Selapanan: Selamatan Bayi 35 Hari

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 11 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313594215/selapanan-selamatan-bayi-35-hari

Selapanan adalah selamatan bayi yang berumur 35 hari. Seperti acara selamatan bayi brokohan maupun sepasaran, selamatan ini pada prinsipnya merupakan acara syukuran dan permohonan doa kepada Tuhan YME demi keselamatan dan kebahagian si bayi.

Pada saat bayi berumur 35 hari, orang Jawa mengadakan selamatan karena menganggap bayi sudah mulai terbiasa hidup di alam dunia. 35 hari yang berarti jumlah pasaran (5 hari —legi, pahing, pon, wage, kliwon) orang Jawa sebanyak tujuh kali atau ping pitu, yang berarti pitulungan atau pertolongan. Artinya si bayi ini dalam pandangan orang Jawa dianggap sudah “selamat” di dunia dan diharapkan akan terus hidup panjang umur mengarungi kehidupan di dunia.

Dalam selamatan selapanan, ubarampe atau perlengkapan yang harus disiapkan tidak hanya makanan, seperti pada selamatan brokohan dan sepasaran. Pada acara ini ubarampe yang harus disiapkan ada sembilan macam, yaitu (1) tumpeng, (2) sayur 7 macam, (3) telur ayam rebus 7 butir, (4) cabai, bawang merah, dan bawang putih, (5) nasi gudangan, (6) kalo ‘saringan santan dari bambu’, (7) buah-buahan sebanyak 7 macam, (8) bubur merah putih 7 porsi, dan (9) kembang setaman  (mawar merah, mawar putih, kembang kanthil, melati, dan kenanga). Setiap ubarampe tersebut menjadi simbol sesuatu dan memiliki makna filosofis yang berbeda-beda.

Pertama, tumpeng.

Secara umum keberadaan tumpeng ini melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Kang Akarya Jagat atau Tuhan YME. Semakin baik dan tinggi tumpeng yang dibuat, menandakan harapan agar hubungan manusia dengan Tuhannya pun dari waktu ke waktu semakin baik.

Tumpeng juga menjadi simbol permohonan manusia kepada Tuhan untuk memperoleh kehidupan yang lebih anteng, hidup yang tenang, damai, sejahtera, bahagia lahir batin dunia dan akhirat. Permohonan itu disuarakan melalui doa bersama, sebelum makan bersama-sama dalam acara kenduri.

Dalam banyak prosesi ritual orang Jawa sering menggunakan tumpeng ini, baik tumpeng yang berwarna putih atau tumpeng berwarna kuning. Selain menyimbolkan permohonan kehidupan yang baik, tumpeng juga dianggap sebagai perwujudan dan pengakuan manusia berada di bawah dan Tuhan berada di atas. Puncak tumpeng yang menjulang melambangkan ketinggian (gunung) dan tempat Tuhan berada. Sementara lauk pauk yang mengelilingnya menunjukkan orang Jawa sebagai masyarakat yang mengelilingi gunung. Tanah di sekitar gunung juga dianggap sebagai tanah yang paling subur dan membawa kemakmuran bagi semesta.

Kedua, sayur 7 macam.

Sayur 7 macam ini bebas jenisnya, tetapi harus ada kangkung dan kacang panjang. Kangkung menjadi simbol permintaan agar si bayi terus jinangkung atau terjaga dalam pemeliharaan Tuhan. Sementara kacang panjang merupakan simbol permohonan agar si bayi panjang umur.

Beragam sayur yang ada biasanya sawi, buncis, bayam, labu, kenikir, dll. Aturannya, semua sayur tersebut dibersihkan dan dipotong sewajarnya, lalu direbus sampai matang dan disajikan bersama nasi tumpeng. Sayur 7 macam ini menyimbolkan agar kelak si bayi dapat hidup seperti sayur-sayuran itu. Mudah tumbuh, mudah membaur di segala situasi, dan bermanfaat bagi banyak orang.

Hal tersebut sepertinya tepat digambarkan dengan sayur mayur. Karena tanaman sayur cenderung mudah ditanam, sering dipanen, dan bermanfaat untuk semua orang. Kalaupun ada orang yang tidak suka sayur, tapi pasti tidak ada orang yang tidak pernah makan sayur seumur hidupnya.

Ketiga, telur ayam rebus 7 butir.

Telur ayam yang digunakan dalam selapanan ini harus direbus sampai matang karena ini memiliki makna tersendiri. Telur ayam saat mentah kondisinya rapuh, mudah pecah, dan membawanya pun harus berhati-hati. Namun setelah direbus, telur ayam cenderung lebih kuat. Tidak perlu terlalu berhati-hati saat membawanya, karena tidak akan pecah.

Telur rebus menandakan agar si bayi kelak dapat menggodog pemikirannya sebelum melakukan sesuatu. Dengan menaikturunkan pandangannya, melihat segala sesuatu dari segala sisi, diharapkan tidak akan menghasilkan pemikiran dan tindakan yang baik dan tidak mudah goyah.

Adanya simbol telur ayam rebus sebanyak 7 butir menjadi penanda bahwa kelak si bayi ini diharapkan menjadi orang yang mumpuni. Dia menjadi orang yang teliti, cermat, berwawasan, dan mau memperhatikan pendapat atau pemikiran orang lain. Intinya, si bayi diharapkan menjadi orang yang berkepribadian baik dan tangguh.

Keempat, cabai, bawang merah, dan bawang putih.

Cabai, bawang merah, dan bawang putih ini nerupakan bumbu dasar di dapur. Kalau sudah ada ketiga komponen ini, memasak apa saja pun akan jadi. Jadi dengan keberadaan ketiga bumbu dapur pada acara selapanan, diharapkan si bayi sekurangnya memiliki manfaat dasar dalam kehidupan. Dia menjadi mandiri, tidak menjadi tanggungan orang lain, dan bermanfaat bagi sesamanya.

Orang Jawa memang lebih senang mengatakan sesuatu dengan simbol-simbol, kiasan-kiasan. Bahkan dalam pitutur luhur pun mereka menggunakan banyak metafora untuk menyampaikan sesuatu. Oleh karena itu, berhadapan dengan orang Jawa kadang kita pun perlu “memikirkan” maksud dari sesuatu. Kadang-kadang yang disampaikan tidak selalu sama dengan yang diharapkan atau diinginkan.

Kelima, nasi gudangan. 

Nasi gudangan terdiri dari nasi putih dan sayur beserta lauk pauknya. Adanya nasi gudangan dalam selamatan selapanan ini melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dalam selamatan selapanan ini, nasi gudangan tetap ada seperti selamatan brokohan dan sepasaran karena pentingnya seseorang untuk tetap urup —simbol dari urap (bumbu gudangan). Seseorang dalam pandangan orang Jawa bisa urup itu kalau urip ‘hidup’ dengan baik, bisa menghidupi dirinya sendiri, saat berkeluarga mampu menafkahi keluarganya. Ini merupakan filosofi yang sangat dalam bahwa orang Jawa pada prinsipnya memegang konsep kemandirian dalam kehidupan.

Keenam,  kalo (saringan santan dari bambu).

Kalo atau saringan santan dari bambu ini menyimbolkan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan itu tidak harus diterima seluruhnya. Seseorang perlu menyaring dengan saringan yang terlihat ringan, tidak berdaya, tidak berat, tetapi sangat bermanfaat seperti kalo.

Segala bentuk pemikiran, pembicaraan, perilaku, dll peristiwa yang terjadi dari luar, sebaiknya diterima dengan hati dan pikiran yang jernih. Semua dapat diterima dengan objektif, lalu dengan pemikiran dan akal budinya yang baik, menyaring, memilah, dan memilih mana saja yang hendak diikuti dan mana yang perlu diabaikan atau ditinggalkan.

Ketujuh, buah-buahan 7 macam.

Buah-buahan 7 macam dalam acara selapanan ini jenis buahnya bebas. Setiap keluarga boleh memilih buah-buahan yang mereka sukai, seperti pisang, pepaya, apel, anggur, jambu, delima, sawo, dll. Buah dalam selapanan menunjukkan harapan bahwa seseorang itu harus “berbuah”. Maksud dari berbuah ini dalam hidupnya, seseorang harus bermanfaat bagi orang lain, menghasilkan “buah” yang bisa dinikmati atau dimanfaatkan oleh orang lain.

Buah dalam hal ini bisa berupa banyak hal, dari pemikiran yang bermanfaat, membuka lapangan kerja untuk orang lain, penemuan-penemuan penting, dll. Prinsip dari “berbuah” tersebut sebenarnya wujud tuntutan dan pengharapan orang Jawa, bahwa setiap orang itu harus menjadi sesuatu yang bermanfaat. Sekurangnya, dia harus mandiri, seterusnya bisa memandirikan orang lain —terutama orang-orang terdekat dan atau keluarganya.

Kedelapan, bubur merah putih 7 porsi.

Bubur merah putih menjadi simbol kehidupan dalam pandangan orang Jawa. Bubur merah putih sering dianggap sebagai adanya hitam putih kehidupan. Ketika seseorang menjalani kehidupan di dunia, tidak selamanya ia berurusan dengan hal yang baik, tetapi juga menghadapi hal-hal yang kurang baik.

Bubur merah putih juga merupakan simbol persatuan, kerukunan antar manusia. Dengan kerukunan yang kokoh, diharapkan manusia dapat menghadapi segala persoalan hidupnya dengan lebih mudah.

Kesembilan, kembang setaman  (mawar merah, mawar putih, kembang kanthil, melati, dan kenanga).

 Kembang setaman atau serangkaian bunga ini sangatlah harum. Semua unsur bunga yang dipilih dalam kembang setaman merupakan bunga-bunga dengan keharuman yang khas. Kembang setaman dalam selapanan merupakan simbol dan pengharapan agar si bayi mewarisi keharuman ilmu dari leluhurnya.

Keharuman ilmu tersebut berupa nasihat, pitutur luhur Jawa, pelajaran dan ilmu kehidupan, berkah, dan kekayaan batin spiritual. Dengan demikian, si bayi ini dalam hidupnya tidak melangkah dalam kekosongan jiwa. Setiap jejak langkah kehidupannya telah mengikuti ilmu warisan dari leluhur. Harapannya dengan ilmu kehidupan itu, si bayi akan menjadi manusia yang lebih baik.

Itulah ubarampe selamatan selapanan bayi. Setelah semua siap, semua akan dihajatkan oleh tetua atau siapa yang dianggap pinisepuh di keluarga tersebut. Si bayi yang hendak diupacara selapanan sebaiknya berada di dekat seluruh ubarampe tersebut. Setelah itu, barulah dibacakan doa dan kemudian makan bersama-sama.

Adapun tata cara membacakan doanya sebagai berikut:

Doa berupa syukur kepada Tuhan YME.  Permohonan doa ampunan kepada Tuhan YME untuk seluruh leluhur keluarga. Kemudian mohon keselamatan si bayi dan seluruh keluarga.

Acara ini sebaiknya dihadiri minimal 7 orang sebagai simbol pitulungan atau pertolongan dari Tuhan YME. Lebih baik lagi kalau 11 atau sewelas yang berarti mendapatkan belas kasih dari Tuhan YME. Kalau memungkinkan jumlahnya minimal 17 orang yang berarti pitulas mendapatkan pitulungan dan kewelasan dari Tuhan YME. Setelah doa dan makan bersama itu, sebagian nasi berkat akan dihantarkan kepada tetangga dan kerabat dekat.

Seperti itulah prinsip-prinsip selamatan selapanan bayi. Semuanya bertujuan untuk bersyukur dan bermohon doa keselamatan bagi si bayi dan seluruh keluarganya. Sebagian besar orang Jawa masih melaksanakan tata cara ini, meskipun banyak yang lebih pada pemenuhan syarat.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Please follow and like us:

Borobudur di Hati Saya

Artikel ini telah dipublikasi di penabicara.com pada hari Kamis, 9 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063583225/borobudur-di-hati-saya

Hari Minggu pagi (5 Juni 2022) saat saya masih berpikir akan lari atau melanjutkan tidur, berseliweran kabar tentang Borobudur di grup-grup WA. Tiket ke Candi Borobudur menjadi 750 ribu (IDR) untuk wisatawan lokal dan 1,4 juta (IDR) untuk wisatawan asing. Karena sudah berulang ke Borobudur, saya tidak memberi tanggapan.

Saya pun bangun dan berbenah untuk lari. Saat siang, keriuhan kenaikan harga tiket Borobudur semakin ramai. Saya menahan diri untuk tidak ikutan share atau membahas apapun tentang kenaikan tiket Borobudur. Bagi sebagian orang, wisata bukanlah prioritas. Ke candi belum tentu jadi tujuan wisata. Beda urusan kalau misalnya harga beras yang semula 10-20 ribu lalu melonjak 500 ribu per kilo, biyuuu… pasti se-Indonesia Raya geger. Beras makanan pokok kita.

Sore hari beredar lagi berita kalau tiket 750 ribu dan 1,4 juta itu untuk mereka yang ingin naik ke candi. Pengunjung akan disertai oleh guide dan beragam teknis aturan. Semuanya demi menjaga kelestarian candi. Biar batu-batu candi tetap awet dan tidak semakin tenggelam (ambles). Beban yang berat di Borobudur menjadikan candi ini mengalami penurunan dasar dari tahun ke tahun. Tiket masuk ke kawasan candi masih sama, 50 ribu. Sedangkan untuk pelajar dibandrol dengan tiket 25 ribu. Harga-harga itu mungkin akan dikoreksi setelah diujicobakan.

Berita tentang tiket Borobudur ini bikin sosmed kita riuh lagi. Beragam pendapat. Beraneka pemikiran. Kalau positif, saya siy oke-oke saja. Tapi yang bikin saya mules, berbanyak caci maki dan hujatan pada pemerintah pun hilir mudik. Secara otomatis ini membuat saya bersih-bersih sosmed kembali.

Saya bukan bersepakat dengan kenaikan harga tiket ke Borobudur. Sebagai penulis yang doyan dolan, saya tentu happy kalau masuk ke tempat wisata itu free alias tidak bayar. Namun sebagai orang yang mengerti bahwa sesuatu itu harus dirawat, dipelihara, dijaga, direnovasi, dll demi tetap baik sekian abad ke depan; tentu menarik tiket berbayar adalah hal yang wajar.

Apalagi untuk mahakarya sekelas Borobudur ini. Bahkan untuk candi-candi lainnya di seluruh Nusantara, sepertinya pemerintah dan pihak terkait perlu merevisi kebijakan tarif tiket masuknya. Sekurangnya dana tersebut akan bermanfaat untuk pembenahan, perbaikan, sehingga wisata candi-candi menjadi lebih berharga.

Candi Borobudur di hati saya sangatlah istimewa. Sejak SMP saya sudah menjejaki candi ini sampai ke stupa tertinggi. Masa SMA, saya kembali lagi mengunjuni candi terbesar di Indonesia ini. Saya berpikir, kalau saya kuliah di Jogja, bisa lebih sering datang ke candi ini.

Begitu kuliah di UGM, hampir selama tiga tahun atau selama saya kuliah S-1, pekerjaan yang paling sering saya lakukan ya dolan ke Borobudur. Bukan sekedar piknik, tapi jadi guide dadakan. Sekarang jelas tidak memungkinkan menjadi “guide liar” di sini. Ya, nasib saya dulu karena kuliah harus mencari biaya sendiri, maka saya memilih gaweyan-gaweyan yang saya senangi, tidak mengikat waktu, dan duitnya lumayan banyak.

Biasanya saya berangkat pagi-pagi dari Bulaksumur naik bus ke Terminal Jombor. Dari Jombor naik bus ke Terminal Borobudur. Dari sini, saya lari ke areal Borobudur. Setelah membeli tiket, saya mulai berburu rombongan yang akan naik ke candi. Makin banyak isi rombongan makin baik. Fee guide saya hitung per kepala seharga tiket masuk. Jadi kalau banyak orang, uang yang saya terima semakin besar. Ada banyak orang baik. Rata-rata mereka memberikan lebih besar dari semestinya. Mungkin karena saya yo merangkap memotretkan mereka.

 Gara-gara pekerjaan ini, sekurangnya saya mengenali Borobudur sedikit detail. Mulai sejarah, relief-relief, hingga hal lain seputaran candi ini. Kalau masa liburan, saya bisa mengawal empat atau lima rombongan. Sebanyak itu pula saya naik turun candi dan berkeliling pradaksina (berjalan searah jarum jam dari timur ke barat). Kalau konsepnya Budha, mereka akan melakukan hal ini tiga kali sebagai persiapan penyucian batin.

Sore hari selambatnya jam empat saya sudah harus keluar dari areal candi. Saya akan lari kembali ke Terminal Borobudur. Ya ampun, sebegitu capeknya lari dan naik turun candi, dulu itu kok ya tidak terasa. Sekarang, lari 5 km pp tiap hari saja saya banyak ogahnya. Hanya karenaingat harus jaga kesehatan, ya tetap lari.

Bus terakhir yang ke Jogja saat itu jam lima sore. Bus akan sampai Jombor jam enam. Lepas Magrib, saya akan kembali naik bus yang ke kampus (UGM). Zaman itu, bus dari Jombor yang ke kampus sampai jam delapan malam.

Masa kuliah S-1 saya memang penuh perjuangan. Saya kok happy saja menjalani. Tidak terlalu mengambil hati beban sehari-hari. Niat saya kuliah sampai lulus. Kalau sarjana, saya bisa bekerja lebih baik.

Pernah juga saya ditegur petugas candi. Saya kalem mengatakan sebagai mahasiswa dan mencari uang untuk bayar SPP. Saya tunjukkan KTM dan KTP. Setelah ditanyain seputar sejarah Borobudur, saya pun dilepas begitu saja. Pernah dapat rombongan bule dan ada orang lokalnya. Saya mo ngomong Inggris, halah bulenya berbahasa Jawa.

Saat itu saya sudah menulis cerpen di media massa. Yach, tapi honor penulisan kan tidak langsung cair. Belum kalau kiriman weselnya kesasar. Pokoknya kalau saya merasa perlu uang cepat, saya pasti lari ke Borobudur. Entah saja, pulang pasti bawa uang banyak.

Saya nyeselnya waktu itu kok belum mikir beli kamera ben ada dokumentasi. Yaelah, jangankan kamera. Bisa terus kuliah bae wes syukur alhamdulillah. Untungnya kuliahnya di Ilmu Budaya. Tugas-tugas tidak seekstrem mereka yang kuliah di Teknik atau Kedokteran.

Setelah saya lulus sarjana, bekerja menetap hanya libur di hari Minggu. Praktis saya tidak menengok lagi Borobudur. Apalagi setelah saya ke Jakarta. Bertahun-tahun tidak lagi menengok peninggalan Dinasti Syailendra ini. Baru ketika saya studi S-2, beberapa kali menengok Borobudur. Persinggungan saya dengan Borobudur lebih dekat saat saya studi S-3.

Pembimbing saya meminta agar saya memeriksa langsung keberadaan sumber data di Candi Borobudur. Saya terdiam sejenak. Memeriksa relief demi relief Borobudur itu tidak bisa sehari. Sekurangnya tujuh hari sampai sepuluh hari berturut-turut. Jelas pengeluaran yang tidak sedikit. Masa jelang studi S-3 saya berakhir itu sungguh berat buat saya. Tabungan semakin menipis, sementara saya tidak bisa bekerja full. Hanya bisa mengerjakan hal kecil-kecil yang uangnya pun tidak banyak.

Setelah kasak kusuk mencari cara untuk meringankan beban saya ke Borobudur berhari-hari dan tanpa hasil, saya pun diam. Bukan tidak punya duit, tapi sudah ada posnya. Observasi ke Borobudur ini tidak termasuk dalam anggaran saya. Juga bukan tipikal saya untuk mengeluhkan uang pada pihak lain, saudara sekalipun.

Tiba-tiba teman jauh yang saya tidak terlalu kenal menelpon. Menanyakan apakah saya bisa menggantikan tugas orang lain untuk membuat narasi. Objeknya foto-foto dari candi-candi di Jawa Tengah, termasuk Borobudur. Dia mendetailkan tugas saya. Begitu mendapatkan keterangan bahwa saya harus ikut ngecek ke lapangan, yang berarti saya ikut ke Borobudur berhari-hari; saya langsung bilang bisa.

Setelah saya menyanggupi, dia segera mengirimkan detail dan contoh pekerjaan. Saya hanya tersenyum. Bikin narasi begitu siy gampang buat saya. Tidak lama dia mengirimkan foto dua orang, satu driver merangkap fotografer, satu asisten yang akan membantu saya. Besok pagi, mereka berdua akan menjemput saya di Jogja dan bersama-sama ke Magelang. Semua sudah diurus. Saya cukup membawa baju secukupnya dan piranti kerja.

Keesokan harinya saya dijemput pagi-pagi. Kami bertolak ke Magelang. Check in hotel, mematangkan rencana kerja yang sudah kami bahas di perjalanan. Kami pun segera turun ke lapangan. Makan siang dan malam di luar. Sarapan pagi ikut di hotel. Saya gembira, hidup terasa nyaman sekali. Kerja pagi sampai sore. Malam kami masih kelayapan sampai jam sepuluh. Kalau saya sedang capek, ya bermalasan saja di hotel. Tidak mengekor mereka dolan.

Saya tetap mengerjakan disertasi di sela-sela pekerjaan. Selama bekerja, dua orang yang dikirim itu mengurusi saya dengan baik. Si asisten ini memberikan amplop kepada saya setiap hari sebagai uang saku —versi saya jumlahnya cukup besar. Semua keperluan, jajan ini itu, bensin, parkir, tiket, dll. dia juga yang membayari karena dia yang bawa uang.

Karena pekerjaan inilah, saya bisa mengakses Borobudur dari ketinggian. Saya beruutung menyaksikan mahakarya ini pagi-pagi di saat fajar, pas siang bolong, saat sore bertabur senja, atau ketika malam gulita. Semuanya indah dan istimewa. Hampir sebulan ketika pekerjaan itu selesai, saya merasa beneran gembira.

Saya tuntas menarasikan Borobudur dan candi-candi lain yang menjadi tanggung jawab pekerjaan. Saya sudah tidak berpikir tentang bayaran lagi. Uang saku yang saya terima harian itu jumlahnya belasan juta. Utuh karena semua keperluan saya selama kerja sudah ditanggung penuh. Pas pekerjaan rampung, saya masih menerima bayaran tunai puluhan juta.

Rezeki nomplok. Alhamdulillah. Saya yang saat berangkat kerja seperti orang sekarat kekurangan darah, langsung segar bugar hidup lagi karena pasokan darah segar. Borobudur turut menyelamatkan studi S-1 dan S-3 saya. Borobudur juga mengajari saya bekerja praktis. Pihak yang berkepentingan harus membereskan biaya-biaya dan aneka urusan, termasuk izin-izin. Saya hanya bekerja sebagai penulis dan menerima fee penuh sesuai kesepakatan.

Keriuhan kenaikan harga tiket Candi Borobudur, memang terasa tidak menyenangkan. Bagi sebagian orang 750 ribu bisa jadi mahal, tapi bagi sebagian yang lain itu tidak lebih dari harga sekali makan di restoran. Saya pun, pasti mikir-mikir bayar tiket segitu kalau tidak ada kepentingan dengan candi.

Toh saya sependapat dengan pembatasan jumlah pengunjung yang naik ke candi. Mekanismenya seperti apa, mungkin bisa dipertimbangkan dan diatur lagi. Tidak sekedar menaikkan harga tiket ke candi. Ada banyak tempat wisata yang lebih mahal toh tetap ramai. Pemerintah dan pihak berwenang perlu merumuskan cara lain di luar kenaikan tiket untuk mendukung program pelestarian Borobudur. Termasuk candi-candi lainnya.

 

Please follow and like us:

Sepasaran: Selamatan Bayi 5 Hari

Artikel ini telah dipublish di nongkrong.co pada hari Sabtu, 4 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313520333/sepasaran-selamatan-bayi-5-hari

Sesuai namanya selamatan sepasaran dilakukan setelah 5 hari kelahiran si bayi karena dalam kehidupan orang Jawa mengenal 5 hari, yaitu legi, pahing, pon, wage, dan kliwon. Kalau bayi lahir di pasaran legi, maka sepasarannya pada hari legi berikutnya.

Pada umumnya untuk orang Jawa yang memahami tradisi Jawa, mereka tidak akan melakukan selamatan persis di hari H. Mereka kadang memundurkan 1 atau 2 hari dari hari yang semestinya. Hal ini bukan karena mereka tidak mempersiapkan selamatan bayi pas pada harinya, tapi mereka lakukan dengan sengaja.

Tujuan penundaan itu agar kelak si bayi tidak selalu memaksakan keinginan saat itu juga. Dalam bahasa Jawa hal itu disebut dengan sakdeg saknyet, seketika memiliki keinginan harus dituruti saat itu juga. Dengan menunda acara selamatan sepasaran, diharapkan si bayi lebih sabar dan lebih bertenggang rasa terhadap berbagai situasi di kemudian hari.

Menu wajib pada sepasaran adalah (a) nasi tumpeng, (b) nasi golong sebanyak tujuh dengan lauk pauk gudhangan, ayam panggang, telur rebus, dan sayur lodeh keluwih, (c) pisang raja setangkep (pisang raja dua sisir), (d) jajan pasar, (e) bubur abang putih (bubur merah putih), (f) nasi gudangan (nasi satu piring komplit dengan sayur dan lauk pauknya), dan (g) iwel-iwel (jajanan berasal dari ketan dan gula merah).

Pertama, Nasi Tumpeng.

Nasi tumpeng melambangkan hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Semakin menjulang tumpengnya diharapkan semakin tinggi, baik, sejahtera kehidupan si bayi.

Tumpeng itu sebenarnya singkatan dari “tumapaking penguripan-tumindak lempeng tumuju Pangeran”. Kalau diterjemahkan secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti bahwa manusia itu harus menginjak kehidupan dan bertindaksecara baik dan benar, karena nantinya akan mempertanggungjawabkan semua tindakan dan perbuatannya pada saat kembali kepada Tuhan.

Sebagaimana diketahui orang Jawa memiliki agama asli yang disebut Kejawen. Mereka ini percaya adanya kekuatan gaib di luar manusia yang mengatur kehidupan dan semesta jagad raya. Oleh karena itu, mereka wajib memelihara hubungan tersebut agar tetap seimbang.

Salah satunya dengan cara mengadakan selamatan dengan tumpengan dan memakannya secara bersama-sama atau biasa disebut dengan kenduri. Acara kenduri biasanya menghidangkan tumpeng yang dikelilingi lauk pauk dan aneka jenis makanan lain sesuai dengan hajatannya.

Penempatan tumpeng dan lauk pauk nya menyimbolkan gunung dan tanah yang subur. Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut dikaitkan dengan gunung, yang berarti tempat sakral oleh masyarakat Jawa. Nasi yang menjulang ke atas merupakan simbol harapan agar kehidupan kita meningkat.

 Sementara tanah di sekeliling gunung disimbolkan dengan lauk pauk yang bervariasi. Tanah yang subur akan menjadikan kesejahteraan bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut. Tumpeng juga mempunyai makna kebersamaan , hal ini terbukti bahwa orang menyajikan tumpeng jika ada acara atau upacara yang disertai dengan makan bersama.

Kedua, nasi golong.

Nasi golong adalah nasi yang berbentuk bulat seperti bola tenis. Dalam tradisi Jawa adanya nasi golong ini memiliki makna kebulatan tekad yang manunggal atau kalau dalam bahasa Jawa ada istilah golong giling —menjadi satu dalam tekad.

Jumlah nasi golong ini ada tujuh yang berarti menjadi tujuh pasang atau disajikan sebanyak empat belas nasi golong. Secara filosofis nasi ini memiliki makna sebagai bentuk penghormatan kepada Allah SWT yang menciptakan alam seisinya. Selain itu kata tujuh dalam bahasa Jawa berarti pitu yang sering diasosiakan sebagai pitulungan atau pertolongan. Berarti secara sadar oang Jawa bermohon pertolongan kepada Tuhan Yang Kuasa.

 Ketiga, pisang raja setangkep (pisang raja dua sisir).

Pisang raja dua sisir ini melambangkan adanya tangan yang menghadap ke atas. Setangkep bila dilihat akan seperti tangan yang sedang memohon atau berdoa. Hal ini memang merupakan permohonan kepada Tuhan untuk memberikan anugerah, keselamatan, dan kebahagiaan sepanjang hidup si bayi.

Keempat, jajan pasar.

Sebagaimana jenisnya yang beragam, jajang pasar menyimbolkan warna-warni kehidupan yang akan dihadapi si bayi kelak. Dalam selamatan sepasaran, biasanya orang Jawa menyajikan jenis jajanan pasar yang berbeda dari selamatan brokohan.

Biasanya yang ada di dalam setiap selamatan sebanyak tujuh jenis, dengan rasa yang berbeda. Rasa yang disajikan dalam jajanan pasar itu sekurangnya sudah mencakup manis, asam, asin, pahit, dan pedas.

Kelima, bubur abang putih (bubur merah putih).

Bubur merah putih selain menjadi representasi lelaki dan perempuan, juga sering dianggap sebagai simbol kehidupan. Bahwa dalam kehidupan ini tidak hanya ada hal yang baik, tetapi juga ada yang kurang baik. Dengan kebijaksanaan dan kerukunan terhadap sesama, persoalan yang rumit pun pasti bisa diselesaikan dan diatasi dengan baik.

Keenam, nasi gudangan. 

Setipe dalam acara selamatan brokohan, nasi gudangan terdiri dari nasi putih dan sayur beserta lauk pauknya. Adanya nasi gudangan dalam selamatan sepasaran ini pada prinsipnya adalah peneguhan permohan dari orang tua si bayi kepada Tuhan agar si anak diberikan kehidupan yang berbahagia.

Dalam proses menjalani kehidupan tersebut, si anak kelak diharapkan dapat menghidupi dirinya dan keluarga secara mandiri. Kehidupan yang dibangun secara baik dan mandiri akan menghasilkan kehidupan yang tenteram lahir batin.

Kedamaian lahir dan batin diharapkan akan membawa kehidupan yang damai sejahtera, makmur, bahagia di dunia dan akhirat.

Nasi gudangan pada prinsipnya melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Ketujuh,  iwel-iwel (jajanan berasal dari ketan dan gula merah).

Adanya iwel-iwel ini merupakan akulturasi dari budaya Islam yang mempengaruhi pemikiran orang Jawa. Konon para tetua orang Jawa mengatakan kalau iwel-iwel itu adalah simbol dari ungkapan la haula wala quwwata illah billah yang berarti tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Orang Jawa mengakui sepenuhnya bahwa dirinya tidak berdaya, sementara yang kuat dan berdaya itu hanyalah Allah SWT.

Lalu sebagai simbol terhadap pengungkapan pengakuan terhadap tersebut, lalu dibuat olahan iwel-iwel ini. Dalam versi saya, pernyataan para tetua atau sesepuh orang Jawa ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Karena kata iwel-iwel itu sangat jauh dari ungkapan la haula wala quwwata illah billah.

Bagaimana prosesnya dari pernyataan pengakuan kekuatan Tuhan dalam bahasa Arab yang cukup panjang la haula wala quwwata illah billah itu, hingga menjadi singkat ringkas padat iwel-iwel ini, hampir semua informan saya mengatakan tidak mengerti. Mereka hanya mengatakan tahunya seperti itu.

Makanan iwel-iwel yang berasal dari ketan yang sudah ditumbuk dicampur dengan garam dan kelapa parut, di bagian tengahnya diberi gula aren, dibungkus dengan daun kelapa. Selanjutnya dikukus hingga matang. Secara sederhana ini mirip jajanan pasar lainnya. Namun saya pribadi agak kesulitan menemukan jenis iwel-iwel ini di pasar tradisional.

Para pedagang jajanan pasar umumnya mengatakan tidak berani bikin sembarangan, takut kuwalat. Jajanan yang menurut mereka simbol ketuhanan. Wah, saya mau tertawa takut kuwalat juga sama orang tua. Diam-diam saya bersyukur karena masih ada sebagian orang Jawa yang ngugemi adat tradisinya dan patuh pada “petuah para tetua”, termasuk tidak membuat iwel-iwel secara sembarangan.

Padahal dengan kemajuan industri pariwisata budaya, sudah banyak juga kuliner sakral yang kemudian bisa dikonsumsi setiap hari. Misalnya ingkung ayam, tumpeng, nasi berkat, dll. Sekarang itu bukan lagi kuliner sakral, tapi bisa dibeli atau ditemukan di banyak tempat wisata di Jawa.

Bisa jadi nantinya iwel-iwel juga akan mudah ditemukan di tempat orang berdagang jajanan pasar. Mungkin saja selama ini peminat atau pembelinya kurang, atau proses pembuatannya yang tidak cukup mudah, membuat makanan ini agak sulit ditemukan di pasar tradisional.

Secara umum itulah menu wajib yang ada dalam selamatan sepasaran bayi. Semua menu tersebut kemudian diberikan doa atau permohonan berkat oleh tetua atau sesepuh di kalangan keluarga tersebut. Setelah itu nasi berkat akan dimakan bersama-sama dan sebagian dibagikan kepada kerabat maupun tetangga-tetangga. Orang Jawa biasanya senang mengadakan acara selamatan. Ini merupakan bentuk syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berbagai karunia-Nya.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Please follow and like us:

Brokohan: Selamatan Bayi Lahir

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 28 Mei 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313470327/brokohan-selamatan-untuk-bayi-lahir

Kelahiran bayi merupakan salah satu siklus penting dalam kehidupan orang Jawa. Manusia dalam siklus hidupnya akan memulai kehidupan dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, menikah, berkeluarga, membesarkan anak-anak, tua, renta, dan mati. Siklus kehidupan yang terus berulang pada setiap kehidupan.

Kelahiran bayi merupakan hal yang istimewa. Karena ada banyak perempuan yang mengandung bayi, tetapi tidak sampai melahirkan bayinya. Hal itu bisa disebabkan karena kecelakaan, meninggal, keguguran akibat sakit, tindakan medis pengangkatan janin demi penyelamatan jiwa si ibu, terpaksa aborsi, dll.

Oleh karena itu, kelahiran bayi dan keberadaan bayi yang lahir dengan sehat, selamat, sempurna tubuh fisiknya, merupakan anugerah bagi suami istri dan keluarga besarnya di kalangan orang Jawa. Mereka telah memiliki satu generasi penerus  untuk kelanggengan trah dan keturunannya.

Demi rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah itulah, orang Jawa kemudian mengadakan selamatan atau upacara selamat dengan mengadakan berkatan atau membagikan berkat berupa beberapa makanan dengan aturan tertentu dan doa selamat agar bayi terus hidup sehat, selamat, sejahtera, damai berkah hidupnya sepanjang masa sampai akhir hayatnya.

Selamatan bayi di kalangan orang Jawa sekurangnya ada enam, yaitu (1) brokohan —ketika bayi lahir, (2) sepasaran —5 hari dari bayi lahir, (3) selapanan —36 hari dari bayi lahir, (4) telonan —3 bulan dari bayi lahir, (5) pitonan —7 bulan dari bayi lahir, dan (6) setahun —1 tahun dari bayi lahir. Masing-masing selamatan ini memiliki aturan dan ketentuan yang berbeda-beda.

Sebagian masyarakat Jawa mengadakan acara selametan bayi tersebut tidak persis di hari perhitungannya. Misalnya bayi lahir hari ini, maka selamatan brokohan akan dilakukan keesokan harinya. Tujuan dari sedikit masa penundaan ini adalah untuk membiasakan si bayi agar kelak di kemudian hari tidak sakdeg saknyet (meminta segala sesuatu seketika itu juga). Harapannya dengan terbiasa sedikit ditunda haknya sedari lahir, si bayi akan memiliki sifat sabar, welas asih (penuh kasih sayang), dan tidak semena-mena pada pihak lain.

Pada kesempatan ini, saya mengulas tentang satu selamatan bayi yang paling awal, yaitu brokohan. Kata brokohan bukan asli dari bahasa Jawa. Istilah brokohan berasal dari serapan bahasa Arab barokah —berkah; yang berarti memohon berkah dari Allah SWT atas kelahiran si bayi dengan cara menyiapkan nasi berkat untuk kenduri dan doa bersama.

Namun seperti kita ketahui bersama, orang Jawa lidahnya ya orang Jawa. Mereka sulit untuk mengucapkan kata barokah, sehingga serapan itu menjadi brokah. Selanjutnya kegiatan memohon barokah itu menjadi brokahan, —penanda akhiran —an dalam bahasa Jawa berarti kegiatan, seperti syawalan, natalan, dll. Dari kata brokahan itulah yang selanjutnya menjadi brokohan, seperti yang kita kenal sekarang.

 Dalam perkembangan selanjutnya, brokohan dikenali sebagai upacara selamatan bayi saat bayi lahir. Selamatannya lebih sebagai pengiring prosesi penguburan atau pemendaman ari-ari bayi yang sudah dipotong. Ari-ari bayi yang lahir dipotong, kemudian dikubur atua dipendam dalam tanah. Biasanya kalau orang Jawa beranggapan, ari-ari bayi laki-laki dipendam di halaman depan rumah. Sedangkan ari-ari bayi perempuan dipendam di halaman belakang rumah. Setelah itu, tanah di atas pendaman ari-ari bayi tadi akan diberi penanda berupa kerobong, tutup dari bambu atau dipagari dan diberi penerangan lampu di waktu malam.

Orang Jawa melakukan hal ini karena mereka menganggap ari-ari bayi merupakan teman lahir si bayi ke dunia. Ari-ari bayi atau dalam dunia medis modern disebut dengan plasenta inilah yang mengirimkan segala keperluan bayi selama dalam kandungan, hingga tiba saatnya dilahirkan ke dunia. Pihak yang wajib mengubur ari-ari bayi adalah si bapak atau orang tua laki-laki si bayi. Tindakan ini merupakan simbol atau bentuk tanggung jawab orang tua laki-laki kepada anaknya.

Menu wajib dalam selamatan brokohan ini adalah (1) sega ingkung (nasi ingkung ayam), (2) sega gudangan (nasi dengan sayuran dan kelapa parut yang sudah diolah),  (3) bubur abang putih (bubur merah dan putih), dan (4) jajan pasar. Masing-masing menu tersebut memiliki makna filosofis yang berbeda-beda.

Pertama, Sega Ingkung (Nasi Ingkung Ayam)

Nasi ingkung ayam melambangkan simbol permohonan perlindungan pada bayi yang baru lahir tersebut. Kata ingkung sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Jawa Kuno ‘jinangkung’ dan ‘manekung’. Jinangkung berarti melindungi, mengayomi, menjaga. Manekung berarti bersujud, menghamba, memohon sungguh-sungguh dan dengan merendahkan diri.

Secara umum ingkung berarti bersujud, bermohon, menghambakan diri (pada Tuhan) untuk mendapatkan perlindungan, penjagaan, dan pelimpahan berkah. Dengan adanya ingkung pada saat selamatan bayi, merupakan tanda permohonan kepada Tuhan agar selalu menjaga dan melindungi bayi tersebut dari segala aral marabahaya.

Adapun pemilihan ayam sebagai bahan ingkung karena ayam itu merupakan simbol dari kelahiran bayi tersebut. Itulah sebabnya wujud ingkung adalah ayam utuh yang dimasak dan disajikan secara utuh dalam bentuk tersungkur.

Kalaupun sekarang ini ingkung ayam banyak dijual bebas di pasaran sebagai pendukung pariwisata budaya, tetapi pada saat-saat tertentu, ingkung ayam dibuat dengan tujuan sakral dan penuh filosofis.

 Kedua, Sega Gudangan (Nasi dengan Sayuran dan Kelapa Parut Yang Sudah Diolah)

Nasi dalam hal ini merupakan nasi putih yang lengket (diolah dari beras yang baik, sehingga nasinya dapat lengket satu sama lain). Nasi putih ini melambangkan kedekatan si bayi kelak dengan sesama. Artinya si bayi dapat hidup rukun bermasyarakat dengan warga lainnya.

Adapun gudangan terdiri aneka sayuran rebus, lauk pauk, dan kelapa parut yang sudah dibumbui dan dimasak atau lebih dikenal dengan urap. Bumbu urap ini menandakan adanya kehidupan. Hidup itu harus urip, urap yang berarti mampu menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya agar dapat berbahagia.

Sayur yang terdapat dalam gudangan biasanya terdiri dari tauge, kacang panjang, dan bayam. Taoge atau kecambah melambangkan pertumbuhan. Seseorang harus terus tumbuh semakin baik dari hari ke hari. Sementara kacang panjang menyimbolkan panjang umur, kehidupan yang harus dipikirkan panjang-panjang (matang, teliti, cermat), sehingga bisa mengambil tindakan yang tepat dan bijaksana. Adapun bayam menandakan harapan untuk hidup yang tenteram sejahtera, makmur damai, bahagia di dunia dan akhirat.

Sementara lauknya berupa ikan asin atau gereh pethek goreng, tempe rebus atau goreng, dan telur rebus. Ikan asin menandakan kerukunan hidup bersama. Hal ini dilihat dari sifat gereh pethek yang hidup di laut secara bersama-sama atau bergerombol. Manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk sosial.

Adapun tempe menunjukkan kesederhanaan. Tempe merupakan salah satu olahan kuliner orang Jawa yang menjadi makanan semua kalangan. Sedangkan telur rebus menandakan ketelitian, kehati-hatian dalam bertindak. Seperti sifat telur mentah kalau tidak hati-hati, sedikit terkena benturan saja langsung pecah. Itulah sebabnya harus direbus (digodok pemikirannya) agar matang sebelum bertindak. Dengan demikian, tidak akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari.

Secara umum sega gudangan ini melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Ketiga, Bubur Abang Putih (Bubur Merah Dan Putih)

Bubur merah putih merupakan representasi lelaki dan perempuan dalam kehidupan. Bubur merah putih melambangkan kerukunan hidup antara lelaki dan perempuan. Diharapkan dengan rukunnya orang tua baik lelaki maupun perempuan, si bayi akan mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang penuh dengan kasih sayang.

Proses pembuatan bubur merah putih untuk acara ritual seperti ini tidak bisa dibuat secara sembarangan. Ada doa dan resep khusus demi hasil yang terbaik. Pemasak bubur pun tidak boleh perempuan yang sedang datang bulan. Konon kalau pemasak buburnya sedang datang bulan, rasa bubur menjadi tidak sedap dan tidak enak.

Keempat, Jajan Pasar. 

Jajan pasar dalam kehidupan orang Jawa sangat banyak macamnya. Kalau disebutkan secara rinci, mungkin ada lebih dari seribu jenis. Namun dalam tradisi selamatan brokohan ini orang Jawa umumnya menggunakan sekurangnya tujuh macam jajan pasar. Ketujuh jajan pasar itu misalnya (a) wajik, (b) jadah, (c) onde-onde, (d) lupis, (e) klepon, (f) nagasari, dan (g) lemper.

 Tidak ada aturan baku berkaitan dengan jumlah jenis jajan pasar yang perlu disediakan ini. Secara umum, semakin mampu seseorang biasanya jenis jajanan pasar yang ada dalam berkatannya semakin banyak.

Jajan pasar ini secara umum melambangkan aneka rupa warna kehidupan yang akan dihadapi oleh si bayi di masa depan. Artinya, dalam kehidupan itu tidak hanya ada satu hal yang terasa manis, tetapi kadang juga asam, asin, pahit, hingga pedas. Harapannya dengan mengetahui aneka rasa tersebut, si bayi kelak tidak terkejut menghadapi beragam peristiwa kehidupan.

Menu selamatan ini akan diberikan doa selamat oleh tetua atau orang yang dituakan di lingkungan keluarga. Kadang-kadang membayar dukun atau tetua adat. Baru kemudian dimakan bersama. Sebagian diantarbagikan ke tetangga dan kerabat dekat.

Sekarang ada banyak orang Jawa yang mengganti semua komponen menu brokohan tersebut dengan sembako (beras, minyak goreng, gula, mie instan dll) demi kepraktisan dan kemudahan. Selain itu juga untuk alasan bahan mentah lebih tahan lama daripada masakan matang. Apabila masakan matang dikirimkan dan tidak segera dimakan, maka makanan tersebut akan menjadi basi dan dibuang.

Di lingkungan tradisional masyarakat Jawa, selamatan brokohan ini masih dilakukan. Kalaupun berkat yang dibagikan tidak banyak, tetapi syarat dan ketentuan dasar pelaksanaan brokohan tersebut telah memenuhi syarat. Kalau orang Jawa bilang, nggo syarat atau syarat dasar selamatannya telah terpenuhi. Ada sebagian masyarakat yang berpandangan kalau selamatan ini tidak dilaksanakan sesuai aturan, nantinya akan terjadi brahala ‘celaka’ dan rubeda ‘keribetan, banyak masalah’ pada si bayi dalam kehidupannya.

Namun di lingkungan perkotaan, tradisi seperti ini sebagian besar sudah dilupakan atau dihilangkan. Mereka yang beretnis Jawa, sebenarnya tahu tradisi ini, tetapi sengaja tidak melakukannya. Selain karena pertimbangan biaya dan keribetannya, mereka yang beragama Islam juga cenderung memberlakukan satu sikap melakukan aqiqah. Dengan menyembelih seekor kambing bagi anak perempuan, atau menyembelih dua ekor kambing bagi anak laki-laki, buat selamatan, lalu semuanya selesai. Tentu setiap orang berhak memilih pandangannya masing-masing.

Tetap baik juga berbagai selamatan brokohan karena ini secara praktis memberitahukan kepada tetangga, kerabat dekat, dan lingkungan sekitar tentang kehadiran warga baru. Selamatan itu juga bukti bahwa keberadaan bayi telah lahir selamat dan ibunya dalam keadaan baik. Bukankah bijak untuk mewartakan berita baik dengan berbagi kegembiraan?

 

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

 

Please follow and like us:

Tamba Teka Lara Lunga

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co hari Sabtu, 21 Mei 2022 dengan link https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313426523/tamba-teka-lara-lunga-obat-datang-sakit-pun-pergi

Tamba teka lara lunga ‘obat datang, sakit pun pergi’ merupakan salah satu pitutur luhur budaya Jawa yang cukup populer. Nasihat itu mencerminkan pemikiran dan pandangan orang Jawa bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya. Setiap orang sakit pasti dapat disembuhkan.

Dimensi pemikiran orang Jawa ini tidak hanya memuat masalah sakit dan obatnya, tetapi kalau kita cermati ternyata mengandung banyak pandangan berkaitan dengan penyakit dan pengobatannya di lingkungan orang Jawa. Bahasan tersebut sekurangnya terdiri dari lima hal penting, yaitu (1) sakit – penyakit, (2) obat – pengobatan, (3) ahli pengobatan tradisional, (4) sikap orang Jawa terhadap sakit dan penyakit, hingga (5) adaptasi orang Jawa terhadap kemajuan pengobatan modern.

Pertama, sakit penyakit.

Sakit adalah bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dihindari. Seseorang dapat mengalami sakit karena di dalam tubuhnya ada penyakit. Penyakit merupakan sesuatu yang mengganggu atau gangguan di dalam tubuh manusia, yang menyebabkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan tersebut mengganggu harmonisasi kinerja tubuh secara keseluruhan, sehingga penderitanya terkena sakit.

Berdasarkan penyebab sakit, orang Jawa mengelompokkan penyakit menjadi dua, yaitu  lelara lumrah ‘penyakit wajar’ dan lelara ora lumrah ‘penyakit  tidak wajar’. Penyakit wajar adalah penyakit fisik yang secara umum mudah diidentifikasi, seperti batuk, panas, bisul, cacar, dll. Adapun penyakit tidak wajar ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh “perbuatan agen” —manusia dengan perantara jin, setan, makhluk halus (black magic), seperti disanthet, diteluh, diguna-guna, kesurupan, dll.

Adanya jenis penyakit tidak wajar itulah yang menyebabkan pengobatan tradisional di Jawa tetap tumbuh dengan subur. Bahkan di era teknologi seperti sekarang ini, meskipun rumah sakit dengan piranti dan perobatan medis modern sudah bertebaran di mana-mana; pengobatan tradisional Jawa tetap eksis. Hal ini terjadi, karena ada jenis-jenis penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh medis modern.

Kalau ada kasus orang kesurupan (penyakit tidak wajar), maka keluarga si penderita tidak akan membawanya ke Puskemas, rumah sakit, atau dokter. Mereka akan segera memanggil dukun, paranormal, kyai, atau ustadz —yang dianggap mumpuni untuk mengatasi kesurupan. Demikian juga untuk kasus-kasus penyakit tidak wajar lainnya, seperti disantet, diguna-guna atau lainnya.

Kedua, obat – pengobatan.

Obat dan pengobatan merupakan hal yang berkaitan untuk menyembuhkan sakit dan penyakit. Pengobatan tradisional Jawa ada tiga jenis, yaitu (1) tamba ‘pengobatan’ bisa berupa obat, ramuan, cara pengobatan (2) jamu ‘jamu’ adalah obat yang dimakan atau diminum, dan (3) ritual ‘berkaitan dengan ritus (tata cara dalam upacara adat/keagamaan)’.

Tamba ‘pengobatan’ digunakan untuk menyembuhkan penyakit, orang masuk angin ‘masuk angin’ ditambani ‘diobati’ dengan kerokan ‘dikerok’. Adapun jamu selain digunakan untuk menyembuhkan penyakit juga untuk menjaga kesehatan. Misalnya dengan minum jamu beras kencur ‘beras kencur’ orang akan lebih sehat dan kondisi tubuhnya terjaga. Jamu juga untuk mengatasi sakit yang bukan penyakit, misalnya wanita sakit setelah melahirkan diberi jamu tertentu agar badannya lekas sehat dan pulih.

Ritual dalam pengobatan tradisional Jawa lebih berkaitan untuk penyembuhan penyakit tidak wajar, seperti suker ‘sakit-sakitan karena hal supranatural’ atau sukerta ‘orang yang terkena suker’ dapat disembuhkan dengan ruwatan ‘ruwatan’.

Pengobatan tradisional Jawa merupakan tradisi yang sudah mapan yang dapat dirunut sejarahnya dari relief candi, serat-serat, dan primbon-primbon pengobatan. Misalnya pada relief Candi Borobudur, yaitu pada relief Karmawibhangga panel 2, panel 11, panel 18, dan panel 19.

Adapun naskah-naskah yang membahas jenisjenis penyakit dan cara pengobatannya secara tradisional, antara lain Serat Centhini, Serat Primbon, Serat Primbon Sarat Warna-warni, Buku Primbon Jampi Jawi, Punika Kagungan Dalem Jampi, Serat Primbon Jampi-jampi, Catatan Jamu Tradisional I, Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, Serat Primbon Ratjikan Djampi Djawi Djilid 1-4, dan Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi. 

Panel 2 Relief Karmawibhangga Candi Borobudur (Pengobatan terhadap Anak yang Sakit oleh Laki-laki dan Perempuan)
Dokumentasi Ari Wulandari, 2015

Pemberian obat dan pengobatan oleh orang Jawa berdasarkan gejala-gejalanya, baru menentukan tindakan terhadap penyakit. Gejala penyakit dalam pandangan orang Jawa terdiri dari gejala katon ‘yang tampak’ atau fisik dan gejala ora katon ‘yang tidak tampak’ atau nonfisik.

Gejala fisik adalah gejala-gejala penyakit yang bersifat fisik, mudah diidentifikasi melalui pengamatan, penciuman, dan sentuhan. Misalnya mata abang ‘mata merah’ (identifikasi melalui pengamatan), abab mambu ‘nafas bau’ (identifikasi melalui penciuman), dan awak adhem ‘badan dingin’ (identifikasi melalui sentuhan). Pengenalan gejala yang tidak tampak atau nonfisik umumnya melalui tanya jawab antara penderita dan pengobat tradisional.

Gejala penyakit nonfisik adalah pengindikasian keberadaan suatu penyakit yang terjadi oleh diri pribadi atau orang lain. Hal ini biasanya bersifat subjektif menurut pengamatan atau pengalaman penderita, kemudian dipastikan melalui diagnosis pengobat tradisional.

Ketiga, ahli pengobatan tradisional.

Mereka yang bisa mengidentifikasi penyakit dan memilih pengobatan yang tepat adalah ahli pengobatan tradisional. Ahli pengobatan tradisional Jawa terdiri dari dukun, paranormal, wong tuwa ‘orang yang dituakan’, wong pinter ‘orang pintar’, kyai ‘kiai’, dan sesepuh ‘orang yang dituakan’. Dari ahli pengobatan tradisional Jawa tersebut ada yang dapat mengobati penyakit wajar dan penyakit tidak wajar. Ada yang bisa mengobati penyakit wajar saja, ada yang bisa mengobati penyakit tidak wajar saja.

Keberadaan para ahli pengobatan tradisional ini masih dapat ditemukan di seluruh tanah Jawa. Kadang-kadang tempat operasional mereka berdampingan dengan Puskesmas, rumah sakit, klinik bersalin, atau tempat praktik dokter. Hal ini menunjukkan orang Jawa menerima dengan baik adanya pengobatan tradisional dan pengobatan modern.

Keempat, sikap orang Jawa terhadap sakit dan penyakit.

Pada saat sakit, orang Jawa umumnya tidak langsung pergi ke Puskesmas, rumah sakit, dokter atau ahli pengobatan tradisional. Biasanya mereka akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut. Langkah pertama, mereka akan melakukan pengurangan aktivitas secara mandiri. Misalnya mereka yang terkena batuk atau pilek tetap akan bekerja seperti biasa, meskipun dengan pengurangan aktivitas.

Apabila dengan pengurangan tersebut, badan menjadi lebih sehat, mereka akan kembali beraktivitas penuh. Pada saat ini mereka tidak melakukan pengobatan sama sekali. Mereka sering menganggap gejala batuk, pilek, pusing, demam, panas ringan, tidak enak badan, dll yang setipe merupakan kondisi tubuh lelah dan harus istirahat.

Langkah kedua, kalau dalam tiga hari mereka melakukan pengurangan aktivitas fisik dan tubuhnya belum merasa sehat, mereka akan mencari obat. Pengobatan dalam hal ini merupakan jenis pengobatan mandiri. Mereka biasanya membeli obat di warung, apotik, supermarket terdekat sesuai dengan pengetahuan masing-masing. Misalnya obat sakit kepala, obat batuk, obat flu, dll. obat-obatan yang bebas beli tanpa perlu resep dokter.

Langkah ketiga, kalau sudah meminum obat dalam waktu tertentu, mereka belum sembuh; barulah mereka akan datang ke Puskesmas, rumah sakit, klinik, atau dokter terdekat. Pemikiran seperti inilah yang menyebabkan banyak sekali orang Jawa datang ke rumah sakit atau dokter setelah kondisinya parah.

Ada banyak kasus pengobatan yang lama dan berat, karena pemikiran yang seperti ini. Orang Jawa menganggap sakit bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Kalau mereka bisa mengobati secara mandiri, mereka menganggap tidak perlu berobat.

Langkah keempat, kalau sudah mendapatkan pengobatan dengan dokter atau ahli pengobatan tradisional yang mereka percayai, mereka akan mematuhinya. Terlebih kalau dengan kepatuhan tersebut mereka merasakan tubuhnya lebih sehat dan lebih enak untuk beraktivitas kembali.

Umumnya pada penyakit-penyakit wajar yang bersifat ringan dan sudah jelas pengobatannya, mereka yang menderita sakit dapat dengan mudah disembuhkan. Kecuali beberapa penyakit berat yang keberhasilannya masih cenderung kecil —seperti raja singa (HIV, aids), edan (gila, schizoprenia, depresi), kanker darah, kanker otak, stroke, demensia, dll.

Langkah kelima, orang Jawa menganggap bila seseorang sudah menjalani beragam pengobatan sampai titik maksimal yang bisa mereka dan keluarganya usahakan, tetapi tidak kunjung sembuh; kecenderungannya orang Jawa akan pasrah. Mereka harus bisa menerima dan menjalaninya dengan ikhlas. Mereka harus menganggap bahwa itu bagian dari takdir kehidupan manusia.

Kelima, adaptasi orang Jawa terhadap kemajuan pengobatan modern. Orang Jawa dengan budayanya yang sangat tua dan mapan, merupakan salah satu etnis di Indonesia yang terbuka, adaptif, dan mengikuti perkembangan zaman. Hal ini terbukti dengan adanya banyak perubahan dan modernisasi pada pengobatan tradisional Jawa. Modernisasi tersebut antara lain terlihat pada lima hal penting sebagai berikut.

Pertama, identifikasi penyakit mengikuti medis modern. Selain menggunakan identifikasi penyakit secara tradisional, pengobatan tradisional Jawa juga mulai mengikuti tradisi identifikasi penyakit dalam medis modern, seperti pemeriksaan denyut nadi, pemeriksaan darah, dan berbagai kemajuan lain untuk mempermudah pengobatan tradisional.

Kedua, komputerisasi atau pencatatan riwayat medis. Sebelumnya riwayat medis penderita berdasarkan ingatan pengobat tradisional, kini sebagian telah menggunakan sistem komputer atau sekurangnya dicatat secara teratur.

Ketiga, obat Jawa dalam bentuk modern. Pengobatan tradisional Jawa telah mengolah bahan-bahan obat dalam berbagai bentuk, seperti konsentrat, kering, teh, cair, kapsul, dll. sehingga lebih praktis, tahan lama, dan mudah dibawa ke mana-mana bila penderita berasal dari tempat yang jauh dari tempat pengobatannya.

Keempat, masalah izin dan tarif. Umumnya pengobatan tradisional tidak berbayar atau sak ikhlase ‘seikhlasnya’. Seiring perkembangan zaman, sebagian pengobatan tradisional telah menjadikan keahlian mengobati sebagai profesi.

Mereka pun mengikuti prosedur standar, mengurus izin, memasang tarif, dan berlomba-lomba pamer keahlian. Sebagian yang lain masih praktik tanpa izin karena menganggap “mengobati penyakit” adalah “panggilan hati”.

Kelima, medis tradisional Jawa bertemu medis modern. Orang Jawa termasuk etnis yang terbuka terhadap perubahan. Para ahli pengobatan tradisional memanfaatkan kemajuan medis modern untuk memperkuat medis tradisional. Kesadaran perlunya kerja sama antara medis tradisional dan medis modern itulah yang menyebabkan pengobatan tradisional Jawa tetap lestari dan terus berkembang.

Seperti itulah hal-hal yang berkaitan dengan nasihat tamba teka lara lunga ‘obat datang, sakit (pun) pergi’. Adanya pemikiran dan pandangan yang luas tersebut menunjukkan kearifan lokal orang Jawa. Kearifan lokal yang tercermin dalam pemikiran dan tindakan-tindakan orang Jawa berkaitan dengan obat dan penyakit.

Catatan:

Tulisan ini merupakan sebagian kecil dari hasil penelitian Disertasi S-3 Ari Wulandari, “Istilah Penyakit dan Pengobatan Tradisional Orang Jawa: Sebuah Kajian Linguistik Antropologis”, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2016.

#publikasimedia #ariwulandari #artikelpopuler #jawa #kinoysanstory

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi

Indonesia tengah diuji oleh alam. Banjir Jabodetabek menyedot banyak perhatian warganet dan bangsa Indonesia secara umum, karena Jakarta adalah ibukota NKRI. Plus peristiwa pilkada DKI yang sungguh nggak mudah hilang dari ingatan publik. Sosok idola terpinggirkan oleh sosok pecatan, yang ternyata membuat banyak “kekisruhan” semenjak menjabat hingga saat ini. Oleh karena konsentrasi itu, barangkali kita terlupakan dengan apa yang terjadi pada sisi lain negeri ini. Laut Natuna kita.

China Coast Guard-1  (Pict: Haryoko R. Wirjo-soetomo)
Kapal China (Pict Haryoko R. Wirjosoetomo)

Kapal-kapal ini sudah berkeliaran di Laut Natuna beberapa waktu lalu. Kapal pengawalan sipil China itu dengan santainya berada di laut kita. Ukurannya sangat besar, mengawal kapal-kapal penangkap ikan. Saya awam soal ini. Jadi jangan tanyakan detailnya kepada saya. Dari pict kapal,  tentu saya maklum kalau para nelayan Natuna ketakutan melaut. Ada banyak kapal asing yang “mencuri ikan” di rumah kita. Kapal-kapal TNI AL RI diturunkan untuk melakukan pengamanan dan menghalau mereka keluar dari wilayah NKRI. Syukurlah sudah bisa diusir pergi. Nggak usah datang lagi deh, kecuali mau diusir-usir lagi….

Saya njur ingat kisah-kisah sejarah yang saya baca. “Mereka itu dari zaman Kertanegara hingga sekarang kok nggak ada bosennya merecoki kedaulatan Nusantara. Mau pamer uji nyali dan belum kapok, kuping serta rambut utusan dipotong dari masa Singosari?”

Kalau kita lupa soal kebesaran leluhur kita menghadapi mereka ini, mari kita ingat sejenak. Kisah ini saya ceritakan versi seingat saya dari membaca yo. Bagi anda yang ingin memperoleh versi sejarahnya detail, silakan baca buku-buku sejarah yang valid.

Zaman Singosari dipimpin oleh Raja Kertanegara datanglah utusan dari Tiongkok (Mongol). Mereka diterima baik-baik di negeri yang kaya raya ini. Utusan Tiongkok membacakan surat penguasa Tiongkok yang meminta jalur Malaka kepada Sri Kertanegara. Itu demi pemenuhan ambisi Jalur Sutera mereka. Mereka tidak mau mengakui kekuasaan Sri Kertanegara dan menolak membayar pajak saat melalui tempat tersebut. Kemarahan Kertanegara memuncak saat Kertanegara meminta mereka menunjukkan perjanjian bahwa Singosari adalah penguasa wilayah tersebut. Dengan congkaknya para utusan itu mengatakan bahwa Tiongkok lebih berhak dan lebih pantas menjadi penguasa Malaka.

Kemarahan Kertanegara tak terbendung. Para pengawal Kertanegara (Dharmaputra) melumpuhkan para utusan Tiongkok itu. Lalu Kertanegara memotong telinga, memotong rambut dan mengembalikan mereka ke penguasa mereka di Tiongkok. Sebagian ada yang menceritakan tentang pembuatan peta wilayah Singosari di punggung para utusan Tiongkok, memberi cap lambang Singosari di jidat para utusan, dll. Intinya menyatakan kebesaran kekuasaan Singosari dan Kertanegara menolak memberikan Malaka pada Tiongkok.

Kertanegara lalu memperluas kekuasaannya sampai jauh (ekspedisi Pamelayu), hampir separoh Nusantara dikuasainya. Perluasan wilayah besar-besaran ini dalam rangka menghadapi pasukan Tiongkok. Kalau-kalau mereka kembali menyerang setelah dipermalukan oleh Kertanegara. Saat kerajaan kosong sedikit pasukan, Jayakatwang memberontak dan membunuh Kertanegara. Menghancurkan Singosari dengan hanya menyisakan empat putri Kertanegara, dan satu menantunya —Raden Wijaya. Jayakatwang mendirikan Kerajaan Kadiri dan mengusir Raden Wijaya ke Hutan Tarik. Jayakatwang mengalami kegagapan kekuasaan. Semula sebagai raja bawahan Singosari (Raja Gelang-gelang) lalu menjadi Raja Kadiri yang menguasai hampir separoh Nusantara.

Saat itulah, pasukan Tiongkok kembali ke Tanah Jawa dengan pasukan yang jauh lebih besar untuk menggempur Singosari. Tujuannya menggantung Raja Jawa (Kertanegara). Padahal kekuasaan sudah beralih ke Jayakatwang. Raden Wijaya mendompleng kehadiran pasukan Tiongkok ini untuk menyerang Jayakatwang. Jayakatwang berhasil diruntuhkan dan digantung di tepi pantai. Ternyata orang Indonesia yo tetep lebih pintar 🙂

Raden Wijaya pun memperdaya pasukan Tiongkok yang sedang dimabuk kemenangan dengan pesta dan minum-minum. Mereka lengah dan akhirnya mayoritas dibunuh oleh pasukan Raden Wijaya. Sebagian kecil yang bisa melarikan diri mencari selamat sampai kembali ke Tiongkok; tapi panglima perangnya dihukum cambuk belasan kali dan dimiskinkan oleh Raja Tiongkok.

Majapahit pun berdiri dengan Raden Wijaya sebagai raja pertama. Ia menikahi keempat putri Kertanegara. Hubungan  Majapahit dengan Tiongkok sempat membaik, tetapi karena mereka tetap menginginkan Malaka; Raden Wijaya pun menutup akses Malaka untuk Jalur Sutera mereka. Malaka adalah jalur rempah-rempah dari Nusantara ke seluruh dunia.

Rupanya dendam belum usai. Belum kapok juga mereka. Pada masa Orde Baru, mereka mencari gara-gara lagi dengan banyaknya penyelundup ke NKRI. Indonesia murka dan memutus jalur diplomatik. Indonesia mengusir warga penyelundup pulang ke negeri moyangnya.

Kini ambisi Jalur Sutera mereka kembali digencarkan. Apakah karena investasi mereka yang besar di negeri ini, lalu berasa “di atas angin” untuk menabrak kedaulatan NKRI? Masih bernyali juga rupanya mereka! Mungkin mereka sudah lupa kedigdayaan para pewaris Singosari dan Majapahit. Mungkin mereka lupa dengan bambu runcing pun, bangsa Indonesia bisa mengusir penjajah.

Orang Jawa bilang, sadhumuk bathuk sanyari bumi, ditohi pati jiwa; kalau ada yang menganggu kedaulatan tanah air, maka akan dibela sekalipun nyawa sebagai taruhannya. Nah, sekarang mereka mau merecoki lagi kedaulatan NKRI? Mo cari mati mereka itu?! Saya yakin NKRI lebih dari negara kuat untuk melawan segala hal yang mengganggu kedaulatannya. Entah dengan cara diplomasi atau kekuatan militer. Yen ora kena diajak ngomong apik-apikan, ya kudu ditendang elek-elekan.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Waruga: Kubur Batu Orang Minahasa

Pintu Masuk Areal Waruga

Waruga adalah kubur batu orang Minahasa. Kubur ini terdiri dari dua bagian, yang atas berbentuk segitiga dan yang bawah berbentuk kotak dengan ruang di bagian tengahnya. Pada mulanya sebelum dikenal tradisi waruga, saat orang Minahasa meninggal, mayatnya akan dibungkus dengan daun woka atau sejenis janur, yang kemudian diganti dengan rongga pohon kayu atau nibung.

Tradisi waruga atau kubur batu baru digunakan oleh orang Minahasa pada abad ke-9. Penguburan mayat diletakkan dengan posisi menghadap ke utara. Posisi menghadap utara ini karena keyakinan bahwa leluhur orang Minahasa berasal dari bagian utara. Posisinya didudukkan, tumit menempel pada pantat, dan kepala mencium lutut. Hem, agak sulit juga ya membayangkan bagaimana mereka pada zaman dulu mengatur dan memasukkan mayat pada posisi tersebut. Karena mayat lho, sudah kaku… bukan manusia hidup yang mudah ditekuk-tekuk atau diatur atur gerakannya. Tradisi ini terus berlangsung sampai lama, sebelum akhirnya pada tahun 1860 Belanda melarang tradisi penguburan mayat dalam waruga ini.

Bentuk Waruga

Sebagai bentuk adaptasi dari larangan kubur batu Waruga, orang Minahasa mulai menggunakan peti mati pada tahun 1870. Hal ini karena saat itu muncul wabah tipus dan kolera yang disebarkan oleh mayat-mayat dari orang yang telah meninggal. Apalagi kemudian Belanda membuat aturan seluruh mayat harus dikubur di dalam tanah, menjadi tradisi baru dalam penguburan mayat di Minahasa.

Oh iya, pada waruga itu di sisi atasnya ada berbagai bentuk relief yang menandakan tentang si mati pada saat hidup; bisa pekerjaannya, bisa posisi jabatannya. Semua digambarkan sesuai dengan kemampuan orang Minahasa membuat reliefnya. Satu waruga tidak hanya berisi satu mayat, meskipun ada yang berisi satu mayat saja. Namun ada yang dua, empat, lima, tujuh, bahkan dua belas. Mereka yang dikuburkan dalam satu waruga itu umumnya satu keluarga sedarah. Penguburannya tentu tidak bersamaan, tetapi berbeda-beda sesuai waktu masing-masing meninggal.

Its Me…

Waruga di Minahasa ada sekitar 370 buah, tersebar di beberapa wilayah; yaitu di kelurahan Rap-rap ada 15, di Airmadidi Bawah ada 211, di Sawangan ada 144. Waruga yang saya kunjungi itu terletak di Desa Sawangan, jadi di sana ada 144 buah waruga. Kini kubur batu waruga itu telah menjadi salah satu tujuan wisata. Eeh, tidak ada aroma angker sama sekali; karena kalau ke sini berbeda dengan di Jawa misalnya, nggak ada dupa, nggak ada bunga-bunga yang jadi aroma mistis. Dan tempatnya sangat bersih. Di sekitar waruga itu juga ada kubur baru untuk memakamkan orang-orang yang meninggal di desa tersebut.

Me and Friends

Nah, bagaimana? Apakah anda tertarik mengunjungi Taman Wisata Waruga ini? Kalau anda mau mengunjungi kubur batu waruga, harus datang ke Manado. Baru deh dari sana bisa berlenggang dengan kendaraan menuju Taman Wisata Waruga ini. Oh iya, tarifnya murah sekali hanya 5 ribu untuk umum, 3 ribu untuk pelajar, dan 10 ribu untuk warga asing.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us: