa-biasa Aja

Maluku. Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Pernah nggak siy kamu duduk termenung dan merasa hidupmu berjalan begitu-begitu aja? Bangun pagi, beraktivitas, kerja, makan, tidur, ulangi lagi.

Nggak ada hal luar biasa yang terjadi, nggak ada pencapaian besar, dan rasanya kamu hanya bertahan hidup dari hari ke hari. Kalau kamu sedang merasakannya, kamu nggak sendiri.

Saya pun mengalaminya. Sempat terpikir, kok hidup saya gitu gitu aja. Nggak ada pencapaian tertentu, apalagi prestasi besar. Apa yang salah?

Banyak orang yang mungkin sama seperti saya, ngerasa hidupnya biasa-biasa aja. Nggak terlalu sukses, tapi juga nggak terlalu gagal. Mungkin nggak terlalu bahagia, tapi juga nggak benar-benar menderita. Berada di dunia “tengah”, sekelompok kaum mendang mending kalau dibandingkan dengan golongan bawah atau kismin.

Seolah kita niy sedang berada di zona netral yang bikin semuanya terasa datar. Namun, apa iya hidup yang biasa-biasa aja nggak bagus? Saya jadi mikir banyak untuk introspeksi.

Setelah lama bengong ngelamun, saya seperti diingatkan. Oh, hidup yang biasa-biasa aja itu wajar kok. Nggak semua orang ditakdirkan jadi tokoh besar, artis, publik figur, atau influencer dengan jutaan pengikut. Mayoritas dari kita ini ya orang-orang yang hidup dalam ritme sederhana. Dan pastinya kisah kita nggak mungkin ditulis dalam buku sejarah (makanya nulis dong😀), tapi hidup kita jelas punya arti yang mendalam.

Media sosial seringkali bikin kita ngerasa tertinggal. Kita lihat teman-teman flexing pencapaian, liburan, atau gaya hidup glamor, dan tiba-tiba hidup kita terasa membosankan. Padahal, apa yang terlihat di layar hanyalah potongan kecil dari kehidupan orang lain—biasanya bagian terbaiknya saja.

Oh haha, sebagai contoh saya nggak mungkin toh memposting betapa “berdarahdarahnya” capek lelah nyaris putus asanya saat studi lanjut? Yang diposting kan seremoni ujian dan wisuda. Senang-senangnya, happynya, bengepnya nggak diceritakan. Pun untuk buku buku bestseller saya, nggak mungkin banget saya posting bolak-balik revisinya, tengah malam harus bangun untuk wawancara tokoh yang di belahan dunia siang sementara kita malam, dll. Ini hanya bagian kecil sudut pandang pengalaman yang nggak terdokumentasi sosmed.😃

Saya pikir, yang bikin hidup terasa ‘biasa’ sebenarnya bukan rutinitasnya, tapi kurangnya penghargaan yang kita berikan pada rutinitas itu. Bangun pagi bisa terasa membosankan kalau kamu melihatnya sebagai ‘kewajiban’. Tapi bisa terasa berharga kalau kamu memulainya dengan rasa syukur bahwa kamu masih diberi satu hari lagi untuk hidup. Eh, di detik yang sama banyak lho orang mati. Alhamdulillah kita masih hidup.

Saya coba perhatikan kembali hidup sehari-hari yang saya jalani dan bertanya:

Apa saya sudah benar-benar hadir dalam setiap aktivitas?

Apa saya menikmati sarapan atau hanya menelannya sambil memikirkan tugas kantor?

Apa saya mendengarkan orang-orang yang berbicara dengan saya atau sekadar menunggu giliran bicara?

Oh ternyata perubahan kecil dalam cara memandang ini bisa bikin kita ngelihat hal-hal biasa terasa luar biasa. Ada kutipan terkenal dari Fred Rogers: “You don’t have to do anything sensational to be loved.”

Ini mengingatkan kita bahwa jadi berarti nggak selalu datang dari hal-hal besar. Merawat keluarga, menjadi pendengar yang baik, membantu teman, atau sekadar menyapa orang lain dengan senyuman—itu semua adalah hal kecil yang berdampak besar.

Mungkin kita bukan CEO perusahaan besar. Tapi kita bisa jadi seseorang yang selalu ada untuk sahabat kita saat dia butuh. Mungkin kita belum meraih mimpi-mimpi besar. Tapi bisa jadi kita adalah alasan seseorang tertawa bahagia hari ini. Dan itu rasanya sudah cukup.

Di sisi lain, jika kamu merasa hidup biasa-biasa saja karena kamu menyimpan potensi yang belum dikeluarkan, maka itu pertanda baik. Artinya ada api kecil yang masih menyala di dalam dirimu, menandakan bahwa kamu ingin lebih dari sekadar bertahan hidup.

Kamu ingin tumbuh. Kamu ingin berkembang. Kamu ingin menjalani hidup yang lebih penuh.

Pertanyaannya sekarang: Apa yang bisa kamu lakukan untuk menyalakan kembali semangat itu? Jawabannya bisa panjang banget.

Kita sering terjebak dalam pola yang sama setiap hari: kerja, pulang, tidur. Cobalah hal baru, sekecil apa pun. Baca buku di luar genre favoritmu. Ikut kelas online. Berkenalan dengan orang baru. Lakukan sesuatu yang memecah rutinitas.

Kamu nggak perlu langsung mengejar mimpi besar. Cukup mulai dengan tujuan sederhana: berolahraga tiga kali seminggu, baca satu buku per bulan, atau menulis jurnal harian. Tujuan kecil yang konsisten bisa membawa perubahan besar dalam jangka panjang.

Ingatlah, hidup nggak hanya tentang sampai ke tujuan, tapi juga tentang siapa kamu selama perjalanan itu. Jangan menunggu hidup jadi luar biasa baru kamu bahagia. Bahagialah dalam proses menjadikannya luar biasa.

Kadang, hidup yang terasa biasa menyimpan pelajaran luar biasa. Hidup yang nggak dipenuhi gemerlap dan sorotan justru bisa lebih tenang, lebih stabil, dan lebih damai. Dalam hidup yang sederhana, kita belajar bersyukur. Dalam rutinitas yang tenang, kita belajar mengenal diri.

Jangan remehkan kekuatan hidup yang sederhana. Orang yang hidupnya ‘biasa’ pun bisa jadi inspirasi—justru karena ia tahu cara bertahan, cara mencintai tanpa koar-koar, cara memberi tanpa pamrih.

Selalu ingat bahwa hidup bukan perlombaan. Ini bukan tentang siapa yang lebih dulu sukses, siapa yang lebih terkenal, atau siapa yang lebih ‘wah’. Kita semua hidup di jalan yang berbeda, pada waktu yang berbeda, dan dengan tantangan yang berbeda pula. Kamu nggak terlambat. Kamu hanya sedang berada di titik istirahat sebelum melangkah lagi.

Kalau hidupmu terasa biasa-biasa aja, mungkin itu bukan pertanda kegagalan. Mungkin itu justru ruang kosong yang bisa kamu isi dengan makna, syukur, dan harapan.

Bukan soal seberapa banyak sorotan yang kamu dapat. Tapi seberapa dalam kamu menikmati dan mensyukuri dirimu sendiri, lalu membagikan kebaikan di sekitarmu.

Karena sesungguhnya, hidup yang tenang, stabil, dan penuh cinta adalah salah satu bentuk hidup paling luar biasa yang bisa dimiliki manusia.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Didik Dirimu Dulu: Refleksi Hardiknas

Buku sarana belajar yang praktis, mudah, dan bisa dibawa ke mana-mana. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai momen penting untuk mengenang jasa Ki Hadjar Dewantara dan perjuangannya dalam membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan.

Namun, peringatan ini mestinya bukan sekadar seremoni. Hardiknas seharusnya menjadi refleksi pribadi dan masyarakat: Sudahkah kita benar-benar memahami makna pendidikan?

Dengan beragam hiruk-pikuk membenahi sistem, kurikulum, dan fasilitas, kita kerap lupa bahwa pendidikan sejati tidak hanya berlangsung di ruang kelas dan ruang koridor pendidikan formal. Pendidikan dimulai dari dalam diri setiap individu.

Sebelum menjadi guru bagi orang lain, sebelum menuntut anak untuk belajar, sebelum menyalahkan generasi muda yang dinilai “kurang sopan” atau “kurang rajin”—tanya diri kita: Sudahkah aku mendidik diriku lebih dulu?

Ki Hadjar Dewantara berkata, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Kalimat ini menegaskan bahwa pemimpin sejati memberi teladan. Dan memberi teladan hanya bisa dilakukan jika kita telah menempa diri terlebih dahulu.

Mendidik diri berarti mengasah kesabaran, membentuk karakter, menumbuhkan empati, serta menjadi pembelajar seumur hidup. Pendidikan bukan hanya soal buku dan angka, melainkan tentang menjadi manusia yang utuh—yang berpikir jernih, berperilaku bijak, dan berkontribusi bagi sesama dan semesta.

Di tengah perkembangan teknologi dan derasnya arus informasi, anak-anak kita menghadapi tantangan yang berbeda dari masa lalu. Mereka butuh bukan hanya guru dan orang tua yang pandai, tapi sosok dan figur yang mampu menjadi panutan hidup.

Maka, sebelum kita menuntut anak untuk rajin membaca, mari kita lebih dulu membaca hati dan pikiran sendiri. Sebelum menyuruh anak berperilaku baik, mari kita koreksi tindakan dan kata-kata kita sehari-hari.

Hardiknas adalah saat yang tepat untuk kembali ke akar: bahwa pendidikan bukan tentang siapa yang diajar dan mengajar, tapi siapa yang mau terus belajar. Dan murid terbaik adalah mereka yang terus belajar dari kesalahan, memperbaiki diri, dan menginspirasi perubahan lewat tindakan nyata. Pun guru terbaik adalah mereka yang memberi kontribusi nyata perbaikan dengan teladan.

Jadi, dalam semangat Hardiknas ini, mari kita mulai dengan satu langkah sederhana tapi berarti: didik dirimu lebih dulu. Karena dari sanalah, perubahan besar bisa dimulai.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Hidup Itu (Mudah), Gaya Hidupmu yang Bikin (Susah)

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Kapan itu saya sempat chitchat dengan Bu Monitz tentang postingan lebih kurang pernikahan tanpa pesta, yang ternyata direspon banyak oleh fansnya dengan kebaperan pertanyaan, “Apakah menikah tidak boleh pesta?”

Saya tertawa. Niy yang bertanya pasti tidak melihat sesuatu secara objektif. Bahwa postingan itu menceritakan pernikahan sesuai kemampuan. Semuanya terasa lebih mudah dan tidak merepotkan banyak pihak.

Kalau kamu menikah dan mau pesta geden (bahkan sampai ngutang-ngutang dan atau minta sumbangan sana sini) ya itu urusanmu, sakarepmu. Dan ini biasanya terjadi karena perasaan “nggak enak” sama keluarga, tetangga, orang-orang; keinginan tampil wah, nggak mau kalah dari si A, si B, dll.

Lha memang kalau kamu sulit ekonomi gegara duitmu habis untuk pesta, mereka ikut nanggung biaya hidupmu? Tentu enggak kan? Hari gini, yang realistis aja urusan perduitan.

Saya termasuk yang netral dalam hal ini. Menikah dengan pesta, itu versi saya boleh dan wajib asal sesuai kemampuan. Syukuran pernikahan agar banyak orang datang, banyak doa berkat kehidupan.

Cuman kalau sampai ngutang, minta sana sini, jelas big no. Karena pernikahan yang mestinya happy, habis pesta mumet mikirin tagihan jelas bukan hal yang menyenangkan. Habis menikah ki ya senang-senang. Bulan madu. Piknik. Ke mana-mana menikmati hidup dengan pasangan tanpa keribetan finansial.

Di dunia ini, kita banyak melihat orang yang merasa hidupnya penuh tekanan. Uang selalu kurang, waktu terasa sempit, pikiran lelah terus, dan bahagia seperti barang langka. Tapi benarkah hidup ini sesulit itu? Atau jangan-jangan, yang bikin rumit adalah gaya hidup kita sendiri?

  1. Ingin Terlihat “Wow” di Mata Orang Lain

Media sosial sering kali membuat kita merasa harus hidup dengan standar tertentu—punya barang branded, nongkrong di kafe hits, liburan mewah, dan sebagainya. Padahal, tidak semua itu perlu.

Banyak orang rela berutang demi pencitraan, padahal hatinya sendiri kosong. Hidup jadi berat bukan karena kebutuhan, tapi karena gengsi. Makan tuh gengsi!

  1. Beli Bukan Karena Butuh, Tapi Karena Ingin

Godaan diskon dan belanja impulsif sering jadi jebakan. Kita merasa bahagia sesaat setelah membeli sesuatu, lalu menyesal setelah tagihan datang. Gaya hidup konsumtif ini seringkali membuat keuangan berantakan. Padahal, kebutuhan hidup sebenarnya cukup sederhana.

  1. Kurang Bersyukur, Selalu Membandingkan

Kita sering membandingkan hidup kita dengan orang lain yang tampak lebih sukses, lebih kaya, lebih bahagia.

Padahal, setiap orang punya perjalanan hidup masing-masing. Kurang bersyukur membuat kita merasa hidup ini tidak adil, padahal mungkin kita sudah punya cukup banyak.

  1. Terlalu Sibuk Mengejar “Lebih”

Tidak salah punya ambisi, tapi kalau sampai melupakan kesehatan, keluarga, dan kebahagiaan pribadi, apakah itu layak?

Kadang kita terlalu sibuk mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Akhirnya, hidup terasa seperti perlombaan tanpa garis akhir.

  1. Tidak Punya Prioritas

Saat semua hal ingin dilakukan dan semua keinginan terasa wajib dipenuhi, akhirnya kita kewalahan sendiri.

Padahal, dengan memilah mana yang penting dan mana yang bisa ditunda, hidup bisa lebih ringan. Fokus pada hal yang benar-benar berarti akan mengurangi beban yang tidak perlu.

Sederhanakan, Nikmati, Syukuri

Hidup sebenarnya tidak serumit yang kita bayangkan. Jika kita bisa menyesuaikan gaya hidup dengan kemampuan dan kebutuhan, menurunkan ekspektasi yang tidak realistis, serta lebih banyak bersyukur, maka hidup bisa jadi lebih tenang dan bahagia.

Jadi, sepertinya bukan hidup yang sulit. Mungkin, gaya hidup kita yang terlalu ribet. Hidup itu mudah kalau sesuai kemampuan kita. Yang bikin sulit itu kalau kita hidup di luar batas kemampuan.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Biar Kita Bisa (Segera) Umroh

Di Masjidil Haram. Umroh November 2024. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Beberapa hari belakangan ini, entah kenapa saya sering banget bersinggungan dengan pertanyaan; bagaimana caranya biar kita bisa (segera) atau cepat umroh. Pertanyaan sederhana, tapi jawabnya pun versi saya harus mikir. Karena bagi saya, umroh dan haji itu seperti rahasia Allah, yang kalau belum sampai di sana, ya belum bisa dipastikan keberangkatannya.

Lha banyak orang yang sudah daftar lunas, eh pas hari H nggak bisa berangkat karena sakit, tahu-tahu paspornya ilang, ada urusan yang mendesak, keluarga meninggal, atau bahkan ybs itu yang meninggal. Ada banyak hal yang masih jadi rahasia.

Sementara ada orang yang nggak punya duit, tahu-tahu bisa berangkat karena dibayarin, dapat hadiah, dapat rezeki nomplok, dll. Ada yang berangkat sehat, pulang sakit dan sebaliknya. Semuanya rahasia Allah.

Dari pengalaman, berikut yang bisa saya share. Bisa jadi prinsip dan pengalaman saya tentang umroh haji ini, sangat berbeda dengan orang lain.

1. Niat yang Bener

Mo sampeyan punya duit, dalam kondisi sehat, atau sebaliknya; ketika berasa ada niat untuk umroh atau haji, langsung saja ambil air wudu, sholat hajat 2 rakaat, lalu berniat sungguh-sungguh untuk diberangkatkan umroh atau haji dengan kondisi terbaik, situasi terbaik, fasilitas terbaik, dan orang-orang terbaik.

2. Sebagai bentuk ikhtiar lahir kita, lakukan sesuatu yang mudah dulu. Kalau belum punya paspor, segera bikin paspor. Harga paspor berbeda beda; yang non elektronik 5 tahun, itu 350 rb. Yang non elektronik 10 tahun, seharga 650 rb. Paspor elektronik 5 tahun, seharga 650 rb. Silakan cek-cek di web imigrasi.

Karena pengurusan paspor ini nggak bisa sehari dua hari jadi (kecuali percepatan dengan menambahkan 1 juta biaya), alangkah baiknya mengusahakan ini terlebih dahulu. Apalagi kalau ada berkas identitas (KTP, KK, akta lahir, dll) yang beda, itu harus disamakan dulu.

Jadi lebih baik kalau sudah ada rezeki dan waktu luang, segera bikin paspornya. Kalau yang ingin diajak umroh satu keluarga, bikinnya bisa satu per satu, nggak sekaligus. Biar ringan. Misalnya tahun ini target kelar semua anggota keluarga punya paspor.

3. Menabung Kebaikan

Saya termasuk yang percaya hukum tabur tuai, apa yang kau tanam itu yang kau tuai. Kebaikan berbalas kebaikan, pun sebaliknya. Jadi sejak niat umroh, meskipun belum ada biayanya, setiap ada hal baik yang saya lakukan, saya menambahkan doa, ya Allah mudahkan untuk pergi ke Baitullah. Ini bisa beragam cara untuk berbuat baik ya, nggak harus sedekah uang atau benda.

4. Buka Celengan atau Tabungan

Berikutnya usaha untuk memenuhi dana umroh. Kalau sehari-hari saja hidup kita cukup, tidak ngutang, itu sudah syukur banget, bagaimana kita bisa menabung untuk umroh?

Taruh aja celengan di rumah, ditandai atau dilabeli Tabungan Umroh. Lalu mulailah menabung, meskipun sehari hanya seribu rupiah. Karena saya mendengar kisah juga suami istri guru, selama 30 tahun menabung baru bisa berangkat umroh. Nabungnya ya sedikit demi sedikit.

Kalau pas ada duit besar ya isikan lebih besar. Nanti cukup 50 rb boleh disetor ke bank atau tabungan emas. Atau boleh juga kalau membiarkan uang di celengan selama 1 tahun, baru disetor ke bank. Mana saja yang sesuai dengan kondisi masing masing.

5. Mencari Cara Berhemat

Omong kosong kalau kita punya niat besar, nggak mau berhemat. Kalau sudah ada tujuan, biasanya kita cenderung skip atau meniadakan hal-hal yang nggak penting, pemborosan. Saya pun begitu.

Saya tahu saya mau umroh, budget sekian, ya tetep pengeluaran yang nggak penting banget saya hilangkan agar uangnya bisa masuk celengan umroh. Biaya-biaya pemakaian air, listrik, pulsa, kuota, sabun, deterjen, nonton, piknik, jajan, makan sehari-hari, biaya antar jemput anak, biaya sekolah anak, biaya atau dana sosial, dll itu nanti otomatis terkoreksi agar lebih hemat tanpa mengurangi keperluan dan rasa happynya. Ya jangan sekaligus.

Misalnya kita biasa ngopi atau makan siang di luar 10x dalam sebulan, njur blas nggak sama sekali, itu bisa bikin stres. Ya dikurangi, jadi 6x dalam sebulan. Bawa saja thumbler isi kopi atau bekal makan siang dari rumah. Uang hematnya lumayan. Nanti akan ketemu sendiri pola yang sesuai.

6. Cari Penghasilan Tambahan

Kalau kita punya keperluan uang lebih besar, itu biasanya jadi cerdas melihat peluang. Jual saja secara preloved barang-barang yang baik tapi wes nggak dipakai. Cek isi gudang. Mungkin ada sepeda, sepatu, baju-baju, aneka souvenir, mainan anak, dll. Tawarkan secara online, dan masukkan semua hasilnya ke rekening tabungan umroh.

Kalau perlu cari penghasilan tambahan sesuai keahlian. Entah bikin kue, membuka kelas pelajaran, dagang reseller atau dropship, membuka penitipan anak balita, dll yang sesuai. Ingat, pastikan uangnya fokus untuk menabung biaya umroh.

7. Berdoa dan Memperbanyak Ibadah

Iya, segala sesuatu sangat bergantung ridho Allah. Dengan memperbanyak doa dan ibadah, nanti tahu-tahu ada rezeki nomplok, ada banyak kemudahan untuk berangkat umroh atau haji.

Kita ya manusia, kadang kalau ada maunya sama Allah, ibadahnya njur rajin beut. Tapi saya yakin Allah Maha Penyayang dan tetap memberikan segala sesuatu untuk kita sesuai kelayakan kita masing-masing. Jadi berusahalah melayakkan diri kita sebagai orang yang akan dipanggil ke Baitullah.

8. Mendaftar Umroh atau Haji

Sekarang ini ada banyak biro umroh atau haji yang dengan DP 1 juta saja orang sudah terdaftar untuk berangkat umroh. Nah, pilihlah yang seperti ini dengan jangka waktu pembayaran sesuai kemampuan anda. Kalau misalnya biaya umroh 30 juta dan tiap bulan hanya bisa menyisihkan kisaran 500rb atau kurang ya, pilih yang waktu pelunasan panjang.

Nanti biasanya jelang keberangkatan ada penyesuaian dengan kurs dolar atau biaya riilnya. Iya dong, kalau tambah waktu pasti biaya umroh haji ya sudah naik. Perlu disesuaikan.

9. Mempersiapkan Diri

Boleh jadi kita nggak tahu kapan berangkat umroh atau haji. Tapi baik juga kalau kita mempersiapkan diri. Belajar ilmu tentang haji dan umroh. Menjaga kebugaran fisik mental, terutama kekuatan kaki; karena haji umroh ibadah fisik, jalan dalam waktu yang lama. Jadi perlu olga rutin, sekurangnya 1/2 jam jalan kaki tiap hari.

Mempersiapkan baju-baju harian yang dirasakan sesuai dan pas untuk haji dan atau umroh. Biasanya kalau saya karena menjahitkan baju, kainnya saya beli dulu satu per satu. Kalau sudah fix berangkatnya kapan, baru saya jahitkan.

10. Berbaik Sangka pada Allah

Tidak selalu mudah bagi kita yang ngumpulin duit sedikit demi sedikit untuk umroh, lalu kita melihat orang lain kok bolak-balik umroh, berangkat umroh melulu. Padahal kita kan tidak tahu usaha seperti apa yang dilakukannya.

Mungkin saja dia hidupnya lebih hemat, ibadahnya lebih kuat, dll. Intinya, kita harus fokus ke diri sendiri. Kalau sudah usaha maksimal, belum dipanggil, ya berarti kita kudu tawakal dan berbaik sangka pada Allah. Nanti pasti diberikan pada saat terbaik. Amin YRA.

Mari kita berlomba lomba menata diri agar dapat segera (lebih cepat) berangkat umroh. Ini memang panggilan Allah yang bersifat rahasia. Kalau kita sudah mempersiapkan diri, sekurangnya itu bukti bahwa kita menyambut panggilan Allah itu dengan sebaik-baiknya ikhtiar.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Saya (bahkan pernah lupa) Kalau Punya Ijazah

Wisuda Sarjana, Fakultas Sastra, UGM; 22 November 2000. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Kasus dugaan ijazah palsu masih terus ramai dan banyak alumni UGM yang posting ijazahnya. Bikin penuh timeline bae. Percayalah kalau kamu bukan publik figur, nggak ada kok yang nanyain ijazahmu 🤣

Saya jadi penulis sejak belia. Masuk industri kreatif sebelum lulus sarjana. Ra nganggo ijazah. Patokannya karya-karya saya yang sudah dimuat di berbagai media dan novel yang sudah terbit pada waktu itu; termasuk beragam penghargaan nasional tentang penulisan. Begitu wisuda, terima ijazah S-1 dll, masuk lemari. Begitupun pas dapat ijazah S-2 dan S-3.

Wisuda Master, FIB, UGM; 25 April 2013. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Suatu ketika produser AB tanya ke saya, SS singkatan apa. Saya yang biasa terima memo internal dengan singkatan nama AW (Ari Wulandari), menjawab itu pasti nama produser SS. Produser AB bilang, bukan; karena itu melekat di belakang nama saya. Ari Wulandari, S.S.

Saya bingung dan mendekat, memeriksa. Rupanya itu kontrak saya sebagai wakil PH dengan pihak lain. Saya baru ingat, itu Sarjana Sastra. Gelar S-1. Saya juga baru ingat setelah bertahun-tahun di dunia sinetron, kalau saya punya gelar, ijazah dan transkrip nilainya. Semua itu di industri kreatif, nggak terlalu penting. Kamu sebagai pekerja kreatif dihargai berdasar kreativitas dan payu enggaknya karyamu sesuai standar yang berlaku.

Wisuda Doktor, FIB, UGM, 24 Januari 2018. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Ijazah-ijazah itu baru saya buka lagi, fotocopy, legalisir, ketika bergabung jadi dosen UPY akhir tahun 2021. Baru tahu saya, kalau ada piagam penghargaan sebagai lulusan tercepat, lulusan terbaik. Walaupun saya tukang dolan, ternyata dapat piagam itu. Pasti bukan karena saya pinter, tapi bejo. Kalau kamu kuliah mbayar dhewe dari uang hasil kerjamu, pasti akan berusaha lulus cepat.

Ternyata di dunia kerja, ijazah itu penting nggak penting. Kita tetap harus kerja, nggak kerja ya ketinggalan. Saya berharap siy dugaan ijazah palsu itu segera beres dan melegakan semua pihak.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Allah Begitu Baik

Empek-empek kiriman Bu Anna. Alhamdulillah. Maturnuwun. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.


Sejak balik dari mudik, kondisi kesehatan saya memang nggak baik-baik saja. Dokter menyuruh saya menambah istirahat. Dan ya, tahu sendiri kalau badan nggak sehat, semua makanan terasa nggak enak. Demi tetap makan dan minum obat, saya membeli atau membuat makanan yang bisa masuk di mulut saya; bakso, mie goreng, roti lembut, ropang, gorengan, dan pizza. Nggak makan nasi karena berasane kok mual mencium aroma nasi.🙈

Hari ini, saya mau makan empek-empek. Wes pesan di tempat langganan; tapi ternyata habis. Saya wes arep memesan online, tapi inget rasanya belum pasti dan jelas kena ppn ongkir parkir packing dll itu, saya nggak jadi pesan. Makanan lain di rumah masih banyak dan mikir, besok pagi-pagi saya akan pesan biar langsung diantar.
.
Tapi Allah begitu baik. Sore-sore Mbak Annis mengirim pesan nanyain saya kapan ke kampus lagi. Ada kiriman paket dari Bu Anna untuk saya. Yo, karena masih minggu depan, paket dikirimkan ke rumah. Maafkan, kalau rumah tinggal saya saking ndesonya layanan paxel saja nggak ada 😆 sehingga saya sering diomeli keluarga, sahabat, kerabat yang nggak bisa kirim-kirim sebangsa frozenan atau makanan basah.

Jadi karena paketnya ini makanan basah, oleh Bu Anna dikirim ke Mbak Annis dulu baru disampaikan ke saya. Haish, jadi repot. Maturnuwun Mbak Annis. 🥰🙏 Dan tahu enggak, makanan frozenan yang dikirim Bu Anna itu empek-empek komplit dan banyak. ❤

Duh, saya speechless. Allah seperti sedang bilang, “Ari kamu nggak usah beli empek-empek, niy AKU antar langsung.”

Itu kenapa kalau sesuatu nggak jadi, nggak ada, atau belum, saya wes nggak pernah memaksakan diri lagi. Karena seringnya ya begini, tahu-tahu Allah kirim. Allah urus semuanya. Lebih baik, lebih komplit, lebih tepat. ❤

Alhamdulillah. Maturnuwun Bu @annavincentia

Maturnuwun Mbak @novaheswari
Vincentia Anna Annis Novaheswari

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Lebaran (Tanpa) Persiapan, Tapi Tetap Berkesan

Saya lima bersaudara dengan Ibunda dan si bocil termuda (sementara) di keluarga kami. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Lebaran tahun ini terasa sangat berbeda bagi saya. Kalau tahun-tahun sebelumnya saya cenderung mempersiapkan banyak hal untuk lebaran, kali ini tidak seperti itu.

Gangguan kesehatan dengan batuk yang parah selama 10 hari awal puasa, beneran nyaris bikin saya menyerah dengan puasa Ramadan. Sungguh berat. Sungguh nggak mudah. Tarawih yang biasanya saya lari dengan semangat, bolong-bolong. Ngaji yang biasanya 1 hari 1 juz, hanya bisa saya simak membatin tanpa bersuara.

Untunglah kita umat Islam diberi kemudahan punya banyak dan beragam ibadah ringan yang bisa membantu menutup kebolongan-kebolongan ibadah besar; seperti doa, dzikir, sholawat, sedekah, berbagi, menyebarkan salam, menyebarkan ilmu, dll.

Tugas saya seperti tahun-tahun sebelumnya di lebaran; menyiapkan seragam keluarga besar dengan aneka kruncilan ukuran yang nggak sama, untunglah sudah selesai sebelum Ramadan datang. Mengirimkan per keluarga ke rumah masing-masing tinggal urusan mudah. Selain itu, wes saya yo gak beli baju baru. Padahal biasanya yo beli satu atau dua stel baju sebagai penanda hari baru, hidup baru. Eh tapi ya baik-baik aja ternyata tanpa baju baru di hari lebaran 😁

Menyiapkan angpao sekurangnya 100 pax untuk bocil-bocil (yang tidak dikenal) yang datang ke rumah ibu, sudah jadi kebiasaan dan tugas saya sejak lama.

Iya, kami semua berbagi tugas kalau lebaran di rumah ibu. Ada yang nyiapin kue kue dan seribetannya. Ada yang menanggung makan kami saat pulang lebaran. Ada yang sukarela menanggung biaya piknik kami. Sesuai kemampuan masing-masing dan rasanya sudah begitu sejak lama, setelah kami semua bekerja (alhamdulillah) mapan.

Tentu saya juga menyiapkan angpao untuk sekurangnya 20 orang keluarga inti, yang tentu tidak ringan. Biasanya saya cukup rapi dengan amplop lucu-lucu; memberi nama satu per satu.

Tapi kali ini hanya sempat menarik uangnya dan membagikan tanpa amplop. Keponakan saya berkelakar, yang penting warnanya merah-merah Bude 😁😅

Kalau urusan angpao ini dari kami berlima semua menyiapkan. Tapi besaran dan jumlahnya tidak sama. Ada yang cuma memberi bocil-bocil. Ada yang memberi sebagian saudara dan ipar. Pokoknya bebas sesuai kesanggupan masing-masing. Saya pun beberapa kali yo kebagian angpao dari saudara dan ipar. Pokmen senang aja kalau lebaran.

Waktu libur kerja yang lebih lambat daripada lainnya, juga membuat saya sempat lelah di saat-saat terakhir Ramadan. Undangan undangan bukber banyak yang saya skip. Termasuk undangan bukber dari kampus. Tahun ini 5x saja saya ikut bukber. 3x di areal tetangga perumahan, 2x dengan orang-orang dekat. Lainnya beneran saya abaikan.

Kalau tetap diminta serkileran (sumbangan) ya saya bayar, tapi saya absen. Selain karena kondisi kesehatan yang tidak prima, saya juga sedang berusaha menabung untuk kembali umroh. Rindunya menjadi-jadi kalau ingat Tanah Suci.

Jadi hal-hal yang nggak urgen dan random, tapi kudu menggunakan uang, lebih sering saya skip sejak awal tahun. Karena kalau datang bukber itu, pasti keluar biaya transportasi lebih banyak. Terlebih kalau tempatnya jauh. Belum nanti tahu-tahu laper mata, pingin ini itu, beli ini itu akhirnya nggak kemakan atau kepake. Wes, nyeselnya itu kalau sudah dibeli😁

Kalau nggak beneran ada orang-orang yang saya kenali, saya wes mulai absen di beragam acara kumpulan rerame orang. Kadang jumpa orang-orang juga malah tambah beban pikiran saya, kalau dengar begini begitu yang nggak mengenakkan hati. Meskipun sudah berusaha mengabaikannya. Introvert kadang-kadang memang terlalu banyak OVT nya.

Bayar zakat, sedekah, berbagi, sumbangan sosial, nyangoni orang orang sekitaran yang kerja dengan saya, tentu kewajiban yang nggak bisa diabaikan. Tapi karena wes rutinitas ya biasa saja, wes disiapkan jauh hari. Jadi nggak berasa sebagai tambahan pengeluaran seperti aneka bukber itu.

Pulang ke rumah ibu, berasa banget kalau saya lelah. Ibu saya meminta agar saya banyak istirahat. Tapi puasa masih dua hari saat itu. Beneran berasa tidak ringan puasa tahun ini. Saya tetap bersyukur aja nggak sampai opname dan bolak-balik rumah sakit.

Lepas sholat Ied, bermohonmaafan dengan ibu dan keluarga adik bungsu, saya beneran terkapar. Tidur seperti orang mati, nggak bisa dibangunkan sampai siang. Praktis ibu saya menemui tamu-tamu lebaran sendiri tanpa saya. Sementara si bungsu wes ura pergi ke rumah mertuanya dengan suami dan anak-anaknya.

Syukurlah, tamu-tamu keluarga maklum dan tidak mengusik saya yang tidur. Baru di sore hari saya bisa melek mata, njagongi tamu-tamu yang datang hilir mudik. Maklum, ibu termasuk sesepuh di lingkungannya.

Saudara dan ipar serta ponakan saya dll keluarga nya belum pada datang. Mereka baru datang di hari kedua. Maklum mereka ada di Jogja, Balikpapan, dan Jakarta. Kalau si bungsu wira wiri sesukanya. Kadang di rumah ibu, kadang di rumahnya, kadang ya di rumah mertua. Semua di Tulungagung.

Lebaran menjadi meriah ketika semua saudara saya dan keluarganya sudah datang. Bocil-bocil bikin rumah ibu seperti kapal pecah. Kami tidur seperti ikan pindang dijejer, di sembarang tempat di lantai dengan karpet-karpet. Rame sekali ada bocil-bocil itu. Rumah ibu meriah betul. Mengingatkan saya akan masa kecil tetahunan silam.

Kondisi saya masih naik turun drop beberapa kali, sampai tidak bisa berdiri karena badan terasa begitu lemas. Acara unjung-unjung tetangga kiri kanan rumah ibu pun saya skip. Absen. Untung banyak yang sudah bermaafan saat mereka datang ke rumah ibu.

Acara piknik keluarga, saya juga absen. Acara unjung-unjung keluarga dan sesepuh, absen juga. Praktis lebaran kali ini saya mung bertapa memulihkan diri di rumah ibu. Sungguh bohong kalau umur itu hanya angka.

Makin ke sini kok saya rasa, ada banyak sekali perbedaan kekuatan daripada 20 tahun yang lalu. Jadi saya yo wes kudu legawa tidak semena-mena menggunakan energi fisik kalau nggak mau tumbang-tumbang melulu.

Bagaimanapun, meskipun tanpa banyak persiapan, saya tetap senang lebaran tahun ini. Alhamdulillah. Keluarga berkumpul. Jajanan dan aneka makanan di mana-mana. Baju baju baru. Foto foto. Makan-makan. Bercanda tawa gembira. Kunjung kunjung. Piknik wisata. Kumpul trah. Berbagi oleh-oleh. Berbagi angpao. Berbagi souvenir. Berbagi kue-kue. Semua gembira, semua bersukacita. Apalagi bocil-bocil dengan angpao yang jutaan. Senang betul mereka.

Dan saya tahu, lebaran selalu beda di hati kami bersaudara. Karena nyaris 20 tahun lalu ayah almarhum meninggalkan kami semua di hari nan fitri. Al Fatihah, semoga surga untukmu, Ayah.

Nah bagaimana dengan lebaranmu? Semoga menyenangkan ya. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga semangat fitri hari lebaran membawa semangat baru dalam hidup kita semua.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us: