Goes to Banyuwangi (2) Preman-preman Putih Berekor Panjang

Pohon Raisa, pohon yang digunakan Raisa berfoto. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Driver bus di trip Banyuwangi ini pasti sudah mumpuni. Di beberapa areal yang jalanannya buruk, bus tetap jalan dengan stabil. Apalagi saat di tol, lempeng patas tenan. Saat di bus saya masih bisa membaca, mengaji, menulis artikel tanpa gangguan. Seolah-olah nggak di atas bus yang sedang melaju.

Kami makan malam pertama di rest area exit tol Sragen. Makan yang disediakan nasi box, sangat layak. Cuman karena wes malem, jadi lebih banyak yang memesan makan panas berkuah. Nasi box dari biro nggak kesentuh. Saya juga mencomot telur kerupuknya bae.

Mungkin Afrindo perlu memikirkan ini, makan malam pertama ini diskip saja atau diganti. Misalnya diberi saja Popmie dan segelas teh panas atau diganti untuk makan di waktu yang lain. Kalau makan malamnya dianggap kurang, yo ben tuku dhewe-dhewe. Kan di rest area 😀

Memanjat pohon Raisa. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Usai makan malam pas bus wes jalan lagi, saya beneran tidur. Nyenyak. Selain karena capek seharian kerja, sejuk AC ya membantu. Orang-orang tidur jaketan selimutan, saya netral saja nggak pake selimut. Sudah biasa dingin, 16-18 derajat C itu suhu sehari-hari yang saya gunakan di ruangan.

Jam 04 an pagi kami wes sampai rest area Rumah Makan Cak Put. Lhoh cepet banget. Mbak Dinna sempat nanyain saya, berasa enggak pas bus kayak oleng saking cepatnya. Saya bengong, nggak tahu. Lah saya tidur pules 😁🙈🙏

Berasa piknik keluarga itu ya jamnya luang tenan. Jam 04.00 sd 07.30 itu acara bebas. Mandi, sholat, makan pagi. Saya bebersih diri dengan tenang. Sholat, ngaji pun tetap bisa khusyuk tanpa gangguan. Sarapannya kali ini prasmanan, alhamdulillah enak. Menunya juga memadai dan melimpah.

Sisi lain Taman Nasional Baluran. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Jam 08.30-an pagi kami naik shuttle bus ke Baluran dan Pantai Bama. Di Baluran, kami ke padang savana dulu. Di sana yang kondang pohon Raisa. What did Raisa do? Biasanya suatu pohon dinamakan dengan nama orang begitu karena dia yang menanam.

Oalah, ternyata Raisa mung foto di situ dan pohonnya njur jadi kondang dengan sebutan pohon Raisa. Jadi penyanyi atau publik figur lainnya memang ada untungnya 😁😂 Wah, kalau saya jadi presiden, njur bilang dagadu dengan versi kasar meskipun lirih bae, pasti juga akan viral ke mana-mana, selama berhari-hari dan berasa nggak rampung rampung tenan 😂

Hampir seluruh kawasan savana Taman Nasional Baluran ini isinya padang rumput dan perdu. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya sudah tergerak manjat pohon aja, tapi lihat pohon-pohonnya dulu. Cek-cek, ternyata dahannya licin. Maklum, masih sering hujan. Jadi saya naik dahan di batas aman aja. Mbak Riefna wes khawatir liat saya manjat pohon. Saya siy biasa aja. Kalau nggak licin, pasti bisa manjat sampai ke ujung yang tinggi. Kalimantan dan Papua, surganya pohon-pohon tinggi besar yang lempeng buat dipanjat 😁

Sejauh mata memandang, adanya padang rumput menghijau. Saya menatap ke sana-sini ki mencari-cari kerbau, banteng, rusa, domba gunung, dll kawanan binatang. Mestinya ada merak dan ayam-ayam hutan juga. Tapi saat itu, nyaris nggak ada yang berkeliaran. Panas. Bersembunyi mungkin.

Tulang belulang kepala banteng yang berhasil dikumpulkan dan dipajang. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Ketika di areal savana berikutnya, ada tulang belulang kepala banteng yang sudah dipajang berjejer. Di sini dari kejauhan saya melihat sekelompok banteng dan kerbau. Kedua binatang ini kelihatan setipe, tapi jelas nggak sama. Mungkin jumlah mereka sekarang lebih sedikit dibandingkan dekade sebelumnya. Jadi agak sulit menemukan kawanan mereka kalau kita hanya melihat dari pinggir jalan.

Kalau di kawasan ini, sampeyan kudu hati-hati dengan barang bawaan. Tas, kamera, HP, topi, air mineral, jajanan, kacamata, dll. Karena di sini banyak preman putih berekor panjang yang cukup ganas. Kelakuan monyet-monyet di Baluran ini nyaris setipe dengan monyet-monyet di Sangeh, Bali. Sedikit aja kita lengah, mereka mengambil atau merebut apa saja barang bawaan kita.

Sebenarnya kami sudah diingatkan oleh TL, Mas Adit, kalau monyet-monyet di sini sangat beringas dengan barang-barang bawaan pengunjung. Terutama makanan dan air dalam botol. Mereka bisa sangat “brutal” merampas makanan dan minuman itu.

Si preman putih berekor panjang yang hampir merampas harta karun saya. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Ya tujuannya biar mereka nggak perlu cari makanan dan minuman. Karena monyet-monyet itu kan hidup di alam liar. Mereka ya harus cari makan minum sendiri. Nggak ada yang ngasih makan, nggak dipiara orang. Kalau mereka sudah dapat rampasan makanan dan minuman dari pengunjung, mereka kan nggak perlu “mencari” makan minum lagi.

Haish, saya pun nyaris kena ulah si preman ini. Lha tas kan saya geletakin begitu saja saat mau foto. Tiba-tiba seekor monyet datang dan menyambar tas saya. Untung semua orang yang ada di situ teriakan dan saya langsung sadar. Saya menarik tas sekuatnya dari tangan si monyet. Nggak dilepasin dan dia malah nunjukin taringnya yang bikin seram. Saya yo nggak mau ngalah. Harta karun saya ada di situ semua.

Baru ketika rerame orang-orang di rombongan kami mengusirnya, si monyet ekor panjang ini melarikan diri. Ampun… nyaris aja harta karun saya dibawanya. Nggak kebayang kalau tas saya sampai dibawanya. Ada HP, dompet seisinya, air minum, snack kering, baju ganti dll yang penting. Wes pokokmen hati-hati dan jangan sembarangan menaruh barang penting kalau berada di areal ini 😁🙈

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (1) Ikut Afrindo, Open Trip Serasa Piknik Keluarga

Bus yang kami gunakan untuk trip ke Banyuwangi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya nggak kenal Afrindo sebelumnya. Trip ke Banyuwangi ini, pertama kali saya ikut dengan Afrindo. Saya melihat flyer ke Ijen di IG itu masih awal Januari untuk bulan yang sama. Nggak mungkin saya ikut ke Ijen, karena mau trip ke Bromo.

Saya DM apakah ada jadwal di bulan Februari. Ternyata ada. Saya cepat daftar dan bayar DP itu karena Mas Andre yang merespon, ditanyai apa saja seputar trip ini jawabnya cepat, taktis, praktis, dan solutif.

Saya banyak bertanya ke Mas Andre, karena ya belum kenal Afrindo. Memastikan bahwa informasi yang saya peroleh itu benar. Terlebih kawasan Ijen ini sebenarnya bukan medan untuk piknik gegayaan 😂😁

Jalur yang dilalui cukup berat, curam, berbatu-batu tajam, sempit, nggak banyak pagar pengaman atau penjagaan, angin dingin, asap tebal belerang, kabut, gelap, licin saat hujan, dll. Orang sehat pun belum tentu bisa melaluinya. Apalagi kalau nggak sehat. Itu sebabnya ke sini wajib menyertakan surat sehat dari dokter atau RS yang baik.

Rombongan kami di Savana Bekol, Baluran. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Semasa belia saat saya SMP-SMA, nyaris seluruh gunung di Jawa sudah pernah saya samperin dengan teman-teman pecinta alam. Toh itu sudah hampir 30-35 tahunan yang lalu. Ingatan saya tentang Ijen pun sudah banyak yang bluur. Lupa.

Apalagi dulu nggak setiap orang punya kamera. Nggak setiap peristiwa ada fotonya. Nggak semudah sekarang urusan foto dan dokumentasi. HP pun multifungsi bisa untuk rekam dan motret. Tapi saya jelas tahu, medan-medan pendakian gunung-gunung di Jawa banyak yang nggak ringan dan berisiko tinggi.

Selain menanyakan charge di luar harga yang tercantum, hal-hal yang harus dibayar sendiri (makan di luar program, oleh-oleh, keperluan pribadi, dll), saya juga mencari tahu detail tentang persewaan alat-alat mendaki, tarif tandu, dll.

Kenapa ini saya tanyakan rinci, itu untuk menyiapkan jumlah uang tunai yang harus dibawa. Di berbagai tempat wisata domestik kita, masih banyak transaksi yang harus menggunakan uang cash. Mo e-walletmu penuh, saldomu gendut, banyak yang nggak bisa buat transaksi di tempat wisata. Lha sinyal HP bae sering ilang kok mikirin wifi untuk sarana transaksi pakai e-wallet😁

Kami di De Djawatan. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya menghitung uang tunai yang harus dipersiapkan. Saya pribadi selalu menyiapkan untuk operasional penggunaan tandu, kuda, ojek, dll sampai puncak gunung untuk berjaga-jaga. Kadang saat berangkat dengan fisik sehat, di tengah jalan tumbang. Kalau nggak siap dana, kita hanya bisa berhenti di tengah jalan. Sayang sekali.

Seperti pas kemarin ke Bromo, saya juga nyiapin dana untuk sewa kuda, ojek, pemandu lokal untuk PP ke puncak Bromo. Ternyata dana itu nggak terpakai karena saya sanggup jalan mendaki bersama teman-teman lain, itu alhamdulillah. Uangnya bisa digunakan untuk trip berikutnya.

Ke Ijen pun saya menyiapkan amunisi penuh. Saya terbiasa jalan dan piknik, tapi umur sungguh nggak bisa dilawan. Saya nggak percaya umur hanyalah angka. Sekarang saya sudah hampir 50 tahun. Penampilan fisik boleh saja “mirip sebaya” dengan mereka yang 20 tahunan; tapi jelas kekuatan saya nggak sama lagi dengan 30 tahun yang lalu. Jadi saya cukup tahu diri. Kalau sanggup jalan, ya jalan. Kalau nggak, cari bantuan untuk sampai tujuan.

Saya masih banyak nanya lagi tentang situasi Ijen. Termasuk dinginnya udara. Kata Mas Andre Ijen sangat dingin, lebih dingin daripada Bromo dan harus bawa baju hangat yang tebal. Jaket saya yang biasanya hanya keluar untuk ke negeri-negeri yang superdingin, kini saya keluarkan. Walah ternyata di Ijen nggak sedingin yang saya pikirkan. Weish…. Itu jaketnya beneran bikin backpack saya menggendut😂 Kalau lain-lainnya ya standar persiapan pribadi untuk piknik.

Di atas perahu, di lautan Pantai Bama. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya sangat berkesan dengan cara manajemen waktunya tim Afrindo ini. Open trip tapi berasa piknik keluarga. Jam 16.30 an saya wes di MP, 30 menit awal dari yang dijadwalkan. Karena rombongan besar 40 an orang, saya pikir akan telat lama. Eeh, jam 17.08 mereka sudah sampai di tempat saya. Waah, tepat waktu ini cuma selisih 8 menit di tengah padatnya lalu lintas Jogja.

Masuk bus, alhamdulillah. Ruang kursi lega, jarak kaki standar, AC dingin, ada bantal, selimut, charger USB tersedia, korden jendela wangi, wah. Pak kernetnya juga cepet praktis banget bantuin taruh bagasi. Saya langsung senang, karena pasti bisa tidur nyenyak 😊👍

Saya sebut serasa piknik keluarga, karena sepanjang perjalanan ada yang perlu makanan/minuman, ke toilet, ini bus bisa berhenti sewaktu-waktu; memberi kesempatan. Sekitar 30 an menit. Jadi nggak perlu nahan lapar, haus, atau pun ke toilet. Meskipun nggak tercantum di itenerary waktu sholat, alhamdulillah pas waktunya sholat dhuhur dan sholat ashar, bus juga berhenti di masjid. Sekira 40-50 menitan. Bisa sholat, makan, jajan, jalan ngelurusin kaki, ke toilet, dll. Tanpa mengganggu jadwal kepulangan. Karena saya turun Jogja jam 23.30 an. Sesuai jadwal banget.

Saya, Mbak Riefna, dan adiknya di Baluran. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Alhamdulillah teman-teman seperjalanan menyenangkan. Nggak saling kenal, tapi saling peduli dan ringan membantu. Bahkan, ada beberapa orang yang mungkin melihat saya kok thenguk-thenguk saja dan memotret banyak tanpa foto diri, mereka menawarkan diri untuk memotretkan.

Haha… ya di beberapa tempat, kadang saya cuma bisa berseru, Subhanallah…! Takjub dengan keindahan alam. Dan nggak terlalu ambil pusing dengan foto diri… yaha, saya bukan jenis narsistik yang apa-apa kudu mejeng dan diposting berbanyak di sosmed. Sudah ada dokumentasi dari biro, saya pikir cukuplah. Tetep saya berterima kasih atas kepedulian mereka. Karena dokumentasi diri itu juga penting 🙏

Saya secara pribadi menyampaikan terimakasih kepada Afrindo dan seluruh kru yang bertugas; Mas Adit, Mas Alvin, dkk satu timnya. Juga terima kasih untuk Mb Riefna dan adiknya, Mb Dinna dan kawannya, Mb Lita dan saudaranya, Mas Praba dan partner, Pak Wanto dan keluarga, dua Ibu Sepuh (saya lupa nggak tanya namanya), dan seluruh kawan yang memeriahkan acara trip ini. Maturnuwun atas segala bantuan, sampai jumpa di lain kesempatan 😀🙏

Jadi untuk Teman-teman dan sahabat-sahabat saya yang membaca tulisan ini, kalau mo ke Ijen dan sekitaran Banyuwangi, saya sangat merekomendasikan pake Afrindo nggih. Biaya ringan terjangkau, fasilitas dan layanan istimewa. ❤️

Catatan dolan saya ke Banyuwangi, akan saya tulis detail bersambung; setiap keseruan dan tantangannya. Biar bisa jadi ingatan di masa yang akan datang. Teman teman nanti bisa mengikuti di arikinoysan.com

Salam,
Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Ilmu Parenting, Buku Istimewa

Buku parenting versi Dad dan versi Mom. Pesan buku wa.me/6281380001149.

Sekira bulan Juli 2024, saya dihubungi Mbak Ana apakah bisa menggarap buku parenting. Lalu saya tanya narsum nya siapa. Mbak Verlita dan Mas Ivan. Dengan menjelaskan sedikit latar belakang. Nggak banyak tanya, saya bilang oke.

Mulailah kami bekerja. Saya menyusun kerangka acuan buku secara keseluruhan dan rinci per bab. Kemudian membahas detail dengan Mbak Ana sampai oke. Baru deh kami kirim ke Mbak Verlita dan Mas Ivan. Oke ada beberapa perbaikan dan mulailah agenda berikutnya.

Wawancara via zoom yang lebih sering malam-malam karena kesibukan narsum. Saya siy karena biasa kerja di Jakarta ya biasa aja. Untunglah Mbak Ana dan Tim Andi pun bisa menyesuaikan jam malam, yang jelas di luar jam kerja umum Jogja, 8-16 tiap hari. Dan cenderungnya no lembur lembur😂

Wawancara adalah proses yang lama. Selain karena kesibukan narsum, jadwal saya pun sering bentrok. Bikin urusan wawancara yang mestinya kelar sebulan, jadi molor panjang sampai di bulan November.

Untunglah saya ki terbiasa kerja sedikit demi sedikit. Jadi dari setiap wawancara yang sudah ada, saya minta bantuan asisten untuk mentransripsikan dan menandai point point penting. Dari sana saya mulai mengolah, menata, mengatur, memparafrasekan semua hasil wawancara sesuai standar penulisan buku.

Hal yang agak berat bagi saya mencari rujukan yang sesuai dengan materi yang sedang dibicarakan. Tapi ya sedikit demi sedikit ketemu juga. Proses yang harus dinikmati.

Parenting versi Dad karya Ivan Saba. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Oke, Bab 1 pun meluncur ke tangan Mbak Ana. Dan salah 😄 Maksudnya saya menulis dengan versi buku biografi, tapi yang diminta itu versi buku referensi, buku ilmu dan pengetahuan. Saya langsung sadar dan bilang akan menulis ulang Bab 1.

Setelah beres saya kirimkan lagi dan begitu dibilang oke, saya teruskan menggarap bab bab berikutnya sambil menunggu jadwal wawancara materi. Sekitar bulan November wes rampungan. Desember koreksi-koreksi dari narsum.

Saya meminta Mbak Verlita dan Mas Ivan untuk mencatat saja apa yang tidak cocok dan mau diganti seperti apa. Mas Ivan cukup cepat merespon. Menandai dan mencatat koreksi dan perbaikannya apa. Mbak Verlita, embuh belum dikirim-kirim 😁 Saya tagih ke Mbak Ana, belum juga katanya. Lho piye to.

Pas wes jelang liburan Nataru itu Mbak Verlita bilang mau ketemu biar koreksian langsung beres. Penerbit Andi dan tentu mayoritas perusahaan ya sedang libur panjang. Saya di Jogja, bisa jumpa Mbak Verlita dan Mas Ivan. Tapi saya emoh kalau nggak ada Tim Penerbit, kalau eyel-eyelan nggak ada penengahnya. Mas Yezky sang owner meyakinkan saya gak apa-apa karena revisi minor.

Saya bersikukuh tetap harus ada orang penerbit, karena revisi minor bagi orang non penulis, itu bisa jadi bukan revisi minor bagi penulis. Misalnya dalam cerita dari awal ditulis neneknya masih hidup; ternyata neneknya itu sudah mati.

Bagi orang non penulis, ya gampang aja kan tinggal mengganti kalimat dengan neneknya sudah mati. Tapi bagi penulis dengan naskah yang sudah jadi, itu berartti mengganti semua elemen di setiap halaman yang ada unsur cerita berkaitan dengan nenek masih hidup dan menyesuaikan kembali. Kalau halaman jumlahnya 150 ya wes jelas bukan revisi minor lagi 😁

Syukurlah pas wes disepakati jumpa di Jogja di tengah musim Nataru, Mbak Ana dan Tim Andi bisa mengawal. Mbak Verlita dan Mas Ivan orang yang tertib, tepat waktu. Janjian jam 14 an, jam 13 an kurang mereka sudah di hotel, tapi belum bisa masuk karena kamar belum ready.

Parenting versi Mom karya Verlita Evelyn. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Liburan Nataru, sulit cari kamar kosong di Jogja. Kamar itu tersedia tapi harus nunggu tamu sebelumnya check out, baru bisa dibersihkan, dan setelah itu barulah bisa dipakai tamu berikutnya. Begitulah lebih kurang yang dialami Mbak Verlita dan keluarganya.

Saya wes datang jam 13.30 an. Jadi nunggu mereka siap dulu. Dan lebih kurang jam 14.30 saya dengan Mbak Verlita wes ngurusi koreksi. Mbak Ana dan Tim Andi yo wes datang.

Beuuh, lama kami diskusi koreksi satu naskah buku. Sampai jam 20 an kami baru beres urusan satu buku. Njur makan malam. Saya pulang sekira jam 22 an. Besoknya kami mulai kerja lagi jam 19 an sampai jam 00.30 an. Biyuuu… ya begitulah kalau kerja menulis sedang marathon. Jangan dikira enteng-enteng bae. 😁

Setelah itu Tim Penerbit yang menyesuaikan perbaikan, melakukan setting ulang, mendesain lagi bagian cover dll urusan buku; sampai dummy buku pun siap. Dan horeee…. alhamdulillah, bukunya pun segera bisa sampeyan semua nikmati. Proses parenting berdasarkan pengalaman riil Verlita Evelyn dan Ivan Saba.

Harga nya sungguh ringan dibandingkan dengan pengalaman berharga mengurusi “rumah tangga” dengan “anak-anak” di era digital yang penuh tantangan. Bahwa zaman selalu berubah, anak-anak berubah, orang tua juga harus berubah. Demi kebaikan dan masa depan anak-anak penerus masa depan bangsa.

Monggo Teman-teman yang mau membaca lebih awal, bisa pesan langsung bukunya ke saya via wa.me/6281380001149 atau langsung ke andipublisher.com

Maturnuwun dan semoga menginspirasi serta memotivasi semua orang tua di luar sana untuk tumbuh berkembang bersama anak-anak tercinta dengan kebahagiaan yang utuh.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Oh, TPDA Saya….

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Salah satu konsekuensi kalau jadi dosen itu ya belajar terus, sekolah terus, update ilmu terus. Dan itulah yang harus saya alami begitu saya memutuskan bergabung menetap sebagai dosen UPY. Setiap langkah kemajuan menuntut proses belajar… yang kadang yo njelehi juga.

Masuk jadi dosen di paruh 2021, saya wes diminta ngurus jafung 2023 dan rilis keluar di tahun yang sama. Alhamdulillah. Njur diminta ngurus sertifikasi dosen atau biasa disebut serdos. Yungalaah, makanan jenis apalagi itu.

Syarat dasarnya sertifikat Pekerti, TKBI (sebangsa Toefl, Acept, dll) dan TKDA (sejenis TPA, PaPS, dll). Biyuuu… saya wes langsung bayar daftar pelatihan pekerti, selama 2 minggu online full Senin s/d Jumat jam 07.00 s/d 17.00 WIB nggak boleh blank, ngilang kamera dipanggilin satu per satu. Sabtu Minggu nggo bikin tugas tugas.

Bayare lupa 2 atau 2.5 juta per program. Wes bikin saya klenger bae…. ampun Gusti, ijazah S3 saya serasa nggak ada gunanya kek gitu…. njur saya break karena gaweyan administratif kampus yang ngujubileh banyaknya.

Saya pikir ya wes, alon alon waton kelakon bae. Rada selow, saya daftar TKBI. Saya rada pesimis karena teman-teman yang sudah ikut, banyak yang bolak-balik tes baru lulus. Maklum, bahasa Inggris bukan bahasa kita. Weeh… alhamdulillah saya kok sekali tes njur langsung gol, lolos. 400 an rb saja duit untuk daftarnya.

Sampailah waktunya TPDA. Biyuuu, bikin mumet tenan. Terutama bagian tes gambar-gambar kubus dan dimensi tiga itu. Ambyaar… ya wes gapapa. Saya yo tetap daftar dan ikut tes. Tiap tes lebih kurang bayar 400 an rb. Dan sampai yang ke-4 kali skor saya mung kurang 3 s/d 5. Beuuuh nggemesin tenan. Saya wes hampir nyerah. Karena skor yang bikin kurang itu ya gambar-gambar yang dibolak-balik, diputar-putar gitu.

Akhirnya saya cari mentor. Saya minta dia ngajarin gimana memecahkan masalah saya. Tentu saya wes daftar lagi ujian TPDA yang ke-5. Dapat hari Kamis. Jadi Rabu seharian saya sinau mung bagian gambar-gambar. Karena verbal dan aritmatika itu terhitung cincay, gampang lah versi saya. Mo semua nya bener, kalau tes bagian ketiga figural jebluk, ya rerata nya jadi nggak memenuhi syarat minimal.

Karena wes sinau tenanan, ya wes lebih dari 3x, saya terima pasrah bae, sebisanya. Kamis saya mangkat ujian TPDA. Begitu selesai, saya nggak lihat skor, malah ngurusin tas yang harus diperbaiki dan ATM yang nggak bisa dipakai. Njur tidur. Karepmu. Lulus atau enggaknya saya nggak mikir. Toh kalau belum lulus, yo tetep kudu ujian lagi sampai lulus.

Sesudah bangun tidur, beberes, mandi dll, saya baru inget ngecek skor TPDA (mestinya abiz ujian udah bisa) cuman saya malez kecewa di jalan, jadi nggak saya buka dulu. Saya lihat skor, njur nelpon penyelenggara berapa skor minimal serdos. Pas dijawab, saya ragu, khawatir kalau salah lihat. Saya kirim forward dan tanya lagi wes lulus belum. Dijawab sudah… alhamdulillah 😀😁

Ya, segala sesuatu itu memang ada ilmunya, ada gurunya. Di tangan guru yang tepat, soal sulit pun jadi mudah. Nggak bisa awuran. Alhamdulillah saya kok masih sempat nyadar tentang itu. 5x tes TPDA, 2x saya ngeblank karena sakit pas ujian. Jadi praktis yang tenanan tes 3x, tapi mbayar 5x… Jelas mbayar dhewe ora diijoli kampus (termasuk biaya Pekerti dan TKBI), tapi kalau nggak cepet ngurus serdos diopyaki kampus juga😂

Kalau dari awal saya cepet cari mentor, pasti nggak sampai tes TPDA 5x 😁😂 Ya kadang-kadang, dengar kata belajar bae wes bikin saya malaz duluan. Terus gitu, belajar ki ya butuh waktu dan usaha tersendiri untuk berhasil.

Wes alhamdulillah. Ini satu tahap lagi beres. Tinggal syarat kruncilan lainnya yang masih sekeranjang banyaknya. Ya Gusti… kenapa jadi dosen begitu banyak urusan administratif yang bikin… hiiih… apalagi ini😁😂

Jadi, ya kudune gaji dosen itu sak dos alias banyak, ora malah gajinya sak sen alias cuilik biangeeet😁😂

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Sensasi Benjol 🤣

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.


Produk-produk atau barang-barang yang dijual online itu bisa terlihat bagus-bagus dan keren-keren. Bikin kita laper mata, gatal tangan pingin beli semuanya. Terus gitu proses benjol (belanja online) itu kan tinggal pilih-pilih, transfer, debit, QRIS, atau ngutang dulu juga bisa (pake kartu kredit, paylater, dll model perpanjangan utang), barang langsung cuuz sampai rumah. Enak betul 😍🙏 Ada yang COD pula, barang datang barulah kita bayar.
.
Ntar yang bayar ya biar suami saja 🤣😎 Jadi, ngeh deh kenapa ada istri-istri, ibu-ibu yang di rumah pun sampe gila rajin banget benjol🤣 Sensasinya itu ternyata bikin orang happy dan (bisa bikin) kecanduan atau ketagihan. Apalagi kalau ngerasa dapat diskonan, gratis ongkir, beli 1 dapat 3, beli 2 dapat 5… Biyuu 😄

Eh, btw ini bukan saya lho 😅😄 Kebutuhan saya belum banyak dan toko sini situ dekat rumah masih ada semua barang keperluan saya. Cuman ya benjol pun lumayan sering, kalau diitung-itung jatuhnya lebih murah. Mana benjolnya bisa sambil rebahan pula. Gampang banget. Tapi ya masih seperlunya aja.
.
Pas scrolling sering banget saya masuk-masukin barang ini itu ke keranjang belanja. Njur kesela deadline atau tugas kerjaan, langsung saya tinggal. Eh, pas ditengok lagi… lah barangnya sudah abis, atau program promonya sudah ilang, udah nggak free ongkir, dll yang intinya kudu bayar penuh plus ongkir, plus admin, plus pajak… weslah, saya langsung belok kiri, nggak jadi beli. Haha… 😂
.
Lalu saya mikir, itu saya masukin barang ke keranjang belanja niatnya apaan ya? Beneran butuh atau ikut laper mata gegara program promo-promo? Atau rindu sensasi benjol aza?
.
Apalagi kalau pas di rumah denger teriakan kang paket, penasaran dan kepo; ntar barangnya seindah “fotonya” atau enggak? Atau malah “barang ajaib” yang nggak nyambung sama deskripsi produk yang kita beli. Aneka rasa lah. Kapusan, kecewa, barang nggak dikirim-kirim njur dibatalin sesukanya, barang nggak sesuai foto, dll. Entahlah.
.
Biar pun kek gitu, ya tetep bae suka benjol. Pas milih barang via benjol, ternyata bisa ngilangin stres. Masalah ntar jadi beli atau nggak ya tergantung duitnya 😂😂
.
Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Kalau Kamu Kirim Naskah ke Penerbit

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Untuk penulis pemula, biasanya setelah menyelesaikan naskahnya, mereka sering merasa kebingungan bagaimana cara mengirim naskah ke penerbit. Padahal sekarang sudah banyak akses dan jauh lebih mudah mengenali penerbit. Sekurangnya, buka-bukalah web dan sosmednya. Paling enggak, pasti ketemu model-model naskah yang sudah dipublikasikan dan diperjualbelikan.

Berikut ini adalah uraian singkat agar naskah bisa sampai ke tangan penerbit dengan aman dan tidak disalahgunakan.

1. Bila sampeyan sama sekali baru dan hendak mengirimkan naskah ke penerbit, siapkan print out NASKAH yang disertai dengan SINOPSIS, kalau bisa dilengkapi PROPOSAL NASKAH, dan jangan lupa BIODATA singkat dilengkapi alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Ini akan mempermudah pihak penerbit membaca naskah sampeyan, karena mereka nggak perlu ngeprint. Kalau mereka mengizinkan untuk mengirim naskah via email dengan softcopy, ya lakukan saja. Lebih mudah, praktis, nggak banyak biaya.

2. Bila sampeyan mengirimkan naskah lewat pos atau ekspedisi pengiriman, pastikan sampeyan mengisi semua daftar kolom isian untuk pengirim dan penerima. Hal ini untuk melacak bila terjadi sesuatu dengan naskah anda. Misalnya, naskah nggak sampai ke tujuan.

3. Bila sampeyan hendak menyerahkan NASKAH printout langsung pada penerbit, mintalah tanda bukti penyerahan naskah dan tanyakan kepada siapa nantinya mengurus follow up naskah tersebut dan berapa lama akan dapat kabar. Biasanya lebih kurang 3-6 bulan. Makin besar penerbit yang anda tuju, makin lama pula waktu untuk menerima kabar diterima atau ditolak.

Ini bisa lama banget lho. Naskah saya ada yang antrian sampai tujuh atau delapan tahun, sampai saya pun wes lupa. Tapi kalau naskah timeless siy biasanya aman, mo terbit kapan aja tetap “baru”.

4. Bagi yang sudah terbiasa menulis atau bekerja sama dengan penerbit tentu tidak masalah untuk mengirimkan via email karena cepat dan mudah, dan lebih praktis. Kemungkinan untuk disalahgunakan juga kecil karena sudah saling kenal.

5. Kalau sampeyan sudah mengirimkan naskah, selama tiga bulan tidak ada kabar, tanyakan tentang naskah tersebut. Ada penerbit yang kadang-kadang sudah tahu jawaban penolakan, tapi karena banyaknya pengiriman surat penolakan itu biasanya dibarengkan dengan penolakan naskah-naskah lainnya.

6. Apakah etis menyerahkan atau mengirimkan satu naskah ke beberapa penerbit yang berbeda-beda dalam satu waktu? Jawabannya, bisa beragam.

Menurut saya pribadi, tidak etis. Lebih baik mengirimkan naskah ke satu penerbit lebih dulu baru ketika ditolak, anda bisa tawarkan ke penerbit lain.

Lebih ribet juga kalau misalnya anda menyerahkan kedua penerbit sekaligus, beruntung kalau keduanya menolak, anda bisa menawarkan ke penerbit yang lain; bagaimana kalau keduanya berniat menerbitkan? Bagaimana anda akan bicara kepada keduanya? Tidak mudah kan?

7. Apakah benar ada penyalahgunaan naskah yang dikirim dikatakan tidak diterbitkan lalu diolah, diubah sana sini lalu diterbitkan dengan nama lain? Selama ini, kasus seperti itu jarang terjadi. Karena menulis itu sulit, mengubah segala sesuatu juga sulit. Waspada dan hati-hati memang perlu, tapi tidak perlu takut.

8. Ke mana dikirimkan? Ada banyak penerbit di Indonesia, anda bisa mencari sendiri alamat-alamat penerbit dan melihat jenis buku terbitannya di toko-toko buku, untuk melihat apakah jenis tulisan anda cocok untuk anda kirimkan ke penerbit tersebut. Cek di buku JADI PENULIS FIKSI? GAMPANG KOK!

Gampang saja toh ternyata untuk mengirimkan naskah? Percayalah, urusan teknis lebih mudah daripada urusan menyelesaikan naskah 🙂

    Selamat menulis dan mengirimkan naskah.
    Semoga bermanfaat.

    Ari Kinoysan Wulandari

    Please follow and like us:

    Adaptasi Naskah

    Prinsip-Prinsip Penyuntingan Naskah. Pesan buku wa.me/6281380001149. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

    Adaptasi adalah hal yang biasa dalam dunia penulisan dan industri kreatif secara umum. Apa saja yang perlu kita perhatikan berkaitan dengan adaptasi?

    1. Adaptasi dan menuliskan kembali itu boleh. Tetapi, yang mesti dihindari adalah menjiplak. Setiap kali kita menjiplak, maka Allah akan mengurangi satu pikiran kreatif kita. Makin sering menjiplak, makin bodohlah diri kita.

    2. Aturan adaptasi lebih kurang seperti ini:
    a. Ide boleh sama, bisa dimiliki siapa saja.
    b. Seluruh penulisan harus beda.
    c. Karakter harus dimodifikasi.
    d. Dialog juga tidak boleh sama.
    e. Setting harus berbeda.

      Intinya: adaptasi untuk cerita adalah pada batasan ide yang sama, tetapi dalam segala hal dari tata cara, sudut pandang, model, karakter harus beda.

      3. Ada yang memberi usulan adaptasi dengan cerita mirip-mirip boleh, tetapi batasannya 10 persen saja dari total seluruh naskah yang diadaptasi.

      4. Ini berbeda dengan urusan pembelian copyright, lisensi. Banyak pula yang memang kontrak kerja samanya harus dialihkan dengan model (versi) Indonesia saja tanpa boleh mengganti apa pun, termasuk satu kata dialog sekali pun.

      5. Kalau adaptasi saja bebas, boleh dalam batas-batas wajar. Tidak ada yang klaim. Permasalahan klaim mengklaim dan gugat menggugat ini biasanya kalau karya adaptasi BOOMING, maka yang terjadi pastilah heboh sampai seret-seretan ke pengadilan segala karena duitnya memang BANYAK.

      6. Kalau adaptasinya hanya ide yang sama, sumber tak perlu disebutkan. Tetapi kalau banyak, ya disebutkan. Ada etika tak tertulis untuk memberi surat pemberitahuan pada PENULIS, PENERBIT. Tidak dipungut bayaran kok. Hanya untuk sopan santun saja.

      7. Karya adaptasi sering juga sebagai PERSETUJUAN, BANTAHAN, SANGGAHAN, PENYEMPURNAAN suatu karya sebelumnya. Misalnya, Umar Kayam menulis karya legendaris PARA PRIYAYI itu sebetulnya modifikasi dan bantahan untuk karya CLIFFORD GERTZ yang bicara soal Priyayi, Santri Abangan, dan Kalangan Petani. Dan, tidak ada seorang pun yang mengklaim Para Priyayi itu sebagai bantahan untuk karya Gertz.

      8. Menjiplak persis biasanya kalau untuk diri sendiri tidak ada yang klaim. Tetapi kalau sudah urusan komersial, diperdagangkan, disiarkan, diakui sebagai karya penjiplak; baru JADI MASALAH.

      9. Sebenarnya, kalau mau curang sih bisa saja, asal tidak ketahuan. Tetapi kalau ketahuan, — hari serba internet serba canggih begini, apa yang tidak ketahuan? — SIAP-SIAP saja. Itu MEMATIKAN MASA DEPAN sendiri.

      10. Intinya, teman-teman, jangan takut MEMBUAT KARYA ORISINIL. Yang bagus itu tidak harus yang berbau luar negeri kok. Ayolah, kunjungi daerah-daerah Indonesia, berjalanlah. Pasti akan tahu, kita ini lebih kaya dari negeri-negeri jiran di sekitar kita. Mari ciptakan kiblat, bukan berkiblat kepada negeri orang.

        Happy Writing, Be A Good Writer 🙂

        Ari Kinoysan Wulandari
        Griya Kinoysan University

        Please follow and like us: