Ritual Sebelum Pernikahan Orang Jawa

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 30 Juli 2022 dengan link sebagai berikut.

https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4314014904/ritual-sebelum-pernikahan-orang-jawa

NONGKRONG.CO —Pernikahan merupakan hal yang penting bagi orang Jawa.  Tradisi yang berlangsung berkaitan dengan pernikahan dalam adat Jawa sangat banyak. Tahapan sebelum pernikahan di kalangan orang Jawa ada dua macam, yang tidak menggunakan ritual dan yang menggunakan ritual.

Tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang tidak menggunakan ritual ada tiga macam, yaitu (1) pembicaraan pernikahan, (2) pembentukan saksi-saksi, dan (3) pembentukan panitia hajatan. Ketiga tahapan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama, Pembicaraan Pernikahan.

Pembicaraan pernikahan pada prinsipnya merupakan pertemuan kedua keluarga yang akan menikahkan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Keluarga mereka bertemu, berkenalan secara resmi, melakukan prosesi lamaran, hingga pembicaraan lain yang berkaitan dengan pernikahan putra putri mereka. Ubarampe dan kelengkapan dalam kegiatan ini sesuai kemampuan masing-masing. Ada yang sangat praktis modern, ada pula yang semuanya menggunakan pakaian adat Jawa.

Kedua, Pembentukan Saksi-saksi.

Keberadaan saksi-saksi pernikahan merupakan hal penting. Pembentukan saksi-saksi ini adalah permintaan orang-orang di luar keluarga, bisa tetangga dekat atau kerabat dekat untuk menjadi saksi prosesi pernikahan.

Pembentukan atau penentuan saksi-saksi ini tidak memerlukan ritual. Hanya permintaan dan kesediaan sebagai saksi kegiatan sebelum pernikahan. Kesaksian diperlukan pada empat acara, yaitu (a) srah-srahan, (b) peningsetan, (c) asok tukun, dan (d) gethok dina.

Keempat acara ini biasanya memerlukan ritual, terutama pada acara srah-srahan. Srah-srahan adalah penyerahan perlengkapan sarana dan prasarana untuk pernikahan, seperti cincin, makanan tradisional, pakaian wanita, uang, perhiasan, bahan pangan, dll sesuai aturan dan kesepakatan.

Peningsetan adalah acara tukar cincin antara pihak calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Asok tukon berarti menyerahkan sejumlah uang kepada calon mertua dari pihak calon pengantin laki-laki. Gethok dina adalah menetapkan hari untuk akad nikah dan resepsi dan lain-lain yang berkaitan.

Ketiga, Pembentukan Panitia Hajatan.

Pembentukan panitia hajatan bertujuan untuk memperlancar acara mantu. Panitia ini biasanya melibatkan keluarga dan orang dekat dari kedua belah pihak calon pengantin. Kalau acara mantunya besar-besaran, panitia hajatan ini dibentuk secara khusus di luar pihak keluarga atau orang dekat dari kedua belah pihak.

Itulah tiga tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang tidak menggunakan ritual. Sementara tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang menggunakan ritual ada sepuluh, yaitu (1) pasang tratag, (2) membuat kembar mayang, (3) pasang tuwuhan, (4) sungkeman, (5) siraman, (6) adol dawet, (7) potong tumpeng dan dulang pungkasan, (8) menanam rambut dan melepas ayam, (9) midodareni, dan (10) srah-srahan.

Pertama, Pasang Tratag.

Pasang tratag berarti memasang tenda di depan rumah dengan tarub dan hiasan alami di depan pintu masuk. Pemasangan ini sebagai penanda bahwa keluarga tersebut sedang merayakan pernikahan.

Orang Jawa umumnya menggunakan janur lengkung kuning. Janur lengkung kuning ini menandakan permohonan kesejahteraan dan keberkahan bagi calon pasangan pengantin dan keluarga besarnya. Selain itu sebagai perwujudan syukur kepada Tuhan bahwa anak-anak mereka telah dewasa dan akan menikah.

Kedua, Membuat Kembar Mayang.

Kembar mayang dibuat dari akar, batang, daun, buah, dan bunga. Daun kembar mayang ditekuk dan dimasukkan ke batang pisang. Bentuknya mirip gunung, cambuk, payung, kering, burung, dan belalang. Kembar mayang merupakan lambang kebijaksanaan dan motivasi hidup bahagia.

Ketiga, Pasang Tuwuhan.

Pasang tuwuhan atau menanam buah-buahan di dekat tempat siraman. Buah yang ditanam biasanya pisang raja satu tundun. Pasang tuwuhan melambangkan tanda kemantapan pasangan pengantin dalam pernikahan. Selain itu juga ada harapan agar pasangan pengantin segera memiliki anak.

Keempat, Sungkeman.

Ritual sungkeman berarti permohonan doa restu dari calon pengantin kepada orang tua kedua belah pihak. Sungkeman juga merupakan penanda terimakasih anak kepada orang tuanya telah membesarkan dan mendidik mereka sebelum menikah. Ritual ini biasanya ditandai dengan pemberian sesuatu dari calon pengantin kepada orang tua sebagai bukti cinta.

Selain permohonan doa restu dan pemberian tanda cinta, acara sungkeman juga diikuti dengan permohonan maaf atas segala kesalahan baik dari pihak anak maupun orang tua. Permohonan maaf ini demi memperbaiki hubungan orang tua dan anak yang mungkin saja ada kesalahan.

Kelima, Siraman.

Siraman berarti mandi sebelum pernikahan. Siraman ini dilakukan oleh pasangan pengantin. Siraman dilakukan dengan pakaian adat lengkap dengan beberapa aturan khusus. Air yang digunakan untuk siraman berasal dari tujuh sumber mata air dengan tujuh bunga yang harum; seperti mawar, melati, kenanga, kaca piring, sri tanjung, magnolia, dan wijaya kusuma.

Air untuk siraman dicampur dengan semua bunga yang telah dipersiapkan dan diendapkan sekurangnya 1 malam agar wanginya menguar kuat. Siraman dilakukan oleh tujuh orang keluarga dekat sang pengantin. Terakhir siraman dilakukan oleh orang tua pengantin.

Siraman ini merupakan simbol pembersihan diri dari segala kekotoran jiwa raga. Dengan jiwa raga yang bersih dan suci, pasangan pengantin diharapkan dapat memulai kehidupannya dengan baik dan bahagia.

Keenam, Adol Dawet.

Ritual adol dawet dilakukan oleh orang tua kedua calon pengantin. Dawet adalah salah satu minuman tradisional Jawa yang menyegarkan. Orang tua pengantin harus menjual dawet tersebut kepada para hadirin atau tamu undangan.

Uang yang digunakan dalam acara ini adalah kreweng atau mata uang dari pecahan genting tanah liat. Semua tamu harus membeli dawet yang dijual, tidak boleh ada tamu yang terlewat tidak membeli dawet tersebut.

Adol dawet merupakan simbol dari kesejahteraan dan cara orang Jawa memenuhi keperluan hidupnya. Berdagang merupakan simbol pekerjaan yang bisa dilakukan oleh siapa saja untuk mandiri.

Ketujuh, Potong Tumpeng dan Dulang Pungkasan.

Pada acara potong tumpeng dan dulang pungkasan ini, harus ada nasi tumpeng lengkap dengan ingkung ayam. Nasi tumpeng nantinya akan dipotong dan dimakan bersama-sama (kenduri) para undangan.

Sementara bagian nasi tumpeng yang dipotong akan diberikan kepada orang tua kedua pengantin untuk disuapkan kepada calon pengantin. Ini adalah simbol tanggung jawab orang tua terakhir kali sebelum putra putri mereka menikah.  

Kalau sebelum menikah calon pengantin lelaki dan calon pengantin perempuan masih jadi tanggungan orang tua, setelah menikah mereka harus mandiri. Mereka tidak lagi disuapi oleh orang tuanya, tetapi harus mengarungi hidup baru secara mandiri. Mereka harus bertanggung jawab pada kehidupan keluarga barunya.

Kedelapan, Menanam Rambut dan Melepas Ayam.

Kedua pengantin dipotong sebagian rambutnya. Rambut ini akan ditanam di tanah. Tujuan dari penanaman rambut ini adalah menjauhkan hal buruk yang mungkin terjadi dalam kehidupan pernikahan.

Berikutnya, orang tua pengantin akan melepaskan ayam hitam secara bebas. Ayam hitam yang dilepaskan hidup bebas ini merupakan simbol keikhlasan orang tua melepaskan anaknya untuk menikah. Anak-anak yang sebelumnya hidup dalam buaian orang tua, kini telah dilepaskan untuk hidup mandiri dalam pernikahan.

Kesembilan, Midodareni.

Midodareni merupakan ritual pelepasan masa lajang bagi anak perempuan. Pada saat ini, calon pengantin perempuan tidak boleh bertemu dengan calon pengantin laki-laki. Waktu yang ditentukan adalah jam 18 sampai 24 WIB atau dari lepas Maghrib sampai tengah malam.

Biasanya di rumah pengantin perempuan, si calon pengantin perempuan didampingi oleh ibunya dan para sesepuh. Mereka memberikan nasihat dan petuah tentang kehidupan setelah pernikahan. Tujuannya memberikan bekal dan pandangan yang cukup bagi calon pengantin perempuan yang akan menikah.

Kesepuluh, Srah-Srahan.

Srah-srahan berarti menyerahkan berbagai barang keperluan kehidupan dari calon pengantin lelaki kepada calon pengantin perempuan. Bentuk srah-srahan ini sangat beragam, dan biasanya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Dalam kebiasaan orang Jawa modern, barang srah-srahan ini sering pula dibeli bersama-sama oleh pihak pengantin lelaki dan perempuan dengan tanggungan si pihak lelaki. Pihak perempuan hanya menentukan jenis barangnya, agar saat diserahkan nanti semuanya bermanfaat dan tidak ada yang terbuang.

Srah-srahan dilakukan oleh pihak calon pengantin lelaki kepada pihak calon pengantin perempuan pada malam midodareni. Adanya srah-srahan ini menandakan bahwa pihak pengantin lelaki sudah menerima tanggung jawabnya atas pengantin perempuan yang akan dinikahinya. Mereka sudah siap menjalani kehidupan berumah tangga.

Seperti itulah tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang menggunakan ritual. Tidak setiap keluarga yang menikahkan anaknya menggunakan seluruh ritual tersebut. Namun secara umum, mereka yang masih memegang tradisi Jawa akan menjalankan keseluruhan ritual tersebut. Selain sebagai tanda syukur atas pernikahan putra putrinya, juga semangat untuk ikut melestarikan tradisi Jawa.

Catatan:

Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. atau Ari Kinoysan Wulandari adalah peneliti budaya, dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

Please follow and like us:

Hargai Waktumu…!

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, tanggal 7 Juli 2022 dengan link berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063838683/hargai-waktumu

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Suatu hari, saya duduk menulis di suatu kafe. Tentu dengan makanan dan minuman yang sudah terhidang di meja. Saya tidak sedang menunggu orang. Tiba-tiba seorang ibu datang dan bertanya kepada saya, apakah dia bisa bergabung di meja saya.

Saya mempersilakannya, meskipun sempat menoleh kiri kanan dan melihat meja-meja yang masih kosong. Mestinya dia bebas memilih meja di ruangan itu. Masih pagi. Sang ibu mengatakan ia tidak terlalu senang menunggu sendirian. Saya pun maklum, dan meneruskan pekerjaan saya menulis.

Sang ibu bertanya lagi, apa yang saya kerjakan. Daripada nanti ditanya-tanya lagi, saya pun memperkenalkan diri secara lengkap. Nama, aktivitas, domisili, dan karya-karya. Saya pun memberikan alamat sosmed kepadanya agar dia dapat mencermati tulisan-tulisan saya. Lalu dengan meminta maaf, saya mengatakan sedang bekerja dan harus merampungkan deadline.

Ibu paroh baya yang kelihatan berkelas dan berduit itu pun menerima perkenalan saya. Dia juga menyebutkan nama dan tempat tinggalnya. Lalu dia sudah asyik dengan handphonenya. Mungkin memeriksa tulisan-tulisan dan karya-karya saya. Saya pun tenggelam dalam penulisan. Tidak memperhatikan apa yang dilakukannya.

Saya sudah menulis sekira tujuh halaman —berarti lebih kurang satu jam saya menulis; ketika mendengar si ibu menelpon dengan nada tidak senang. “Saya sudah menunggu lama. Sebaiknya kita batalkan saja rencana kerja sama. Kalau ada tagihan karena diskusi atau pembicaraan sebelumnya, silakan kirim ke asisten saya. Biar nanti ditransfer. Terimakasih.”

Saya tidak tahu dia berbicara dengan siapa dan dengan urusan apa. Dia pun berkata kepada saya, “Mbak Ari, saya minta waktu sebentar,” begitu katanya.

Singkat jelas, dia menceritakan bahwa sebenarnya dia sedang menunggu tim penulis yang akan mengerjakan buku biografinya. Sebelum-sebelumnya mereka sudah bertemu dengan asistennya dan mengirim format kerja sama. Hari ini mereka berjanji akan ketemu langsung dengan dirinya. Mereka yang menentukan jadwal dan dia sudah oke, tidak meminta pergantian waktu dan tempat. Nyatanya mereka yang mangkir janji tidak tepat waktu. Kalau urusan waktu saja tidak bisa menepati janji sendiri, ia khawatir bukunya tidak akan selesai tepat waktu.

Karena dia bertemu saya yang juga penulis, dan versinya dia cocok dengan gaya tutur saya, dia bertanya apakah saya bersedia menuliskan untuk dirinya. Sebenarnya saya sudah menolak halus dengan mengatakan fee saya cukup banyak dan tidak bisa ditawar. Saya lupa, bagi orang-orang tertentu, harga itu menjadi nomor sekian setelah cocok dan percaya.

Begitulah. Saya menerima gaweyan itu. Menyelesaikan dalam satu tahun. Menerima bayaran yang cukup besar dengan kerja yang mudah. Saya sebut mudah, karena sang ibu ini sangat disiplin, runtut berpikir, dan jelas apa yang diinginkannya dari suatu tulisan sejak awal hingga akhir. Saya ibaratnya tinggal mengawal ceritanya dalam versi tertulis dengan mengalir saja.

Itu adalah kerja dadakan saya karena rajin mojok nongkrong nulis di kafe. Dampak kebiasaan kurang baik saya, menulis berpindah dari satu tempat ngopi ke tempat ngeteh, atau lainnya. Kalau dihitung-hitung operasionalnya menjadi cukup banyak. Saya mengenali karakter kebosanan yang cukup tinggi, jadi ya biasa saja bagi saya.

Dalam pengerjaan gaweyan menulis, biaya itu sudah saya masukkan dalam hitungan charge yang harus dibayar oleh klien. Kalau tidak ada gaweyan, baru itu jadi masalah. Dan betul, selama pandemi yang mengharuskan kita kerja dari rumah itu, saya beberapa kali terkena psikosomatis. Masalah psikologis karena kebosanan yang akut berada di satu tempat yang sama pada waktu yang lama.

Dari apa yang saya ceritakan tersebut, terlihat jelas kalau saja si Tim Penulis yang pasti sudah repot sebelumnya bikin penawaran, proposal, dll nego dengan asisten si ibu itu tepat waktu; pasti pekerjaan itu tetap akan jadi milik mereka. Karena telat dan entah apapun alasannya, gaweyan bernilai ratusan juta itu melayang begitu saja.

Kejadian itu, menjadikan saya lebih menghargai waktu. Lebih teliti menggunakan waktu. Kalau menurut saya tidak akan menambah kontribusi kebaikan, lebih baik saya tinggalkan. Selain itu, mungkin karena lingkungan keluarga saya adalah wiraswasta, pengusaha, pekerja informal; jadi disiplin waktu itu sudah jadi urusan masing-masing. Kalau saya tidak disiplin menulis, ya kapan saya dapat duit. Kalau saya tidak tepat waktu mengirim karya, ya pasti lewat jadwal publikasi. Sedari kecil, saya dilatih untuk memeriksa jadwal sendiri dan mematuhinya atau menanggung konsekuensinya.

Masuk kampus biru, ya mau tidak mau saya terimbas dengan kedisiplinan lingkungan. Jarang sekali di tempat ini undangan jam sepuluh tidak dimulai jam sepuluh. Karena undangan jam sepuluh, semua sudah bersiap sedari jam sembilan atau setengah sepuluh. Bahkan terakhir, ketika ada acara dan saya sebagai moderator webinar, lalu jaringan internet saya bermasalah, acara tetap dimulai jam sepuluh dengan moderator pengganti. Ketika saya sudah bisa kembali ke ruang webinar, moderator pengganti menyerahkan seluruh acara kembali kepada saya untuk saya pimpin sampai akhir.

Artinya, lingkungan sudah membentuk saya untuk disiplin soal waktu. Pada waktu bekerja di PH pun demikian. Kalau sampai program saya tidak tayang tanpa alasan yang force majeur, maka PH harus membayar denda 200% dari biaya produksi. Kebayang kalau biaya per episode 700 juta, sampai program tidak tayang berarti harus bayar ke stasiun penyiar sebanyak 1,4 milyar. Biyuuu…, saya bisa digantung produser kalau sampai hal ini terjadi.

Oleh karenanya jadwal kapan skenario ditulis, kapan diserahkan ke bagian produksi, kapan diterima dalam bentuk video atau file jadi, kapan diserahkan ke stasiun, kapan tayang, dll itu menjadi sangat ketat dan harus diperhatikan. Lepas sehari saja di urusan skenario, semua jadwal pasti akan terganggu.

Ketika berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswa yang selonong boy seenaknya keluar masuk di kelas atau kuliah saya, saya langsung memintanya keluar kelas. Lebih baik tidak masuk kelas kalau sudah lewat setengah jam. Apalagi kalau sebelumnya sudah dibuat perjanjian kapan jam kelas dimulai setelah toleransi waktu. Orang yang berhasil kebanyakan tertib waktunya dan tidak banyak bikin alasan.

Tapi ya, tiap tempat beda karakter soal waktu saja. Saya stres dan sempat protes ketika undangan jam sepuluh, ternyata baru dimulai jam sebelas lewat. Ini si pembuat acara tidak menghitung kerugian riil. Anggap saja sejam setiap orang menggunakan kuota internet 0,5 GB dikalikan yang sudah menunggu sekitar 200-an orang, berapa banyak kerugiannya? Waktunya? Jelas 1 jam x 200 yang berarti 200 jam hampir 20 hari kerja terbuang.

Undangan dari mahasiswa? Bukan. Tingkat pejabat-pejabat kampus dan dosen-dosen. Tidak sekali dua kali. Tapi berulang kali. Undangan jam 7 s/d 10. Riilnya jam 7.38 s/d 12 siang. Sangat tidak bisa memperhitungkan waktu. Yang salah siapa? Yang bikin jadwal dan acara. Pengisinya kan bisa diingatkan waktunya terbatas, bukan ngombro-ombro kelamaan bicara, dll.

Jadi, saya berpikir kalau kemudian mahasiswa seenaknya bikin acara telat mulai sejam dan telat berakhir dua jam, itu seperti biasa saja. Bagi saya jelas tidak biasa dan merugikan. Tapi yang bisa mengubah habits begini, kan yo mulai dari atas-atas to, mosok yang krucukan bisa?

Beberapa senior mengingatkan saya agar tidak terlalu idealis. Astaga….! Soal tepat waktu saja kok dibilang idealis. Mau maju dan unggul, tapi telatan terus… ya mana bisa?! Pada titik-titik tertentu, akhirnya saya berdamai saja dengan sikon tersebut. Kalau sudah tahu habits begitu, tinggal saya menyiapkan piranti kerja tambahan agar jam-jam kemoloran dari acara mereka itu bisa saya gunakan untuk mengerjakan gaweyan yang tetep kudu dibereskan. Kalau yang krucukan telat, dipotong-potong pendapatan, tapi mereka bikin acara telat, santai lempeng saja.

Time is money. Begitu kata orang-orang Barat. Demikian menghargainya mereka terhadap uang, waktu pun bisa dihitung dengan uang. Versi saya, waktu adalah kehidupan. Kita yang masih hidup ini, berarti masih punya jatah waktu di dunia. Kalau sudah tidak punya waktu lagi, ya berarti mati. Selesai kehidupan di dunia.

Sumber daya yang sering kita sia-siakan dalam hidup ini adalah waktu dan kesehatan. Banyak orang beribetan di akhir waktu, karena tidak bersiap di awal waktu. Banyak orang mengabaikan kesehatan di masa muda, lalu menjadi beribet urusan kesehatan di masa tua.

Setiap orang punya pandangan yang berbeda tentang waktu. Ada yang menganggap waktu itu urusan sepele. Hadeuuuh, lha kalau kamu terbiasa bekerja dengan hitungan jam dengan charge besar, mungkin tidak akan menyepelekan waktu lagi. Karena waktu adalah satu-satunya sumber daya yang tidak bisa kita beli ulang. Begitu pula dengan kesehatan. Kalau kamu tidak mau menginvestasikan kesehatan di masa muda (olahraga, makan sehat, hidup sehat, dll) siap-siaplah sedari paroh baya hidup dengan obat-obatan.

Karenanya saya sebagai penulis profesional sejak bertemu klien sudah berhitung dan berdiskusi tentang waktu. Kalau pekerjaan secara umum perlu waktu 6 bulan, tapi si klien ngotot 3 bulan; saya menawarkan dua opsi: dia membayar 2 kali lipat (sehingga saya bisa membayar lebih banyak orang untuk lembur-lembur) atau menambahkan orang-orang untuk saya yang bekerja membantu membereskan gaweyan. Mereka akan memilih opsi tersebut atau tetap sama dalam waktu 6 bulan.

Lalu pekerjaan pun akan berlangsung dengan lancar. Salah satu hal yang saya syukuri sebagai penulis adalah, saya berhak menentukan dan mengatur apakah saya menerima atau menolak pekerjaan. Saya juga berhak mengatur lalu lintas pekerjaan yang harus diikuti oleh klien dan semua pihak yang terlibat kerja demi suksesnya gaweyan. Alhamdulillah, karena saya berusaha keras disiplin, ndilalah selama ini ketemu klien dan tim kerja yang juga senang berlari cepat dan disiplin, sehingga semuanya boleh dikatakan selesai dengan baik.

Bagaimana denganmu? Apakah kamu sudah menghargai waktumu? Atau kamu lebih sibuk bernyinyiran dan berjulidan di mana-mana, tapi gaweyan pokokmu dengan standar minimal saja tidak terpenuhi? Atau kamu merasa bahwa waktu berulang setiap hari, kenapa begitu ribetnya? Silakan merenungkan sesuai dengan pemahaman masing-masing. ****

Please follow and like us:

Aqiqah: Selamatan Bayi versi Islam

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 9 Juli 2022 dengan link berikut ini.

https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313826245/aqiqah-selamatan-bayi-versi-islam

NONGKRONG.CO —Kalau membicarakan aqiqah, maka secara umum kita secara mayoritas mengetahui bahwa itu adalah selamatan bayi versi orang Islam. Dalam selamatan aqiqah ini orang terbiasa mengingat bahwa selamatan itu identik dengan pemotongan kambing. Kalau bayi laki-laki, maka akan dipotong kambing jantan dua ekor. Kalau bayi perempuan, maka kambing yang dipotong sebanyak satu ekor.

Hal ini sesuai dengan hadist yang artinya, Siapa dari kalian yang suka menyembelih atas kelahiran anak maka lakukanlah, anak laki-laki dua ekor kambing yang cukup syarat, anak perempuan dengan satu ekor.” (HR Ahmad, Abu Dawun, An-Nasaa-i).

Selanjutnya dari daging kambing tersebut akan dimasak menjadi sate dan gule atau jenis masakan lainnya sesuai dengan kesenangan tuan rumah atau orang tua si bayi. Masakan kambing tersebut akan digabungkan dengan masakan lain, lalu diwadahi dalam tempat tertentu dan diidentifikasi sebagai nasi berkat aqiqahan.

Sebagian nasi berkat tersebut dinikmati saat kenduri dan sebagian lainnya akan dibawa pulang oleh tamu-tamu acara aqiqah, dan sebagian lagi akan diantarkan kepada tetangga kiri kanan dan sanak kerabat yang tidak hadir pada acara kenduri.

Dalam bahasa Arab aqiqah itu berasal dari kata al qat’u yang berarti memotong. Pengertian aqiqah secara harfiah berarti memotong rambut bayi yang baru lahir. Adapun secara umum berarti memotong binatang ternak pada hari ketujuh setelah bayi dilahirkan. 

Binatang ternak yang boleh dipotong pada saat aqiqah sebenarnya tidak hanya kambing, tetapi bisa juga sapi atau unta. Bagi mereka yang menggunakan unta atau sapi, cukup 1 ekor unta atau 1 ekor sapi untuk 1 orang anak. Namun yang umum adalah menggunakan kambing karena sesuai dengan hadist tentang aqiqah. Selanjutnya tradisi yang mendunia di kalangan orang Islam tentang binatang ternak untuk aqiqah adalah memotong kambing.

Pada prinsipnya hukum pelaksanaan aqiqah adalah sunnah muakad atau ibadah penting dan diutamakan. Oleh karena itu bagi orang tua yang mampu, aqiqah sebaiknya diselenggarakan sesegera mungkin atau pada saat si anak masih bayi. Namun bila belum mampu mengadakan aqiqah, hukumnya tetap tidak berdosa.

Dalam riwayat Al-Hasan dari Sammuroh rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Semua anak tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelihkan pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberikan nama. (HR Ahmad 20722, At-Turmudzi 1605 dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Hadist tersebut merupakan dasar hukum pelaksanaan aqiqah. Aqiqah juga menjadi acara selamatan bayi yang umum di kalangan orang Jawa, karena mayoritas mereka beragama Islam. Jadi, selain selamatan bayi versi orang Jawa seperti brokohan, sepasaran, selapanan, telonan, pitonan, dan setahunan, mereka juga mengadakan aqiqahan. Bagi sebagian orang Jawa yang menganggap aqiqahan merupakan perintah agama, sedangkan selamatan lainnya bukan; mereka lebih mementingkan acara aqiqahan ini.

Pelaksanaan aqiqah cenderung dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Setiap bayi digadaikan oleh aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hati ketujuh, lalu dicukur dan diberi nama. (HR. An-Nasa’i)

Pelaksanaan aqiqah pada umumnya sesuai dengan kemampuan orang tua masing-masing si bayi. Kalau orang tuanya tidak mampu, tidak berdosa bila tidak menyelenggarakan aqiqahan. Selanjutnya seseorang boleh mengaqiqahi dirinya sendiri ketika dewasa dan memiliki kemampuan untuk itu.

Prosesi pelaksanaan aqiqah yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

  1. Penyembelihan Kambing.

Dalam proses penyembelihan kambing ini tidak boleh mematahkan tulang dari sembelihan. Ini merupakan simbol atau gambaran agar si anak juga selamat anggota tubuhnya sepanjang waktu.

  • Pembuatan Masakan atau Nasi Berkat.

Setelah penyembelihan akan dilakukan pemasakan daging kambing. Di Indonesia, umumnya dibuat sate dan gule. Lalu ditambahkan dengan nasi, sayur, lauk pauk, buah, dll sesuai kebiasaan masyarakat di daerah tersebut.

  • Mencukur Rambut Bayi dan Pemberian Nama.

Setelah doa bersama, akan dilakukan kenduri dengan makan bersama nasi berkat aqiqahan, dan membagikan nasi berkat kepada keluarga dan tetangga yang tidak hadir di acara kenduri. Setelah itu, orang tua si bayi harus mencukur rambut si bayi dan memberikan nama yang baik untuk anaknya. Nama itu kemudian diumumkan kepada para hadirin kenduri acara aqiqahan.

Setelah memotong rambut si bayi dan pemberian nama, dilanjutkan dengan memasukkan sesuatu yang manis ke mulut si bayi. Biasanya berupa madu atau kurma yang telah dikunyah lembut. Makanan manis merupakan sumber kekuatan fisik untuk si bayi. Kebiasaan ini sudah berlangsung umum bagi mereka yang mengadakan aqiqah.

Sebenarnya prosesi aqiqahan sudah selesai setelah pemberian nama. Semua orang yang hadir di acara aqiqahan boleh pulang dengan membawa berkat masing-masing. Syarat selamatan dan pemberian nama versi orang Islam pun sudah memenuhi syarat.

Sebagian orang Jawa ada pula yang memberikan bahan aqiqahan dalam versi mentah. Harapannya si penerima bisa mengolahnya sesuai selera. Selain itu, bahan mentah diharapkan juga lebih bermanfaat dalam waktu yang lama. Kalau sudah berupa nasi berkat matang, kalau tidak segera dimakan pasti akan segera basi atau tidak enak dimakan.

Bagi anak yang orang tuanya tidak mampu dan saat dewasa sudah memiliki kemampuan finansial,dapat melakukan aqiqah secara mandiri. Menurut pendapat sebagian ulama, bila orang tuanya dulu tidak mampu, maka ia tidak punya kewajiban untuk melakukan aqiqah. Dengan kata lain, kewajiban aqiqah itu sudah gugur pada saat orang tuanya dulu tidak mampu mengadakan aqiqah.

Namun sebagian ulama yang lain menganggap, ketika si bayi yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya karena tidak mampu, kalau dia sudah dewasa dan mampu menyelenggarakan aqiqah, dia berkewajiban mengadakan aqiqah untuk dirinya sendiri. 

Sebagian ulama yang lain menganggap kewajiban si anak yang telah dewasa ini khusus untuk mereka yang pada waktu bayi dulu orang tuanya dalam keadaan mampu, tetapi belum menyelenggarakan aqiqah untuk dirinya.

Anda mau mengikuti prinsip yang mana, silakan saja sesuai dengan pemikiran dan pemahaman masing-masing. Ada yang merasa lebih mantap kalau dirinya belum diaqiqahi oleh orang tuanya menjalankan aqiqah secara mandiri. Ada pula yang menganggap tidak wajib karena itu adalah tugas orang tuanya, bukan kewajiban dirinya.

Ada pandangan yang menyatakan, “Jika seseorang anak tidak diaqiqahi, maka ia tidak akan memberi syafaat kepada orang tuanya pada hari kiamat nanti.”

Sementara Imam Asy Syafi’i menyarankan aqiqah tetap dilaksanakan walaupun anak sudah cukup umur. “Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, kewajiban orang tua menjadi gugur. Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak.” (Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)

Seperti itulah tata cara dan hal-hal yang berkaitan dengan aqiqah. Di kalangan orang Jawa yang beragama Islam, mereka menjalankan juga aqiqahan ini di luar selamatan bayi lahir yang bermacam-macam itu. Artinya, bagi mereka yang mampu untuk menyelamati bayi, ada cukup banyak pengeluaran atau dana yang harus dipersiapkan.

Mereka yang sangat “Jawa” dan juga memegang agama Islam dengan kuat, biasanya menyelenggarakan semua selamatan tersebut. Mereka senang berbagi dan berkumpul dengan orang-orang dekatnya.

Sementara bagi sebagian yang menganggap bahwa selamatan bayi versi orang Jawa itu tidak ada tuntunan sesuai dengan agama Islam, kecenderungannya mereka hanya menyelenggarakan acara aqiqahan di awal kelahiran bayi; sehingga mereka bisa menghemat dan meringkas banyak acara. Cukup satu kali selamatan seumur hidup bayi sampai dewasa.

Bagaimanapun juga setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda. Ini adalah bentuk penerimaan dan akulturasi budaya Jawa dengan tradisi Islam. Orang Jawa dengan penganut Islam mayoritas, menjadi terbiasa dengan selamatan bayi versi orang Jawa ditambah dengan selamatan aqiqahan. Anda mau mengikuti yang mana, semua tergantung pandangan dan pertimbangan masing-masing.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

Please follow and like us:

Apa Potensi Dirimu?

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Rabu, tanggal 29 Juni 2022 dengan link berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063771978/apa-potensi-dirimu

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Saya introvert tulen. Karakter dasarnya pendiam dan soliter. Karenanya pekerjaan yang bersifat individu sangat mudah saya lakukan: membaca, menonton film, menulis, melukis, memotret, lari, jalan cepat, travelling, dll. Beruntung, saya memiliki orang tua yang menyadari minat saya pada dunia tulis menulis. Mereka memberikan dukungan penuh pada saya untuk mengembangkannya. Jadi, sejak belia (10 tahun) saya sudah menjadi penulis profesional yang dibayar sesuai dengan publikasi karya.

Dengan karakter itu, dari SD, SMP, SMA, saya tidak punya banyak teman dekat. Sahabat saya paling hanya dua atau tiga orang. Saya berkawan dengan teman-teman lainnya, tapi yang dekat hanya sedikit. Toh itu tidak jadi masalah. Sepulang sekolah, saya berjumpa saudara-saudara, orang tua, keluarga kerabat, dan tetangga-tetangga .

Saat saya mulai kuliah di Jogja, orang tua mengalami kebangkrutan usaha. Barulah saya menyadari ada masalah dengan karakter introvert. Saya harus bekerja dan berurusan dengan orang lain. Menurut saya, kalau bekerja partimer di tempat orang lebih banyak ribetnya. Selain tidak fleksibel soal waktu, honornya juga kecil. Padahal saya memerlukan uang lebih banyak untuk tetap bisa kuliah tanpa biaya dari orang tua.

Akhirnya, saya berusaha berbicara dengan baik agar bisa berdagang. Karena kepepet atau terpaksa, akhirnya saya bisa juga berdagang barang-barang kerajinan marmer. Pemilihan barang kerajinan kerajinan marmer karena inilah barang-barang yang boleh saya ambil dulu tanpa menaruh uang atau jaminan. Sekedar kepercayaan karena bapak saya mengenal pemiliknya.

Dari sana saya pun mulai belajar tentang “berbicara yang baik”. Ilmu public speaking  pada waktu itu mungkin belum semaju sekarang, tetapi jelas ada. Saya berguru pada orang-orang yang saya anggap mumpuni tentang berbicara pada orang lain untuk berbagai kepentingan. Sejak belia saya menyadari bahwa mengetahui “ilmu dasar” tentang sesuatu itu sangat penting. Termasuk kemampuan berbicara. Terlebih karena saya mengetahui karakter saya introvert, berbicara kepada orang lain dan tampil di depan umum; itu bukan hal yang mudah.

Saya perlu berulang belajar dan mendorong diri lebih banyak —dibandingkan dengan mereka yang dasarnya extrovert dan suka berbicara atau tampil di depan umum. Semua memerlukan ilmu dan teknik yang berbeda. Tentu, ini bukan hal yang mudah untuk saya. Namun saya mengingat satu hal, kalau saya tidak bisa berbicara dan meyakinkan pihak lain, bagaimana saya bisa menjual barang dagangan saya dan mendapatkan untung?

Ketakutan tidak memiliki uang cukup dan tidak bisa melanjutkan kuliah, ternyata lebih besar daripada ketakutan saya berbicara kepada orang lain atau menyampaikan presentasi kepada pihak lain. Dan inilah yang kemudian mendorong saya bisa berbicara dengan baik. Secara terstruktur dan sistematis, lebih seperti pada saat saya menulis.

Setelah mulai berdagang dan mendapatkan uang lebih banyak itu, saya mulai mengenali karakter saya lainnya. Ternyata saya senang berbagi pengetahuan atau ilmu. Itulah yang mengantar saya menjadi guru privat untuk anak-anak SD, SMP, SMA. Wah, dulu kalau guru privatnya mahasiswa UGM —wes, orang tua murid-murid saya juga berharap anak-anak mereka kelak bisa kuliah di UGM. Jadi, cukup makmurlah saya jadi guru privat waktu itu. Belum lagi kalau orang tua si murid baik hati; suguhan makan minumnya lebih mahal atau lebih banyak dari honor saya. Kesenangan berbagi ilmu inilah yang membuat saya sering jadi guide dadakan di Candi Borobudur. Saya banyak mempelajari sejarah candi-candi nusantara dan ingin membagikan kepada mereka yang tidak tahu. Jadi guide bisa menjadi sarana itu dan saya pun mendapatkan fee yang layak.  

Kondisi ekonomi orang tua sayalah, yang mendorong saya untuk mengidentifikasi dan mengkomersialkan kemampuan diri. Dengan berdagang, saya mendapat untung. Dengan mengajar dan jadi guide, saya mendapat fee. Dengan menulis, saya mendapat honor. Dari pekerjaan-pekerjaan itulah saya bisa punya banyak duit selagi mahasiswa.

Sebenarnya uang dari penulisan cerpen cukup banyak, tapi karena kapan datangnya honor tidak menentu; agak sulit bagi saya mengatur uang. Selain itu, saya merasa harus berbagi dengan saudara saya dan orang tua yang sedang kesulitan ekonomi. Saya merasa turut bertanggung jawab terhadap kehidupan mereka. Saya ikut senang kalau bisa turut membantu urusan keperluan mereka.

Keterampilan saya berbicara itu ternyata bermanfaat ketika saya bekerja menetap di Penerbit dan PH (Production House). Ketika saya memutuskan untuk menerbitkan atau memvisualkan karya sebagai sinetron atau film, itu berarti saya harus siap mempresentasikan karya tersebut di depan direktur atau produser.

Dan apakah mereka cukup punya banyak waktu? Tidak. Kadang mereka hanya memberikan waktu lima menit. Kalau dalam lima menit, saya tidak bisa menunjukkan seluruh isi materi dan daya tariknya suatu tulisan, maka program tersebut bisa ditolak alias tidak diterbitkan ataupun tidak difilmkan.

Dulu, jadi penulis saya anggap bisa bekerja sendirian dalam diam dan tidak berurusan dengan pihak lain. Dalam perkembangannya, ternyata tidak demikian. Saya harus ikut mempromosikan karya yang sudah dipublikasikan. Saya perlu mengisi bedah buku, komunikasi tatap muka dengan pembaca, book signing, mengisi workshop-workshop penulisan, mempresentasikan karya di depan klien atau sponsor, dll.

Ternyata jadi penulis tetap harus berbicara dan bekerja sama dengan pihak lain. Saat menulis kita memang sendirian dan sunyi, tapi kalau sudah berurusan “menjual” karya tulisan, kita tetap harus berbicara dan berurusan dengan pihak lain. Tentu ini kalau ingin tetap survive sebagai penulis profesional dalam waktu yang lama.

Akhirnya, saya jadi terbiasa. Saya sudah happy saja mengerjakan semua aktivitas itu. Berbicara di depan umum yang dulu sangat saya hindari, sekarang sudah jadi kebiasaan. Sudah tidak terhitung lagi saya berbicara di depan kelas, presentasi karya, promosi buku/sinetron/film, mengisi kelas-kelas penulisan, memberi kuliah, dll.

Kalau harus jujur, maka saya tetap lebih nyaman bekerja di balik layar dalam sunyi. Tampil-tampil di depan umum dan berbicara untuk banyak orang, bukanlah kesenangan saya. Karena tuntutan karir begitu, saya pun harus melakukannya dengan gembira. Orang lain yang mengenal saya belakangan, mungkin tidak menyadari bahwa karakter saya introvert tulen.

Nah, bagaimana dengan kamu? Apakah kamu sudah mengetahui dengan pasti potensi dirimu? Atau selama ini kamu bekerja dan memilih karir karena tidak ada pilihan lainnya?

Tidak setiap orang bisa mengetahui minat dan potensi dirinya. Kalau masih muda belia, dan kamu merasa ragu-ragu atas minat dan potensimu; sebaiknya datang ke psikolog. Kamu bisa konsultasi dan menjalani serangkaian tes pemeriksaan untuk menentukan minat dan potensi dirimu? Tentu saja tidak gratis. Langkah ini akan membantumu untuk memilih jalur karir yang bisa melejitkan potensimu.

Seseorang yang punya minat bakat dan memilih jalur kerja yang sesuai, pasti berbeda dengan mereka yang salah arah. Sebenarnya rasa suka terhadap bidang yang ditekuni itulah yang terpenting. Dengan demikian, kalau ada tantangan, hambatan, bisa tetap bertahan untuk menentukan solusinya. Sementara kalau tidak memiliki minat, persoalan kecil pun bisa membuat orang patah semangat.

Bagaimana kalau kamu merasa sudah terlambat dan kelewat umur untuk alih jalur karir? Mau pindah kerja, rasanya kok sudah mapan dan di bidang lain belum tentu menjanjikan? Ya tidak apa-apa bertahan di pekerjaan yang sudah lama ditekuni. Ini kan pilihan masing-masing.

Ada juga orang yang merasa bahwa pilihan karirnya tidak sesuai minat bakatnya. Dia tetap bekerja di bidang tersebut, sambil berinvestasi dan mengasah keterampilan di bidang yang sesuai minatnya. Ketika dia sudah siap dan mampu, dia memilih pensiun dini dan memulai karir sesuai pilihan hatinya. Ada pula yang memutuskan memulai karir di bidang sesuai minatnya saat dia pensiun.

Semua itu tinggal pilihan sesuai dengan pertimbangannya masing-masing. Tidak ada yang salah dengan pilihan setiap orang. Setiap pilihan ada konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan. Karenanya tidak bijak, mencampuri pilihan dan pandangan orang lain.

Namun dengan tulisan ini, saya ingin mengajak setiap orang —terutama generasi muda untuk lebih mengenal potensi dirinya. Dengan mengidentifikasi minat, bakat, dan kemampuan masing-masing, ia bisa lebih pas dan tepat dalam memilih pekerjaan atau karirnya. Sekurangnya dengan memilih jalur karir atau pekerjaan yang sesuai dengan minatnya, peluang untuk sukses itu jauh lebih besar.

Adanya minat pada bidang yang ditekuni, juga akan mendorong seseorang untuk menghasilkan karya-karya yang lebih baik. Mereka akan berkembang lebih pesat daripada mereka yang berada di bidang tersebut karena salah jalur atau tidak sesuai dengan minatnya.

Pengetahuan seperti ini, belum banyak kita sadari. Para orang tua pun, kadang tidak peduli dengan urusan begini. Kadang-kadang sudah sampai hendak pemilihan kampus (tingkat sarjana) yang berarti lebih pada keahlian spesifik, seorang anak pun belum tahu bidang apa yang menarik hatinya.

Hal ini terjadi karena selama pendidikan SD, SMP, SMA, mereka menjalani sekolah secara standar. Mereka mengikuti kurikulum pendidikan kita yang meluas ke banyak urusan. Orang tuanya pun terlalu sibuk untuk memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Guru tidak sempat pula karena beban tugas yang terlampau banyak. Belum lagi urusan di rumah tangga masing-masing.

Jadinya, ketika mau kuliah anak-anak pun gamang. Mereka tidak tahu harus memilih jurusan apa. Mereka baru bertanya-tanya, mau kuliah di mana dan jurusan apa. Betapa banyaknya waktu yang terbuang, sehingga mereka tidak sempat mengasah minat bakatnya secara maksimal.

Berbeda dengan anak-anak yang berada di lingkungan dengan kesadaran “membangun masa depan” lebih baik. Orang tua, guru akan mendorong dan mengarahkan setiap anak untuk mengidentifikasi minat bakatnya. Sedari dini, mereka diajak mengenal potensi dirinya. Setelah itu, orang tua dan guru akan mendukung anak-anak ini untuk mengembangkan minat dan bakatnya.

Dengan demikian, minat bakat tersebut akan menjadi keterampilan praktis atau keahlian khusus untuk survive di masa depan. Anak-anak yang berasal dari lingkungan seperti ini, umumnya memiliki keahlian dan menguasai medan kerja dengan sangat baik. Bekerja dengan lebih baik, berarti pendapatan yang lebih banyak, dan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan orang lain.

****

Please follow and like us:

Setahunan: Selamatan Bayi 1 Tahun (420 Hari)

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 2 Juli 2022 dengan link sebagai berikut.

https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313795701/setahunan-selamatan-bayi-1-tahun-420-hari

NONGKRONG.CO —Setahunan adalah selamatan bayi yang berumur 1 tahun (Jawa) atau 420 hari (12 x 35 hari). Bagi orang Jawa, selamatan setahunan ini tidak sepenting selamatan tedhak siten atau pitonan. Mereka biasanya menyelenggarakan selamatan setahunan dengan lebih sederhana dibandingkan dengan pitonan.

Pada saat acara setahunan ini, semua uborampe atau perlengkapan selamatan dapat dikatakan lebih kurang sama dengan acara selapanan atau telonan. Beberapa pihak bahkan mengatakan, untuk selamatan setahunan ini mereka tidak membuat nasi berkat secara tradisional. Acara selamatan setahunan-nya dibarengkan dengan acara ulang tahun ke-1 si anak. Biasanya hidangan makannya sesuai selera si pengundang dan tersedia kue-kue ulang tahun untuk anak-anak.

Bagi mereka yang masih membuat nasi berkat untuk acara selamatan setahunan ini, biasanya mereka mempersiapkannya untuk dibagi-bagikan. Pada acara ini uborampe yang harus disiapkan ada tujuh macam, yaitu (1) tumpeng, (2) sayur 7 macam, (3) telur ayam rebus 7 butir, (4) cabai, bawang merah, dan bawang putih, (5) nasi gudangan, (6) buah-buahan sebanyak 7 macam, dan (7) bubur merah putih 7 porsi. Setiap uborampe merupakan simbol sesuatu dan memiliki makna filosofis yang berbeda-beda.

Pertama, tumpeng.

Tumpeng adalah simbol hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan YME. Semakin baik dan tinggi tumpeng yang dibuat, menandakan harapan agar hubungan manusia dengan Tuhannya pun dari waktu ke waktu semakin baik.

Tumpeng yang dikelilingi oleh lauk pauk di bagian bawahnya merupakan simbol dari masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan dengan berpusat pada gunung (yang diyakini oleh orang Jawa di masa lampau sebagai tempat tinggalnya TuhanYang Maha Kuasa). Tanah-tanah di sekitar gunung dianggap sebagai tanah yang paling subur. Tanah subur menghasilkan panen pertanian yang melimpah. Berlimpahnya hasil panen akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Itulah pengertian dari tumpeng dalam pandangan sebagian besar orang Jawa.

Kedua, sayur 7 macam.

Jenis sayuran dalam selamatan setahunan ini bebas sesuai dengan selera penyelenggaranya. Dalam selamatan setahunan harus ada kangkung dan kacang panjang. Kangkung menjadi simbol permintaan agar si bayi terus jinangkung atau terjaga dalam pemeliharaan Tuhan.

Kacang panjang merupakan simbol permohonan agar si bayi panjang umur. Sayur 7 macam ini menyimbolkan agar kelak si bayi dapat hidup seperti sayur-sayuran itu. Mudah tumbuh, mudah membaur di segala situasi, dan bermanfaat bagi banyak orang.

Ketiga, telur ayam rebus 7 butir.

Telur yang masih mentah gampang rusak, jatuh pun langsung ambyar. Itulah sebabnya dalam selamatan setahunan, telur yang disediakan harus sudah direbus. Telur rebus lebih kuat, tidak gampang pecah, mudah dimakan, dan lebih mudah diberikan atau dipindahtangankan kepada pihak lain. Telur rebus merupakan harapan agar si bayi menjadi orang yang berkepribadian baik dan tangguh.

Keempat, cabai, bawang merah, dan bawang putih.

Ketiga bumbu dasar dapur orang Jawa ini harus ada dalam selamatan setahunan. Dengan ketiga bumbu dasar ini, orang Jawa bisa memasak segala jenis masakan. Ini merupakan simbol agar si bayi kelak menjadi mandiri, tidak menjadi tanggungan orang lain, dan bermanfaat bagi sesamanya.

Kelima, nasi gudangan. 

Nasi gudangan berisi nasi dan sayur urap yang komplit. Filosofi penting dalam nasi gudangan ini adalah adanya urap yang berarti urip kudu urup. Seseorang harus bisa menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya agar dapat hidup dengan baik di tengah masyarakat.Orang Jawa pada prinsipnya memegang konsep kemandirian dalam kehidupan.

Keenam,  buah-buahan 7 macam.

Pada saat acara selamatan setahunan, buah-buahan 7 macam ini jenisnya bebas. Sesuka orang tua si bayi atau penyelenggarannya. Makna filosofis yang ada dalam pengadaan buah ini adalah harapan agar si bayi kelak menghasilkan “buah”. Si bayi kelak mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Ketujuh, bubur merah putih 7 porsi.

Sebagaimana selamatan lainnya, bubur merah putih pada selamatan setahunan ini melambangkan kehidupan dan kerukunan bersama. Adanya bubur merah putih diharapkan dapat menjadi pendorong bagi si bayi kelak agar dapat hidup rukun dengan keluarga, kerabat, tetangga, relasi, dan masyarakat luas; serta memberikan kontribusi yang banyak untuk bangsa, negara, dan agama.

Itulah ubarampe selamatan setahunan bayi. Setelah semua siap, semua akan dihajatkan oleh tetua atau pinisepuh di keluarga tersebut. Si bayi yang hendak diselamati setahunan biasanya ditempatkan di sekitar nasi berkat yang sudah disiapkan.

Pada saat selamatan setahunan, sebagian besar orang Jawa membacakan atau melakukan doa bersama untuk kesehatan, keselamatan, kebahagiaan, dan keberkahan si bayi dan keluarganya dalam bahasa Jawa. Namun sebagian ada yang membacakan doa dalam bahasa Arab. Biasanya doa yang dibaca dalam acara selamatan setahunan adalah sebagai berikut.

  1. Doa Mohon Keberkahan untuk si Bayi

Dalam hadist dikisahkan bahwa Abu Musa RA mengatakan, “Ketika anakku lahir, aku membawanya ke hadapan Nabi SAW (Muhammad SAW). Beliau memberi nama bayiku Ibrahim, dan mentahnik dengan kurma, lalu mendoakannya dengan keberkahan. Kemudian beliau kembalikan kepadaku.” (HR Bukhari 5467 dan Muslim 2145).

Berkaitan dengan doa keberkahan untuk si bayi, tidak ada doa yang khusus atau tertentu. Namun di kalangan orang Jawa, banyak di antara mereka yang membacakan doa ini.

Allahumma ak-tsir maalii wa waladii, wa baarik lii fiimaa a’thoitanii wa athil hayaatii ‘ala tho’atik wa ahsin ‘amalii wagh-fir lii.

Artinya:

“Ya Allah perbanyaklah harta dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan pada-Mu dan baguskanlah amalku serta ampunilah dosa-dosaku.”

  • Doa Meminta Perlindungan dari Godaan Setan

Doa ini diambil dari Surat Al Baqarah ayat 255 atau yang terkenal dengan sebutan ayat kursi berikut ini.

Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa naum. Lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ardli man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa biidznih, ya’lamu maa baina aidiihim wamaa kholfahum wa laa yuhiithuuna bisyai’im min ‘ilmihii illaa bimaa syaa’ wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardlo walaa ya’uuduhuu hifdhuhumaa wahuwal ‘aliyyul ‘adhiim”.

Artinya:

“Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain  Dia yang hidup kekal, lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

  • Doa agar Bayi Menjadi Anak Sholeh dan Sholeha

Pada acara setahunan, para undangan biasanya diajak juga untuk mendoakan banyak orang. Sekurangnya mereka akan Surat Al Fatihah untuk berbagai pihak. Pertama, membacakan Al Fatihah untuk Nabi Muhammad SAW. Kedua, membacakan Al Fatihah untuk para aulia dan ulama. Ketiga, membacakan Al Fatihah untuk seluruh nabi, aulia, ulama, syuhada, sholihin, dan seluruh umat islam. Keempat, membacakan Al Fatihah untuk seluruh leluhur keluarga. Kelima, membacakan Al Fatihah secara khusus untuk orang tertentu.

Berikut ini bacaan Surat Al Fatihah dan artinya:

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

1. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang

Alhamdu lillaahi Rabbil ‘aalamiin

2. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,

Ar-Rahmaanir-Rahiim

3. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,

Maaliki Yawmid-Diin

4. Pemilik hari pembalasan.

Iyyaaka na’budu wa lyyaaka nasta’iin

5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.

Ihdinas-Siraatal-Mustaqiim

6. Tunjukilah kami jalan yang lurus

Siraatal-laziina an’amta ‘alaihim ghayril-maghduubi ‘alaihim wa lad-daaalliin

7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Baru setelah kegiatan membacakan Al Fatihah untuk banyak orang ini selesai, akan dibacakan doa untuk si bayi.

Allahummaj ‘al awladana awladan sholihiin haafizhiina lil qur’ani wa sunnati fuqoha fid diin mubarokan hayatuhum fid dun-ya wal akhirah

Artinya: 

“Ya Allah, jadikanlah anak-anak kami anak yang saleh salehah, orang-orang yang hafal Alquran dan sunah, orang-orang yang paham dalam agama dibarokahi kehidupan mereka didunia dan di akhirat.”

  • Doa Selamat Dunia Akhirat

Selamat sejahtera dunia akhirat adalah harapan setiap orang Jawa yang mempercayai keberadaan Tuhan sebagai penciptanya. Oleh karena itu, pada selamatan setahunan ini, biasanya dibacakan juga doa selamat dunia dan akhirat.

Allaahumma innaa nas aluka salaamatan fid diin, wa ‘aafiyatan fil jasad, wa ziyadatan fil ‘ilmi, wabarokatan dir rizqi, wa taubatan qoblal maut, warohmatan indal maut, wa maghfirotan ba’dal maut. Allaahumma hawwin ‘alainaa fii sakarootil maut, wan najaata minan naar, wal ‘afwa indal hisaab.”

Artinya:

“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu keselamatan ketika beragama, kesehatan badan, limpahan ilmu, keberkahan rezeki, tobat sebelum datangnya maut, rahmat pada saat datangnya maut, dan ampunan setelah datangnya maut. Ya Allah, mudahkanlah kami dalam menghadapi sakaratul maut, berikanlah kami keselamatan dari api neraka, dan ampunan pada saat hisab.”

Kegiatan pembacaan doa dilakukan setelah sesepuh melakukan pemberkatan atau memberikan doa pada semua uborampe perlengkapan selamatan yang telah dipersiapkan. Selanjutnya akan membaca semua doa tersebut.

Setelah doa bersama yang lebih panjang, bila dibandingkan pada acara selamatan brokohan, sepasaran, selapanan, telonan, tedhak siten; akan dilanjutkan dengan kenduri atau makan bersama. Kemudian ditutup dengan doa selamat dan keberkahan untuk semua pihak. Seterusnya semua tamu kembali ke rumah masing-masing dengan membawa nasi berkat yang telah dipersiapkan.

Seperti itulah selamatan setahunan bayi di lingkungan orang Jawa yang masih umum dilakukan. Ubarampe atau perlengkapan dari sega berkat dalam acara ini bisa beragam sesuai dengan adat daerah masing-masing. Secara umum orang Jawa masih dapat mengidentifikasi selamatan setahunan bagi bayi sesuai dengan uraian di atas.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

Please follow and like us:

Pitonan: Selamatan Bayi 7 Bulan (245 Hari)

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 25 Juni 2022 dengan link berikut ini. https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313741367/pitonan-selamatan-bayi-7-bulan-245-hari

Pitonan atau lebih dikenal sebagai tedhak siten merupakan selamatan untuk bayi yang berumur 7 bulan (Jawa) atau 245 hari. Setiap bulan versi orang Jawa dihitung 35 hari atau selapan. Jadi sebutan bayi 7 bulan itu berarti 7 bulan dikalikan selapan yang berarti 245 hari.

Kebiasaan orang Jawa biasanya mengadakan upacara seperti ini tidak persis di hari hitungannya. Kadang-kadang ditunda sehari atau dua hari. Kadang-kadang pula dipaskan pada hari libur, Sabtu atau Minggu. Tujuannya agar tidak mengganggu pekerjaan orang tuanya dan memudahkan kerabat untuk menghadiri acara tedhak siten.

 Seperti acara selamatan bayi lainnya, yaitu brokohan, sepasaran, selapanan, maupun telonan, selamatan pitonan ini pada prinsipnya merupakan acara syukuran atas kelahiran bayi. Acara ini merupakan kegiatan untuk memohonkan perlindungan dan keselamatan si bayi kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Acara pitonan atau tedhak siten merupakan selamatan bayi yang mendapatkan perhatian khusus di kalangan orang Jawa. Pada saat ritual tedhak siten, si bayi sudah mulai melangkah atau menjejak di tanah. Tujuan selamatan pitonan ini demi mendapatkan masa depan yang cerah bagi si bayi. Selamatan pitonan merupakan bentuk bimbingan dari orang tua kepada si buah hati. Tradisi tedhak siten sudah ada sejak zaman dulu kala dan diwariskan secara turun temurun.

Tradisi telonan atau tedhak siten ini memerlukan ubarampe lebih banyak daripada selamatan bayi lainnya. Bayi umur 7 bulan sudah bisa melangkah ke bumi  dan ini merupakan proses penting. Seorang bayi yang semula harus digendong orang lain, kini sudah bisa mulai melangkah dengan kakinya sendiri.

Itulah sebabnya selamatan ini juga disebut dengan tedhak siten. Tedhak berarti melangkah atau turun. Adapun siten berarti “siti” atau tanah yang berarti tanah atau bumi. Sekurangnya tedhak siten berarti turun ke bumi atau melangkah ke bumi. Tradisi tedhak siten merupakan gambaran kesiapan seorang anak untuk menjemput kehidupan yang sukses di masa depan.

Dalam tradisi orang Jawa, acara tedhak siten biasanya pagi hari dan diadakan di halaman rumah orang tua si bayi. Selamatan ini menggunakan berbagai ubarampe yang menunjukkan  kesiapan si bayi menghadapi masa depan. Segala ubarampe yang dipersiapkan untuk acara tedhak siten merupakan simbol permohonan kepada Tuhan agar memberikan perlindungan, keselamatan, dan keberkahan pada hidup si bayi.

Ubarampe untuk kegiatan tedhak siten sangat banyak dengan berbagai ketentuan. Semakin mampu suatu keluarga, biasanya mempersiapkan acara tedhak siten ini semakin komplet dan mewah.

Berikut ini adalah beberapa ubarampe yang harus disiapkan untuk acara tedhak siten.

  • Kurungan Ayam.

Kurungan ayam ini terbuat dari bambu untuk mengurung ayam hidup. Kurungan ayam ini biasanya dihiasi semeriah dan semenarik mungkin agar terlihat bagus dan keren. Hiasannya biasanya warna-warni yang sangat cerah dan menggembirakan anak-anak. Di dalamnya biasanya disediakan buku tulis, alat tulis, perhiasan, uang, kain, gunting, dll barang yang bermanfaat.

  • Jenang Warna-Warni.

Jenang ini dibuat dari ketan dengan tujuh warna. Biasanya warna yang digunakan adalah merah, putih, kuning, jingga, hijau, biru, dan ungu. Ini sebagai penanda bahwa kehidupan itu beragam warna dari yang terang maupun tidak terang.

  • Tangga dan Kursi.

Tangga dan kursi yang dipersiapkan untuk acara tedhak siten ini adalah tangga kursi yang dibuat dari tebu. Tebu ini singkatan antebing kalbu yang berarti kesungguhan tekad si bayi dalam menghadapi kehidupan.

  • Ayam Panggang.

Ayam panggang pada bagian ini merupakan ayam panggang yang ditusukkan pada batang tebu. Pada bagian ayam panggang ini di sekitarnya diberi pisang, beraneka barang dan berbagai jenis alat permainan.

  • Tumpeng Robyong.

Tumpeng robyong merupakan salah satu jenis tumpeng di Jawa dengan ciri tertentu, yaitu adanya telur, cabai, bawang merah dan terasi yang ditusukkan pada bagian puncaknya. Sementara di bagian bawah tumpeng akan tersedia berbagai lauk pauk, sayur, hingga isian lainnya.

  • Bubur.

Bubur dalam hal ini sama dengan bubur untuk selamatan bayi lainnya, yaitu bubur merah dan bubur putih. Kedua bubur merah putih ini melambangkan kehidupan atau kerukunan orang tua si bayi.

  • Jadah.

Jadah dalam hal ini juga terdiri dari 7 warna, yaitu merah, putih, kuning, jingga, hijau, biru, dan ungu. Jadah dibuat dari ketan yang melambangkan kekuatan persatuan. Dengan bersatu padu, segala sesuatu yang sulit akan mudah diatasi.

  • Buah-buahan.

Biasanya akan disediakan 7 jenis buah-buahan yang populer atau sedang musim di lingkungan orang Jawa. Buah-buahan yang sering disediakan adalah jeruk, apel, pisang, duku, salak, jambu, semangka. Jenis buah-buahan ini bebas sesuai dengan selera penyelenggara.

  • Jajanan Pasar.

Jajanan pasar yang disediakan dalam hal ini juga ada 7 macam. Jenisnya bebas tergantung dari masing-masing penyelenggara. Jajanan pasar yang umum disediakan adalah onde-onde, wajik, lemper, pisang goreng, dadar gulung, serabi, dan kue  lumpur.

  • Udik-udik.

Udik-udik berarti uang kertas atau uang recehan yang disebarkan pas acara tedhak siten. Penyebarnya adalah ayah dan kakek si bayi. Besaran uang untuk udik-udik tergantung kemampuan masing-masing penyelenggara tedhak siten.

  • Air

Air yang telah dibiarkan semalam terkena embun dan pagi sudah terkena sinar matahari. Ini menyimbolkan kesabaran untuk mendapatkan sesuatu.

  • Ayam Hidup.

Ayam hidup ini dilepaskan pada saat acara dan ada sesi untuk dibiarkan ditangkap oleh tamu undangan. Siapa yang berhasil mendapatkan ayam tersebut, boleh membawanya pulang sebagai sedekah dari orang tua si bayi.

  • Bunga Sri Taman.

Bunga untuk memandikan bayi saat acara tedhak siten hampir rampung demi membersihkan segala kotoran dan memiliki aroma yang harum. Bunga sritaman terdiri dari mawar, melati, magnolia, dan kenanga.

  • Pakaian Bayi.

Pakaian bayi untuk acara ini harus pakaian bayi yang baru, indah dan sesuai untuk si bayi. Tujuannya agar bayi bergembira dan berbahagia dalam kehidupannya.

Biasanya bayi yang dipitoni akan didandani sebagus atau secantik mungkin untuk dokumentasi dan untuk menyambut tamu-tamu undangan yang datang. Setelah semua ubarampe disiapkan, keluarga si bayi akan berkumpul di tempat upacara. Tamu undangan biasanya ada di sekitarnya atau di tempat yang telah ditentukan.

Acara pitonan biasanya dimulai dengan pembukaan oleh sesepuh yang dipasrahi untuk memimpin acara. Doa pembuka permintaan selamat dan berkah akan dibacakan pada saat ini.

Selanjutnya akan dilakukan ritual berikut ini untuk si bayi.

  • Berjalan Pada 7 Warna.

Si bayi akan dipandu untuk berjalan melewati jenang 7 warna; merah, putih, kuning, jingga, hijau, biru, dan ungu. Ritual ini menggambarkan bahwa di masa depan si bayi diharapkan dapat melalui dan mengatasi semua hambatan dalam kehidupannya.

  • Menginjak Tangga dari Tebu.

Sesepuh membimbing si bayi untuk menginjak tangga yang terbuat dari tebu jenis “Arjuna” dan selanjutnya dibawa untuk segera turun. Tebu dalam versi orang Jawa merupakan singkatan dari antebing kalbu yang berarti kekuatan hati sebagai pejuang kehidupan.

Dari kegiatan ini menunjukkan pengharapan orang tua kepada anaknya, bahwa kelak di kemudian hari dia akan menjadi pejuang sejati seperti Arjuna. Si anak pun diharapkan dapat menghadapi kehidupan dengan kesatria seperti tokoh Arjuna yang penuh semangat.

  • Jalan Di Tumpukan Pasir.

Setelah anak dari tangga tebu kemudian dipandu oleh sesepuh untuk melangkah sebanyak dua langkah dan didudukkan di atas tumpukan pasir yang telah disiapkan. Biasanya si anak akan melakukan eker dengan kedua kakinya, atau bermain pasir. Dalam bahasa Jawa ini disebut dengan ceker-ceker yang berarti anak tersebut dapat bekerja untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

  • Masuk ke Kurungan Ayam.

Setelah anak beberapa saat dibiarkan ceker-ceker di pasir, tetua akan membimbing anak masuk ke kurungan ayam yang telah dihias. Di dalam kurungan ayam tersebut, di sudah tersedia beragam barang yang bermanfaat, seperti buku tulis, alat tulis, perhiasan, dll.

Anak akan masuk ke kurungan ayam tersebut dan dibiarkan untuk memilih barang yang menurutnya menarik. Barang-barang yang dipilih si anak dianggap melambangkan pekerjaan yang cocok untuk si anak di masa depan. Misalnya si anak memilih buku tulis, kemungkinan besar dia bekerja di bidang yang berkaitan dengan buku dan pendidikan. Adapun bila si anak memilih kain, mungkin dia akan bekerja di dunia pertekstilan atau fashion, dan seterusnya.

Acara ini merupakan simbol profesi atau pekerjaan yang akan menjadi pilihan si bayi di masa depan. Kurungan ayam menunjukkan bahwa pekerjaan yang telah dipilih dengan baik, akan menghasilkan pendapatan yang baik, dan harus dijaga dengan baik-baik pula.

  • Menyebarkan Udik-udik.

Pada saat anak dibiarkan berada di dalam kurungan ayam, pihak ayah dan kakek si anak menyebarkan uang, baik yang berupa uang kertas maupun uang receh yang biasa disebut dengan “udik-udik”. Uang ini boleh dan bebas diambil oleh para tamu undangan. Makna dari penyebaran udik-udik ini bahwa si anak setelah mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang memadai, dia harus bersikap dermawan. Mau membagikan sebagian kekayaannya kepada orang lain yang membutuhkan.

  • Memandikan Bayi dengan Bunga Sritaman.

Setelah anak masuk ke kurungan ayam dan sudah memilih barang tertentu, ia harus dikeluarkan dari kurungan dan dimandikan. Pada saat memandikan bayi ini, disediakan air dengan bunga sritaman. Bunga sritaman terdiri dari mawar, melati, magnolia, dan kenanga. Tujuan memandikan bayi dengan bunga sritaman ini untuk menunjukkan harapan bahwa si bayi kelak akan mengharumkan nama dirinya, keluarga, bangsa, dan negaranya dengan tindakan-tindakan yang baik.

  • Memakaikan Pakaian Baru.

Setelah semua ritual selesai, si bayi segera dipakaikan baju yang bagus dan indah. Baju ini harus yang indah dan baru. Hal ini menggambarkan bahwa si bayi siap menghadapi kehidupan yang baru dengan baik dan makmur.

Itulah selamatan pitonan atau tedhak siten di kalangan orang Jawa. Biaya selamatan tedhak siten ini cukup besar. Oleh karena itu tidak semua orang Jawa mengadakan acara ini. Mereka tetap mengadakan selamatan, tetapi dengan sederhana. Mereka mengadakan kenduri dan membagikan sego berkat kepada kerabat dan tetangga dekat.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Please follow and like us:

Kalau Kamu Menikah

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com hari Kamis, 23 Juni 2022 dengan link berikut ini. https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063729590/kalau-kamu-menikah

Suatu pagi saya masuk ke ruangan di kampus. Di situ ada 3 atau 4 orang —saya sudah agak lupa detailnya. Saya tidak mengenali mereka dan belum pernah bertemu. Tiba-tiba seseorang ala embok-embok menyeru keras kepada saya, “Gek ndang rabi. Kalau nggak punya pacar atau calon suami, sini takkenalin temenku. Dia duda, baru ditinggal mati istrinya dua bulan lalu. Nggak punya anak dan lagi cari istri baru. Kepenak to duda ra duwe anak.”

 Saya kaget dan menjadi awkward dengan kosakatanya yang kasar. Saya menahan emosi. Sebagai penulis yang tidak hanya kenyang berkarya, tapi juga sudah lebih dari makan asam garam berhadapan dengan fans dan haters, saya merasa wes fans berat ini. Hehe…, kalau dia tidak ngefans, pasti tidak mau repot-repot mencari tahu tentang  saya dan waton muni seperti itu. Lha saya tahu dia saja enggak, ketemu atau interaksi di sosmed juga belum pernah.

Pasti dia dengan pihak lain, wes ngrasani saya. Lalu menganggap saya yang belum menikah sebagai sesuatu yang buruk. Mungkin niatnya baik, tapi jadinya kurang etika karena tidak kenal. Baru kali itu saya berhadapan dengan orang nyinyir model begini.

Saya menurunkan emosi pada grade terendah. Eh, lah kok masih diteruskan nyinyirannya, “Kamu kan tahu, kalau orang Islam menjodoh-jodohkan dan sampai mereka menikah itu sama seperti membangun rumah di surga.”

Wahahaenteng betul dia mengkapling surga untuk dirinya sendiri? Dengan nyinyiran yang mirip pisau jagal sapi? Entahlah. Karena tidak hendak berbalas kata, saya pun pergi. Demi menetralisir energi negatif kiriman si julid, saya bermeditasi sejenak. Saya dengan sadar mendoakan jiwa si embok nyinyir, memaafkan kelakuannya, dan meminta maaf pada diri saya yang masih “terbawa emosi” sesaat. Setelah tenang, saya meneruskan gaweyan.

Dalam fase kehidupan kita yang normal, dari seseorang lahir bayi, anak-anak, remaja, dewasa, kuliah, kerja, menikah, beli rumah-kendaraan, punya anak, membesarkan anak, menikahkan anak, lalu fase hidup kembali berulang. Demikian itu pola kehidupan yang mainstream diterima dan dilakoni masyarakat kita. Lalu mereka yang tidak begitu, dianggap “salah”; terutama kaum perempuan.

Pada saat lebih belia, saya juga berpikir untuk mengikuti pola itu. Namun dengan banyaknya jatuh bangun urusan pernikahan, saya memilih berdamai dan menerima takdir. Saya sempat menduga ada masalah dengan kepribadian saya. Dengan sadar diri saya menemui psikolog, menjalani serangkaian tes dan pemeriksaan psikologi. Hasilnya saya baik-baik saja dengan beberapa keiistimewaan.

Saya juga tidak berlatar belakang keluarga broken home yang bisa membuat orang trauma dengan pernikahan. Ibu bapak saya menikah di usia belia, hingga usia pernikahan 35 tahun saat bapak meninggal. Ibu saya setia tidak menikah lagi hingga sekarang, hampir 20 tahun sejak bapak meninggal. Saudara-saudara saya menikah, punya anak-anak, dan keluarganya baik-baik.

Saya pernah mengadukan persoalan hidup kepada Tuhan. Seperti sebuah keajaiban, Tuhan seolah mengajak saya berbicara. Bagai slide film yang terpampang di depan mata, saya diajak menengok perjalanan hidup saya sejak lahir hingga tiba di depan Ka’bah saat itu. Tergambar berlimpahnya anugerah yang telah saya terima. Saya jadi merasa malu bertanya mengapa Tuhan belum memberikan pernikahan. Saya pun menangis sejadi-jadinya.

Menyadari saya ini mung wayang yang kudu manut dhawuhe sang Dhalang. Sebagai orang yang beriman pada kehidupan dunia akhirat, saat itu saya menyadari terlalu mengurusi satu hal yang belum diberi, dan kurang mensyukuri banyak hal yang sudah dianugerahkan Tuhan.

Sejak itu, saya bertekad untuk menikmati seluruh anugerah yang diberikan Tuhan sepenuhnya. Saya tidak perlu merisaukan apa yang belum atau tidak diberikan kepada saya. Sekembali dari Mekah, hanya dalam 3 tahun; kaki-kaki mungil saya telah menapaki 25 negara dengan berbagai latar belakang: pekerjaan, sponsor wisata, dolan, breakdown lokasi syuting, dll. Perjalanan yang kalau saya tuliskan sebagai novel, butuh sekurangnya 25 tahun.

Dalam waktu 3 tahun juga, negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini telah saya jejaki dengan sempurna. Mungkin kalau tidak terjeda pandemi, lebih banyak lagi tempat yang menjadi catatan rekam jejak saya. Saya mengerjakan banyak sekali pekerjaan penulisan, sehingga memungkinkan saya membeli rumah seperti beli buku saja dan menaruh beberapa hal untuk masa depan.

Alhamdulillah. Saya tidak akan ge-er ada orang yang iri dengki dengan pencapaian saya. Ada banyak orang dengan pencapaian hidup yang lebih banyak, lebih bagus. Tapi bagi saya, semua itu adalah anugerah istimewa. Hidup sejatinya tentang penerimaan semua takdir baik buruk dengan penuh rasa syukur.

Bagi saya ternyata lebih menyenangkan untuk melihat sunset di Papua yang elok, menapaki perjalanan panjang untuk sampai ke Pantai Ora di Maluku, merasakan dingin air bawah Laut Bunaken sementara di atas cuaca sedang panas membara, atau menyaksikan sepasang lumba-lumba meloncat di ketinggian Laut Banda, menyaksikan ikan-ikan hitam besar di kedalaman Danau Toba, dll perjalanan dibandingkan beribet dengan urusan momong anak, beributan membangunkan anak di waktu pagi, mengurusi seabrek gaweyan rumah tangga yang konon tidak ada habisnya.

Bahwa ada banyak perempuan yang berbahagia hidup berumah tangga, yes itu pilihan mereka. Saya tidak berhak menakar kebahagiaan mereka dengan standar saya. Kalau ukuran sepatu saya 40, dipaksa memakai sepatu nomor 37 ya kesakitan, pun kalau diminta memakai sepatu nomor 43 jelas tidak pas.

Saya memahami bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah. Kalau pernikahan itu mudah, pasti tidak banyak kasus perceraian. Tidak akan ada orang-orang yang rumah tangganya terlihat adem ayem, tahu-tahu bercerai. Tidak akan ada banyak LBH-LBH (Lembaga Bantuan Hukum) yang menangani kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) —termasuk di lingkungan terdidik dan terhormat, penipuan janji pranikah, penggelapan warisan mertua, ipar-ipar yang merecoki, mertua yang menjengkelkan, suami/istri yang ternyata tidak sesuai harapan, dll kasus yang berujung pada perceraian dan kasus-kasus pidana.

Coba cek di sekitarmu, berapa banyak perempuan yang bagai sapi perah kerja rodi dalam pernikahan. Sudah bekerja sepagi sore yang melelahkan, dibebani mengurusi anak dan rumah tangga, dengan suami yang ongkang-ongkang seperti benalu masih selingkuh sampai punya anak pula. Betapa banyak istri-istri yang diam-diam menangis darah karena kelakuan suaminya yang tidak beradap. Ada banyak kejahatan rumah tangga dalam bingkai pernikahan yang terasa lebih ekstrim dari kisah pilu sinetron jeritan para istri.

Saya juga menyaksikan banyak pernikahan bahagia. Suami istri yang rukun. Mereka bahu membahu membesarkan anak. Saling menolong, saling menopang. Saling menghormati, terus setia dan saling mencintai —lebih dari selamanya. Banyak dari mereka yang pasangannya sudah meninggal, tetap setia. Rumah tangga orang tua saya pun, versi saya adalah contoh riil sepasang anak manusia bersetia cinta dalam pernikahan; melewati jatuh bangun kehidupan dan membesarkan ketujuh orang anak —jelas perjalanan panjang yang tidak mudah.

Saya pun bersyukur tinggal di lingkungan rumah dengan tetangga-tetangga yang berbahagia seperti ini. Memiliki pernikahan dengan cinta berlimpah. Kalau sang istri sedang repot mengurusi anak, si suami yang sudah lelah bekerja pun tidak segan mengangkati jemuran, membersihkan rumah. Atau sebaliknya. Banyak tindakan yang riil yang menunjukkan betapa mereka bekerja sama menghidupkan pernikahan dengan kasih sayang.

Saya berharap kalau kamu perempuan yang menikah dan bahagia bersama keluargamu, pasanganmu orang baik, hidup sejahtera dengan pekerjaan mapan, anak-anakmu penuh berkat, bersyukurlah dan jagalah semuanya baik-baik. Karena Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang (bisa) mengambil semuanya sewaktu-waktu.

Sementara kalau kamu perempuan yang belum atau tidak menikah dengan beragam sebab, tetap berbahagia dan bersyukurlah. Tidak usah iri dengki dengan mereka yang menikah dan terlihat lebih bahagia. Bahagia itu bukan urusan sudah menikah atau belum menikah; tapi pada keikhlasan menerima dan menjalani takdir kita dengan berlipat syukur. Setiap orang menjalani ujiannya masing-masing, termasuk mereka yang sudah menikah.

Saya belum menikah, iya betul. Kalau dengan keadaan itu hidup saya dianggap salah, bermasalah, atau tidak bahagia, saya menolak sepenuhnya. Hidup saya baik-baik saja. Saya berlatar belakang sekolah tinggi. Memiliki pekerjaan dan karir yang baik sebagai penulis. Masih ditambah pekerjaan sebagai dosen —baik tetap maupun tidak tetap. Memiliki orang-orang dekat dan keluarga yang penuh cinta. Tinggal di rumah yang nyaman dengan tetangga-tetangga yang selayaknya keluarga. Hidup sehat, tenang damai, makmur sejahtera.

Bagi saya sekarang, pernikahan seperti fase kehidupan lainnya. Ada orang-orang yang mendapatkan cepat, ada yang lebih lambat, ada yang memutuskan tidak mengambilnya. Urusan seperti ini saja, kok ada orang yang senggang banget nyinyiri kehidupan saya, yang bahkan kenal juga enggak. Kalau kenal, malah ngomongnya hati-hati karena saling menjaga perasaan.

Saya mungkin sudah tahap pada selesai dengan diri sendiri. Saya menerima diri saya dan orang lain dengan semestinya. Tidak terlalu terganggu dengan omongan orang, apalagi kalau tidak menambah kontribusi baik dalam kehidupan saya.

Seperti suatu pagi tiba-tiba saya disapa seseorang, “Kok Bu Ari tumben ke kampus ngojek?”

Saya berusaha keras mengingat, tapi rasanya belum pernah bersapa sua dengan orang ini. Sepertinya fans saya di kampus ini banyak :D, jadi yang suka nimbrung kepo ini itu —ada saja.  Saya jawab, “Iya, kalau ke sini ngojek.”

Saya tidak merasa bahwa pertanyaan dan jawaban itu menjatuhkan harga diri saya atau terus tiba-tiba berubah jadi miskin. Itu sudah lewat dari hidup saya. Senyatanya kalau mau bawa motor atau mobil ya bisa. Tiap orang memiliki pertimbangan berbeda. Kalau terlalu peduli dengan remeh temeh ginian, habis waktu kita. Kita tidak akan sempat berkarya yang bermanfaat bagi sesama.

Buat kaum nyinyirens, ojo waton muni alias jangan asal bicara. Terlebih pada orang-orang yang tidak kamu kenal. Tidak semua orang memiliki kekuatan hati seperti saya. Bisa saja suatu ketika kamu mencela orang, berbalas ramai dan berbuntut kasus hukum. Terus…, bagaimana nasib embok nyinyirens di atas? Saya berpikir lebih baik menghindarinya. ****

Please follow and like us: