Allah Begitu Baik

Empek-empek kiriman Bu Anna. Alhamdulillah. Maturnuwun. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.


Sejak balik dari mudik, kondisi kesehatan saya memang nggak baik-baik saja. Dokter menyuruh saya menambah istirahat. Dan ya, tahu sendiri kalau badan nggak sehat, semua makanan terasa nggak enak. Demi tetap makan dan minum obat, saya membeli atau membuat makanan yang bisa masuk di mulut saya; bakso, mie goreng, roti lembut, ropang, gorengan, dan pizza. Nggak makan nasi karena berasane kok mual mencium aroma nasi.🙈

Hari ini, saya mau makan empek-empek. Wes pesan di tempat langganan; tapi ternyata habis. Saya wes arep memesan online, tapi inget rasanya belum pasti dan jelas kena ppn ongkir parkir packing dll itu, saya nggak jadi pesan. Makanan lain di rumah masih banyak dan mikir, besok pagi-pagi saya akan pesan biar langsung diantar.
.
Tapi Allah begitu baik. Sore-sore Mbak Annis mengirim pesan nanyain saya kapan ke kampus lagi. Ada kiriman paket dari Bu Anna untuk saya. Yo, karena masih minggu depan, paket dikirimkan ke rumah. Maafkan, kalau rumah tinggal saya saking ndesonya layanan paxel saja nggak ada 😆 sehingga saya sering diomeli keluarga, sahabat, kerabat yang nggak bisa kirim-kirim sebangsa frozenan atau makanan basah.

Jadi karena paketnya ini makanan basah, oleh Bu Anna dikirim ke Mbak Annis dulu baru disampaikan ke saya. Haish, jadi repot. Maturnuwun Mbak Annis. 🥰🙏 Dan tahu enggak, makanan frozenan yang dikirim Bu Anna itu empek-empek komplit dan banyak. ❤

Duh, saya speechless. Allah seperti sedang bilang, “Ari kamu nggak usah beli empek-empek, niy AKU antar langsung.”

Itu kenapa kalau sesuatu nggak jadi, nggak ada, atau belum, saya wes nggak pernah memaksakan diri lagi. Karena seringnya ya begini, tahu-tahu Allah kirim. Allah urus semuanya. Lebih baik, lebih komplit, lebih tepat. ❤

Alhamdulillah. Maturnuwun Bu @annavincentia

Maturnuwun Mbak @novaheswari
Vincentia Anna Annis Novaheswari

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Lebaran (Tanpa) Persiapan, Tapi Tetap Berkesan

Saya lima bersaudara dengan Ibunda dan si bocil termuda (sementara) di keluarga kami. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Lebaran tahun ini terasa sangat berbeda bagi saya. Kalau tahun-tahun sebelumnya saya cenderung mempersiapkan banyak hal untuk lebaran, kali ini tidak seperti itu.

Gangguan kesehatan dengan batuk yang parah selama 10 hari awal puasa, beneran nyaris bikin saya menyerah dengan puasa Ramadan. Sungguh berat. Sungguh nggak mudah. Tarawih yang biasanya saya lari dengan semangat, bolong-bolong. Ngaji yang biasanya 1 hari 1 juz, hanya bisa saya simak membatin tanpa bersuara.

Untunglah kita umat Islam diberi kemudahan punya banyak dan beragam ibadah ringan yang bisa membantu menutup kebolongan-kebolongan ibadah besar; seperti doa, dzikir, sholawat, sedekah, berbagi, menyebarkan salam, menyebarkan ilmu, dll.

Tugas saya seperti tahun-tahun sebelumnya di lebaran; menyiapkan seragam keluarga besar dengan aneka kruncilan ukuran yang nggak sama, untunglah sudah selesai sebelum Ramadan datang. Mengirimkan per keluarga ke rumah masing-masing tinggal urusan mudah. Selain itu, wes saya yo gak beli baju baru. Padahal biasanya yo beli satu atau dua stel baju sebagai penanda hari baru, hidup baru. Eh tapi ya baik-baik aja ternyata tanpa baju baru di hari lebaran 😁

Menyiapkan angpao sekurangnya 100 pax untuk bocil-bocil (yang tidak dikenal) yang datang ke rumah ibu, sudah jadi kebiasaan dan tugas saya sejak lama.

Iya, kami semua berbagi tugas kalau lebaran di rumah ibu. Ada yang nyiapin kue kue dan seribetannya. Ada yang menanggung makan kami saat pulang lebaran. Ada yang sukarela menanggung biaya piknik kami. Sesuai kemampuan masing-masing dan rasanya sudah begitu sejak lama, setelah kami semua bekerja (alhamdulillah) mapan.

Tentu saya juga menyiapkan angpao untuk sekurangnya 20 orang keluarga inti, yang tentu tidak ringan. Biasanya saya cukup rapi dengan amplop lucu-lucu; memberi nama satu per satu.

Tapi kali ini hanya sempat menarik uangnya dan membagikan tanpa amplop. Keponakan saya berkelakar, yang penting warnanya merah-merah Bude 😁😅

Kalau urusan angpao ini dari kami berlima semua menyiapkan. Tapi besaran dan jumlahnya tidak sama. Ada yang cuma memberi bocil-bocil. Ada yang memberi sebagian saudara dan ipar. Pokoknya bebas sesuai kesanggupan masing-masing. Saya pun beberapa kali yo kebagian angpao dari saudara dan ipar. Pokmen senang aja kalau lebaran.

Waktu libur kerja yang lebih lambat daripada lainnya, juga membuat saya sempat lelah di saat-saat terakhir Ramadan. Undangan undangan bukber banyak yang saya skip. Termasuk undangan bukber dari kampus. Tahun ini 5x saja saya ikut bukber. 3x di areal tetangga perumahan, 2x dengan orang-orang dekat. Lainnya beneran saya abaikan.

Kalau tetap diminta serkileran (sumbangan) ya saya bayar, tapi saya absen. Selain karena kondisi kesehatan yang tidak prima, saya juga sedang berusaha menabung untuk kembali umroh. Rindunya menjadi-jadi kalau ingat Tanah Suci.

Jadi hal-hal yang nggak urgen dan random, tapi kudu menggunakan uang, lebih sering saya skip sejak awal tahun. Karena kalau datang bukber itu, pasti keluar biaya transportasi lebih banyak. Terlebih kalau tempatnya jauh. Belum nanti tahu-tahu laper mata, pingin ini itu, beli ini itu akhirnya nggak kemakan atau kepake. Wes, nyeselnya itu kalau sudah dibeli😁

Kalau nggak beneran ada orang-orang yang saya kenali, saya wes mulai absen di beragam acara kumpulan rerame orang. Kadang jumpa orang-orang juga malah tambah beban pikiran saya, kalau dengar begini begitu yang nggak mengenakkan hati. Meskipun sudah berusaha mengabaikannya. Introvert kadang-kadang memang terlalu banyak OVT nya.

Bayar zakat, sedekah, berbagi, sumbangan sosial, nyangoni orang orang sekitaran yang kerja dengan saya, tentu kewajiban yang nggak bisa diabaikan. Tapi karena wes rutinitas ya biasa saja, wes disiapkan jauh hari. Jadi nggak berasa sebagai tambahan pengeluaran seperti aneka bukber itu.

Pulang ke rumah ibu, berasa banget kalau saya lelah. Ibu saya meminta agar saya banyak istirahat. Tapi puasa masih dua hari saat itu. Beneran berasa tidak ringan puasa tahun ini. Saya tetap bersyukur aja nggak sampai opname dan bolak-balik rumah sakit.

Lepas sholat Ied, bermohonmaafan dengan ibu dan keluarga adik bungsu, saya beneran terkapar. Tidur seperti orang mati, nggak bisa dibangunkan sampai siang. Praktis ibu saya menemui tamu-tamu lebaran sendiri tanpa saya. Sementara si bungsu wes ura pergi ke rumah mertuanya dengan suami dan anak-anaknya.

Syukurlah, tamu-tamu keluarga maklum dan tidak mengusik saya yang tidur. Baru di sore hari saya bisa melek mata, njagongi tamu-tamu yang datang hilir mudik. Maklum, ibu termasuk sesepuh di lingkungannya.

Saudara dan ipar serta ponakan saya dll keluarga nya belum pada datang. Mereka baru datang di hari kedua. Maklum mereka ada di Jogja, Balikpapan, dan Jakarta. Kalau si bungsu wira wiri sesukanya. Kadang di rumah ibu, kadang di rumahnya, kadang ya di rumah mertua. Semua di Tulungagung.

Lebaran menjadi meriah ketika semua saudara saya dan keluarganya sudah datang. Bocil-bocil bikin rumah ibu seperti kapal pecah. Kami tidur seperti ikan pindang dijejer, di sembarang tempat di lantai dengan karpet-karpet. Rame sekali ada bocil-bocil itu. Rumah ibu meriah betul. Mengingatkan saya akan masa kecil tetahunan silam.

Kondisi saya masih naik turun drop beberapa kali, sampai tidak bisa berdiri karena badan terasa begitu lemas. Acara unjung-unjung tetangga kiri kanan rumah ibu pun saya skip. Absen. Untung banyak yang sudah bermaafan saat mereka datang ke rumah ibu.

Acara piknik keluarga, saya juga absen. Acara unjung-unjung keluarga dan sesepuh, absen juga. Praktis lebaran kali ini saya mung bertapa memulihkan diri di rumah ibu. Sungguh bohong kalau umur itu hanya angka.

Makin ke sini kok saya rasa, ada banyak sekali perbedaan kekuatan daripada 20 tahun yang lalu. Jadi saya yo wes kudu legawa tidak semena-mena menggunakan energi fisik kalau nggak mau tumbang-tumbang melulu.

Bagaimanapun, meskipun tanpa banyak persiapan, saya tetap senang lebaran tahun ini. Alhamdulillah. Keluarga berkumpul. Jajanan dan aneka makanan di mana-mana. Baju baju baru. Foto foto. Makan-makan. Bercanda tawa gembira. Kunjung kunjung. Piknik wisata. Kumpul trah. Berbagi oleh-oleh. Berbagi angpao. Berbagi souvenir. Berbagi kue-kue. Semua gembira, semua bersukacita. Apalagi bocil-bocil dengan angpao yang jutaan. Senang betul mereka.

Dan saya tahu, lebaran selalu beda di hati kami bersaudara. Karena nyaris 20 tahun lalu ayah almarhum meninggalkan kami semua di hari nan fitri. Al Fatihah, semoga surga untukmu, Ayah.

Nah bagaimana dengan lebaranmu? Semoga menyenangkan ya. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga semangat fitri hari lebaran membawa semangat baru dalam hidup kita semua.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Pakailah Baju Terbaikmu Saat ke Masjid

Di Masjidil Haram Desember 2024. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Dulu saya nggak terlalu ambil pusing dengan pakaian yang saya kenakan saat ke masjid. Terlebih kalau atasan mukena dipakai dari rumah, bajunya kan tidak terlihat. Kadang pakaian untuk beribetan di rumah pun tetap dipakai.

Namun setelah umroh pertama dulu, saya jadi mikir soal baju tuh kalau ke masjid. Bukan apa-apa siy, tapi saya merasa kok saya berani sekali menemui sang pemilik hidup dengan baju sekadarnya.

Lha wong saya mau ketemu teman, ketemu relasi, ketemu klien, dll yang sama-sama orang saja, saya berpakaian sebaik-baiknya. Sejak itu, meskipun ke masjidnya hanya sebentar, saya berusaha memakai pakaian terbaik saya. Dan jelas bukan baju rumahan untuk tidur.

Masjid adalah tempat ibadah yang suci bagi umat Islam. Versi saya sebagai bentuk penghormatan, kita semestinya mengenakan pakaian terbaik saat memasuki masjid, terutama ketika melaksanakan sholat berjamaah. Berpakaian dengan baik bukan hanya mencerminkan adab dan kesopanan, tapi juga membantu meningkatkan kekhusyukan dalam beribadah.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Wahai anak cucu Adam! Pakailah perhiasanmu (pakaian yang baik) di setiap (memasuki) masjid…” (QS. Al-A’raf: 31)

Ayat ini menegaskan bahwa mengenakan pakaian yang bersih dan rapi saat ke masjid adalah bagian dari adab yang dianjurkan dalam Islam.

Masjid adalah tempat suci yang digunakan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Berpakaian sopan dan rapi menunjukkan rasa hormat terhadap rumah Allah dan orang-orang yang beribadah di dalamnya.

Pakaian yang bersih dan nyaman dapat membantu seseorang lebih fokus dalam sholat dan ibadah lainnya. Sebaliknya, pakaian yang kotor, bau, atau nggak pantas dapat mengganggu diri sendiri maupun orang lain di sekitar.

Ingatlah kalau ke masjid harus gunakan pakaian yang bersih, nggak bau, dan nggak kusut. Hindari pakaian yang terlalu ketat atau transparan. Pakaian untuk ke masjid sebaiknya menutup aurat.

Bagi laki-laki bisa memakai baju yang menutup tubuh dengan celana atau sarung yang sopan. Bagi perempuan bisa mengenakan pakaian longgar dan jilbab yang menutup aurat sesuai syariat.

Hal terpenting lainnya, jangan berlebihan.
Hindari pakaian yang terlalu mencolok atau berlebihan dalam berpenampilan.
Jangan memakai parfum yang menyengat, sehingga mengganggu orang lain.

Memakai pakaian terbaik saat ke masjid adalah bentuk penghormatan kepada Allah, masjid sebagai tempat ibadah, serta sesama jamaah. Selain itu, berpakaian rapi dan bersih juga membantu meningkatkan kekhusyukan dalam sholat.

Jadi, ayolah kita biasakan diri tampil baik setiap kali pergi ke masjid, sebagai bentuk pengamalan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Rayakan Komitmenmu

Taman Nasional Baluran, Banyuwangi, Jawa Timur. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Sejak pemerintah menggulirkan wacana PPN 12 persen awal November 2024 lalu, hal yang langsung terasa di saya, harga-harga barang wes naik duluan. Saya menandainya dari biaya belanjaan sama, tapi duit yang harus dibayarkan lebih banyak. Kemudian yang paling ekstrem berasa itu pemesanan makanan matang via aplikasi online. Harganya langsung naik kisaran 30-50 persen dari sebelumnya. Uang digital yang saya masukkan habis lebih cepat untuk belanjaan makanan dengan porsi yang lebih kurang sama.

Jadi saya wes berniat mengurangi belanja makanan online itu, kalau mau budget sama untuk makan saya setiap bulannya. Bulan November 2024 saya masih belanja makan online itu, tapi wes mulai membiasakan kembali bahwa pulang dari kantor atau aktivitas di luar, saya wes kudu sekalian beli makan atau sekalian makan di tempat sebelum pulang (terutama kalau saya kudu pulang malam). Dengan begitu saya tidak kena ongkir, PPN, parkir kurir, charge packing atau bungkus makanan seperti kalau pesan makanan online. Atau ya kalau mau dan nggak terlalu capek, ya masak sendiri. Mau bagaimana lagi, harga-harga naik, tapi nggak serta merta duit penghasilan kita ikutan naik.

Lalu dari kebiasaan November itu, saya berniat wes gak pesan makanan online lagi. Kebiasaan ini beneran jadi candu saat pandemi kemarin. Pesan makanan dan belanja online paling mudah dan terindikasi lebih aman daripada beli langsung. Pada waktu itu tentu banyak program promosi, termasuk bebas ongkir. Njur kebiasaan. Lupa kalau itu pemborosan nyata.

Beli makanan dan minuman yang sama kalau kita datang ke lokasi, anggaplah 50 rb, pesan online njur jadi 75-85 rb. Wes sekurangnya saya kudu bayar 25-35 rb itu untuk layanan jasanya. Hitung saja kalau 2x sehari selama sebulan. Nah setelah wacana kenaikan PPN itu jelas lebih tinggi lagi harganya. Sebenarnya PPN makanan itu nggak boleh dikenakan ke konsumen, itu pajak pemilik resto. Tapi mereka nggak mau menanggung dan dibebankan ke konsumen.

Akhir bulan November, saya pun mulai belanja beragam lauk pauk frozenan yang praktis dalam porsi yang saya anggap cukup untuk sebulan: ikan, ayam, daging, udang, cumi, kepiting, tahu bakso, telur, dll —wes komplit tenan. Termasuk beras, kentang, singkong, minyak goreng, gula, kopi, teh, garam, kerupuk, roti tawar, meses, keju, selai, margarin, bumbu-bumbu dapur, sambal, jajanan kering, aneka saus, dll kruncilan kebutuhan pangan dasar.

Saya memilih semua bahan makanan kesukaan saya. Termasuk melengkapinya dengan buah-buahan, sayuran dasar seperti sop, minuman praktis cepat saji, dll. Tentu juga kudu beli gas, sabun cuci piring, dll sebagai konsekuensi kalau memasak sendiri. Bebersih dapur dan nyuci piranti masak.

Coba nanti Desember satu bulan apakah saya berhasil untuk “nggak beli makan online” dengan memasak begitu atau malah gagal total dan tetep kudu beli online atau langsung ke TKP. Kalau gagal, ya saya kudu cari tambahan penghasilan untuk alokasi pangan sebulan.

Kan anggaran lainnya nggak bisa kita comot sesukanya. Ingat, freelancer kudu tertib atur uangnya kalau pingin tetap stabil hidupnya dalam beragam situasi kerja tidak menentu. Sudah biasa dengan penghasilan tidak menentu, membuat saya membuat aturan keuangan sesuai porsi yang menurut saya layak, nggak pelit tapi juga nggak berfoya-foya.

Usai belanja macem-macem kebutuhan masak yang bikin kulkas saya njur penuh, kebak tenan semua ruangnya. Ketahuan biasanya kulkas mung nggo nyimpen buah-buahan dan minuman kemasan, sekarang full. Saya lihat catatan pengeluarannya mung separoh dari biaya belanja makan online 2x sehari selama sebulan. Dan kayaknya bahan-bahan itu nggak bakalan habis sebulan.

Desember berlalu dan saya senang karena pagi sarapan nggak bingung mikir pesan apa ya, bikin apa ya. Wes saya catatin menu tanggal 1-30 untuk 3x makan apa saja. Bergantian. Misal pagi bikin roti panggang, jus, buah, air mineral. Siang makan berat nasi full ikan sayur, buah, dengan teh manis. Malam makan kentang rebus, sayuran rebus, telur, kopi. Dst.

Suka-suka saya untuk mengganti atau mengubah menu dengan model pengaturan porsi sesuai keperluan kalori saya. Mantap tenan. Ternyata gampang dan happy saja saya. Beberapa kali bahkan saya bawa bekal makan siang saat ke kantor, sehingga kerja yo nggak mikir beli makanan di luar atau pesan online. Selain kalau ke luar panas, ternyata juga menyenangkan bawa bekal sehat dari rumah. Jelas minim minyak dan pasti minyak goreng sehat.

Bahan-bahan makanan dari November akhir itu ternyata masih melimpah. Januari 2025 saya nggak banyak belanja, kecuali buah dan sayur. Jian kaget saya, memasak bisa seirit itu. Januari akhir saya baru berbelanja mengisi kulkas lagi untuk Februari. Dan Februari akhir nggak belanja karena Maret puasa. Makan hanya 2x buka dan sahur. Itu pun banyak undangan bukber dan dapat kiriman takjil dari kiri kanan. Wes tenan pasti cukup itu bahan pangannya. Ya kecuali sayur dan buah-buahan kudu beli lagi, karena ini rawan busuk kalau kelamaan disimpan.

Alhamdulillah 3 bulan kemarin saya lalui dengan no pesan makanan online dan hanya 4 atau 5x saya makan di luar untuk menjamu pihak lain saat saya ulang tahun. Ini siy beda kasus. Artinya saya juga tidak bisa bener-bener “nggak makan di luar”. Tetap itu. Lha ketemu saudara, keluarga, teman ya makan; jumpa klien yo makan, ketemu sponsor yo makan, ketemu produser harus makan, ketemu penerbit ya makan lagi. Semuanya jelas makan di luar rumah.

Tapi bahwa saya berhasil menata ulang uang saya untuk makan dengan sedikit effort ini, versi saya “luar biasa”. Dan duit yang tersisa bisa saya gunakan untuk piknik ikut OT tanpa perlu khawatir mencomot anggaran lain atau “ngutang” tabungan.

Alhamdulillah. Saya merayakan komitmen “nggak beli makanan online” yang sudah 3 bulan berhasil tanpa keluhan itu dengan ikut piknik lebih banyak. Januari saya ke Gunung Bromo. Februari saya ke Banyuwangi sampai Kawah Ijen yang luar biasa. Maret full puasa dengan beragam gaweyan sosial yang butuh dana besar, tapi tetep lempeng karena ada “sisa dana makan” itu. Tentu lebaran harus mudik dan kumpul keluarga wes pasti duit lagi. April sampai Juni saya sudah full mendaftar piknik. Alhamdulillah. Juli sampai Desember belum terprogram. Masih iyak-iyuk atur duitnya. Atau kamu mau sponsori saya piknik? Hehe….

Itu bentuk syukur saya atas komitmen sederhana, yang ternyata bikin saya melek lagi tentang uang. Tapi tetep, apapun itu bentuk penghematannya; saya ya harus kerja keras dan cerdas selagi mampu. Karena masa tua nggak ada penjaminnya, ya kudu saya pribadilah yang harus mengusahakan sejak dini agar hidup tetap sehat, nyaman, damai, sejahtera, dan panjang umur yang berkah. Amin YRA.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bagaimana Puasa Ramadan Hari Pertamamu?

Rawon. Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya tentu menyambut gembira Ramadan seperti umat Islam lainnya. Sekurangnya, saya wes nggak punya utang puasa Ramadan tahun lalu, nyekar ziarah, dll kegiatan baksos maupun pengajian yang mencerminkan kita akan puasa Ramadan juga sudah saya ikuti. Saya pun bersiap bahagia menyambut bulan mulia.

Tapi ya, kadang rencana kita nggak sesuai harapan. Kemarin pagi saya ke rumah ponakan saya untuk jumpa Utinya (atau besan ibu saya). Silaturahmi dan sekalian mohon maaf lahir batin untuk sambut puasa. Oh ternyata saya masih kebawa itu adat sowan ke sesepuh yang saya kenali. Jadi sudah dari sejak awal Februari saya bergantian sopan ke sesepuh-sesepuh di lingkaran relasi saya.

Nggak lama di sana, hanya sejam lah. Saya merasa badan kok lelah banget. Jadi sekalian saja saya mampir pijat. Spa seluruh badan, creambath, facial, meni pedi. Pikir saya yo pisan mumpung ke salon. Daripada bolak-balik.

Baru kali ini saya teriak-teriak saat dipijat. Ternyata badan saya kaku-kaku luar biasa dan sakit semua setiap dipijat. Berarti selama ini sakit capeknya nggak saya rasa.

Jadi terapisnya kudu pelan-pelan. Sejam nggak cukup ngelemesin badan saya itu. Sakit semua. Ini telat memang. Kudune selepas dari Kawah Ijen itu, selang dua atau tiga hari saya wes pijat. Tapi karena banyak riwa-riwi uleng sama gaweyan, terlewat. Dan saya ya kudu mudik ke Tulungagung untuk nyekar ke almarhum Bapak dan Saudara. Tentu juga karena bermohon maaf lahir batin pada ibu saya. Mo naik kereta eksekutif pun, tetep capek perjalanan itu.

Lalu kerja bakti dll kegiatan di kampung. Ya wes, terlewat lagi dan nggak saya rasa. Nah kemarin itu kok rasanya badan wes nggak kepenak. Terus saya kok batuk pilek yang rasanya tanpa sebab (misalnya kehujanan atau ketularan orang sakit). Berarti jelas badan capek banget, imun turun njur bentuk protesnya jadi batuk pilek. Untungnya nggak pusing dan demam.

Pas perawatan badan itu kan bolak-balik dipijat ya. Meni pedi ya pijat. Creambath ya pake pijat. Facial juga pijat. Jadi lumayan badan rada lemes enteng. Saya sampai tertidur pas dimasker.

Badan saya terasa lebih ringan, tapi batuk pileknya kok mengganggu. Saya mbablaske nyang apotek, meski capek banget dan jalanan macet parah kemarin tuh. Karena orang hilir mudik siap-siap tarawih. Beli obat batuk pilek, njur makan malam sekalian.

Niat mau ikut tarawih di mesjid aja sudah nggak sanggup saya. Lepas Isya wes milih langsung tidur. Bangun jam 01 dini hari, badan rasanya isih sakit semua. Saya bangkit. Ibadah malam sebisa saya, semampu saya. Meskipun jelas gak maksimal.

Sahur saya nggak mempersiapkan khusus. Biasa seperti makan sehari-hari. Ambil saja praktis yang ada di kulkas. Memastikan wes minum obat agar tidak berasa berat batuk pileknya. Dan seharian ini, badan saya berasa benar diuji ya. Mager. Rebahan gak bisa tidur. Mo ngapa-ngapain nggak enak. Saya wes tekad-tekadan kalau beneran nggak kuat karena haus pusing lemas, ya batal puasa. Syukurlah niat saya masih kuat.

Begitu maghrib, yang saya cari minum dulu. Makan sedikit untuk berbuka dan langsung minum obat. Rasanya agak ringan. Meskipun tentu belum seenak kalau badan sehat prima.

Berangkat ke mesjid untuk tarawih? Ampuni saya ya Allah. Sementara saya absen dulu. Batuk saya pasti mengganggu kiri kanan. Dan saya nggak mau nanti malah bikin masalah, seperti pingsan atau lemas saat tarawih.

Bagaimanapun, saya bersyukur melewati hari ini. Semoga dua-tiga hari ke depan wes sehat prima. Dan beneran bisa gaas pool ibadah full speed saat Ramadan. Karena tentu, saya punya banyak dosa yang bermohon ampunan Allah dan saya juga ada banyak doa yang menunggu pengabulan dari sang Pencipta.

Marhaban ya Ramadan. Ya Rabb, sehatkan saya dan semua yang membaca tulisan ini. Mudahkan kami beribadah di bulan suci dan bertemu dengan Lailatul Qadar. Amiin YRA.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (10) Mbak Ari, Spill dong Budgetnya…!

Situasi di sekitar blue fire saat saya mendekat. Masih gelap, tapi banyak orang hilir mudik datang dan pergi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Open Trip (atau OT) yang kian marak di Indonesia ini, secara umum didesain untuk berbiaya murah, mudah diikuti banyak orang. Jelas biaya ringan itu tidak memasukkan komponen-komponen yang berbayar berat, optional, atau nggak wajib diikuti. Jadi kalau kamu ikut OT, pasti bolong kerepotan kalau hanya membayar charge OT.

Kecuali dalam OT tertentu yang berbayar banyak dengan menanggung semua biaya sejak dari berangkat sampai kepulangan. Itu pun biasanya transport atau sarpras dari rumah ke tempat kumpul (meeting point) PP ya kudu ditanggung sendiri.

Lalu berapa budget yang harus kita siapkan kalau ikut OT ke Banyuwangi dengan Afrindo ini? Charge-nya cukup ringan 985 rb plus 30 rb kalau sampeyan minta surat sehat untuk ke Kawah Ijen langsung dari biro. Kalau mo ke klinik atau puskesmas, rumah sakit ngurus surat sehat sendiri yo boleh. Kalau ini bayarnya mung 985 rb dan itu pun boleh dicicil 3-4x. Wes apa nggak mudah banget?

Selain itu, sebenarnya biaya selama 3 malam 2 hari (3 nights 2 days) itu sangat tentatif, tergantung gaya hidup dan keperluan masing-masing. Tapi karena ada yang nanya ke saya tentang spill budget, berikut ini coba saya list pengeluaran saya sejak berangkat dari rumah sampai balik lagi ke rumah dengan selamat dan gembira. Alhamdulillah.

Sampeyan bisa menghitung sendiri nanti berapa yang diperlukan. Yang penting jangan ngepres bawa uang tunai, karena hampir di semua lokasi wisata yang dikunjungi masih menggunakan transaksi tunai. Ini dalam IDR ya… Karena kalau sampeyan bule non WNI tarifnya biasanya beda 😀

Saya di salah satu sisi tebing Kawah Ijen dekat areal Blue Fire. Tidak jaketan karena berasa panas. Padahal masih jam 5 pagi lewat. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

  1. Charge ke Afrindo dan surat sehat = 1.015.000
  2. Grab PP berangkat pulang ke MP = @50.000 = 100.000
  3. Makan 4x di luar program @30-50 rb = 200.000 (ini biasa menyesuaikan anggaran masing-masing, termasuk kalau sampeyan suka jajan)
  4. Biaya ke toilet 3 hari x 4 × @5.000 = 60.000 (rerata toilet biaya hanya 2.000, tetapi di tempat wisata ada yang 3,5,7, bahkan 10 rb sekali pake). Jadi sesuaikan aja dan khusus ini siapkan receh dua ribu dan lima ribuan.
  5. Biaya naik kapal rerame di Pantai Bama 25-50 rb. Saya kena 25 rb. Kalau sewa perahu antara 250-350 rb. Tawar tawar saja.
  6. Biaya oleh-oleh 200-500 rb (sesuaikan budget masing-masing). Saya spent 300 rb. Ratuku oleh oleh yo gakpapa. Santai bae, bisa diskip.
  7. Biaya sewa alat pendakian (tracking pole=20.000, senter=15.000, masker=30.000, jaket=30.000) sampeyan bisa menyesuaikan yang sudah punya apa saja. Saya hanya sewa tracking pole 20.000
  8. Biaya tandu ini khusus yang merasa sanggup atau tidak ke Kawah Ijen. Biaya antara 1.5 sd 2 juta PP dari gerbang sampai pos terakhir sebelum ke Blue Fire atau Sunrise. Tawar saja. Saya budgeting 1.5 juta, alhamdulillah kena 1 juta 😀
  9. Biaya fotografi kalau pake jasa lokal setempat di areal wisata. Rerata 1 foto 10 rb, minimal order 5 atau 50 rb. Nggak pake yo gakpapa. Afrindo wes ada fotografer. Cuman kadang kita pingin eksplor di luar areal kerja fotografernya.
  10. Biaya darurat dll 200-300 rb cukup. Ini biasanya kalau harus dadakan beli obat atau sewa ojek, andong, ATV, dll.
  11. Uang saku yang tersendiri 200-300rb cukup.

Sebentar saja duduk di tepi Kawah Ijen, angin belerang menutup areal tersebut. Kawahnya hanya tampak sebagian. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Nah kalau dihitung total uang yang harus saya sediakan adalah 3.370.000; yang dibayarkan ke Afrindo 1.015.000; berarti perlu uang tunai lebih kurang 2.355.000. Ya wes bener karena seingat saya membawa cash 2,5 juta dan masih sisa 1 juta an. Karena anggaran tandu saya 1.5 juta dan kepake 1 juta saja. Biaya darurat plus uang sakunya nggak kepake. Jajanan saya wes include makan di luar program @50 rb yang saya anggarkan.

Dari hitungan ini, kalau saya nggak pake tandu 1 juta, bawa 500 rb wes termasuk makan di luar program, toilet, oleh-oleh (300 rb), naik kapal dll. Berarti kalau misalnya oleh-oleh diskip atau nggak beli, bawa uang saku 500 rb wes turah untuk ikut tour dengan Afrindo.

Sekali lagi ini hanya kasuistik untuk diri saya sendiri. Sampeyan bisa menyesuaikan dengan kondisi dan keperluan masing-masing. Kalau sehat full, masih muda belia, di luar charge yang dibayarkan ke Afrindo, bawa 500 rb pun wes bisa pergi dengan aman. Karena nggak perlu pake tandu, nggak usah sewa alat pendakian, nggak usah beli oleh-oleh. Semuanya tinggal kita saja yang menentukan.

Pokoknya kalau versi saya, ikut OT jangan cari susah. Dinikmati saja. Perlu bayar dan bisa ya bayar aja. Duit bisa dicari lagi. Kesempatan datang ke lokasi piknik itu mungkin nggak akan terulang lagi.

Oke, akhirnya rampung catatan dolan saya ke Banyuwangi dengan Afrindo. Monggo Teman-teman yang mau ikut OT ke Banyuwangi bisa mencari IG @afrindotour. Ada banyak trip lainnya yang mungkin sesuai dengan keperluan; Bandung, Bali, dll. Oh iya, sampeyan juga bisa minta mereka arrange sesuai budget kalau mau trip komunitas, keluarga besar, kawan satu institusi, dll dengan tujuan tertentu.

Maturnuwun dan sampai ketemu dengan catatan dolan saya berikutnya. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat menyambut Ramadan untuk seluruh umat Islam. Semoga ibadah bulan Ramadan kita lancar dan diterima Allah SWT, serta kita dapat berjumpa lagi dengan bulan Ramadan di tahun-tahun berikutnya. Amin YRA.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Goes to Banyuwangi (9) Kawah Ijen, Blue Fire atau Sunrise

Kawah Ijen dari sisi sunrise. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

“Ibu mau ke matahari terbit atau api biru? Ini sudah pos terakhir,” kata Mas A.

“Api biru,” jawab saya sambil turun dari tandu.

“Api birunya itu di sana, Bu. Ini turun lagi sekitar 800 an meter. Sekilo lah gampangnya. Pas turun itu masih terasa ringan, tapi nanti baliknya itu lebih berat. Karena naik.”

Si Mas A ini melihat ke sekeliling, lalu bilang, “Bu, sebenarnya ini kalau ngelihat waktu sudah telat untuk bisa dapat api biru. Sudah siang. Mestinya kalau memang mau ke api biru dari jam 2 sudah start berangkat dan ibu harus jalan cepat atau langsung pake tandu.”

Di dekat Kawah Ijen dari arah turunan menuju blue fire. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

“Jadi baiknya gimana?” Saya balik bertanya karena nggak menemukan seorang pun dari rombongan saya. TL, fotografer, guide lokal juga nggak nampak.

“Saya terserah ibu. Kalau mau ke api biru, saya antar turun. Kalau ke matahari terbit juga bisa.”

“Kalau dari sini aja apa yang bisa dilihat?”

“Ya kawahnya, Bu. Itu!” Dia menunjuk ke depan, tapi versi saya hanya gelap dan kabut. “Nanti kalau sudah terang baru kelihatan kawahnya. Ibu bisa tungguin di sini.”

Penampakan blue fire di Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Oh, saya pantang menyerah. “Turun aja, Mas. Semampunya saya ke arah api biru. Nanti kalau nggak kuat ya baru berhenti dan lihat kawah.”

Mas A menurut dan ngetutne saya jalan turun. Biyu, di sini jalanannya lebih rumpil, curam, sempit, makin ke bawah makin tajam sudut kecuramannya dan nggak ada pagar pelindung. Asap belerang makin kuat bikin sesak tenan kalau nggak pake masker. Kabut juga masih tebal. Rasanya seperti gelap di mana-mana, meskipun senter-senter pendaki berpendaran di semua sudut.

Lama-lama semakin jalanan menurun, kaki saya nggregeli. Beberapa kali badan saya juga lhiyat-lhiyuut hampir jatuh. Ternyata kantuk saya belum sepenuhnya ilang. Ya ampun Gusti Yang Agung, baru kali ini saya merasa ngantuk luar biasa. Padahal rasanya ya wes cukup tidur.

Sisi lain Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya masih mau jalan lebih turun lagi, tapi malah gasruk. Saya nyaris jatuh. Saya bukan orang yang gampang menyerah pada keadaan, tapi kini memang harus angkat tangan. “Wes kene bae, Mas. Saya nungguin terang biar bisa lihat kawahnya.”

Saya duduk ngejengkruk gitu. Tapi ya masih gelap, nggak tampak apapun. Kecuali orang-orang yang lalu lalang untuk naik balik ke pos terakhir. Mereka sudah dari blue fire. Bisa melihat api birunya.

Haish, bikin saya kepo tapi tubuh fisik mata nggak mau kompromi. Dan kalaupun maksa turun ya wes ilang api birunya. Hiiih, nggak banget niy situasinya.

Asap belerang di mana-mana dan menutup Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Pas duduk saya tanya sama Mas A, apa bisa balik sekarang aja daripada ntar kesiangan. Karena turunnya aja kek gitu berat rasanya, apalagi naiknya. Saya pun berjalan tertatih tatih tenan pas ke atas nya itu.

Dan ngantuk saya sungguh ampun nggak tertahankan. Pinginnya wes tidur aja di situ. Jadi saya yo break berhenti lagi. Saya Shubuhan di areal depan kawah itu.

Sudah mulai sedikit terang, tapi kabut, angin menutup areal kawah dan kembali. Berkali-kali begitu. Tapi saya gembira melihat aslinya Kawah Ijen yang memukau.

Nyaris saya nggak ingat foto, kalau Mas A nggak ngingetin. “Ibu belum foto. Harus ambil foto di sini. Nanti orang nggak percaya ibu sudah ke sini kalau nggak ada fotonya.”

Biasanya penambang lokal membawa belerang seperti itu naik turun Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Ya weslah, dia fotoin saya di beberapa sisi. Sampai disindirin teman-teman sesama pembawa tandu; disebutnya plus-plus. Karena si A ini ya bawa tandu, ya jadi guide dadakan, ketambahan jadi fotografer dadakan.

“Nggak usah didengerin, Bu. Saya bantu aja. Sayang kalau ibu nggak ada foto di sini.”

Begitulah. Saya mendapatkan beberapa foto di sekitaran Kawah Ijen. Situasi nggak mendukung. Kabut, angin, bolakbalik menghilangkan pemandangan Kawah Ijen.

Sampai di dekat pos terakhir, saya ketemu guide lokal. Mas Rizky. Dia mengajak saya untuk naik lagi untuk foto bersama. Tapi saya menolak karena kaki saya rasanya wes lemes tenan turun naik areal blue fire itu.

“Nggak apa-apa, Bu. Jalannya pelan-pelan saya temani.”

Ini arah jalan naik dari areal blue fire. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya tetap menolak, karena tahu kondisi pribadi. Saya bilang akan menunggu di pos saja. Akhirnya Mas Rizky pun pergi. Kalau saya nggak ada di foto grup pas di Kawah Ijen itu bukan salah TL, fotografer, ataupun guidenya. Saya yang wes gak sanggup untuk jalan lagi ke tempat foto grup.

Saya tetap bersyukur dengan effort yang lebih banyak bisa sampai juga ke Kawah Ijen di usia yang nggak lagi belia. Bagi saya foto-foto penting, tapi pengalaman pribadi perjalanan itu jauh lebih penting daripada sekedar tampilan “foto keren”.

Saya berterimakasih pada seseorang yang menawarkan untuk memotret saya di dekat pos terakhir (saya lupa tanya namanya). Mungkin dia melihat saya di sekitaran pos terakhir mung thenguk-thenguk gabut melihat kawah.

Iya, saya menyaksikan angin bertiup kencang dan membawa kabut plus asap belerang yang sekejap saja menutupi seluruh kawasan Kawah Ijen. Hal seperti ini saja, mungkin sepele dan nggak diperhatikan pengunjung lain, tapi bagi saya sungguh pengalaman istimewa.

Saya baru mengerti bagaimana kabut, asap, angin bisa membuat pesawat terbang hilang kendali dan menabrak lalu terjatuh. Karena saat itu beneran semua hanya “putih susu” dan tidak terlihat apapun. Kabut, asap, angin ternyata belum sanggup ditembus radar pemindai di pesawat.

Versi saya, nikmatilah piknikmu, jangan terlalu terobsesi dengan foto-foto bagus untuk “menyenangkan” orang lain yang lihat sosmedmu.😀 Tapi sosmed di negeri kita yang bebas non kontrol atau batasan, bener-bener meracuni para pemakainya untuk pamer apapun dengan lebih massif. Termasuk foto-foto piknik. Hingga banyak juga kita dapat berita orang mati demi foto atau konten heroik yang kelewat berbahaya.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us: