Selapanan: Selamatan Bayi 35 Hari

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 11 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313594215/selapanan-selamatan-bayi-35-hari

Selapanan adalah selamatan bayi yang berumur 35 hari. Seperti acara selamatan bayi brokohan maupun sepasaran, selamatan ini pada prinsipnya merupakan acara syukuran dan permohonan doa kepada Tuhan YME demi keselamatan dan kebahagian si bayi.

Pada saat bayi berumur 35 hari, orang Jawa mengadakan selamatan karena menganggap bayi sudah mulai terbiasa hidup di alam dunia. 35 hari yang berarti jumlah pasaran (5 hari —legi, pahing, pon, wage, kliwon) orang Jawa sebanyak tujuh kali atau ping pitu, yang berarti pitulungan atau pertolongan. Artinya si bayi ini dalam pandangan orang Jawa dianggap sudah “selamat” di dunia dan diharapkan akan terus hidup panjang umur mengarungi kehidupan di dunia.

Dalam selamatan selapanan, ubarampe atau perlengkapan yang harus disiapkan tidak hanya makanan, seperti pada selamatan brokohan dan sepasaran. Pada acara ini ubarampe yang harus disiapkan ada sembilan macam, yaitu (1) tumpeng, (2) sayur 7 macam, (3) telur ayam rebus 7 butir, (4) cabai, bawang merah, dan bawang putih, (5) nasi gudangan, (6) kalo ‘saringan santan dari bambu’, (7) buah-buahan sebanyak 7 macam, (8) bubur merah putih 7 porsi, dan (9) kembang setaman  (mawar merah, mawar putih, kembang kanthil, melati, dan kenanga). Setiap ubarampe tersebut menjadi simbol sesuatu dan memiliki makna filosofis yang berbeda-beda.

Pertama, tumpeng.

Secara umum keberadaan tumpeng ini melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Kang Akarya Jagat atau Tuhan YME. Semakin baik dan tinggi tumpeng yang dibuat, menandakan harapan agar hubungan manusia dengan Tuhannya pun dari waktu ke waktu semakin baik.

Tumpeng juga menjadi simbol permohonan manusia kepada Tuhan untuk memperoleh kehidupan yang lebih anteng, hidup yang tenang, damai, sejahtera, bahagia lahir batin dunia dan akhirat. Permohonan itu disuarakan melalui doa bersama, sebelum makan bersama-sama dalam acara kenduri.

Dalam banyak prosesi ritual orang Jawa sering menggunakan tumpeng ini, baik tumpeng yang berwarna putih atau tumpeng berwarna kuning. Selain menyimbolkan permohonan kehidupan yang baik, tumpeng juga dianggap sebagai perwujudan dan pengakuan manusia berada di bawah dan Tuhan berada di atas. Puncak tumpeng yang menjulang melambangkan ketinggian (gunung) dan tempat Tuhan berada. Sementara lauk pauk yang mengelilingnya menunjukkan orang Jawa sebagai masyarakat yang mengelilingi gunung. Tanah di sekitar gunung juga dianggap sebagai tanah yang paling subur dan membawa kemakmuran bagi semesta.

Kedua, sayur 7 macam.

Sayur 7 macam ini bebas jenisnya, tetapi harus ada kangkung dan kacang panjang. Kangkung menjadi simbol permintaan agar si bayi terus jinangkung atau terjaga dalam pemeliharaan Tuhan. Sementara kacang panjang merupakan simbol permohonan agar si bayi panjang umur.

Beragam sayur yang ada biasanya sawi, buncis, bayam, labu, kenikir, dll. Aturannya, semua sayur tersebut dibersihkan dan dipotong sewajarnya, lalu direbus sampai matang dan disajikan bersama nasi tumpeng. Sayur 7 macam ini menyimbolkan agar kelak si bayi dapat hidup seperti sayur-sayuran itu. Mudah tumbuh, mudah membaur di segala situasi, dan bermanfaat bagi banyak orang.

Hal tersebut sepertinya tepat digambarkan dengan sayur mayur. Karena tanaman sayur cenderung mudah ditanam, sering dipanen, dan bermanfaat untuk semua orang. Kalaupun ada orang yang tidak suka sayur, tapi pasti tidak ada orang yang tidak pernah makan sayur seumur hidupnya.

Ketiga, telur ayam rebus 7 butir.

Telur ayam yang digunakan dalam selapanan ini harus direbus sampai matang karena ini memiliki makna tersendiri. Telur ayam saat mentah kondisinya rapuh, mudah pecah, dan membawanya pun harus berhati-hati. Namun setelah direbus, telur ayam cenderung lebih kuat. Tidak perlu terlalu berhati-hati saat membawanya, karena tidak akan pecah.

Telur rebus menandakan agar si bayi kelak dapat menggodog pemikirannya sebelum melakukan sesuatu. Dengan menaikturunkan pandangannya, melihat segala sesuatu dari segala sisi, diharapkan tidak akan menghasilkan pemikiran dan tindakan yang baik dan tidak mudah goyah.

Adanya simbol telur ayam rebus sebanyak 7 butir menjadi penanda bahwa kelak si bayi ini diharapkan menjadi orang yang mumpuni. Dia menjadi orang yang teliti, cermat, berwawasan, dan mau memperhatikan pendapat atau pemikiran orang lain. Intinya, si bayi diharapkan menjadi orang yang berkepribadian baik dan tangguh.

Keempat, cabai, bawang merah, dan bawang putih.

Cabai, bawang merah, dan bawang putih ini nerupakan bumbu dasar di dapur. Kalau sudah ada ketiga komponen ini, memasak apa saja pun akan jadi. Jadi dengan keberadaan ketiga bumbu dapur pada acara selapanan, diharapkan si bayi sekurangnya memiliki manfaat dasar dalam kehidupan. Dia menjadi mandiri, tidak menjadi tanggungan orang lain, dan bermanfaat bagi sesamanya.

Orang Jawa memang lebih senang mengatakan sesuatu dengan simbol-simbol, kiasan-kiasan. Bahkan dalam pitutur luhur pun mereka menggunakan banyak metafora untuk menyampaikan sesuatu. Oleh karena itu, berhadapan dengan orang Jawa kadang kita pun perlu “memikirkan” maksud dari sesuatu. Kadang-kadang yang disampaikan tidak selalu sama dengan yang diharapkan atau diinginkan.

Kelima, nasi gudangan. 

Nasi gudangan terdiri dari nasi putih dan sayur beserta lauk pauknya. Adanya nasi gudangan dalam selamatan selapanan ini melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dalam selamatan selapanan ini, nasi gudangan tetap ada seperti selamatan brokohan dan sepasaran karena pentingnya seseorang untuk tetap urup —simbol dari urap (bumbu gudangan). Seseorang dalam pandangan orang Jawa bisa urup itu kalau urip ‘hidup’ dengan baik, bisa menghidupi dirinya sendiri, saat berkeluarga mampu menafkahi keluarganya. Ini merupakan filosofi yang sangat dalam bahwa orang Jawa pada prinsipnya memegang konsep kemandirian dalam kehidupan.

Keenam,  kalo (saringan santan dari bambu).

Kalo atau saringan santan dari bambu ini menyimbolkan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan itu tidak harus diterima seluruhnya. Seseorang perlu menyaring dengan saringan yang terlihat ringan, tidak berdaya, tidak berat, tetapi sangat bermanfaat seperti kalo.

Segala bentuk pemikiran, pembicaraan, perilaku, dll peristiwa yang terjadi dari luar, sebaiknya diterima dengan hati dan pikiran yang jernih. Semua dapat diterima dengan objektif, lalu dengan pemikiran dan akal budinya yang baik, menyaring, memilah, dan memilih mana saja yang hendak diikuti dan mana yang perlu diabaikan atau ditinggalkan.

Ketujuh, buah-buahan 7 macam.

Buah-buahan 7 macam dalam acara selapanan ini jenis buahnya bebas. Setiap keluarga boleh memilih buah-buahan yang mereka sukai, seperti pisang, pepaya, apel, anggur, jambu, delima, sawo, dll. Buah dalam selapanan menunjukkan harapan bahwa seseorang itu harus “berbuah”. Maksud dari berbuah ini dalam hidupnya, seseorang harus bermanfaat bagi orang lain, menghasilkan “buah” yang bisa dinikmati atau dimanfaatkan oleh orang lain.

Buah dalam hal ini bisa berupa banyak hal, dari pemikiran yang bermanfaat, membuka lapangan kerja untuk orang lain, penemuan-penemuan penting, dll. Prinsip dari “berbuah” tersebut sebenarnya wujud tuntutan dan pengharapan orang Jawa, bahwa setiap orang itu harus menjadi sesuatu yang bermanfaat. Sekurangnya, dia harus mandiri, seterusnya bisa memandirikan orang lain —terutama orang-orang terdekat dan atau keluarganya.

Kedelapan, bubur merah putih 7 porsi.

Bubur merah putih menjadi simbol kehidupan dalam pandangan orang Jawa. Bubur merah putih sering dianggap sebagai adanya hitam putih kehidupan. Ketika seseorang menjalani kehidupan di dunia, tidak selamanya ia berurusan dengan hal yang baik, tetapi juga menghadapi hal-hal yang kurang baik.

Bubur merah putih juga merupakan simbol persatuan, kerukunan antar manusia. Dengan kerukunan yang kokoh, diharapkan manusia dapat menghadapi segala persoalan hidupnya dengan lebih mudah.

Kesembilan, kembang setaman  (mawar merah, mawar putih, kembang kanthil, melati, dan kenanga).

 Kembang setaman atau serangkaian bunga ini sangatlah harum. Semua unsur bunga yang dipilih dalam kembang setaman merupakan bunga-bunga dengan keharuman yang khas. Kembang setaman dalam selapanan merupakan simbol dan pengharapan agar si bayi mewarisi keharuman ilmu dari leluhurnya.

Keharuman ilmu tersebut berupa nasihat, pitutur luhur Jawa, pelajaran dan ilmu kehidupan, berkah, dan kekayaan batin spiritual. Dengan demikian, si bayi ini dalam hidupnya tidak melangkah dalam kekosongan jiwa. Setiap jejak langkah kehidupannya telah mengikuti ilmu warisan dari leluhur. Harapannya dengan ilmu kehidupan itu, si bayi akan menjadi manusia yang lebih baik.

Itulah ubarampe selamatan selapanan bayi. Setelah semua siap, semua akan dihajatkan oleh tetua atau siapa yang dianggap pinisepuh di keluarga tersebut. Si bayi yang hendak diupacara selapanan sebaiknya berada di dekat seluruh ubarampe tersebut. Setelah itu, barulah dibacakan doa dan kemudian makan bersama-sama.

Adapun tata cara membacakan doanya sebagai berikut:

Doa berupa syukur kepada Tuhan YME.  Permohonan doa ampunan kepada Tuhan YME untuk seluruh leluhur keluarga. Kemudian mohon keselamatan si bayi dan seluruh keluarga.

Acara ini sebaiknya dihadiri minimal 7 orang sebagai simbol pitulungan atau pertolongan dari Tuhan YME. Lebih baik lagi kalau 11 atau sewelas yang berarti mendapatkan belas kasih dari Tuhan YME. Kalau memungkinkan jumlahnya minimal 17 orang yang berarti pitulas mendapatkan pitulungan dan kewelasan dari Tuhan YME. Setelah doa dan makan bersama itu, sebagian nasi berkat akan dihantarkan kepada tetangga dan kerabat dekat.

Seperti itulah prinsip-prinsip selamatan selapanan bayi. Semuanya bertujuan untuk bersyukur dan bermohon doa keselamatan bagi si bayi dan seluruh keluarganya. Sebagian besar orang Jawa masih melaksanakan tata cara ini, meskipun banyak yang lebih pada pemenuhan syarat.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Please follow and like us:

Borobudur di Hati Saya

Artikel ini telah dipublikasi di penabicara.com pada hari Kamis, 9 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063583225/borobudur-di-hati-saya

Hari Minggu pagi (5 Juni 2022) saat saya masih berpikir akan lari atau melanjutkan tidur, berseliweran kabar tentang Borobudur di grup-grup WA. Tiket ke Candi Borobudur menjadi 750 ribu (IDR) untuk wisatawan lokal dan 1,4 juta (IDR) untuk wisatawan asing. Karena sudah berulang ke Borobudur, saya tidak memberi tanggapan.

Saya pun bangun dan berbenah untuk lari. Saat siang, keriuhan kenaikan harga tiket Borobudur semakin ramai. Saya menahan diri untuk tidak ikutan share atau membahas apapun tentang kenaikan tiket Borobudur. Bagi sebagian orang, wisata bukanlah prioritas. Ke candi belum tentu jadi tujuan wisata. Beda urusan kalau misalnya harga beras yang semula 10-20 ribu lalu melonjak 500 ribu per kilo, biyuuu… pasti se-Indonesia Raya geger. Beras makanan pokok kita.

Sore hari beredar lagi berita kalau tiket 750 ribu dan 1,4 juta itu untuk mereka yang ingin naik ke candi. Pengunjung akan disertai oleh guide dan beragam teknis aturan. Semuanya demi menjaga kelestarian candi. Biar batu-batu candi tetap awet dan tidak semakin tenggelam (ambles). Beban yang berat di Borobudur menjadikan candi ini mengalami penurunan dasar dari tahun ke tahun. Tiket masuk ke kawasan candi masih sama, 50 ribu. Sedangkan untuk pelajar dibandrol dengan tiket 25 ribu. Harga-harga itu mungkin akan dikoreksi setelah diujicobakan.

Berita tentang tiket Borobudur ini bikin sosmed kita riuh lagi. Beragam pendapat. Beraneka pemikiran. Kalau positif, saya siy oke-oke saja. Tapi yang bikin saya mules, berbanyak caci maki dan hujatan pada pemerintah pun hilir mudik. Secara otomatis ini membuat saya bersih-bersih sosmed kembali.

Saya bukan bersepakat dengan kenaikan harga tiket ke Borobudur. Sebagai penulis yang doyan dolan, saya tentu happy kalau masuk ke tempat wisata itu free alias tidak bayar. Namun sebagai orang yang mengerti bahwa sesuatu itu harus dirawat, dipelihara, dijaga, direnovasi, dll demi tetap baik sekian abad ke depan; tentu menarik tiket berbayar adalah hal yang wajar.

Apalagi untuk mahakarya sekelas Borobudur ini. Bahkan untuk candi-candi lainnya di seluruh Nusantara, sepertinya pemerintah dan pihak terkait perlu merevisi kebijakan tarif tiket masuknya. Sekurangnya dana tersebut akan bermanfaat untuk pembenahan, perbaikan, sehingga wisata candi-candi menjadi lebih berharga.

Candi Borobudur di hati saya sangatlah istimewa. Sejak SMP saya sudah menjejaki candi ini sampai ke stupa tertinggi. Masa SMA, saya kembali lagi mengunjuni candi terbesar di Indonesia ini. Saya berpikir, kalau saya kuliah di Jogja, bisa lebih sering datang ke candi ini.

Begitu kuliah di UGM, hampir selama tiga tahun atau selama saya kuliah S-1, pekerjaan yang paling sering saya lakukan ya dolan ke Borobudur. Bukan sekedar piknik, tapi jadi guide dadakan. Sekarang jelas tidak memungkinkan menjadi “guide liar” di sini. Ya, nasib saya dulu karena kuliah harus mencari biaya sendiri, maka saya memilih gaweyan-gaweyan yang saya senangi, tidak mengikat waktu, dan duitnya lumayan banyak.

Biasanya saya berangkat pagi-pagi dari Bulaksumur naik bus ke Terminal Jombor. Dari Jombor naik bus ke Terminal Borobudur. Dari sini, saya lari ke areal Borobudur. Setelah membeli tiket, saya mulai berburu rombongan yang akan naik ke candi. Makin banyak isi rombongan makin baik. Fee guide saya hitung per kepala seharga tiket masuk. Jadi kalau banyak orang, uang yang saya terima semakin besar. Ada banyak orang baik. Rata-rata mereka memberikan lebih besar dari semestinya. Mungkin karena saya yo merangkap memotretkan mereka.

 Gara-gara pekerjaan ini, sekurangnya saya mengenali Borobudur sedikit detail. Mulai sejarah, relief-relief, hingga hal lain seputaran candi ini. Kalau masa liburan, saya bisa mengawal empat atau lima rombongan. Sebanyak itu pula saya naik turun candi dan berkeliling pradaksina (berjalan searah jarum jam dari timur ke barat). Kalau konsepnya Budha, mereka akan melakukan hal ini tiga kali sebagai persiapan penyucian batin.

Sore hari selambatnya jam empat saya sudah harus keluar dari areal candi. Saya akan lari kembali ke Terminal Borobudur. Ya ampun, sebegitu capeknya lari dan naik turun candi, dulu itu kok ya tidak terasa. Sekarang, lari 5 km pp tiap hari saja saya banyak ogahnya. Hanya karenaingat harus jaga kesehatan, ya tetap lari.

Bus terakhir yang ke Jogja saat itu jam lima sore. Bus akan sampai Jombor jam enam. Lepas Magrib, saya akan kembali naik bus yang ke kampus (UGM). Zaman itu, bus dari Jombor yang ke kampus sampai jam delapan malam.

Masa kuliah S-1 saya memang penuh perjuangan. Saya kok happy saja menjalani. Tidak terlalu mengambil hati beban sehari-hari. Niat saya kuliah sampai lulus. Kalau sarjana, saya bisa bekerja lebih baik.

Pernah juga saya ditegur petugas candi. Saya kalem mengatakan sebagai mahasiswa dan mencari uang untuk bayar SPP. Saya tunjukkan KTM dan KTP. Setelah ditanyain seputar sejarah Borobudur, saya pun dilepas begitu saja. Pernah dapat rombongan bule dan ada orang lokalnya. Saya mo ngomong Inggris, halah bulenya berbahasa Jawa.

Saat itu saya sudah menulis cerpen di media massa. Yach, tapi honor penulisan kan tidak langsung cair. Belum kalau kiriman weselnya kesasar. Pokoknya kalau saya merasa perlu uang cepat, saya pasti lari ke Borobudur. Entah saja, pulang pasti bawa uang banyak.

Saya nyeselnya waktu itu kok belum mikir beli kamera ben ada dokumentasi. Yaelah, jangankan kamera. Bisa terus kuliah bae wes syukur alhamdulillah. Untungnya kuliahnya di Ilmu Budaya. Tugas-tugas tidak seekstrem mereka yang kuliah di Teknik atau Kedokteran.

Setelah saya lulus sarjana, bekerja menetap hanya libur di hari Minggu. Praktis saya tidak menengok lagi Borobudur. Apalagi setelah saya ke Jakarta. Bertahun-tahun tidak lagi menengok peninggalan Dinasti Syailendra ini. Baru ketika saya studi S-2, beberapa kali menengok Borobudur. Persinggungan saya dengan Borobudur lebih dekat saat saya studi S-3.

Pembimbing saya meminta agar saya memeriksa langsung keberadaan sumber data di Candi Borobudur. Saya terdiam sejenak. Memeriksa relief demi relief Borobudur itu tidak bisa sehari. Sekurangnya tujuh hari sampai sepuluh hari berturut-turut. Jelas pengeluaran yang tidak sedikit. Masa jelang studi S-3 saya berakhir itu sungguh berat buat saya. Tabungan semakin menipis, sementara saya tidak bisa bekerja full. Hanya bisa mengerjakan hal kecil-kecil yang uangnya pun tidak banyak.

Setelah kasak kusuk mencari cara untuk meringankan beban saya ke Borobudur berhari-hari dan tanpa hasil, saya pun diam. Bukan tidak punya duit, tapi sudah ada posnya. Observasi ke Borobudur ini tidak termasuk dalam anggaran saya. Juga bukan tipikal saya untuk mengeluhkan uang pada pihak lain, saudara sekalipun.

Tiba-tiba teman jauh yang saya tidak terlalu kenal menelpon. Menanyakan apakah saya bisa menggantikan tugas orang lain untuk membuat narasi. Objeknya foto-foto dari candi-candi di Jawa Tengah, termasuk Borobudur. Dia mendetailkan tugas saya. Begitu mendapatkan keterangan bahwa saya harus ikut ngecek ke lapangan, yang berarti saya ikut ke Borobudur berhari-hari; saya langsung bilang bisa.

Setelah saya menyanggupi, dia segera mengirimkan detail dan contoh pekerjaan. Saya hanya tersenyum. Bikin narasi begitu siy gampang buat saya. Tidak lama dia mengirimkan foto dua orang, satu driver merangkap fotografer, satu asisten yang akan membantu saya. Besok pagi, mereka berdua akan menjemput saya di Jogja dan bersama-sama ke Magelang. Semua sudah diurus. Saya cukup membawa baju secukupnya dan piranti kerja.

Keesokan harinya saya dijemput pagi-pagi. Kami bertolak ke Magelang. Check in hotel, mematangkan rencana kerja yang sudah kami bahas di perjalanan. Kami pun segera turun ke lapangan. Makan siang dan malam di luar. Sarapan pagi ikut di hotel. Saya gembira, hidup terasa nyaman sekali. Kerja pagi sampai sore. Malam kami masih kelayapan sampai jam sepuluh. Kalau saya sedang capek, ya bermalasan saja di hotel. Tidak mengekor mereka dolan.

Saya tetap mengerjakan disertasi di sela-sela pekerjaan. Selama bekerja, dua orang yang dikirim itu mengurusi saya dengan baik. Si asisten ini memberikan amplop kepada saya setiap hari sebagai uang saku —versi saya jumlahnya cukup besar. Semua keperluan, jajan ini itu, bensin, parkir, tiket, dll. dia juga yang membayari karena dia yang bawa uang.

Karena pekerjaan inilah, saya bisa mengakses Borobudur dari ketinggian. Saya beruutung menyaksikan mahakarya ini pagi-pagi di saat fajar, pas siang bolong, saat sore bertabur senja, atau ketika malam gulita. Semuanya indah dan istimewa. Hampir sebulan ketika pekerjaan itu selesai, saya merasa beneran gembira.

Saya tuntas menarasikan Borobudur dan candi-candi lain yang menjadi tanggung jawab pekerjaan. Saya sudah tidak berpikir tentang bayaran lagi. Uang saku yang saya terima harian itu jumlahnya belasan juta. Utuh karena semua keperluan saya selama kerja sudah ditanggung penuh. Pas pekerjaan rampung, saya masih menerima bayaran tunai puluhan juta.

Rezeki nomplok. Alhamdulillah. Saya yang saat berangkat kerja seperti orang sekarat kekurangan darah, langsung segar bugar hidup lagi karena pasokan darah segar. Borobudur turut menyelamatkan studi S-1 dan S-3 saya. Borobudur juga mengajari saya bekerja praktis. Pihak yang berkepentingan harus membereskan biaya-biaya dan aneka urusan, termasuk izin-izin. Saya hanya bekerja sebagai penulis dan menerima fee penuh sesuai kesepakatan.

Keriuhan kenaikan harga tiket Candi Borobudur, memang terasa tidak menyenangkan. Bagi sebagian orang 750 ribu bisa jadi mahal, tapi bagi sebagian yang lain itu tidak lebih dari harga sekali makan di restoran. Saya pun, pasti mikir-mikir bayar tiket segitu kalau tidak ada kepentingan dengan candi.

Toh saya sependapat dengan pembatasan jumlah pengunjung yang naik ke candi. Mekanismenya seperti apa, mungkin bisa dipertimbangkan dan diatur lagi. Tidak sekedar menaikkan harga tiket ke candi. Ada banyak tempat wisata yang lebih mahal toh tetap ramai. Pemerintah dan pihak berwenang perlu merumuskan cara lain di luar kenaikan tiket untuk mendukung program pelestarian Borobudur. Termasuk candi-candi lainnya.

 

Please follow and like us:

Sepasaran: Selamatan Bayi 5 Hari

Artikel ini telah dipublish di nongkrong.co pada hari Sabtu, 4 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313520333/sepasaran-selamatan-bayi-5-hari

Sesuai namanya selamatan sepasaran dilakukan setelah 5 hari kelahiran si bayi karena dalam kehidupan orang Jawa mengenal 5 hari, yaitu legi, pahing, pon, wage, dan kliwon. Kalau bayi lahir di pasaran legi, maka sepasarannya pada hari legi berikutnya.

Pada umumnya untuk orang Jawa yang memahami tradisi Jawa, mereka tidak akan melakukan selamatan persis di hari H. Mereka kadang memundurkan 1 atau 2 hari dari hari yang semestinya. Hal ini bukan karena mereka tidak mempersiapkan selamatan bayi pas pada harinya, tapi mereka lakukan dengan sengaja.

Tujuan penundaan itu agar kelak si bayi tidak selalu memaksakan keinginan saat itu juga. Dalam bahasa Jawa hal itu disebut dengan sakdeg saknyet, seketika memiliki keinginan harus dituruti saat itu juga. Dengan menunda acara selamatan sepasaran, diharapkan si bayi lebih sabar dan lebih bertenggang rasa terhadap berbagai situasi di kemudian hari.

Menu wajib pada sepasaran adalah (a) nasi tumpeng, (b) nasi golong sebanyak tujuh dengan lauk pauk gudhangan, ayam panggang, telur rebus, dan sayur lodeh keluwih, (c) pisang raja setangkep (pisang raja dua sisir), (d) jajan pasar, (e) bubur abang putih (bubur merah putih), (f) nasi gudangan (nasi satu piring komplit dengan sayur dan lauk pauknya), dan (g) iwel-iwel (jajanan berasal dari ketan dan gula merah).

Pertama, Nasi Tumpeng.

Nasi tumpeng melambangkan hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Semakin menjulang tumpengnya diharapkan semakin tinggi, baik, sejahtera kehidupan si bayi.

Tumpeng itu sebenarnya singkatan dari “tumapaking penguripan-tumindak lempeng tumuju Pangeran”. Kalau diterjemahkan secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti bahwa manusia itu harus menginjak kehidupan dan bertindaksecara baik dan benar, karena nantinya akan mempertanggungjawabkan semua tindakan dan perbuatannya pada saat kembali kepada Tuhan.

Sebagaimana diketahui orang Jawa memiliki agama asli yang disebut Kejawen. Mereka ini percaya adanya kekuatan gaib di luar manusia yang mengatur kehidupan dan semesta jagad raya. Oleh karena itu, mereka wajib memelihara hubungan tersebut agar tetap seimbang.

Salah satunya dengan cara mengadakan selamatan dengan tumpengan dan memakannya secara bersama-sama atau biasa disebut dengan kenduri. Acara kenduri biasanya menghidangkan tumpeng yang dikelilingi lauk pauk dan aneka jenis makanan lain sesuai dengan hajatannya.

Penempatan tumpeng dan lauk pauk nya menyimbolkan gunung dan tanah yang subur. Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut dikaitkan dengan gunung, yang berarti tempat sakral oleh masyarakat Jawa. Nasi yang menjulang ke atas merupakan simbol harapan agar kehidupan kita meningkat.

 Sementara tanah di sekeliling gunung disimbolkan dengan lauk pauk yang bervariasi. Tanah yang subur akan menjadikan kesejahteraan bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut. Tumpeng juga mempunyai makna kebersamaan , hal ini terbukti bahwa orang menyajikan tumpeng jika ada acara atau upacara yang disertai dengan makan bersama.

Kedua, nasi golong.

Nasi golong adalah nasi yang berbentuk bulat seperti bola tenis. Dalam tradisi Jawa adanya nasi golong ini memiliki makna kebulatan tekad yang manunggal atau kalau dalam bahasa Jawa ada istilah golong giling —menjadi satu dalam tekad.

Jumlah nasi golong ini ada tujuh yang berarti menjadi tujuh pasang atau disajikan sebanyak empat belas nasi golong. Secara filosofis nasi ini memiliki makna sebagai bentuk penghormatan kepada Allah SWT yang menciptakan alam seisinya. Selain itu kata tujuh dalam bahasa Jawa berarti pitu yang sering diasosiakan sebagai pitulungan atau pertolongan. Berarti secara sadar oang Jawa bermohon pertolongan kepada Tuhan Yang Kuasa.

 Ketiga, pisang raja setangkep (pisang raja dua sisir).

Pisang raja dua sisir ini melambangkan adanya tangan yang menghadap ke atas. Setangkep bila dilihat akan seperti tangan yang sedang memohon atau berdoa. Hal ini memang merupakan permohonan kepada Tuhan untuk memberikan anugerah, keselamatan, dan kebahagiaan sepanjang hidup si bayi.

Keempat, jajan pasar.

Sebagaimana jenisnya yang beragam, jajang pasar menyimbolkan warna-warni kehidupan yang akan dihadapi si bayi kelak. Dalam selamatan sepasaran, biasanya orang Jawa menyajikan jenis jajanan pasar yang berbeda dari selamatan brokohan.

Biasanya yang ada di dalam setiap selamatan sebanyak tujuh jenis, dengan rasa yang berbeda. Rasa yang disajikan dalam jajanan pasar itu sekurangnya sudah mencakup manis, asam, asin, pahit, dan pedas.

Kelima, bubur abang putih (bubur merah putih).

Bubur merah putih selain menjadi representasi lelaki dan perempuan, juga sering dianggap sebagai simbol kehidupan. Bahwa dalam kehidupan ini tidak hanya ada hal yang baik, tetapi juga ada yang kurang baik. Dengan kebijaksanaan dan kerukunan terhadap sesama, persoalan yang rumit pun pasti bisa diselesaikan dan diatasi dengan baik.

Keenam, nasi gudangan. 

Setipe dalam acara selamatan brokohan, nasi gudangan terdiri dari nasi putih dan sayur beserta lauk pauknya. Adanya nasi gudangan dalam selamatan sepasaran ini pada prinsipnya adalah peneguhan permohan dari orang tua si bayi kepada Tuhan agar si anak diberikan kehidupan yang berbahagia.

Dalam proses menjalani kehidupan tersebut, si anak kelak diharapkan dapat menghidupi dirinya dan keluarga secara mandiri. Kehidupan yang dibangun secara baik dan mandiri akan menghasilkan kehidupan yang tenteram lahir batin.

Kedamaian lahir dan batin diharapkan akan membawa kehidupan yang damai sejahtera, makmur, bahagia di dunia dan akhirat.

Nasi gudangan pada prinsipnya melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Ketujuh,  iwel-iwel (jajanan berasal dari ketan dan gula merah).

Adanya iwel-iwel ini merupakan akulturasi dari budaya Islam yang mempengaruhi pemikiran orang Jawa. Konon para tetua orang Jawa mengatakan kalau iwel-iwel itu adalah simbol dari ungkapan la haula wala quwwata illah billah yang berarti tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Orang Jawa mengakui sepenuhnya bahwa dirinya tidak berdaya, sementara yang kuat dan berdaya itu hanyalah Allah SWT.

Lalu sebagai simbol terhadap pengungkapan pengakuan terhadap tersebut, lalu dibuat olahan iwel-iwel ini. Dalam versi saya, pernyataan para tetua atau sesepuh orang Jawa ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Karena kata iwel-iwel itu sangat jauh dari ungkapan la haula wala quwwata illah billah.

Bagaimana prosesnya dari pernyataan pengakuan kekuatan Tuhan dalam bahasa Arab yang cukup panjang la haula wala quwwata illah billah itu, hingga menjadi singkat ringkas padat iwel-iwel ini, hampir semua informan saya mengatakan tidak mengerti. Mereka hanya mengatakan tahunya seperti itu.

Makanan iwel-iwel yang berasal dari ketan yang sudah ditumbuk dicampur dengan garam dan kelapa parut, di bagian tengahnya diberi gula aren, dibungkus dengan daun kelapa. Selanjutnya dikukus hingga matang. Secara sederhana ini mirip jajanan pasar lainnya. Namun saya pribadi agak kesulitan menemukan jenis iwel-iwel ini di pasar tradisional.

Para pedagang jajanan pasar umumnya mengatakan tidak berani bikin sembarangan, takut kuwalat. Jajanan yang menurut mereka simbol ketuhanan. Wah, saya mau tertawa takut kuwalat juga sama orang tua. Diam-diam saya bersyukur karena masih ada sebagian orang Jawa yang ngugemi adat tradisinya dan patuh pada “petuah para tetua”, termasuk tidak membuat iwel-iwel secara sembarangan.

Padahal dengan kemajuan industri pariwisata budaya, sudah banyak juga kuliner sakral yang kemudian bisa dikonsumsi setiap hari. Misalnya ingkung ayam, tumpeng, nasi berkat, dll. Sekarang itu bukan lagi kuliner sakral, tapi bisa dibeli atau ditemukan di banyak tempat wisata di Jawa.

Bisa jadi nantinya iwel-iwel juga akan mudah ditemukan di tempat orang berdagang jajanan pasar. Mungkin saja selama ini peminat atau pembelinya kurang, atau proses pembuatannya yang tidak cukup mudah, membuat makanan ini agak sulit ditemukan di pasar tradisional.

Secara umum itulah menu wajib yang ada dalam selamatan sepasaran bayi. Semua menu tersebut kemudian diberikan doa atau permohonan berkat oleh tetua atau sesepuh di kalangan keluarga tersebut. Setelah itu nasi berkat akan dimakan bersama-sama dan sebagian dibagikan kepada kerabat maupun tetangga-tetangga. Orang Jawa biasanya senang mengadakan acara selamatan. Ini merupakan bentuk syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berbagai karunia-Nya.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Please follow and like us:

Menerima Takdir

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, 2 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063510765/menerima-takdir

Judul di atas saya beri tanda petik “Menerima Takdir” karena ini bukan hal yang mudah. Menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita, butuh jiwa besar dan hati yang lapang. Kadang-kadang perlu waktu untuk bisa menerima kenyataan pahit.

Mari kita ingat peristiwa di sekitar kita atau kejadian yang kita alami. Kita sudah belajar mati-matian, giliran nilai ujian keluar, kita hanya mendapat nilai B. Sementara teman yang kelihatan tidak belajar, justru mendapat nilai A. Kita sudah bekerja sampai lembur-lembur, yang dapat promosi kawan dari meja sebelah. Atau kita sudah berjuang dengan segala cara demi gebetan, hadeuh dianya nikah sama teman semeja kita. Kita menabung sedikit demi sedikit untuk beli mobil, tetangga seberang dapat undian hadiah mobil yang kita inginkan.

Ada banyak lagi hal-hal setipe yang terjadi di sekitar kita. Lalu, secara tidak sadar kita menganggap Tuhan kok rasanya jadi tidak adil. Kita yang kepingin dan berusaha sepenuh jiwa raga, yang dikasih justru mereka yang sepertinya tidak ada usaha atau tidak perlu-perlu amat. Pada saat seperti itu, pasti kita ingin marah, kecewa, kesal, dll emosi negatif. Kalau kita tidak segera berlapang dada, bisa-bisa kemarahan itu akan merusak seluruh kebahagiaan kita.

Kalau saya pribadi, karena tidak membandingkan dengan orang lain, cenderung mudah menerima takdir. Tidak mudah-mudah amat siy! Terlebih kalau rasanya sudah I do my best, itu ya rada bikin saya sewot hati. Untungnya saya tidak baperan. Setelah beberap menit, ya sudah. Belum rezeki saya.

Sebenarnya kalau saya mau mengulik mereka yang terlihat santai ongkang-ongkang itu, tidak sepenuhnya benar. Mereka bekerja lebih keras daripada saya, tapi saya tidak tahu. Waktu kerja saya dan mereka tidak sama. Mereka bertemu saya ketika sedang santai. Di luar itu, mereka bekerja ekstra. Jadi ya wajar, kalau hasil kerja mereka lebih baik daripada saya.

Ketika saya menyadari hal itu, sirik buta saya langsung menguap. Justru saya harus berkawan untuk mengetahui cara mereka berprestasi. Penghargaan saya atas kelebihan masing-masing, membuat saya menerima prestasi orang lain dengan ikut gembira.

Lalu bagaimana caranya agar kita mudah menerima takdir? Biar kita tidak iri dengki dengan anugerah orang lain?

Jawabannya bisa beragam. Hal ini tergantung pada karakter dan kepribadian setiap orang. Tips-tips berikut dapat kita gunakan agar kita mudah menerima kekalahan dan kemenangan setiap waktu.

Pertama, berdamai.

Saat kita sudah berjuang dan ternyata hasilnya tidak sesuai harapan, ya sudah. Terima saja kenyataan itu dan berdamai. Penerimaan itu akan membuat kita ringan hati. Kita juga tidak menganggap orang lain tidak berhak atas prestasi atau anugerah tersebut.

Kalau kita percaya adanya takdir, tentu mengetahui hal ini. Segala sesuatu yang tidak tertulis di dalam takdir, mau jungkir balik sebegitu keras pun, ya tidak akan sampai ke genggaman kita. Sebaliknya kalau sudah ditakdirkan, ibaratnya berusaha sedikit saja, pasti jadi.

Pengetahuan tersebut akan mencegah kita dari keterpurukan. Kita justru mempelajari, mencermati kekurangan, sehingga bisa belajar dan memperbaikinya. Pada saat ada kesempatan lagi, kita bisa mendapatkan prestasi atau hasil yang lebih baik.

Kedua, menyampaikan pada pihak lain.

Kecewa itu jelas tidak menyenangkan. Ada baiknya kita menyampaikan kekecewaan pada pihak lain yang kita percayai. Bisa orang tua, pasangan, sahabat, kerabat, anak, dll. Biar kekecewaan itu tidak menggumpal di dada yang bikin sesak hati.

Kalau khawatir orang lain tidak peduli dengan kekecewaan kita, mungkin kita bisa menuliskannya di ranah pribadi. Dengan menuliskan secara detail, kita bisa mengeluarkan semua ganjalan dan uneg-uneg sampai puas. Hati kita pun terasa lebih ringan. Siapa siy di dunia ini yang tidak pernah gagal? Hanya mereka yang tidak pernah mencoba melakukan sesuatu yang tidak pernah gagal.

Ketiga, jangan membandingkan diri kita dengan orang lain.

Biasanya kita tidak mudah berdamai dengan keadaan kita, karena membandingkan diri kita dengan orang lain. Terlebih saat kita merasa kita “lebih baik” daripada orang lain. Alih-alih bersyukur dengan segala perolehan kita, justru kita bisa mengacau dan membuat keributan dengan orang lain.

Pada saat kita sedang dirundung kekecewaan, ada baiknya menepi sejenak. Menyendiri mungkin lebih baik agar kita terhindar dari tindakan negatif yang merusak. Kalau prestasi orang lain itu diposting ramai-ramai di media sosial, perlu juga kita sejenak menonaktifkannya. Tujuannya untuk memberi ruang pada hati kita untuk menerima segala ketidaknyamanan akibat kekalahan.

Keempat, ingat prestasi atau anugerah kita yang lain.

Gagal sekali bukan berarti gagal seterusnya. Lulus dengan biasa saja, bukan berarti tidak sukses di masa depan. Tidak menang lomba, bukan berarti kita tidak bisa profesional. Dengan menyadari hal ini, kita akan lebih mudah menerima segala kekalahan atau kegagalan kita.

Saat kita gagal, ada baiknya kita mengingat prestasi dan anugerah kita yang lain atau sebelumnya. Hal ini akan membesarkan hati kita. Bahwa dalam perjalanan hidup kita, tidak melulu gagal atau melewati kegagalan. Ada masanya juga kita berjaya, mendapatkan prestasi, dan banyak anugerah.

Dengan mengingat itu, sekurangnya kita akan kembali percaya diri dan berbesar hati. Kita akan menerima, bahwa menang kalah, juara tidak juara, promosi atau tidak mendapat promosi, merupakan hal yang biasa dalam kehidupan. Dengan peristiwa yang beragam, hidup kita juga akan lebih berwarna. Ada banyak hal yang bisa kita jadikan hikmah atau cerminan di masa depan.

Kelima, senang menjalani proses.

Ketika kita menginginkan sesuatu, tentu ada prosesnya. Pada saat kita menjalani proses itu dengan riang dan gembira, kita tidak akan terlalu terganggu dengan hasilnya. Kalaupun hasil itu belum sesuai harapan, sekurangnya prosesnya telah kita lalui dengan gembira. Orang-orang yang bekerja dengan sukacita, cenderung “baik-baik saja” terhadap semua kemungkinan hasil kerja. Bagi mereka, hasil hanyalah dampak dari kinerja yang mereka lakukan.

Mereka tidak terganggu dengan hasilnya. Kegembiraan dan keceriaan sudah jadi warna kehidupan mereka. Sebagian kita setelah menjadi dewasa, sering lupa caranya bergembira. Hidup kita terlalu dibebani dengan aneka program dan target, lalu kita lupa cara menikmati hidup. Padahal hidup adalah anugerah yang paling berharga.

Mungkin kita perlu menengok ke anak-anak balita, betapa mereka selalu gembira dalam segala suasana. Saat jatuh ketika belajar berjalan pun, mereka hanya menangis sesaat, lalu bangkit lagi, berjalan lagi dan berlari. Mereka tidak takut jatuh, karena mereka lebih sadar senangnya bisa berjalan dan berlari.

Keenam, memberi semangat diri sendiri.

Setiap orang, bisa saja gagal. Namun kalau dia sudah belajar menerima kegagalan dan tetap semangat untuk belajar, terus bertumbuh, dia pasti akan mendapatkan kesuksesannya. Berapa lama? Ya, tergantung usaha dan jalan takdirnya.

Kita harus menerima bahwa takdir itu kadang-kadang seperti perjudian. Kita tidak tahu wujudnya sebelum terjadi. Kita tidak pernah tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah. Jangankan yang jauh ke depan, lima menit saja, kita tidak bisa meramalkan masa depan. Jangan coba-coba mendikte takdir, kalau tidak ingin hidup kita penuh dengan beban derita.

Cara seseorang untuk memotivasi diri atau memberikan semangat itu berbeda-beda. Cobalah periksa niat dan tujuan anda melakukan sesuatu. Kalau sudah ketemu, anda bisa kembali mengafirmasi diri dengan muatan positif, memeriksa cara kerja, mempelajari kesalahan, dll. Intinya, cara boleh berubah, tapi jangan mengubah tujuan awal anda.

Ketujuh, mencoba lagi.

Ketahanan mental dan kekuatan hati seseorang tidak sama. Ada yang gagal berulang, tetap saja mencoba dan mencoba lagi sampai berhasil. Dia memiliki motivasi dan semangat pendukung yang kuat. Namun ada yang sekali gagal, lalu trauma dan tidak mau mencoba lagi. Dia takut kembali gagal dan tidak ingin lagi berkecimpung di bidang tersebut.

Setiap kita memiliki pandangan yang berbeda. Alangkah bijaknya, kalau kita mengetahui tujuan kita. Dari sana kita bisa menentukan akan berjuang lagi atau berhenti. Dalam hal ini, yang terpenting anda tidak menyesali pilihan anda. Kalau berulang mencoba, tidak mengeluh. Kalau berhenti, tidak nyinyir pada mereka yang terus berusaha.

Kedelapan, sabar.

Sabar ini termasuk kosakata yang mudah diucapkan, tapi tidak mudah dijalankan. Sabar dengan kegagalan apalagi. Kalau bukan diri kita yang menguatkan hati, tentu sulit untuk membuat kita sabar.

Saat pertama gagal, mungkin kita harus mencoba lagi. Silakan periksa banyak riwayat atau biografi orang sukses. Mereka sering kali mengalami kegagalan yang berulang. Namun mereka tidak menyerah. Mereka terus berusaha. Mereka tetap sabar menjalani prosesnya sampai mendapatkan kemenangan.

Kesembilan, mencari ilmu.

Segala sesuatu ada ilmunya. Kalau kita ingin mempercepat kesuksesan, kita perlu mencari guru atau mentor. Mereka yang berilmu dan berpengalaman, biasanya sudah mengetahui “lubang-lubang” yang biasa membuat seseorang jatuh atauh gagal. Dengan adanya guru ini, kita tidak perlu terjatuh di “lubang-lubang” jebakan tersebut. Kita bisa menghindarinya dan mempercepat waktu kesuksesan dengan adanya guru.

Berguru memang memerlukan waktu khusus, energi, biaya, fasilitas, sarana prasarana, dll. Namun itu sesuatu yang pantas untuk sebuah perjuangan. Kalau dengan berguru kita bisa memangkas waktu keberhasilan menjadi lebih cepat, kenapa tidak? Sekurangnya, kalau versi saya dengan berguru kita jauh lebih termotivasi. Karena contoh suksesnya ada, jalan perolehannya pun tersedia.

Kesepuluh, berdoa.

Ini sebenarnya tidak ada korelasinya secara langsung. Namun berdoa itu bisa jadi spirit yang luar biasa untuk keberhasilan kita. Berdoa membuat kita yakin kalau kita tidak sendirian. Ada tangan Tuhan yang turut bekerja dalam usaha kita. Berdoa versi saya, pilihlah dengan bahasa yang kita pahami, sehingga lebih khusyuk dan khidmat.

Yach, seperti itulah proses menerima takdir. Tidak selalu mudah. Toh kalau sudah terjadi, tetap harus kita terima dan harus kita hadapi. Jadi, kenapa tidak kita sambut dengan syukur dan gembira? Sekurangnya kegembiraan membantu kita keluar dari keputusaan dan kekecewaan lebih cepat. Orang-orang yang gembira sering kali mendapatkan bala bantuan lebih banyak daripada mereka yang bermuram durja.

Please follow and like us:

Brokohan: Selamatan Bayi Lahir

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 28 Mei 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313470327/brokohan-selamatan-untuk-bayi-lahir

Kelahiran bayi merupakan salah satu siklus penting dalam kehidupan orang Jawa. Manusia dalam siklus hidupnya akan memulai kehidupan dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, menikah, berkeluarga, membesarkan anak-anak, tua, renta, dan mati. Siklus kehidupan yang terus berulang pada setiap kehidupan.

Kelahiran bayi merupakan hal yang istimewa. Karena ada banyak perempuan yang mengandung bayi, tetapi tidak sampai melahirkan bayinya. Hal itu bisa disebabkan karena kecelakaan, meninggal, keguguran akibat sakit, tindakan medis pengangkatan janin demi penyelamatan jiwa si ibu, terpaksa aborsi, dll.

Oleh karena itu, kelahiran bayi dan keberadaan bayi yang lahir dengan sehat, selamat, sempurna tubuh fisiknya, merupakan anugerah bagi suami istri dan keluarga besarnya di kalangan orang Jawa. Mereka telah memiliki satu generasi penerus  untuk kelanggengan trah dan keturunannya.

Demi rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah itulah, orang Jawa kemudian mengadakan selamatan atau upacara selamat dengan mengadakan berkatan atau membagikan berkat berupa beberapa makanan dengan aturan tertentu dan doa selamat agar bayi terus hidup sehat, selamat, sejahtera, damai berkah hidupnya sepanjang masa sampai akhir hayatnya.

Selamatan bayi di kalangan orang Jawa sekurangnya ada enam, yaitu (1) brokohan —ketika bayi lahir, (2) sepasaran —5 hari dari bayi lahir, (3) selapanan —36 hari dari bayi lahir, (4) telonan —3 bulan dari bayi lahir, (5) pitonan —7 bulan dari bayi lahir, dan (6) setahun —1 tahun dari bayi lahir. Masing-masing selamatan ini memiliki aturan dan ketentuan yang berbeda-beda.

Sebagian masyarakat Jawa mengadakan acara selametan bayi tersebut tidak persis di hari perhitungannya. Misalnya bayi lahir hari ini, maka selamatan brokohan akan dilakukan keesokan harinya. Tujuan dari sedikit masa penundaan ini adalah untuk membiasakan si bayi agar kelak di kemudian hari tidak sakdeg saknyet (meminta segala sesuatu seketika itu juga). Harapannya dengan terbiasa sedikit ditunda haknya sedari lahir, si bayi akan memiliki sifat sabar, welas asih (penuh kasih sayang), dan tidak semena-mena pada pihak lain.

Pada kesempatan ini, saya mengulas tentang satu selamatan bayi yang paling awal, yaitu brokohan. Kata brokohan bukan asli dari bahasa Jawa. Istilah brokohan berasal dari serapan bahasa Arab barokah —berkah; yang berarti memohon berkah dari Allah SWT atas kelahiran si bayi dengan cara menyiapkan nasi berkat untuk kenduri dan doa bersama.

Namun seperti kita ketahui bersama, orang Jawa lidahnya ya orang Jawa. Mereka sulit untuk mengucapkan kata barokah, sehingga serapan itu menjadi brokah. Selanjutnya kegiatan memohon barokah itu menjadi brokahan, —penanda akhiran —an dalam bahasa Jawa berarti kegiatan, seperti syawalan, natalan, dll. Dari kata brokahan itulah yang selanjutnya menjadi brokohan, seperti yang kita kenal sekarang.

 Dalam perkembangan selanjutnya, brokohan dikenali sebagai upacara selamatan bayi saat bayi lahir. Selamatannya lebih sebagai pengiring prosesi penguburan atau pemendaman ari-ari bayi yang sudah dipotong. Ari-ari bayi yang lahir dipotong, kemudian dikubur atua dipendam dalam tanah. Biasanya kalau orang Jawa beranggapan, ari-ari bayi laki-laki dipendam di halaman depan rumah. Sedangkan ari-ari bayi perempuan dipendam di halaman belakang rumah. Setelah itu, tanah di atas pendaman ari-ari bayi tadi akan diberi penanda berupa kerobong, tutup dari bambu atau dipagari dan diberi penerangan lampu di waktu malam.

Orang Jawa melakukan hal ini karena mereka menganggap ari-ari bayi merupakan teman lahir si bayi ke dunia. Ari-ari bayi atau dalam dunia medis modern disebut dengan plasenta inilah yang mengirimkan segala keperluan bayi selama dalam kandungan, hingga tiba saatnya dilahirkan ke dunia. Pihak yang wajib mengubur ari-ari bayi adalah si bapak atau orang tua laki-laki si bayi. Tindakan ini merupakan simbol atau bentuk tanggung jawab orang tua laki-laki kepada anaknya.

Menu wajib dalam selamatan brokohan ini adalah (1) sega ingkung (nasi ingkung ayam), (2) sega gudangan (nasi dengan sayuran dan kelapa parut yang sudah diolah),  (3) bubur abang putih (bubur merah dan putih), dan (4) jajan pasar. Masing-masing menu tersebut memiliki makna filosofis yang berbeda-beda.

Pertama, Sega Ingkung (Nasi Ingkung Ayam)

Nasi ingkung ayam melambangkan simbol permohonan perlindungan pada bayi yang baru lahir tersebut. Kata ingkung sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Jawa Kuno ‘jinangkung’ dan ‘manekung’. Jinangkung berarti melindungi, mengayomi, menjaga. Manekung berarti bersujud, menghamba, memohon sungguh-sungguh dan dengan merendahkan diri.

Secara umum ingkung berarti bersujud, bermohon, menghambakan diri (pada Tuhan) untuk mendapatkan perlindungan, penjagaan, dan pelimpahan berkah. Dengan adanya ingkung pada saat selamatan bayi, merupakan tanda permohonan kepada Tuhan agar selalu menjaga dan melindungi bayi tersebut dari segala aral marabahaya.

Adapun pemilihan ayam sebagai bahan ingkung karena ayam itu merupakan simbol dari kelahiran bayi tersebut. Itulah sebabnya wujud ingkung adalah ayam utuh yang dimasak dan disajikan secara utuh dalam bentuk tersungkur.

Kalaupun sekarang ini ingkung ayam banyak dijual bebas di pasaran sebagai pendukung pariwisata budaya, tetapi pada saat-saat tertentu, ingkung ayam dibuat dengan tujuan sakral dan penuh filosofis.

 Kedua, Sega Gudangan (Nasi dengan Sayuran dan Kelapa Parut Yang Sudah Diolah)

Nasi dalam hal ini merupakan nasi putih yang lengket (diolah dari beras yang baik, sehingga nasinya dapat lengket satu sama lain). Nasi putih ini melambangkan kedekatan si bayi kelak dengan sesama. Artinya si bayi dapat hidup rukun bermasyarakat dengan warga lainnya.

Adapun gudangan terdiri aneka sayuran rebus, lauk pauk, dan kelapa parut yang sudah dibumbui dan dimasak atau lebih dikenal dengan urap. Bumbu urap ini menandakan adanya kehidupan. Hidup itu harus urip, urap yang berarti mampu menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya agar dapat berbahagia.

Sayur yang terdapat dalam gudangan biasanya terdiri dari tauge, kacang panjang, dan bayam. Taoge atau kecambah melambangkan pertumbuhan. Seseorang harus terus tumbuh semakin baik dari hari ke hari. Sementara kacang panjang menyimbolkan panjang umur, kehidupan yang harus dipikirkan panjang-panjang (matang, teliti, cermat), sehingga bisa mengambil tindakan yang tepat dan bijaksana. Adapun bayam menandakan harapan untuk hidup yang tenteram sejahtera, makmur damai, bahagia di dunia dan akhirat.

Sementara lauknya berupa ikan asin atau gereh pethek goreng, tempe rebus atau goreng, dan telur rebus. Ikan asin menandakan kerukunan hidup bersama. Hal ini dilihat dari sifat gereh pethek yang hidup di laut secara bersama-sama atau bergerombol. Manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk sosial.

Adapun tempe menunjukkan kesederhanaan. Tempe merupakan salah satu olahan kuliner orang Jawa yang menjadi makanan semua kalangan. Sedangkan telur rebus menandakan ketelitian, kehati-hatian dalam bertindak. Seperti sifat telur mentah kalau tidak hati-hati, sedikit terkena benturan saja langsung pecah. Itulah sebabnya harus direbus (digodok pemikirannya) agar matang sebelum bertindak. Dengan demikian, tidak akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari.

Secara umum sega gudangan ini melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Ketiga, Bubur Abang Putih (Bubur Merah Dan Putih)

Bubur merah putih merupakan representasi lelaki dan perempuan dalam kehidupan. Bubur merah putih melambangkan kerukunan hidup antara lelaki dan perempuan. Diharapkan dengan rukunnya orang tua baik lelaki maupun perempuan, si bayi akan mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang penuh dengan kasih sayang.

Proses pembuatan bubur merah putih untuk acara ritual seperti ini tidak bisa dibuat secara sembarangan. Ada doa dan resep khusus demi hasil yang terbaik. Pemasak bubur pun tidak boleh perempuan yang sedang datang bulan. Konon kalau pemasak buburnya sedang datang bulan, rasa bubur menjadi tidak sedap dan tidak enak.

Keempat, Jajan Pasar. 

Jajan pasar dalam kehidupan orang Jawa sangat banyak macamnya. Kalau disebutkan secara rinci, mungkin ada lebih dari seribu jenis. Namun dalam tradisi selamatan brokohan ini orang Jawa umumnya menggunakan sekurangnya tujuh macam jajan pasar. Ketujuh jajan pasar itu misalnya (a) wajik, (b) jadah, (c) onde-onde, (d) lupis, (e) klepon, (f) nagasari, dan (g) lemper.

 Tidak ada aturan baku berkaitan dengan jumlah jenis jajan pasar yang perlu disediakan ini. Secara umum, semakin mampu seseorang biasanya jenis jajanan pasar yang ada dalam berkatannya semakin banyak.

Jajan pasar ini secara umum melambangkan aneka rupa warna kehidupan yang akan dihadapi oleh si bayi di masa depan. Artinya, dalam kehidupan itu tidak hanya ada satu hal yang terasa manis, tetapi kadang juga asam, asin, pahit, hingga pedas. Harapannya dengan mengetahui aneka rasa tersebut, si bayi kelak tidak terkejut menghadapi beragam peristiwa kehidupan.

Menu selamatan ini akan diberikan doa selamat oleh tetua atau orang yang dituakan di lingkungan keluarga. Kadang-kadang membayar dukun atau tetua adat. Baru kemudian dimakan bersama. Sebagian diantarbagikan ke tetangga dan kerabat dekat.

Sekarang ada banyak orang Jawa yang mengganti semua komponen menu brokohan tersebut dengan sembako (beras, minyak goreng, gula, mie instan dll) demi kepraktisan dan kemudahan. Selain itu juga untuk alasan bahan mentah lebih tahan lama daripada masakan matang. Apabila masakan matang dikirimkan dan tidak segera dimakan, maka makanan tersebut akan menjadi basi dan dibuang.

Di lingkungan tradisional masyarakat Jawa, selamatan brokohan ini masih dilakukan. Kalaupun berkat yang dibagikan tidak banyak, tetapi syarat dan ketentuan dasar pelaksanaan brokohan tersebut telah memenuhi syarat. Kalau orang Jawa bilang, nggo syarat atau syarat dasar selamatannya telah terpenuhi. Ada sebagian masyarakat yang berpandangan kalau selamatan ini tidak dilaksanakan sesuai aturan, nantinya akan terjadi brahala ‘celaka’ dan rubeda ‘keribetan, banyak masalah’ pada si bayi dalam kehidupannya.

Namun di lingkungan perkotaan, tradisi seperti ini sebagian besar sudah dilupakan atau dihilangkan. Mereka yang beretnis Jawa, sebenarnya tahu tradisi ini, tetapi sengaja tidak melakukannya. Selain karena pertimbangan biaya dan keribetannya, mereka yang beragama Islam juga cenderung memberlakukan satu sikap melakukan aqiqah. Dengan menyembelih seekor kambing bagi anak perempuan, atau menyembelih dua ekor kambing bagi anak laki-laki, buat selamatan, lalu semuanya selesai. Tentu setiap orang berhak memilih pandangannya masing-masing.

Tetap baik juga berbagai selamatan brokohan karena ini secara praktis memberitahukan kepada tetangga, kerabat dekat, dan lingkungan sekitar tentang kehadiran warga baru. Selamatan itu juga bukti bahwa keberadaan bayi telah lahir selamat dan ibunya dalam keadaan baik. Bukankah bijak untuk mewartakan berita baik dengan berbagi kegembiraan?

 

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

 

Please follow and like us:

Jangan Omong Besar

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, 26 Mei 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063472803/jangan-omong-besar

Suatu waktu –sebut saja A cerita bahwa omzet UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah)-nya antara Rp 2-5 juta per hari. Saya berhitung cepat dengan harga jual produk Rp 10 s/d 50 ribu per item, sekurangnya omzet Rp 2 juta sehari dengan produk Rp 10 ribuan (katanya paling laris) berarti butuh 200 paket. Belum kalau omzetnya lebih dari Rp 2 juta. Dengan omzet Rp 2 juta sehari, berarti sebulan minimal omzetnya Rp 60 juta. Keuntungan anggaplah 30% dari omzet, berarti ada Rp 18 juta sebulan. Wah, itu sudah penghasilan makmur untuk hidup di Jogja.

Jelas kinerja yang sibuk: datangnya bahan produksi, pembuatan produk, penjualan yang ramai, packing yang banyak, alur pengiriman barang via pasukan oranye dan pasukan ijo (kurir marketplace), atau pasukan warna gado-gado (kurir non marketplace) yang akan bolak-balik, orang bekerja, dll.

Saya sempat bertanya pada A tentang tempat usahanya. Dia bilang semua dilakukan dari rumahnya dengan penjualan online. Toh yang saya saksikan adalah rumahnya yang sepi, kotor, dan tidak terurus. Nyaris tanpa kesibukan sebagai UMKM dengan omzet Rp 2-5 juta sehari.

Tidak sesuai dengan ombes —omong besarnya. Saya nyaris lupa dengan cerita itu. Sampai saya lihat ada tanda segel dari bank bahwa rumah si A dalam masa penyitaan. Catatan dari bank tertempel di dinding rumah. Pihak yang bersangkutan sudah lama tidak membayar cicilan KPR (Kredit Perumahan Rakyat)-nya. Menurut saya, horor juga ya peringatan dari bank model begini.

Kening saya sempat berkerut. Bank menyita rumah KPR tentu tidak karena satu atau dua bulan menunggak cicilan, pasti berbulan-bulan. Saya mengabaikan fakta tersebut dan menganggap usahanya sedang kena ujian.

Sampai seorang kawan saya —sebut saja B yang lama tidak ketemu, menelpon dan bilang mau mampir. Saya senang dengan kawan ini. Praktis, tidak banyak omong. Versi saya, dia sudah banyak memberdayakan orang dan keluarga miskin menjadi mandiri dan sejahtera melalui usaha-usahanya.

Kawan saya ini ternyata membeli rumah si A sebagai bentuk kepeduliannya agar si A punya cukup uang modal usaha dan rumah tidak disita bank. “Sudah aku lunasi utang banknya. Daripada pikiran, Ri. Ini aku urus balik namanya. Kudu minta surat-surat dari perangkat desa. Kusuruh pindah dalam tiga bulan, dia minta ngontrak setahun. Ntar mau dibeli lagi. Kalau dia pindah siy, kurobohin aja. Bangun baru untuk tempat usaha.”

Saya bilang ooo… dan tidak membahas cerita si A pada saya dengan si B. Ternyata cerita belum usai. Beberapa waktu kemudian si A masih ombes. “Itu Bu Ari, saya pulang lama untuk jual tanah di kampung. Rumah saya sudah kebeli lagi.”

Padahal versi si B saat ketemu saya, si A menghilang lama untuk menghindari orang-orang bank yang berulang datang. Saya tanya ke si B dan jawabannya, “Masih ngontrak, Ri. 12 juta setahun, minta keringanan. Aku kasih 8 juta, nyicil 4 kali.”

Anda tentu tahu, kepada siapa saya lebih percaya. Untungnya, saya bukan orang yang iseng mengirimkan jawaban si B kepada si A. Ketika cerita ini sampai kepada ibu saya, beliau merespon, “Dia tidak mau kalah sama kamu. Kelihatan pengangguran, tapi punya duit.” Saya ngakak. Pekerja kreatif kan sering identik sebagai pengangguran. Apalagi kalau kerjanya di rumah.

Kisah setipe pernah juga saya alami ketika perjalanan pulang ke rumah ibu. Di kereta, saya mempersiapkan laptop dll piranti kelas online. Masuklah seorang gadis remaja —sebut saja C. Atribut dandanannya banyak merek. Saya tersenyum, berbasa-basi. Saya sejenak “stres” saat bocah milenial ini memanggil saya “Dik” dan mengatakan mau ke Malang. Mungkin muka saya tanpa kacamata terlihat begitu belia.

Saya melanjutkan gaweyan. Saya sempat merasa aneh dengan kelakuannya. Dia memangku map bagus —yang saya tahu itu tempat dan pelindung ijazah dari UGM (Universitas Gadjah Mada). Lah dia bawa backpack besar, kenapa tidak dimasukkan ke tasnya yang sudah ditaruh di kabin atas? Haha… saya tidak sempat memikirkan lebih jauh.

Gadis belia ini terus beramah tamah kepada saya. Bertanya ini itu. Beberapa kali saya jawab. Rupanya dia tidak menyadari kesibukan saya, masih saja ngecuprus. Dari nada ceritanya terdengar betapa dia bahagia dan bangga (agak lebay).

Dia menceritakan betapa sulitnya seleksi masuk UGM, jurusan kuliahnya, proses pembelajaran yang tidak mudah, tugas-tugas yang banyak, dosen-dosen yang killer termasuk yang galak, sampai proses kelulusan yang tidak mudah. Yahaa… UGM sudah sejak dulu kondang, masuk (lolos seleksi) tidak mudah, keluar (lulus ujian berijazah) juga tidak gampang. Sudah mainstream yang dikenali umum karena UGM sebagai salah satu kampus terbaik di Negeri Khatulistiwa.

Saya, karena mengajar online menyambungi ceritanya dengan pendek-pendek: iya, oh begitu, hem, betul, dll. Kalau orang peka situasi, pasti sadar bahwa saya sedang mengerjakan hal lain. Sempat saya katakan sedang mengikuti kuliah online. Eh, si bocah milineal ini tetap cerita dengan kebanggaan lebaynya tentang UGM. Biyuuu… biyuuu….

Mengajar online dua jam, terus meeting online, dll kesibukan kerja online. Jadi saya tetap fokus gaweyan sambil mendengarkan si eneng yang berulang cerita tentang kuliahnya di UGM. Termasuk bapak ibunya yang menyiapkan pesta besar. Undangan resminya saja ada 500 sebagai bentuk syukuran kelulusannya. Dia juga menyebutkan salah satu nama hotel di Malang sebagai tempat acara. Biyuuu… biyuuu….

Saat kereta sudah sampai Kediri, saya pun menutup laptop dan membereskan piranti kerja. Saya memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Sebentar lagi kereta akan sampai Tulungagung dan saya harus turun. Barulah saya bisa “menanggapi” si bocah yang seusia dengan anak-anak saya ini.

Saya memaklumi kebanggaannya. Saya pun mengerti, bagi sebagian orang UGM adalah kampus idaman. Kalau kampus lain memiliki slogan mendidik calon pemimpin masa depan, kampus biru ini sudah teruji melahirkan pemimpin-pemimpin kelas dunia. Masuk UGM —sekurangnya jadi semacam “jaminan” masa depan yang lebih baik dan lebih cerah. Jejaring alumninya yang mendunia mampu memberikan akses dan kesempatan kerja  di ranah internasional.

Begitu pemberitahuan kereta akan berhenti di Tulungagung, saya menarik backpack. Tersenyum pada si C dan mengatakan akan turun. Dia memberi jalan. Saya menatap matanya yang berkilauan penuh rasa bangga itu dan berkata terang.

“Nak, selamat atas wisudamu ya! Silakan lanjut S-1 di kampus lain, biar nanti bisa kembali kuliah S-2 di UGM. Seperti katamu, seleksi UGM tidak mudah. Saya juga alumni UGM. Bukan hanya D-3, tapi sudah komplit S-3. Jadi lebih dari tahu jatuh bangun kuliah di UGM. Nama lengkap saya Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. Kamu bisa googling. Sudah ya, saya turun dulu!”

Saya menekankan kata “Nak”, agar dia tahu bahwa saya bukan remaja yang lebih muda dari umurnya. Anda terbayang ekspresi wajahnya? Sayang —saya harus turun dari kereta. Ketika cerita ini sampai ke adik saya, dia ngakak dan bilang, “Buaya dikadalin…!”

Ya, kami yang alumni UGM tahu kalau program-program diploma, baik D-1, D-2, D-3, atau D-4 yang ada di kampus biru adalah “program swasta”-nya UGM. Semua seleksi, aturan, dll perkuliahan program diploma menggunakan manajemen tersendiri. Mereka yang mengikuti program ini, di masa lampau bisa dengan mudah transfer (pindah) ke program S-1 di UGM setelah lulus diploma. Sekarang sepertinya tidak berlaku lagi. Mereka harus transfer studi S-1 di kampus lain non UGM. (cmiiw)

Jadi, tidak usah lebay dan jumawa berada di kampus ini. Apalagi kalau baru seunyik belajar. Ada banyak orang ahli yang berasal dari kampus ini. Mereka memilih berkontribusi untuk bangsa dan negara dalam sunyi —yang mungkin tidak anda kenali, tapi suara peran sertanya membahana ke bumi langit dunia.

Anda merasa cerita di atas setipe dengan banyak hal yang anda alami dalam kehidupan? Ada saja, orang yang entah kenapa selalu ombes kepada pihak lain —yang bahkan tidak dikenalnya. Ombes bisa dalam beragam bidang, mulai dari kepemilikan harta, pekerjaan, ibadah, wisata luar negeri, pendidikan, anak-anak, kerabat berkuasa, pasangan hebat, dll. Hampir semua hal pernah ada jenis cerita setipe.

Apakah ombes tidak boleh?

Pada tataran orang-orang ring satu (keluarga dan orang dekat), versi saya boleh, terutama dalam konteks untuk motivasi dan cita-cita. Misalnya, dulu saya bersaudara ketika masih bersulit kebutuhan sehari-hari, bayar kos, bayar SPP kuliah, dll. yang rasanya putus kuliah lebih mudah, kami ombes untuk menyemangati diri. Kami membesarkan hati dengan memikirkan betapa bahagianya kalau kami melempar toga wisuda, bekerja mapan, dan mendapatkan penghasilan yang baik.

Berasa seperti ombes saat itu bagi kami. Karena untuk makan besok saja kami pun (belum) tahu. Tapi itulah yang menjadi semangat dan mengantarkan kami mencapai satu demi satu jenjang pendidikan sebagai pendukung kinerja.

Tapi kalau ombes pada orang lain?

Wah, kayaknya anda perlu pikir-pikir dulu. Apalagi kalau anda tidak begitu kenal dengan lawan tutur anda. Kan rasanya “memerah muka” kalau lawan tutur anda ternyata membalas ombes anda dengan fakta yang tidak terbantahkan. Selain itu, hidup ini berputar. Roda kehidupan terus bergulir sesuai dengan garis takdirnya.

Kita tidak pernah tahu masa depan. Kita juga tidak pernah benar-benar tahu masa lalu seseorang. Kita tidak pernah mengalami sesuatu yang sama persis seperti yang dialami orang lain. Oleh karenanya, daripada ombes yang bikin kita malu hati, apakah tidak lebih baik kita berendah hati dan hidup sederhana sesuai kemampuan?

Ilmu padi ada baiknya digunakan. Semakin berisi semakin merunduk, semakin kuat semakin sederhana. Saya mencermati pengalaman dari banyak orang yang kuat secara ekonomi, ilmu, kekuasaan, keahlian, ibadah, dll. cenderung anteng —sunyi. Mereka tidak bersuara, tapi dunialah yang menyuarakannya dengan lebih nyaring dalam jangkauan yang lebih luas. Anda pilih yang mana? Jawabannya ada di hati anda masing-masing.

Ari Kinoysan Wulandari

 

Please follow and like us:

Beradaptasi Lagi

Setelah lebaran, sebagian besar dari kita sudah memulai aktivitas versi baru. Kalau sebelumnya bekerja hampir seratus persen dari rumah, kini sudah mulai beranjak dari kantor. Perkuliahan dan sekolah yang sebelumnya banyak menggunakan sarana prasarana daring, kini berganti menjadi luring. Sebenarnya, ini hal yang sangat biasa kita lakukan sebelum pemerintah mengumumkan pandemi Maret 2020 silam dan kita diminta untuk berada di rumah demi mencegah persebaran virus C-19.

Toh, beradaptasi tidak selalu mudah bagi kita. Setelah cukup lama terdiam nyaman beraktivitas dari rumah, tiba-tiba kita dihadapkan pada persoalan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Kita kembali pada rutinitas yang ternyata tidak cukup mudah. Bersiap pagi-pagi, harus mempersiapkan sarapan, berjibaku dengan kemacetan di jalan, keribetan persiapan, dll.

Bagaimanapun juga ini adalah hal yang lumrah. Permintaan untuk segala sesuatu mulai luring, ternyata membawa dampak yang tidak cukup ringan. Banyak anak bertumbangan ketika mulai sekolah. Banyak mahasiswa yang mangkir perkuliahan tatap muka dengan beragam alasan. Banyak pekerja yang tidak datang ke tempat kerja dengan berbagai sebab. Banyak pula yang tiba-tiba “sakit” karena tiba-tiba berhadapan dengan kemacetan dan keribetan di jalan raya.

Sudut Malioboro

Yach, kita memang perlu beradaptasi lagi. Kita perlu membiasakan lagi dengan semua aturan aktivitas. Namun demikian, saya berharap para pengambil kebijakan dan keputusan, bisa mempertimbangkan tingkat efektivitas dan efisiensi. Apabila sesuatu dapat dilakukan secara daring dengan hasil sama baiknya atau lebih baik daripada luring, mungkin perlu dipertimbangkan untuk terus menggunakan cara daring. Sebaliknya aktivitas dan kinerja yang memerlukan sarana dan prasarana luring, memang tetap harus datang ke tempat.

Kita justru harus belajar dengan keberadaan pandemi, kita bisa memilih cara yang paling mudah dan paling efektif untuk semua hal. Bagaimanapun, kemajuan teknologi harus mempermudah kinerja kita. Kalau bisa online dengan mudah, kenapa kita harus memaksa orang-orang datang ke lokasi?

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us: