Ritual Setelah Pernikahan Orang Jawa

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 13 Agustus 2022 dengan link sebagai berikut.

https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4314093450/ritual-setelah-pernikahan-orang-jawa

NONGKRONG.CO —Sebagian besar orang Jawa menganggap prosesi pernikahan telah selesai dengan adanya temu manten ‘temu pengantin’ dan resepsi pernikahan. Namun sebenarnya dalam tradisi pernikahan orang Jawa, setelah beragam ritual pada saat pernikahan, masih ada satu lagi ritual setelah pernikahan orang Jawa.

Ritual ini merupakan satu kegiatan besar yang biasanya disebut dengan ngundhuh mantu. Acara ngundhuh mantu merupakan perayaan pernikahan di rumah pihak pengantin laki-laki. Kalau sebelumnya ritual sebelum pernikahan dan ritual saat pernikahan orang Jawa, cenderung dilakukan di tempat pihak pengantin perempuan, maka kali ini acara gedhen atau perayaannya berada di tangan pihak pengantin laki-laki.

Tidak semua orang Jawa melakukan prosesi ngundhuh mantu. Sebagian keluarga yang mengadakan acara ngundhuh mantu ini telah memikirkan dengan baik berbagai pertimbangan. Mulai dari urusan waktu, biaya, tenaga, dll kesibukan kedua keluarga pengantin.

Pada dasarnya ritual dalam ngundhuh mantu lebih kurang sama seperti ritual pada saat pernikahan orang Jawa. Namun dalam acara ngundhuh mantu tidak lagi ada pengulangan akad nikah atau janji pernikahan.

Dalam acara ngundhuh mantu ritualnya cenderung merupakan ramah tamah. Kedua belah pihak keluarga besar saling mengenal lebih baik satu sama lain. Berikut ini adalah ritual setelah pernikahan orang Jawa.

Pertama, acara pangombyong.

Acara pangombyong adalah acara kedatangan kedua pengantin bersama para pengiring atau pangombyong dari rumah pengantin perempuan. Para pengiring ini biasanya adalah keluarga besar pihak perempuan, kerabat, dan tetangga dekat. Mereka mengiringi pengantin perempuan untuk memasrahkan atau boyongan ke tempat pengantin laki-laki.

Dalam kultur Jawa, pengantin perempuan seterusnya menjadi tanggung jawab pihak pengantin laki-laki. Oleh karena itu, setelah pernikahan ada cara memasrahkan pengantin perempuan ini kepada pihak pengantin laki-laki. Kalaupun tidak ada acara ngundhuh mantu, acara memasrahkan pengantin perempuan kepada pihak keluarga pengantin laki-laki ini tetap dilakukan.

Kedua, acara jamuan.

Acara jamuan berarti memberi makan dan minum kepada tamu dengan layak dan sebaik-baiknya. Pada saat rombongan pengantin datang bersama para pengiringnya ke tempat pengantin laki-laki, mereka akan disambut oleh pihak keluarga pengantin laki-laki. Mereka akan dipersilakan duduk di tempat yang telah disediakan. Setelah itu mereka akan dijamu dengan makan minum sepuasnya.

Pada acara ini, setiap keluarga memiliki pandangan dan kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang menyediakan nasi box beserta minuman dan kue-kuenya demi kepraktisan dan memudahkan pengurusan acara. Namun ada juga yang menyediakan jamuan dengan model prasmanan. Semua sangat tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak untuk kebaikan bersama.

Ketiga, acara imbal wicara.

Imbal wicara artinya saling berbicara. Di sini ada pembicaraan penyerahan pengantin perempuan dari keluarga pengantin perempuan kepada keluarga pengantin laki-laki. Penyerahan ini diwakili oleh sesepuh atau yang ditunjuk dari kalangan keluarga pengantin perempuan.

Selanjutnya dari pihak pengantin laki-laki ada orang yang membalas pembicaraan untuk menerima penyerahan pengantin perempuan kepada keluarga pengantin laki-laki. Biasanya yang menjadi juru bicara adalah sesepuh pihak keluarga pengantin laki-laki atau yang mewakili.

Keempat, minum air suci.

Setelah prosesi imbal wicara kedua pengantin yang duduk di suatu tempat diberikan air suci oleh orang tua dari pihak pengantin laki-laki secara bergantian. Air suci sebenarnya air biasa saja, tetapi biasanya sudah diberi doa pemberkatan untuk permohonan keselamatan dan kebahagiaan pengantin dan keluarga besarnya.

Pemberian air suci kepada pengantin laki-laki dan perempuan oleh orang tua pihak pengantin laki-laki merupakan simbol bahwa keluarga besar pengantin lelaki telah menerima keberadaan pengantin perempuan. Pihak keluarga pengantin laki-laki akan turut menjaga dan bertanggung jawab pada keselamatan dan kebahagiaan hidup pengantin perempuan. Mereka menganggap pengantin perempuan sudah seperti anggota keluarga dan harus diperlakukan dengan baik.

Kelima, acara sindur binayang.

Sindur binayang adalah acara saat bapak dari pengantin laki-laki menyampirkan kain sindur ke bahu pada kedua pengantin. Selanjutnya sang ayah akan menuntun keduanya menuju kursi pelaminan.

Posisi ayah dari pengantin lelaki berada di depan, kemudian pengantin laki-laki dan perempuan berdampingan, dan ibu dari pengantin laki-laki mengiringinya di bagian paling belakang.

Setelah itu diiringi oleh orang tua dari pengantin perempuan. Di belakangnya lagi ada pengiring-pengiring atau pengantar yang ditugasi dari kedua belah pihak pengantin. Jumlah pengiring ini tidak terlalu banyak, hanya sebagai kepatutan pengantaran dalam ritual ngundhuh mantu.

Pada saat acara ini, diiring dengan gending Jawa yaitu Ketawang Boyong Basuki dan Pelog Barang secara bergantian. Gending tersebut menandakan adanya boyongan pengantin perempuan dari rumah orang tuanya ke rumah mertuanya atau rumah pengantin laki-laki.

Keenam, ucapan terimakasih.

Setelah pengantin dan orang tua kedua belah pihak berada di pelaminan, akan ada acara ucapan terimakasih. Ucapan terimakasih ini berasal dari perwakilan keluarga pengantin laki-laki. Ini merupakan ungkapan terimakasih pada pihak keluarga pengantin perempuan yang telah merawat sampai dewasa dan percaya untuk menyerahkan pengantin perempuan kepada keluarga pengantin laki-laki.

Ketujuh, salaman dan ucapan selamat.

Setelah kedua pengantin dan orang tua kedua belah pihak berada di pelaminan, mereka akan berada di sana selama beberapa waktu. Tujuannya untuk menerima ucapan selamat dan salaman dari para undangan.

Kedelapan, pamitan dan paripurna.

Setelah menerima ucapan selamat dan bersalaman dengan para tamu undangan, pihak keluarga pengantin perempuan akan pamitan kepada keluarga pengantin laki-laki. Orang tua dan rombongan pengiring akan meninggalkan acara dan kembali pulang.

Pada acara ini, biasanya pihak pengantin laki-laki memberikan banyak sekali oleh-oleh atau bawaan kepada semua pihak keluarga perempuan. Bawaan yang diberikan di sini berupa makanan dan berbagai barang yang dianggap baik. Bentuknya bebas sesuai dengan pandangan dan kemampuan masing-masing.

Seperti itulah prosesi ritual setelah pernikahan orang Jawa yang lebih sering disebut dengan ngundhuh mantu. Acara ini merupakan acara besar. Pelaksanaannya memerlukan biaya, waktu, tenaga, dan perencanaan yang baik. Oleh karena itu, tidak semua keluarga melakukan acara ini.

Bagi sebagian pihak, acara ini dianggap sangat penting. Terlebih kalau rumah antara pengantin laki-laki dan perempuan berjauhan atau berbeda adat. Misalnya pengantin perempuan berasal dari etnis Jawa dan pengantin laki-laki berasal dari etnis Gowa.

Tentu acara ngundhuh mantu versi Gowa menjadi sangat penting bagi keluarga pengantin laki-laki. Kalaupun acara ngundhuh mantu tersebut tidak lagi versi orang Jawa, tetapi ini menjadi hal yang menarik.

Bagaimanapun budaya yang bisa bertahan hingga kini adalah budaya yang bersifat lentur mengikuti kemajuan zaman. Budaya Jawa termasuk ritual pernikahan orang Jawa merupakan tradisi yang lentur menerima kemajuan tersebut. Ada banyak acara kunci ritual pernikahan yang tetap dilakukan dengan mengikuti kemajuan zaman.

Catatan:

Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. atau Ari Kinoysan Wulandari adalah peneliti budaya, dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

Please follow and like us:

Ritual Saat Pernikahan Orang Jawa

Tulisan ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 6 Agustus 2022 dengan link berikut.

https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4314044873/ritual-saat-pernikahan-orang-jawa

NONGKRONG.COM —Prosesi pernikahan orang Jawa cukup memerlukan waktu, tenaga, dan biaya. Ada serangkaian ritual yang harus dilakukan oleh pihak pengantin dan keluarganya demi mengikuti acara ini. Setelah ritual sebelum pernikahan, pada saat prosesi pernikahan pun ada banyak ritual yang harus dilakukan. Berikut ini adalah ritual saat pernikahan orang Jawa.

Bagian A, Akad Nikah atau Janji Pernikahan.

Akad nikah atau janji pernikahan inilah sebenarnya kunci dan inti dari pernikahan. Akad nikah menyatukan lelaki dan perempuan yang semula terpisah menjadi sepasang suami istri. Mereka telah menikah dan membentuk rumah tangga baru.

Pada acara atau ritual ini, janji atau ikrar pernikahan dijalankan sesuai dengan aturan agama masing-masing. Pada saat ritual janji nikah ini harus ada calon pengantin lelaki dan calon pengantin perempuan, pihak yang menikahkan, orang tua pengantin dari kedua belah pihak, wali, saksi, dan tamu undangan.

Pada saat ritual ini, umumnya pakaian pengantin adalah pakaian adat Jawa. Beberapa pengantin memilih yang praktis. Mereka menggunakan pakaian internasional atau pakaian pernikahan yang lebih modern demi kemudahan prosesi.

Bagian B, Panggih.

Seperti sebutannya panggih berarti bertemu. Setelah acara akad nikah atau janji pernikahan, kedua pengantin telah resmi menikah. Mereka akan bertemu dengan orang tua kedua belah pihak dengan menggunakan ritual atau adat Jawa. Dalam ritual ini ada beberapa tahapan, sebagai berikut.

Kesatu, balangan gantal atau membalang sirih yang diikat dengan benang putih. Pengantin laki-laki melempar gantal pada dada pengantin perempuan. Ini merupakan tanda kalau ia telah mendapatkan hati sang pasangan. Sebaliknya pengantin perempuan melemparkan gantal ke arah lutut pengantin laki-laki. Ini sebagai bukti bahwa ia akan patuh dan taat kepada pasangannya.

Kedua, ngidak endhog atau menginjak telur. Telur ayam ditempatkan pada wadah tertentu yang sudah dihiasi dengan daun-daun. Selain itu juga disiapkan tempat air dengan gayungnya. Selanjutnya pengantin lelaki akan menginjak telur ayam tersebut dan pengantin perempuan bertugas membersihkan kaki suaminya.

Prosesi ini menunjukkan tanda bakti seorang istri kepada suaminya. Kalau suaminya melakukan kesalahan, sang istri harus turut serta membersihkan. Tindakan ini juga merupakan simbol kerja sama antara suami dan istri.

Selanjutnya sang suami akan membantu memberdirikan istrinya. Ini sebagai tanda bahwa sang suami menghargai usaha istrinya untuk turut menyokongnya. Saling menghargai dalam rumah tangga akan menghidupkan dan melanggengkan cinta pasangan suami istri.

Ketiga, sinduran. Setelah acara menginjak telur, prosesi berikutnya adalah sinduran yang berarti pengantin mengenakan kain sindur dan kemudian dibimbing oleh dukun manten atau yang mewakili menuju pelaminan. Kedua pengantin berjalan sambil berpegangan tangan.

Kain sindur berwarna putih dengan renda berwarna merah. Warna putih sebagai lambang kesucian cinta. Warna merah sebagai lambang keberanian menghadapi hidup. Kedua pengantin yang berjalan beriringan menuju pelaminan merupakan simbol kesiapan mereka menghadapi kehidupan yang baru.

Keempat, bobot timbang. Setelah sampai di kursi pelaminan, kedua mempelai akan didudukkan di atas pangkuan bapak dari pengantin perempuan. Lalu sang ibu dari pengantin perempuan akan bertanya kepada suaminya, siapa yang lebih berat di antara kedua pengantin laki-laki dan perempuan.

Jawaban dari sang bapak pengantin perempuan harus sama saja. Ini menunjukkan bahwa di dalam rumah tangga, keduanya berkedudukan sama, harus saling menyayangi dan menghargai satu sama lain agar dapat hidup bahagia.

Kelima, minum air degan atau air kelapa muda. Air kelapa muda sering dianggap sebagai air kehidupan. Dengan meminum air kelapa muda dari gelas yang sama untuk satu keluarga, diharapkan kehidupan keluarga pengantin dapat terus lestari sampai akhir zaman.

Pada prosesi ini, bapak dari pengantin perempuan akan menjadi orang pertama yang meminum air kelapa muda. Selanjutnya diteruskan kepada sang ibu, orang tua pengantin lelaki, hingga pada kedua pengantin.

Keenam, kacar kucur. Ini merupakan tindakan dari pengantin laki-laki untuk mengucurkan uang receh dan biji-bijian yang telah ditempatkan pada wadah tertentu kepada pengantin perempuan yang membawa wadah lainnya.

Kacar kucur merupakan simbol bahwa pengantin lelaki siap memberikan nafkah dan bertanggung jawab kepada pengantin perempuan. Sang lelaki bertugas mencari rezeki dan sang perempuan bertanggung jawab untuk mengelolanya dengan baik.

Ketujuh, dulangan atau saling menyuapi. Setelah acara kacar-kucur, pengantin lelaki dan perempuan akan diberikan makanan dalam satu wadah. Mereka harus saling menyuapi atau dulangan sebanyak tiga kali.

Dulangan ini merupakan simbol dan harapan agar kedua pengantin saling mengasihi, saling menghargai, saling menolong dan bekerja sama dalam menjalani kehidupan pernikahan.

Bagian C, Bubak Kawah.

Ini biasanya merupakan acara yang ditunggu-tunggu pada undangan. Karena pada saat ritual ini ada makanan dari gembili, uwi, aneka jajanan pasar, dan kadang diberikan uang —yang semuanya ditempatkan pada satu wadah seperti kendil atau gentong kecil.

Semua makanan tersebut akan diberkati atau didoakan demi keselamatan dan kebahagiaan pengantin bersama keluarga besarnya. Setelah itu, semua isi kendil akan dibagikan kepada tamu undangan yang hadir. Konon sebagian orang Jawa menganggap yang mendapatkan bagian akan ikut serta di kemudian hari merayakan pernikahan putra-putrinya seperti pernikahan yang dihadiri tersebut.

Acara ini ada di dalam pernikahan yang pertama dilakukan. Tidak selalu pernikahan dari anak pertama, tetapi hajatan mantu pertama di keluarga tersebut. Kalau yang menikah lebih dulu anak kedua atau ketiga, maka pada saat anak pertama atau kedua menikah, tidak ada acara bubak kawah.

Bagian D, Tumplak Punjen.

Tumplak punjen adalah acara penutupan pernikahan dari suatu keluarga. Artinya, kalau ada prosesi tumplak punjen ini berarti dalam keluarga tersebut sudah tidak akan mengadakan pernikahan lagi. Seluruh anak dari keluarga itu telah mentas atau menikah.

Tumplak punjen dengan ritual menumpahkan uang dan biji-bijian berarti orang tua telah melepaskan diri dari seluruh tanggung jawabnya. Ia telah menyelesaikan darmanya kepada semua anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.

Bagian E, Sungkeman.

Sungkeman berarti sungkem atau permohonan doa restu dari pengantin lelaki dan perempuan kepada orang tua kedua belah pihak. Ini dilakukan dengan cara berlutut di depan orang tua secara bergantian.

Biasanya acara ini menjadi haru biru dengan berbagai nasihat yang tidak semuanya bisa disampaikan dengan terang. Bagaimanapun kuatnya orang tua, sering kali melepaskan anak menikah bukanlah hal yang mudah, tetapi harus dijalankan sebagai darma orang tua kepada anaknya.

Bagian F, Kirab Pengantin.

Pada prosesi pernikahan adat Jawa yang masih komplit, setelah sungkeman ada acara kirab pengantin. Pengantin lelaki dan pengantin perempuan akan dibawa berkeliling tempat sekitarnya. Kirab pengantin bertujuan untuk memberitahukan kepada khalayak dan masyarakat sekitar, bahwa keduanya telah menikah. Mereka telah menjadi suami istri yang tidak perlu diganggu kalau bersama-sama.

Sementara di dalam pernikahan adat Jawa yang sudah lebih modern, biasanya kirab pengantin ini ditiadakan. Setelah sungkeman, pengantin dan orang tua kedua belah pihak akan berada di pelaminan untuk menerima salam dan ucapan selamat dari para tamu undangan. Mereka akan berada di tempat itu sampai batas waktu yang ditentukan atau sampai seluruh tamu undangan selesai memberikan doa dan ucapan selamat.

Seperti itulah rangkaian ritual saat pernikahan orang Jawa. Banyak sekali ubarampe dan persiapannya. Pernikahan semacam ini memerlukan banyak waktu, tenaga, dan biaya. Oleh karena itu, dalam beberapa pernikahan orang Jawa sering kali kita tidak menemukan semua prosesi tersebut.

Pernikahan orang Jawa masa sekarang lebih sering dipersingkat dengan acara akad nikah atau janji pernikahan dan resepsi sebagai bentuk syukuran serta memberitahukan pada khalayak luas bahwa mereka telah menikah. Apapun pilihannya, tradisi pernikahan di Indonesia memang merupakan tradisi megah. Jadi, perlu kesungguhan kalau ingin membuatnya benar-benar seperti prosesi aslinya.

Catatan:

Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. atau Ari Kinoysan Wulandari adalah peneliti budaya, dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

Please follow and like us:

Berkurban dengan Niat

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Jumat, tanggal 8 Juli 2022 dengan link berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063845978/berkurban-dengan-niat

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Dalam perjalanan hidup saya bersaudara, pernah ada masa yang sangat gelap. Jangankan memikirkan untuk lulus kuliah, besok makan apa saja, kami tidak tahu. Praktis setelah usaha bapak bangkrut, hidup kami menjadi tidak mudah. Banyak hal yang terbiasa ada, tiba-tiba hilang. Dan itu semakin parah ketika bapak meninggal, saat kami enam bersaudara masih semrawut, belum ada yang mentas (mapan).

Kami semakin tenggelam dalam duka mendalam, karena ternyata almarhum bapak meninggalkan utang-utang yang sangat banyak. Ibaratnya rumah satu-satunya yang dimiliki ibu (yang saat itu selamat dari penyitaan bank) karena tidak jadi agunan bank  —dijual pun tidak akan menutup semua utang bapak.

Semasa hidupnya, bapak dan ibu sengaja tidak memberitahukan semua hal itu kepada anak-anaknya, agar kami tidak ikut resah. Begitu bapak meninggal —rasanya kita tahu ya, harus diinformasikan penanggung jawab utang dari si mayit. Karena ibu saya masih ada, ya tentu utang-utang bapak menjadi tanggungan ibu saya. Dengan kondisi ibu sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja, hal itu tentu bukan sesuatu yang mudah.

Beberapa waktu setelah lewat masa berduka, ibu berpikir untuk menjual saja rumah miliknya untuk membayar utang bapak. Saya bersaudara ramai beribut, kalau rumah dijual harus tinggal di mana. Mengontrak rumah bukan urusan mudah, belum kalau harus pindah-pindah karena harga kontrakan yang terus naik.

Saya bersikukuh agar rumah tidak dijual dan bersama saudara membereskan utang-utang almarhum bapak. Saudara-saudara lainnya pun sepakat. Tahu kan ya, kalau rumah dijual dadakan, pasti harganya jatuh miring. Terlebih itu satu-satunya rumah yang ada kenangan bersama keluarga. Kalau dijual hilang pula memori keluarga kami.

Tidak mudah, karena yang baru lulus kuliah baru saya. Lainnya masih embuh, entah bisa sekolah atau tidak. Lha untuk urusan makan sehari-hari saja kami mumet. Namun janji Allah itu benar. Setelah kesulitan ada kemudahan. Ada banyak pertolongan yang tidak terduga.

Saya ditarik bekerja ke Multivision Plus yang memberikan ruang penghasilan besar. Saudara saya ada yang mendapatkan beasiswa kuliah penuh. Saudara saya yang lain memutuskan bekerja sambil kuliah. Sementara yang tinggal di rumah masih sekolah, harus turut membantu menjaga ibu kalau para penagih utang datang.

Sedikit demi sedikit utang bapak berkurang. Karena jumlahnya besar dan kami harus berjibaku tetap harus kuliah dan hidup, maka pembayaran utang-utang itu memakan waktu sepuluh tahun. Tentu tidak mulus begitu saja. Ada banyak “caci maki” dan “cercaan” yang mengerikan. Terlebih kalau utang itu pada bank plecit atau rentenir yang menerapkan sistem bunga berbunga.

Karena menanggung utang-utang bapak dan biaya hidup rumah tangga orang tua, sebenarnya saat itu saya jelas tidak perlu berkurban. Hukum berkurban itu sunah muakad, sunah yang sangat penting —tetapi tetap tidak menghilangkan arti sunahnya. Kalau tidak mampu, ya tidak perlu berkurban.

Saat itu saya sudah berniat untuk berkurban. Karena penghasilan yang saya peroleh itu, kalau dihitung setiap tahunnya sudah lebih dari wajib untuk berkurban. Jadi begitu masuk kantor di Jakarta, saya menyisihkan sebagian uang saya berkurban. Malu rasanya saya diberi pekerjaan mudah, penghasilan besar, tapi tidak berkurban. Bahwa uangnya untuk beragam keperluan, itu kan tidak meninggalkan kenyataan saya mendapatkan penghasilan besar.

Bagaimana cara dulu berhemat untuk berkurban? Misalnya harusnya saya beli makan 50 ribu, saya memilih yang 40 ribu atau kurang, sehingga ada sedikit sisa untuk masuk “kantong kurban”. Sepanjang proses pembayaran utang-utang dan mengawal saudara-saudara saya kuliah, ya mung kambing itu yang bisa saya kurbankan.

Dasar pertimbangan saya, memohon kemudahan membereskan urusan yang banyak  dan tidak muda itu. Syukur alhamdulillah semua dapat beriringan. Alhamdulillah, dengan jatuh bangun dan bergandengan tangan bersaudara; rumah ibu ya tetap utuh, kami semua sarjana atau lebih, utang-utang bapak ya lunas.

Setelah itu, saya mulai menambah porsi berkurban. Kalau sebelumnya kambing, lalu ikut sapi untuk bertujuh, terus seekor sapi. Saya kadang merasa tidak fair menaruh seekor sapi di satu tempat. Jadi saya mengikuti keumuman berkurban  rata-rata, seekor sapi dibagi bertujuh. Tapi saya lakukan di tujuh tempat berbeda. Kalau dihitung total ya tetep seekor sapi dengan ruang pembagian yang lebih luas. Saya tetep berprinsip harus mengutamakan berkurban di tempat tinggal, baru ke daerah yang jauh-jauh.

Nah, dari pengalaman saya itu, saat ditanyain kawan tentang pilihan berkurban atau bayar utang dulu, saya kembalikan pada pertimbangannya. Tentu saja dalam pemahaman awam sebagai orang yang tidak ahli urusan agama Islam dan hukum ibadahnya dengan detail, maka saya mengatakan kalau versi saya; bayar utang dulu, baru berkurban.

Pemikiran saya itu berkaitan dengan pemahaman kalau orang mati, bila dia memiliki utang, dia bisa tidak disholatkan sebelum ada yang bersedia menanggung utang-utangnya. Seorang yang mati syahid pun terampuni semua dosa-dosanya, kecuali utangnya. Jadi, bayar utang jelas wajib hukumnya.

Sementara hukum berkurban yang saya pahami adalah sunah muakad, artinya ibadah yang sunah yang sangat disarankan. Mengingat aturan ada sunahnya ini, tentu berkurban ini diperuntukkan bagi yang mampu berkurban. Berkurban kan harus dengan binatang ternak yang diperbolehkan, yaitu kambing, sapi, kerbau, unta. Padahal binatang-binatang ternak ini, cukup ada harganya yang harus dibayar oleh mereka yang hendak berkurban.

Keumuman berkurban di Indonesia menggunakan kambing atau sapi. Harga kambing di Indonesia saat ini kisaran 2.5 sampai 5 juta per ekor. Sementara harga sapi yang umum kisaran 20-35 juta per ekor. Makin besar bobotnya, biasanya harganya juga akan semakin besar. Semakin mendekati hari raya kurban atau Idul Adha, kadang-kadang harga kedua binatang ternak itu semakin mahal. Itulah sebabnya untuk berkurban di Indonesia yang paling banyak adalah berkurban seekor kambing atau seekor sapi yang ditanggung oleh tujuh orang.

Kalau seseorang sudah berniat untuk berkurban, sebaiknya dari satu tahun sebelumnya sudah memikirkan biayanya. Apakah ia harus menabung dulu, melakukan penggemukan kambing atau sapi, beriuran dengan saudara atau teman ataukeluarga, mencicil harga kambing atau sapi, dst. Banyak pilihan yang bisa disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Terus, bagaimana mereka yang memiliki utang? Tentu harus membayar utang lebih dulu sebelum berkurban. Dalam pemikiran saya, semestinya setiap orang bisa memikirkan mana yang terbaik bagi dirinya. Masing-masing memiliki tanggungan dan kepentingan keuangan yang berbeda-beda. Tidak bisa disamaratakan.

Bisa saja dia masih punya banyak utang, tapi memutuskan berkurban  —seperti yang saya lakukan di masa lalu. Ada juga kondisi seseorang tidak punya utang, tapi tidak sanggup berkurban. Ada yang kondisinya pas-pasan saja, tapi bersikeras menabung untuk membeli hewan kurban. Ada yang menitipkan kambing atau sapi pada peternak dengan membeli anakannya dan membayar biaya perawatan sampai tiba hari penyembelihan binatang kurban.

Ada pula yang berombongan tujuh orang dan beriuran menanggung harga seekor sapi selama satu tahun. Misalnya seekor sapi dibandrol 35 juta. Dari harga 35 juta untuk seekor sapi berarti setiap orang menanggung 7 juta, yang dicicil selama 12 bulan. Berarti setiap bulan setiap orang cukup mencicil 400-500 ribu. Tidak akan terasa berat bagi mereka yang punya penghasilan rutin gajian standar menengah 5-10 juta tiap bulan. Kalau harga sapi lebih rendah di kisaran 25 juta, maka iuran bulanannya bisa lebih kecil. Nanti mendekati hari H Idul Adha, rombongan bertujuh ini tinggal membeli sapi dengan menambah kekurangan biayanya. Namun untuk hal seperti ini, pengelolanya harus amanah dan bisa dipercaya lho ya. Jangan sudah mencicil tertib, tahu-tahu yang pegang duit kabur. Wah, bisa celaka dua belas kalau begitu!

Masing-masing bisa mengukur dan menakar kemampuannya. Tidak pernah ada pemaksaan untuk berkurban. Menurut saya, boleh saja kok seseorang “ngotot” untuk berkurban. Hal ini akan mendorongnya untuk bekerja lebih baik. Biasanya siy, yang saya rasakan secara langsung, urusan-urusan sulit jadi lebih mudah. Apakah itu dampak dari rutin berkurban, saya tidak tahu.

Petunjuk bahwa berkurban sangat baik, itu yang saya terima dengan totalitas. Kalau saya bisa mengerjakan, ya saya lakukan. Kalau tidak bisa, ya tidak saya kerjakan. Membawa ringan hati saja urusan seperti ini. Karena saya tahu, Islam itu mudah dan memudahkan.

Tentu kita tidak boleh mencari pembenaran sesuka kita. Seperti karena berkurban ini sifatnya sunah muakad, jadi menganggap tidak wajib. Sudah punya banyak rumah bertingkat dengan mobil bermerek jejer-jejer di garasinya, eh tetap saja tidak mau berkurban. Atau kalau mau berkurban pakai pecicilan ngatur minta bagian ini itu pada panitia. Biyuuu…. bikin ruwet ribet aja mereka yang begitu. Apakah ada? Banyak. Cek saja kalau anda jadi panitia kurban. Kalau seperti itu ya, jangan menyesal kalau Allah sewaktu-waktu mengambil semua kekayaan.

Saya sering mengingat kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tentang berkurban. Alangkah Maha Bijaksana Allah SWT. Kurbannya diganti dengan kambing gibas. Bayangkan kalau aturan berkurban yang diminta anak sulung laki-laki, betapa tragisnya. Nyatanya yang diminta seekor kambing atau sapi setiap tahun. Itupun dengan sukarela dan kesadaran masing-masing.

Akhirnya, mau berkurban atau tidak, mau berkurban atau bayar utang dulu; semua kembali pada pertimbangan masing-masing. Saya mengajak kepada siapa saja, kalau mau berkurban niatkan saja dulu. Bismillah minta dimudahkan rezeki untuk membeli hewan kurban. Insyaallah nanti ada saja tambahan rezeki tidak terduga untuk melakukan kurban.

Kalau masih punya utang, berniat saja dulu. Biar bisa bayar utang dan berkurban bersamaan. Allah itu sesuai persangkaan hamba-Nya. Kalau kita berpikiran dan bertekad baik, Allah akan memudahkan perwujudan kebaikan itu dari berbagai arah. Praktikkan dan buktikan saja. Tidak usah kebanyakan nanya dalil dan teorinya. Malah bisa-bisa nggak jadi berkurban nanti!

Selamat Idul Adha 1443 H. Selamat berkurban. Kalau tahun ini belum berkurban, niatkan sungguh-sungguh agar tahun depan bisa berkurban. Bagi mereka yang sudah mampu berkurban tahun ini atau dari tahun-tahun sebelumnya, semoga tetap bisa istikomah berkurban setiap tahun sepanjang hayat. Amin Yaa Rabbal Alamin.****

Please follow and like us:

Ritual Sebelum Pernikahan Orang Jawa

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 30 Juli 2022 dengan link sebagai berikut.

https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4314014904/ritual-sebelum-pernikahan-orang-jawa

NONGKRONG.CO —Pernikahan merupakan hal yang penting bagi orang Jawa.  Tradisi yang berlangsung berkaitan dengan pernikahan dalam adat Jawa sangat banyak. Tahapan sebelum pernikahan di kalangan orang Jawa ada dua macam, yang tidak menggunakan ritual dan yang menggunakan ritual.

Tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang tidak menggunakan ritual ada tiga macam, yaitu (1) pembicaraan pernikahan, (2) pembentukan saksi-saksi, dan (3) pembentukan panitia hajatan. Ketiga tahapan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama, Pembicaraan Pernikahan.

Pembicaraan pernikahan pada prinsipnya merupakan pertemuan kedua keluarga yang akan menikahkan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Keluarga mereka bertemu, berkenalan secara resmi, melakukan prosesi lamaran, hingga pembicaraan lain yang berkaitan dengan pernikahan putra putri mereka. Ubarampe dan kelengkapan dalam kegiatan ini sesuai kemampuan masing-masing. Ada yang sangat praktis modern, ada pula yang semuanya menggunakan pakaian adat Jawa.

Kedua, Pembentukan Saksi-saksi.

Keberadaan saksi-saksi pernikahan merupakan hal penting. Pembentukan saksi-saksi ini adalah permintaan orang-orang di luar keluarga, bisa tetangga dekat atau kerabat dekat untuk menjadi saksi prosesi pernikahan.

Pembentukan atau penentuan saksi-saksi ini tidak memerlukan ritual. Hanya permintaan dan kesediaan sebagai saksi kegiatan sebelum pernikahan. Kesaksian diperlukan pada empat acara, yaitu (a) srah-srahan, (b) peningsetan, (c) asok tukun, dan (d) gethok dina.

Keempat acara ini biasanya memerlukan ritual, terutama pada acara srah-srahan. Srah-srahan adalah penyerahan perlengkapan sarana dan prasarana untuk pernikahan, seperti cincin, makanan tradisional, pakaian wanita, uang, perhiasan, bahan pangan, dll sesuai aturan dan kesepakatan.

Peningsetan adalah acara tukar cincin antara pihak calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Asok tukon berarti menyerahkan sejumlah uang kepada calon mertua dari pihak calon pengantin laki-laki. Gethok dina adalah menetapkan hari untuk akad nikah dan resepsi dan lain-lain yang berkaitan.

Ketiga, Pembentukan Panitia Hajatan.

Pembentukan panitia hajatan bertujuan untuk memperlancar acara mantu. Panitia ini biasanya melibatkan keluarga dan orang dekat dari kedua belah pihak calon pengantin. Kalau acara mantunya besar-besaran, panitia hajatan ini dibentuk secara khusus di luar pihak keluarga atau orang dekat dari kedua belah pihak.

Itulah tiga tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang tidak menggunakan ritual. Sementara tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang menggunakan ritual ada sepuluh, yaitu (1) pasang tratag, (2) membuat kembar mayang, (3) pasang tuwuhan, (4) sungkeman, (5) siraman, (6) adol dawet, (7) potong tumpeng dan dulang pungkasan, (8) menanam rambut dan melepas ayam, (9) midodareni, dan (10) srah-srahan.

Pertama, Pasang Tratag.

Pasang tratag berarti memasang tenda di depan rumah dengan tarub dan hiasan alami di depan pintu masuk. Pemasangan ini sebagai penanda bahwa keluarga tersebut sedang merayakan pernikahan.

Orang Jawa umumnya menggunakan janur lengkung kuning. Janur lengkung kuning ini menandakan permohonan kesejahteraan dan keberkahan bagi calon pasangan pengantin dan keluarga besarnya. Selain itu sebagai perwujudan syukur kepada Tuhan bahwa anak-anak mereka telah dewasa dan akan menikah.

Kedua, Membuat Kembar Mayang.

Kembar mayang dibuat dari akar, batang, daun, buah, dan bunga. Daun kembar mayang ditekuk dan dimasukkan ke batang pisang. Bentuknya mirip gunung, cambuk, payung, kering, burung, dan belalang. Kembar mayang merupakan lambang kebijaksanaan dan motivasi hidup bahagia.

Ketiga, Pasang Tuwuhan.

Pasang tuwuhan atau menanam buah-buahan di dekat tempat siraman. Buah yang ditanam biasanya pisang raja satu tundun. Pasang tuwuhan melambangkan tanda kemantapan pasangan pengantin dalam pernikahan. Selain itu juga ada harapan agar pasangan pengantin segera memiliki anak.

Keempat, Sungkeman.

Ritual sungkeman berarti permohonan doa restu dari calon pengantin kepada orang tua kedua belah pihak. Sungkeman juga merupakan penanda terimakasih anak kepada orang tuanya telah membesarkan dan mendidik mereka sebelum menikah. Ritual ini biasanya ditandai dengan pemberian sesuatu dari calon pengantin kepada orang tua sebagai bukti cinta.

Selain permohonan doa restu dan pemberian tanda cinta, acara sungkeman juga diikuti dengan permohonan maaf atas segala kesalahan baik dari pihak anak maupun orang tua. Permohonan maaf ini demi memperbaiki hubungan orang tua dan anak yang mungkin saja ada kesalahan.

Kelima, Siraman.

Siraman berarti mandi sebelum pernikahan. Siraman ini dilakukan oleh pasangan pengantin. Siraman dilakukan dengan pakaian adat lengkap dengan beberapa aturan khusus. Air yang digunakan untuk siraman berasal dari tujuh sumber mata air dengan tujuh bunga yang harum; seperti mawar, melati, kenanga, kaca piring, sri tanjung, magnolia, dan wijaya kusuma.

Air untuk siraman dicampur dengan semua bunga yang telah dipersiapkan dan diendapkan sekurangnya 1 malam agar wanginya menguar kuat. Siraman dilakukan oleh tujuh orang keluarga dekat sang pengantin. Terakhir siraman dilakukan oleh orang tua pengantin.

Siraman ini merupakan simbol pembersihan diri dari segala kekotoran jiwa raga. Dengan jiwa raga yang bersih dan suci, pasangan pengantin diharapkan dapat memulai kehidupannya dengan baik dan bahagia.

Keenam, Adol Dawet.

Ritual adol dawet dilakukan oleh orang tua kedua calon pengantin. Dawet adalah salah satu minuman tradisional Jawa yang menyegarkan. Orang tua pengantin harus menjual dawet tersebut kepada para hadirin atau tamu undangan.

Uang yang digunakan dalam acara ini adalah kreweng atau mata uang dari pecahan genting tanah liat. Semua tamu harus membeli dawet yang dijual, tidak boleh ada tamu yang terlewat tidak membeli dawet tersebut.

Adol dawet merupakan simbol dari kesejahteraan dan cara orang Jawa memenuhi keperluan hidupnya. Berdagang merupakan simbol pekerjaan yang bisa dilakukan oleh siapa saja untuk mandiri.

Ketujuh, Potong Tumpeng dan Dulang Pungkasan.

Pada acara potong tumpeng dan dulang pungkasan ini, harus ada nasi tumpeng lengkap dengan ingkung ayam. Nasi tumpeng nantinya akan dipotong dan dimakan bersama-sama (kenduri) para undangan.

Sementara bagian nasi tumpeng yang dipotong akan diberikan kepada orang tua kedua pengantin untuk disuapkan kepada calon pengantin. Ini adalah simbol tanggung jawab orang tua terakhir kali sebelum putra putri mereka menikah.  

Kalau sebelum menikah calon pengantin lelaki dan calon pengantin perempuan masih jadi tanggungan orang tua, setelah menikah mereka harus mandiri. Mereka tidak lagi disuapi oleh orang tuanya, tetapi harus mengarungi hidup baru secara mandiri. Mereka harus bertanggung jawab pada kehidupan keluarga barunya.

Kedelapan, Menanam Rambut dan Melepas Ayam.

Kedua pengantin dipotong sebagian rambutnya. Rambut ini akan ditanam di tanah. Tujuan dari penanaman rambut ini adalah menjauhkan hal buruk yang mungkin terjadi dalam kehidupan pernikahan.

Berikutnya, orang tua pengantin akan melepaskan ayam hitam secara bebas. Ayam hitam yang dilepaskan hidup bebas ini merupakan simbol keikhlasan orang tua melepaskan anaknya untuk menikah. Anak-anak yang sebelumnya hidup dalam buaian orang tua, kini telah dilepaskan untuk hidup mandiri dalam pernikahan.

Kesembilan, Midodareni.

Midodareni merupakan ritual pelepasan masa lajang bagi anak perempuan. Pada saat ini, calon pengantin perempuan tidak boleh bertemu dengan calon pengantin laki-laki. Waktu yang ditentukan adalah jam 18 sampai 24 WIB atau dari lepas Maghrib sampai tengah malam.

Biasanya di rumah pengantin perempuan, si calon pengantin perempuan didampingi oleh ibunya dan para sesepuh. Mereka memberikan nasihat dan petuah tentang kehidupan setelah pernikahan. Tujuannya memberikan bekal dan pandangan yang cukup bagi calon pengantin perempuan yang akan menikah.

Kesepuluh, Srah-Srahan.

Srah-srahan berarti menyerahkan berbagai barang keperluan kehidupan dari calon pengantin lelaki kepada calon pengantin perempuan. Bentuk srah-srahan ini sangat beragam, dan biasanya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Dalam kebiasaan orang Jawa modern, barang srah-srahan ini sering pula dibeli bersama-sama oleh pihak pengantin lelaki dan perempuan dengan tanggungan si pihak lelaki. Pihak perempuan hanya menentukan jenis barangnya, agar saat diserahkan nanti semuanya bermanfaat dan tidak ada yang terbuang.

Srah-srahan dilakukan oleh pihak calon pengantin lelaki kepada pihak calon pengantin perempuan pada malam midodareni. Adanya srah-srahan ini menandakan bahwa pihak pengantin lelaki sudah menerima tanggung jawabnya atas pengantin perempuan yang akan dinikahinya. Mereka sudah siap menjalani kehidupan berumah tangga.

Seperti itulah tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang menggunakan ritual. Tidak setiap keluarga yang menikahkan anaknya menggunakan seluruh ritual tersebut. Namun secara umum, mereka yang masih memegang tradisi Jawa akan menjalankan keseluruhan ritual tersebut. Selain sebagai tanda syukur atas pernikahan putra putrinya, juga semangat untuk ikut melestarikan tradisi Jawa.

Catatan:

Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. atau Ari Kinoysan Wulandari adalah peneliti budaya, dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

Please follow and like us:

Pitonan: Selamatan Bayi 7 Bulan (245 Hari)

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 25 Juni 2022 dengan link berikut ini. https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313741367/pitonan-selamatan-bayi-7-bulan-245-hari

Pitonan atau lebih dikenal sebagai tedhak siten merupakan selamatan untuk bayi yang berumur 7 bulan (Jawa) atau 245 hari. Setiap bulan versi orang Jawa dihitung 35 hari atau selapan. Jadi sebutan bayi 7 bulan itu berarti 7 bulan dikalikan selapan yang berarti 245 hari.

Kebiasaan orang Jawa biasanya mengadakan upacara seperti ini tidak persis di hari hitungannya. Kadang-kadang ditunda sehari atau dua hari. Kadang-kadang pula dipaskan pada hari libur, Sabtu atau Minggu. Tujuannya agar tidak mengganggu pekerjaan orang tuanya dan memudahkan kerabat untuk menghadiri acara tedhak siten.

 Seperti acara selamatan bayi lainnya, yaitu brokohan, sepasaran, selapanan, maupun telonan, selamatan pitonan ini pada prinsipnya merupakan acara syukuran atas kelahiran bayi. Acara ini merupakan kegiatan untuk memohonkan perlindungan dan keselamatan si bayi kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Acara pitonan atau tedhak siten merupakan selamatan bayi yang mendapatkan perhatian khusus di kalangan orang Jawa. Pada saat ritual tedhak siten, si bayi sudah mulai melangkah atau menjejak di tanah. Tujuan selamatan pitonan ini demi mendapatkan masa depan yang cerah bagi si bayi. Selamatan pitonan merupakan bentuk bimbingan dari orang tua kepada si buah hati. Tradisi tedhak siten sudah ada sejak zaman dulu kala dan diwariskan secara turun temurun.

Tradisi telonan atau tedhak siten ini memerlukan ubarampe lebih banyak daripada selamatan bayi lainnya. Bayi umur 7 bulan sudah bisa melangkah ke bumi  dan ini merupakan proses penting. Seorang bayi yang semula harus digendong orang lain, kini sudah bisa mulai melangkah dengan kakinya sendiri.

Itulah sebabnya selamatan ini juga disebut dengan tedhak siten. Tedhak berarti melangkah atau turun. Adapun siten berarti “siti” atau tanah yang berarti tanah atau bumi. Sekurangnya tedhak siten berarti turun ke bumi atau melangkah ke bumi. Tradisi tedhak siten merupakan gambaran kesiapan seorang anak untuk menjemput kehidupan yang sukses di masa depan.

Dalam tradisi orang Jawa, acara tedhak siten biasanya pagi hari dan diadakan di halaman rumah orang tua si bayi. Selamatan ini menggunakan berbagai ubarampe yang menunjukkan  kesiapan si bayi menghadapi masa depan. Segala ubarampe yang dipersiapkan untuk acara tedhak siten merupakan simbol permohonan kepada Tuhan agar memberikan perlindungan, keselamatan, dan keberkahan pada hidup si bayi.

Ubarampe untuk kegiatan tedhak siten sangat banyak dengan berbagai ketentuan. Semakin mampu suatu keluarga, biasanya mempersiapkan acara tedhak siten ini semakin komplet dan mewah.

Berikut ini adalah beberapa ubarampe yang harus disiapkan untuk acara tedhak siten.

  • Kurungan Ayam.

Kurungan ayam ini terbuat dari bambu untuk mengurung ayam hidup. Kurungan ayam ini biasanya dihiasi semeriah dan semenarik mungkin agar terlihat bagus dan keren. Hiasannya biasanya warna-warni yang sangat cerah dan menggembirakan anak-anak. Di dalamnya biasanya disediakan buku tulis, alat tulis, perhiasan, uang, kain, gunting, dll barang yang bermanfaat.

  • Jenang Warna-Warni.

Jenang ini dibuat dari ketan dengan tujuh warna. Biasanya warna yang digunakan adalah merah, putih, kuning, jingga, hijau, biru, dan ungu. Ini sebagai penanda bahwa kehidupan itu beragam warna dari yang terang maupun tidak terang.

  • Tangga dan Kursi.

Tangga dan kursi yang dipersiapkan untuk acara tedhak siten ini adalah tangga kursi yang dibuat dari tebu. Tebu ini singkatan antebing kalbu yang berarti kesungguhan tekad si bayi dalam menghadapi kehidupan.

  • Ayam Panggang.

Ayam panggang pada bagian ini merupakan ayam panggang yang ditusukkan pada batang tebu. Pada bagian ayam panggang ini di sekitarnya diberi pisang, beraneka barang dan berbagai jenis alat permainan.

  • Tumpeng Robyong.

Tumpeng robyong merupakan salah satu jenis tumpeng di Jawa dengan ciri tertentu, yaitu adanya telur, cabai, bawang merah dan terasi yang ditusukkan pada bagian puncaknya. Sementara di bagian bawah tumpeng akan tersedia berbagai lauk pauk, sayur, hingga isian lainnya.

  • Bubur.

Bubur dalam hal ini sama dengan bubur untuk selamatan bayi lainnya, yaitu bubur merah dan bubur putih. Kedua bubur merah putih ini melambangkan kehidupan atau kerukunan orang tua si bayi.

  • Jadah.

Jadah dalam hal ini juga terdiri dari 7 warna, yaitu merah, putih, kuning, jingga, hijau, biru, dan ungu. Jadah dibuat dari ketan yang melambangkan kekuatan persatuan. Dengan bersatu padu, segala sesuatu yang sulit akan mudah diatasi.

  • Buah-buahan.

Biasanya akan disediakan 7 jenis buah-buahan yang populer atau sedang musim di lingkungan orang Jawa. Buah-buahan yang sering disediakan adalah jeruk, apel, pisang, duku, salak, jambu, semangka. Jenis buah-buahan ini bebas sesuai dengan selera penyelenggara.

  • Jajanan Pasar.

Jajanan pasar yang disediakan dalam hal ini juga ada 7 macam. Jenisnya bebas tergantung dari masing-masing penyelenggara. Jajanan pasar yang umum disediakan adalah onde-onde, wajik, lemper, pisang goreng, dadar gulung, serabi, dan kue  lumpur.

  • Udik-udik.

Udik-udik berarti uang kertas atau uang recehan yang disebarkan pas acara tedhak siten. Penyebarnya adalah ayah dan kakek si bayi. Besaran uang untuk udik-udik tergantung kemampuan masing-masing penyelenggara tedhak siten.

  • Air

Air yang telah dibiarkan semalam terkena embun dan pagi sudah terkena sinar matahari. Ini menyimbolkan kesabaran untuk mendapatkan sesuatu.

  • Ayam Hidup.

Ayam hidup ini dilepaskan pada saat acara dan ada sesi untuk dibiarkan ditangkap oleh tamu undangan. Siapa yang berhasil mendapatkan ayam tersebut, boleh membawanya pulang sebagai sedekah dari orang tua si bayi.

  • Bunga Sri Taman.

Bunga untuk memandikan bayi saat acara tedhak siten hampir rampung demi membersihkan segala kotoran dan memiliki aroma yang harum. Bunga sritaman terdiri dari mawar, melati, magnolia, dan kenanga.

  • Pakaian Bayi.

Pakaian bayi untuk acara ini harus pakaian bayi yang baru, indah dan sesuai untuk si bayi. Tujuannya agar bayi bergembira dan berbahagia dalam kehidupannya.

Biasanya bayi yang dipitoni akan didandani sebagus atau secantik mungkin untuk dokumentasi dan untuk menyambut tamu-tamu undangan yang datang. Setelah semua ubarampe disiapkan, keluarga si bayi akan berkumpul di tempat upacara. Tamu undangan biasanya ada di sekitarnya atau di tempat yang telah ditentukan.

Acara pitonan biasanya dimulai dengan pembukaan oleh sesepuh yang dipasrahi untuk memimpin acara. Doa pembuka permintaan selamat dan berkah akan dibacakan pada saat ini.

Selanjutnya akan dilakukan ritual berikut ini untuk si bayi.

  • Berjalan Pada 7 Warna.

Si bayi akan dipandu untuk berjalan melewati jenang 7 warna; merah, putih, kuning, jingga, hijau, biru, dan ungu. Ritual ini menggambarkan bahwa di masa depan si bayi diharapkan dapat melalui dan mengatasi semua hambatan dalam kehidupannya.

  • Menginjak Tangga dari Tebu.

Sesepuh membimbing si bayi untuk menginjak tangga yang terbuat dari tebu jenis “Arjuna” dan selanjutnya dibawa untuk segera turun. Tebu dalam versi orang Jawa merupakan singkatan dari antebing kalbu yang berarti kekuatan hati sebagai pejuang kehidupan.

Dari kegiatan ini menunjukkan pengharapan orang tua kepada anaknya, bahwa kelak di kemudian hari dia akan menjadi pejuang sejati seperti Arjuna. Si anak pun diharapkan dapat menghadapi kehidupan dengan kesatria seperti tokoh Arjuna yang penuh semangat.

  • Jalan Di Tumpukan Pasir.

Setelah anak dari tangga tebu kemudian dipandu oleh sesepuh untuk melangkah sebanyak dua langkah dan didudukkan di atas tumpukan pasir yang telah disiapkan. Biasanya si anak akan melakukan eker dengan kedua kakinya, atau bermain pasir. Dalam bahasa Jawa ini disebut dengan ceker-ceker yang berarti anak tersebut dapat bekerja untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

  • Masuk ke Kurungan Ayam.

Setelah anak beberapa saat dibiarkan ceker-ceker di pasir, tetua akan membimbing anak masuk ke kurungan ayam yang telah dihias. Di dalam kurungan ayam tersebut, di sudah tersedia beragam barang yang bermanfaat, seperti buku tulis, alat tulis, perhiasan, dll.

Anak akan masuk ke kurungan ayam tersebut dan dibiarkan untuk memilih barang yang menurutnya menarik. Barang-barang yang dipilih si anak dianggap melambangkan pekerjaan yang cocok untuk si anak di masa depan. Misalnya si anak memilih buku tulis, kemungkinan besar dia bekerja di bidang yang berkaitan dengan buku dan pendidikan. Adapun bila si anak memilih kain, mungkin dia akan bekerja di dunia pertekstilan atau fashion, dan seterusnya.

Acara ini merupakan simbol profesi atau pekerjaan yang akan menjadi pilihan si bayi di masa depan. Kurungan ayam menunjukkan bahwa pekerjaan yang telah dipilih dengan baik, akan menghasilkan pendapatan yang baik, dan harus dijaga dengan baik-baik pula.

  • Menyebarkan Udik-udik.

Pada saat anak dibiarkan berada di dalam kurungan ayam, pihak ayah dan kakek si anak menyebarkan uang, baik yang berupa uang kertas maupun uang receh yang biasa disebut dengan “udik-udik”. Uang ini boleh dan bebas diambil oleh para tamu undangan. Makna dari penyebaran udik-udik ini bahwa si anak setelah mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang memadai, dia harus bersikap dermawan. Mau membagikan sebagian kekayaannya kepada orang lain yang membutuhkan.

  • Memandikan Bayi dengan Bunga Sritaman.

Setelah anak masuk ke kurungan ayam dan sudah memilih barang tertentu, ia harus dikeluarkan dari kurungan dan dimandikan. Pada saat memandikan bayi ini, disediakan air dengan bunga sritaman. Bunga sritaman terdiri dari mawar, melati, magnolia, dan kenanga. Tujuan memandikan bayi dengan bunga sritaman ini untuk menunjukkan harapan bahwa si bayi kelak akan mengharumkan nama dirinya, keluarga, bangsa, dan negaranya dengan tindakan-tindakan yang baik.

  • Memakaikan Pakaian Baru.

Setelah semua ritual selesai, si bayi segera dipakaikan baju yang bagus dan indah. Baju ini harus yang indah dan baru. Hal ini menggambarkan bahwa si bayi siap menghadapi kehidupan yang baru dengan baik dan makmur.

Itulah selamatan pitonan atau tedhak siten di kalangan orang Jawa. Biaya selamatan tedhak siten ini cukup besar. Oleh karena itu tidak semua orang Jawa mengadakan acara ini. Mereka tetap mengadakan selamatan, tetapi dengan sederhana. Mereka mengadakan kenduri dan membagikan sego berkat kepada kerabat dan tetangga dekat.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Please follow and like us:

Gelang Emas

Cerkak atau cerita cekak atau cerita pendek dalam bahasa Jawa, Gelang Emas ini sudah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 18 Juni 2022 dengan link berikut ini. https://www.nongkrong.co/apresiasi/pr-4313697649/gelang-emas

Sesore njenggrung, Rosi mumet nggoleki gelange sing mara-mara ilang. Gelang emas sing biyasane dinggo neng tangan tengen, ora ana lan ora cetha neng endi ilange. Dheweke babar pisan ora kelingan. Ngerti-ngerti nalika sore arep adus njur niyat nyopot gelange, tibake gelange wis ora ana.

Rosi njur opyak. “Mboook…! Mbok Jilah….!” celuke Rosi.

Mbok Jilah sing wis setengah tuwa itu nyedhak. “Wonten napa, Mbak Rosi?”

“Rewangana aku, Mbok. Gelangku ilang embuh copot neng endi aku kok ora ngerti. Genah neng ngomah, wong sedina aku ora lunga iki mau,” tambahe Rosi.

Simbok Jilah katon kaget sawetara wektu, ning njur biyasa maneh. “Nggih, Mbak. Kula padosane. Sepuntene yen mboten kepanggih.”

“Ya, Mbok. Pokoke wis digoleki dhisik,” kandhane Rosi karo terus mider mlebu metu kamar nggoleki gelange sing ilang.

Mbok Jilah semono uga. Katon ibet nggoleki gelang emas cilik ning mbejaji kuwi. Rosi ya terus nggoleki gelange neng sajrone omah, sinambi ngeling-eling sedina iku mau neng endi bae. Ning dheweke isih eling mau esuk pas resik-resik taman ngarep isih nganggo gelang. Cetha yen gelange mesthi copot neng kiwa tengene omah, ora mungkin ilang neng nggon adoh.

Nganti kesel ngubengi ngomah, gelang emas sing digoleki Rosi panggah ora ketemu. Rosi njur thenger-thenger. Gelang emas iku dudu sembarangan gelang emas. Gelang kuwi olehe tuku seka nglumpukne dhuit sethithik mbaka sethithik. Nyicil tuku gelang emas neng Toko Emas Bumi nganti genep lan gelange isa digawa bali. Sajeke kuwi, gelang emas kuwi tansah melu neng ngendi bae Rosi. Paling-paling mung dicopot yen arep adus.

Gelang emas kuwi bunder gilig dadi bobote lumayan, watara limalasan gram. Dhuite rada akeh. Gelang kuwi ya wes bola-bali nylametne Rosi yen ana keperluan dadakan rada gedhe. Disekolahne neng pegadaian utawa digadhekne. Njur dheweke isa nyicili sithik mbaka sethithik nganti lunas lan digawe maneh. Ngono terus wis watara rongpuluhan tahun. Dadi gelang kuwi cetha barang wigati banget kanggone Rosi.

Merga nganti meh surup durung ketemu, Rosi akhire mupus. Sesuk maneh arep digoleki. Sapa ngerti isa ketemu. Masiya neng ati ya rada tida-tida, kok isa dheweke ora ngerti gelange copot. Mestine yen gelang kuwi ceblok neng jubin, dheweke ya krasa utawa krungu. Ning Rosi mung gedheg-gedheg, mbokmenawa krana dheweke nyrempeng gaweyan nganti ora krasa yen gelange copot. Mbuh saiki neng endi, Rosi ora ngerti.

“Wis Mbok, nggolekine sesuk maneh bae. Yen isih rejekiku mesthi ketemu, dene yen ora ya kepiye maneh,” kandhane Rosi pasrah. Terang dheweke ra isa nyalahne sapa-sapa. Sing salah ya jelas dheweke dhewe. Mbokmenawa kuncine gelang rada lobok njur ora dibenakne, akhire copot lan ora ngerti.

Merga kekeselan, bubar Isyakan Rosi wis turu angler. Wis ora mikir maneh perkara gelange sing ilang. Gela kuciwa lha ya cetha, lha ning kepriye maneh wong digoleki ora ketemu. Sesuke Rosi isih mbudidaya nggoleki gelange neng saentero omah. Dheweke yo wis njaluk Mbok Jilah rewangi nggoleki, ning ya ora ketemu.

Rosi wes pasrah tenan. Tinimbangane mangkel tansah kelingan gelang sing ilang, akhire Rosi tuku gelang maneh. Bobote padha persis karo gelange sing ilang. Ning modhele ora padha. Saiki tukune langsung bayar lunas, ora ndadak nyicil kaya biyen. Lha wong saiki Rosi wis nyambut gawe mapan dadi pegawai bank pemerintah.

Wedi yen gelange ilang maneh, Rosi mung nyimpen bae gelang sing mentas dituku kuwi. Sing penting yen ana butuh dadakan, dheweke isa nggadhekne gelang kuwi. Masiya rasane wis tetaunan Rosi ora tau maneh nggadhekne gelang utawa priyasan liyane. Malah saiki sregep nabung emas nggo jaga-jaga yen ana kebutuhan ndadak. Yen nabung dhuit, biyasane kecuwil-cuwil terus njur ora nglumpuk.

Perkara gelange ilang kuwi, ya mung Rosi dhewe sing ngerti lan Mbok Jilah. Rosi ya wis ora mikir maneh. Mbokmenawa pancen jatah rezekine gelang kuwi melu dheweke mung nganti semono. Gelang kuwi wis akeh jasane kanggo Rosi. Dadi masiya ilang, Rosi ya wis ora gela maneh. Coba yen ora ana gelang kuwi, dheweke ra ngerti kepriye ngurusi ragat sekolahe sing nambah-nambah luwih saka beasiswane zaman semana.

Esuk kuwi Mbok Jilah gawe sarapan sega goreng kaya biyasane. Ning porsine luwih akeh. “Dingaren nggawe sega goreng akeh, Mbok? Mengko diterke tangga kiwa tengen bae. Kurang enak dinggo mangan awan,” kandhane Rosi.

“Anuu… Mbak Rosi, niki mengke sekedhap malih yoga kula kalih semahe ngriki. Kersane mengke dipangan.”

“Oh, lha kok ndengaren. Ana perlu karo Simbok apa mung kangen?” takone Rosi.

Anak lanange Mbok Jilah pancen kala-kala sesasi utawa rong sasi pisan tilik simboke. Sok-sok yen Rosi ora sepira repot, dheweke sing ngeterne Mbok Jilah mulih nyang Magelang njur baline nyang Yogya diterke anake sepeda montoran. Biyasane Mbok Jilah mulih tilik anak putune sesasi pisan. Mung rong dina. Rosi ya ora kabotan.

Masiya simboke mung rewang, ning anake Mbok Jilah dadi wong kabeh. Anake lanang loro dadi pegawai negeri. Sakjane anak-anake yo wis ngongkon simboke leren mburuh rewang neng nggone Rosi. Ning simboke ngomong yen ora nyambut gawe malah nglangut lan awake lara kabeh.

Tur maneh ngrewangi nggone Rosi ora sepira abot gaweyane. Mung resik-resik omah, umbah-umbah nyetrika, lan nggawekne sarapan esuk sadurunge Rosi ngantor. Mung yen Rosi neng omah, masake ping telu sing entheng-entheng. Gawe sega goreng, gawe sop ayam, lan liyane sing cepet rampunge. Saliyane kuwi, Mbok Jilah isa thenguk-thenguk leyehan sinambi nonton teve.

Ora watara suwe, anake Mbok Jilah sing mbarep karo bojone teka neng omahe Rosi. Merga durung wiwit sarapan, Rosi ngajak kalorone sarapan pisan. Semono uga Mbok Jilah. Rosi ora tau mbedakne rewang lan majikan. Yen sarapan dheweke ya sameja karo Mbok Jilah.

Mung kala-kala Mbok Jilah ora gelem, isih alesan ngurusi iki kuwi. Ning Rosi ngerti, kuwi mergane Mbok Jilah sungkan. Dheweke yo ora tau meksa. Wis ben sakepenake Mbok Jilah. Idep-idep gantine wong tuwa neng ngomah.

Bubar sarapan, mergane dina Minggu, Rosi njur manggakne anak lan mantune Mbok Jilah. Lungguh neng kursi tamu. Mbok Jilah nggawakne wedang jeruk sereh sing anget-anget.

“Mbak Rosi, niki ngapunten sakderengipun. Kula kalih semah kula, ugi simbok kula pun kesalahan kalih panjenengan,” kandhane anake Mbok Jilah sing jenenge Bagus mbukani rembug. Rosi nyawang anake Mbok Jilah, bojone, lan Mbok Jilah genti genten. Katone sajak abot arep rembugan.

“Lha salah apa, Mas, Mbak? Ana apa iki, Mbok Jilah? Kok aku ora mudheng,” kandhane Rosi.

Mantune Mbok Jilah njur ngetokne bungkusan cilik saka tase, diseleh neng ngarepe Rosi. “Niki lho Mbak Rosi. Menika gelang emas panjenengan….,” kandhane mantune Mbok Jilah sing aran Nurma karo nyelehne bungkusan neng ngarepe Rosi.

Rosi kaget lan njur mbukak bungkusan. Isine beneran gelang emas. Gelange sing ilang watara setahunan kepungkur. Lha kok isa neng nggone mantune Mbok Jilah ki larah-larahe kepriye, kuwi sing Rosi ora mudheng.

“Nggih Mbak Rosi, ngapunten saderenge. Ampun ndadosne panjenengan kuciwa penggalih. Dados setahun kepengker, kula kalih semah kula kenging musibah. Kula dituduh nggelapne dhuit kantor watawis kalih dasa yuta. Padahal saestu, kula mboten ndamel lan mboten ngertos,” ceritane Bagus.

“Kantor geger lan duka dospundi pokokne selamine proses pemeriksaan, kula ken nggentosi riyin arta kalih dasa wau, yen mboten kula dikunjara. Kula wis etung wonten arta tigang yuta, nyilih adik kula angsal tigang yuta. Dados taksih kirang patbelas yuta. Lha rekane kula mung ajeng nembung simbok badhe nyuwung ngampil panjenengan. Ning simbok mboten kersa. Kula pun ajenge sowan langsung ngriki, kalih simbok nggih mboten diangsali. Nggih sampun.”

“Lha kok sesuk enjinge simbok criyos nemu gelang emas neng lurung ngajengan ndalem njenengan. Kula njur muni taksilihe masiya embuh niku duweke sinten. Simbok nggih ngolehi, wong mboten ngertos niku gelange sinten. Milane kula ndadak ngriki riyen nggo mendhet gelange niku. Saking ngriki, gelange langsung kula gadhekne nggo nggenepi dhuit kurangane. Pun niku kula bayarne kantor, kasuse lajeng diproses.”

“Alhamdulillah, kula mboten klentu. Dhuite rong puluh yuta pun dibalekne njur langsung kula damel mbalekne utange neng adik kula lan nebus gelang. Lha niki kula aturne kondur. Soale riyin nika dinten bentene simbok nggih kandha kula, yen gelang sing ditemu niku tibakne gelange panjenengan sing ilang. Wah, kula ewa sekel nika, Mbak Rosi. Arep matur bingung yen kon mbalekne, ora matur kok salah lan dudu barange.”

“Inggih, Mbak Rosi,” sambunge Nurma. “Akhire kula iguh teng bapakne lare-lare, menawi pun ditebus mawon matur blaka suta sakwontene teng penjenengan. Ngapunten, menika saestu ingkang kula aturne kalih semah kula.”

Rosi manggut-manggut. “Oalah… dadi gelangku ki pancen ilang copot yo, Mbok. Ning aku ora ngerti. Ya wes, ora apa-apa. Alhamdulillah kabeh wis tlesih. Mbok sarehne simbok sing nemokne, sasi iki gajimu takdobel loro.”

“Maturnuwun, Mbak Rosi,” kandhane Mbok Jilah karo ngepuk-ngepuk pundhake Rosi.  “Sajane kula ajrih pas ngertos njenengan opyak kelangan gelang. Lha dospundi, saderenge mboten ngertos trus pun dibeta anak kula digadhekne. Mengke yen dijaluk rak mboten wonten arta nggo nebus.”

“Ora apa-apa, Mbok. Sesuk maneh kandha bae apa anane. Dadi aku ora bingung,” kandhane Rosi. “Kanggo Mas Bagus Mbak Nurma, wis maturnuwun sanget kersa mbalekne. Taktampa lan ora perlu rumangsa salah. Pancen mbokmenawa lakone gelang kuwi pancen ngono. Nggo tetulung lan ngrampungne urusane sampeyan sakloron. Wis mangga diunjuk, ora apa-apa.”

“Nggih Mbak Rosi, maturnuwun sanget,” kandhane Bagus lan Nurani bebarengan.

Rosi njur langsung nganggo maneh gelang kuwi. Handphone Rosi muni. Bagus lan bojone milih pamitan sadurunge Rosi ngangkat telepon. Mbok Jilah reresik kamar tamu.

Rosi nampa telepon karo mesem nyawang gelange sing wes manggon neng tangan tengene maneh. Batine maturnuwun karo Gusti Allah lan muni yen rezeki pancen tetep balik utuh. ****

Please follow and like us:

Telonan: Selamatan Bayi 3 Bulan (105 Hari)

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 18 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313690642/telonan-selamatan-bayi-3-bulan-105-hari

Telonan adalah selamatan bayi yang berumur 3 bulan (Jawa) atau 105 hari. Setiap bulan Jawa itu dihitung dengan lapan atau 35 hari. Jadi kalau disebut 3 bulan di sini, yang dimaksud adalah 3 bulan versi orang Jawa atau 3 kali lapan yang berarti 105 hari. Seperti acara selamatan bayi brokohan, sepasaran, selapanan, selamatan telonan ini pada prinsipnya merupakan acara syukuran dan permohonan doa kepada Tuhan YME demi keselamatan dan kebahagiaan si bayi, lahir batin dunia akhirat.

Pada saat acara telonan ini, semua uborampe atau perlengkapan selamatan dapat dikatakan sama persis dengan acara selapanan. Sebagian orang Jawa hanya menambahkan porsi atau jumlah nasi berkat yang dibuat untuk dibagi-bagikan. Pada acara ini uborampe yang harus disiapkan ada sembilan macam, yaitu (1) tumpeng, (2) sayur 7 macam, (3) telur ayam rebus 7 butir, (4) cabai, bawang merah, dan bawang putih, (5) nasi gudangan, (6) kalo ‘saringan santan dari bambu’, (7) buah-buahan sebanyak 7 macam, (8) bubur merah putih 7 porsi, dan (9) kembang setaman  (mawar merah, mawar putih, kembang kanthil, melati, dan kenanga). Setiap uborampe tersebut menjadi simbol sesuatu dan memiliki makna filosofis yang berbeda-beda.

Karena uborampe atau perlengkapan selamatan telonan sama persis dengan selapanan, silakan membaca tulisan saya sebelumnya tentang selamatan Selapanan: Selamatan Bayi 35 Hari. Hal penting yang membedakan antara acara selapanan dan telonan adalah bagian doanya. Kalau pada acara selapanan, doa yang dibaca masih doa secara umum untuk permohonan keselamatan dan kebagiaan, pada acara telonan, doa yang dibaca lebih khusus.

Pada acara selamatan telonan, kegiatan doa yang dibaca oleh sesepuh atau pemimpin selamatan lebih banyak. Doa tersebut sekurangnya meliputi empat hal penting, yaitu (1) doa mohon keberkahan untuk si bayi atau anak, (2) doa mohon perlindungan dari godaan setan, (3) doa agar bayi menjadi anak yang sholeh atau sholeha, dan (4) doa anak sholeh.

Doa-doa tersebut menjadi sangat penting dalam acara telonan. Karena si bayi sudah yang sudah berumur 3 bulan versi orang Jawa dianggap sudah lebih sehat, lebih kuat, dan siap untuk mengarungi kehidupan yang lebih panjang di dunia. Demi mempersiapkan si bayi menghadapi kehidupan tersebut, orang tua dan para sesepuh mengadakan selamatan telonan dengan doa yang lebih banyak untuk si bayi.

Berikut ini uraian doa dan maknanya demi mendapatkan keselamatan dan kebagiaan lahir batin bagi si bayi.

  • Doa Mohon Keberkahan untuk si Bayi

Sesuai namanya doa ini merupakan doa yang meminta banyak keberkahan atau kebaikan yang berlimpah bagi si bayi sepanjang hidupnya. Doanya adalah sebagai berikut.

Dalam hadist dikisahkan bahwa Abu Musa RA mengatakan, “Ketika anakku lahir, aku membawanya ke hadapan Nabi SAW (Muhammad SAW). Beliau memberi nama bayiku Ibrahim, dan mentahnik dengan kurma, lalu mendoakannya dengan keberkahan. Kemudian beliau kembalikan kepadaku.” (HR Bukhari 5467 dan Muslim 2145).

Berkaitan dengan doa keberkahan untuk si bayi, tidak ada doa yang khusus atau tertentu. Namun di kalangan orang Jawa, banyak di antara mereka yang membacakan doa ini.

Allahumma ak-tsir maalii wa waladii, wa baarik lii fiimaa a’thoitanii wa athil hayaatii ‘ala tho’atik wa ahsin ‘amalii wagh-fir lii.

Artinya:

“Ya Allah perbanyaklah harta dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan pada-Mu dan baguskanlah amalku serta ampunilah dosa-dosaku.

Doa Meminta Perlindungan dari Godaan Setan

Setipe dengan doa meminta keberkahan, sering kali orang Jawa menggunakan doa dengan bahasa Jawa. Doa ini dianggap lebih sesuai dan dapat meresap di hati masing-masing karena semua orang memahami maksud dan tujuan doa tersebut. Namun ada juga sebagian yang menggunakan doa berbahasa Arab yang diambil dari Surat Al Baqarah ayat 255 atau yang terkenal dengan sebutan ayat kursi berikut ini.

Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa naum. Lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ardli man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa biidznih, ya’lamu maa baina aidiihim wamaa kholfahum wa laa yuhiithuuna bisyai’im min ‘ilmihii illaa bimaa syaa’ wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardlo walaa ya’uuduhuu hifdhuhumaa wahuwal ‘aliyyul ‘adhiim”.

Artinya:

“Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain  Dia yang hidup kekal, lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”

Doa agar Bayi Menjadi Anak Sholeh dan Sholeha

Setiap orang tua pasti berharap anak-anaknya akan menjadi anak yang sholeh atau  sholeha. Anak-anak yang menjadi idaman dan harapan hidup setiap orang tua. Anak sering dianggap sebagai titipan dan investasi yang paling berharga dalam kehidupan manusia, lahir batin dunia dan akhirat.

Demi mempersiapkan hal itulah, orang tua biasanya mendoakan setiap anak-anaknya dengan sebaik-baik doa. Pada acara telonan, selain doa agar anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan sholeha, para sesepuh dan undangan kenduri biasanya juga melakukan hal berikut ini. Pertama, membacakan Al Fatihah untuk Nabi Muhammad SAW. Kedua, membacakan Al Fatihak untuk para aulia dan ulama. Ketiga, membacakan Al Fatihah untuk seluruh nabi, aulia, ulama, syuhada, sholihin, dan seluruh umat islam. Keempat, membacakan Al Fatihah untuk seluruh leluhur keluarga. Kelima, membacakan Al Fatihah secara khusus untuk orang tertentu.

Berikut ini bacaan Surat Al Fatihah dan artinya:

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang

Alhamdu lillaahi Rabbil ‘aalamiin

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,

Ar-Rahmaanir-Rahiim

Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,

Maaliki Yawmid-Diin

Pemilik hari pembalasan.

Iyyaaka na’budu wa lyyaaka nasta’iin

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.

Ihdinas-Siraatal-Mustaqiim

Tunjukilah kami jalan yang lurus

Siraatal-laziina an’amta ‘alaihim ghayril-maghduubi ‘alaihim wa lad-daaalliin

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Baru setelah kegiatan membacakan Al Fatihah untuk banyak orang ini selesai, akan dibacakan doa untuk si bayi.

Allahummaj ‘al awladana awladan sholihiin haafizhiina lil qur’ani wa sunnati fuqoha fid diin mubarokan hayatuhum fid dun-ya wal akhirah

 Artinya:

“Ya Allah, jadikanlah anak-anak kami anak yang saleh salehah, orang-orang yang hafal Alquran dan sunah, orang-orang yang paham dalam agama dibarokahi kehidupan mereka didunia dan di akhirat.”

 Doa Anak Sholeh

Doa anak sholeh ini sebenarnya lebih pada pengkhususan dari doa sebelumnya. Sebagian besar orang Jawa menggunakan doa dengan bahasa Jawa. Ada juga sebagian yang menggunakan bahasa Arab berikut ini.

Allahummaj’alhu sholiihan kaamilan, wa aqilan haadziqon wa aaliman amilan.

Artinya:

Ya Allah, jadikanlah ia anak yang sehat dan sempurna, berakal cerdas, berilmu, dan beramal.

Itulah doa-doa khusus yang dibacakan pada saat selamatan telonan. Kegiatan pembacaan doa dilakukan setelah sesepuh melakukan pemberkatan atau memberikan doa pada semua uborampe perlengkapan selamatan yang telah dipersiapkan. Selanjutnya akan membaca semua doa tersebut.

Setelah doa bersama yang agak panjang, bila dibandingkan pada acara selamatan brokohan, sepasaran, maupun selapanan; akan dilanjutkan dengan kenduri atau makan bersama. Kemudian ditutup dengan doa selamat dan keberkahan untuk semua pihak. Seterusnya semua tamu kembali ke rumah masing-masing dengan membawa nasi berkat yang telah dipersiapkan.

Seperti itulah selamatan telonan bayi di lingkungan orang Jawa yang masih umum dilakukan. Berbagai komponen uborampe selamatan bisa jadi tidak sama persis dengan kebiasaan di Tulungagung. Namun semuanya memiliki tujuan dan kebaikan sesuai dengan pemahaman masing-masing penyelenggaranya.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Please follow and like us: