Ritual Setelah Pernikahan Orang Jawa

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 13 Agustus 2022 dengan link sebagai berikut.

https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4314093450/ritual-setelah-pernikahan-orang-jawa

NONGKRONG.CO —Sebagian besar orang Jawa menganggap prosesi pernikahan telah selesai dengan adanya temu manten ‘temu pengantin’ dan resepsi pernikahan. Namun sebenarnya dalam tradisi pernikahan orang Jawa, setelah beragam ritual pada saat pernikahan, masih ada satu lagi ritual setelah pernikahan orang Jawa.

Ritual ini merupakan satu kegiatan besar yang biasanya disebut dengan ngundhuh mantu. Acara ngundhuh mantu merupakan perayaan pernikahan di rumah pihak pengantin laki-laki. Kalau sebelumnya ritual sebelum pernikahan dan ritual saat pernikahan orang Jawa, cenderung dilakukan di tempat pihak pengantin perempuan, maka kali ini acara gedhen atau perayaannya berada di tangan pihak pengantin laki-laki.

Tidak semua orang Jawa melakukan prosesi ngundhuh mantu. Sebagian keluarga yang mengadakan acara ngundhuh mantu ini telah memikirkan dengan baik berbagai pertimbangan. Mulai dari urusan waktu, biaya, tenaga, dll kesibukan kedua keluarga pengantin.

Pada dasarnya ritual dalam ngundhuh mantu lebih kurang sama seperti ritual pada saat pernikahan orang Jawa. Namun dalam acara ngundhuh mantu tidak lagi ada pengulangan akad nikah atau janji pernikahan.

Dalam acara ngundhuh mantu ritualnya cenderung merupakan ramah tamah. Kedua belah pihak keluarga besar saling mengenal lebih baik satu sama lain. Berikut ini adalah ritual setelah pernikahan orang Jawa.

Pertama, acara pangombyong.

Acara pangombyong adalah acara kedatangan kedua pengantin bersama para pengiring atau pangombyong dari rumah pengantin perempuan. Para pengiring ini biasanya adalah keluarga besar pihak perempuan, kerabat, dan tetangga dekat. Mereka mengiringi pengantin perempuan untuk memasrahkan atau boyongan ke tempat pengantin laki-laki.

Dalam kultur Jawa, pengantin perempuan seterusnya menjadi tanggung jawab pihak pengantin laki-laki. Oleh karena itu, setelah pernikahan ada cara memasrahkan pengantin perempuan ini kepada pihak pengantin laki-laki. Kalaupun tidak ada acara ngundhuh mantu, acara memasrahkan pengantin perempuan kepada pihak keluarga pengantin laki-laki ini tetap dilakukan.

Kedua, acara jamuan.

Acara jamuan berarti memberi makan dan minum kepada tamu dengan layak dan sebaik-baiknya. Pada saat rombongan pengantin datang bersama para pengiringnya ke tempat pengantin laki-laki, mereka akan disambut oleh pihak keluarga pengantin laki-laki. Mereka akan dipersilakan duduk di tempat yang telah disediakan. Setelah itu mereka akan dijamu dengan makan minum sepuasnya.

Pada acara ini, setiap keluarga memiliki pandangan dan kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang menyediakan nasi box beserta minuman dan kue-kuenya demi kepraktisan dan memudahkan pengurusan acara. Namun ada juga yang menyediakan jamuan dengan model prasmanan. Semua sangat tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak untuk kebaikan bersama.

Ketiga, acara imbal wicara.

Imbal wicara artinya saling berbicara. Di sini ada pembicaraan penyerahan pengantin perempuan dari keluarga pengantin perempuan kepada keluarga pengantin laki-laki. Penyerahan ini diwakili oleh sesepuh atau yang ditunjuk dari kalangan keluarga pengantin perempuan.

Selanjutnya dari pihak pengantin laki-laki ada orang yang membalas pembicaraan untuk menerima penyerahan pengantin perempuan kepada keluarga pengantin laki-laki. Biasanya yang menjadi juru bicara adalah sesepuh pihak keluarga pengantin laki-laki atau yang mewakili.

Keempat, minum air suci.

Setelah prosesi imbal wicara kedua pengantin yang duduk di suatu tempat diberikan air suci oleh orang tua dari pihak pengantin laki-laki secara bergantian. Air suci sebenarnya air biasa saja, tetapi biasanya sudah diberi doa pemberkatan untuk permohonan keselamatan dan kebahagiaan pengantin dan keluarga besarnya.

Pemberian air suci kepada pengantin laki-laki dan perempuan oleh orang tua pihak pengantin laki-laki merupakan simbol bahwa keluarga besar pengantin lelaki telah menerima keberadaan pengantin perempuan. Pihak keluarga pengantin laki-laki akan turut menjaga dan bertanggung jawab pada keselamatan dan kebahagiaan hidup pengantin perempuan. Mereka menganggap pengantin perempuan sudah seperti anggota keluarga dan harus diperlakukan dengan baik.

Kelima, acara sindur binayang.

Sindur binayang adalah acara saat bapak dari pengantin laki-laki menyampirkan kain sindur ke bahu pada kedua pengantin. Selanjutnya sang ayah akan menuntun keduanya menuju kursi pelaminan.

Posisi ayah dari pengantin lelaki berada di depan, kemudian pengantin laki-laki dan perempuan berdampingan, dan ibu dari pengantin laki-laki mengiringinya di bagian paling belakang.

Setelah itu diiringi oleh orang tua dari pengantin perempuan. Di belakangnya lagi ada pengiring-pengiring atau pengantar yang ditugasi dari kedua belah pihak pengantin. Jumlah pengiring ini tidak terlalu banyak, hanya sebagai kepatutan pengantaran dalam ritual ngundhuh mantu.

Pada saat acara ini, diiring dengan gending Jawa yaitu Ketawang Boyong Basuki dan Pelog Barang secara bergantian. Gending tersebut menandakan adanya boyongan pengantin perempuan dari rumah orang tuanya ke rumah mertuanya atau rumah pengantin laki-laki.

Keenam, ucapan terimakasih.

Setelah pengantin dan orang tua kedua belah pihak berada di pelaminan, akan ada acara ucapan terimakasih. Ucapan terimakasih ini berasal dari perwakilan keluarga pengantin laki-laki. Ini merupakan ungkapan terimakasih pada pihak keluarga pengantin perempuan yang telah merawat sampai dewasa dan percaya untuk menyerahkan pengantin perempuan kepada keluarga pengantin laki-laki.

Ketujuh, salaman dan ucapan selamat.

Setelah kedua pengantin dan orang tua kedua belah pihak berada di pelaminan, mereka akan berada di sana selama beberapa waktu. Tujuannya untuk menerima ucapan selamat dan salaman dari para undangan.

Kedelapan, pamitan dan paripurna.

Setelah menerima ucapan selamat dan bersalaman dengan para tamu undangan, pihak keluarga pengantin perempuan akan pamitan kepada keluarga pengantin laki-laki. Orang tua dan rombongan pengiring akan meninggalkan acara dan kembali pulang.

Pada acara ini, biasanya pihak pengantin laki-laki memberikan banyak sekali oleh-oleh atau bawaan kepada semua pihak keluarga perempuan. Bawaan yang diberikan di sini berupa makanan dan berbagai barang yang dianggap baik. Bentuknya bebas sesuai dengan pandangan dan kemampuan masing-masing.

Seperti itulah prosesi ritual setelah pernikahan orang Jawa yang lebih sering disebut dengan ngundhuh mantu. Acara ini merupakan acara besar. Pelaksanaannya memerlukan biaya, waktu, tenaga, dan perencanaan yang baik. Oleh karena itu, tidak semua keluarga melakukan acara ini.

Bagi sebagian pihak, acara ini dianggap sangat penting. Terlebih kalau rumah antara pengantin laki-laki dan perempuan berjauhan atau berbeda adat. Misalnya pengantin perempuan berasal dari etnis Jawa dan pengantin laki-laki berasal dari etnis Gowa.

Tentu acara ngundhuh mantu versi Gowa menjadi sangat penting bagi keluarga pengantin laki-laki. Kalaupun acara ngundhuh mantu tersebut tidak lagi versi orang Jawa, tetapi ini menjadi hal yang menarik.

Bagaimanapun budaya yang bisa bertahan hingga kini adalah budaya yang bersifat lentur mengikuti kemajuan zaman. Budaya Jawa termasuk ritual pernikahan orang Jawa merupakan tradisi yang lentur menerima kemajuan tersebut. Ada banyak acara kunci ritual pernikahan yang tetap dilakukan dengan mengikuti kemajuan zaman.

Catatan:

Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. atau Ari Kinoysan Wulandari adalah peneliti budaya, dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

Please follow and like us:

Dapat Rezeki Kok Protes…!

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, 21 Juli 2022 dengan link berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063938749/dapat-rezekikok-protes

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Beberapa waktu lalu kampus saya mengadakan acara jalan sehat dalam rangka ulang tahun yang berhadiah doorprize. Namanya juga doorprize, jelas untung-untungan.  Mereka yang beruntung sajalah yang mendapatkannya. Doorprizenya siy macam-macam. Mulai dari hadiah remeh temeh sperti voucher belanja 25 atau 50 ribu sampai yang besar; TV 32 inch, mesin cuci, sepeda bermerek, dll.

Tentu setiap orang yang ikut jalan sehat dan mendapatkan kupon undian berharap mendapatkan hadiah yang besar-besar itu. Kalau bisa merekalah yang mendapatkan TV, mesin cuci, sepeda, dll. Sungguh hal yang manusiawi. Saya pun kalau bisa ikut mendapatkan hadiah yang besar.

Sebenarnya doorprize yang dibagikan cukup banyak. Kalau saya tidak salah menghitung, ada sekitar 100-an item. Namun karena peserta jalan sehat sekitar 200 orang, maka dapat dipastikan bahwa 100 orang lainnya tidak akan mendapatkan doorprize.

Itulah sebabnya kalau saya mempunyai hak suara dan ikut memutuskan kegiatan seperti ini, saya meminta panitia untuk menghitung jumlah seluruh peserta. Lalu jumlah hadiah doorprize harus sama dengan jumlah peserta atau lebih. Dengan demikian, semua orang yang berpartisipasi mendapatkan hadiah doorprize. Jadi, semua orang yang ikut serta dapat bergembira dan bersuka cita bersama.

Mulailah sesi pengundian doorprize dimulai. Hadiah-hadiah kecil dibagikan lebih dulu. Saya duduk saja di lantai sambil menikmati munyukan; kacang rebus dan pisang rebus yang disajikan. Lalu seseorang di dekat saya mendapatkan hadiah. Nomor kupon undiannya dipanggil untuk maju dan mengambil hadiah. Tentu hadiahnya masih yang kecil.

Saya tidak tahu wujud hadiahnya karena dibungkus. Tapi yang saya ingat adalah ekspresi si perempuan yang dapat hadiah itu. Lepas dari depan dan hendak duduk kembali, dengan muka masam dibantingnya hadiah tersebut. “Aku kan mau mesin cuci. Kok malah dapat ginian. Huuh…!”

Si Mbak tadi bukannya bersyukur alhamdulillah dapat hadiah, tapi malah protes. Karena hadiahnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Tanggapan orang-orang di sekitarnya pun beragam. Ada yang tertawa. Ada yang mengatakan suruh bersyukur karena dirinya saja tidak mendapat doorprize. Ada yang diam dan tidak menanggapi. Ada yang bilang kalau dia tidak mau, biar hadiahnya buat dirinya saja.

Apakah kamu bisa menghubungkan peristiwa di atas dengan sesuatu? Ya seperti itulah kebanyakan dari kita. Tuhan sudah memberi segala sesuatu kepada kita, bahkan yang tidak kita minta pun diberikan. Tapi alih-alih mensyukurinya, kita lebih sering protes dan cenderung marah-marah. Kita merasa Tuhan tidak adil. Karena Tuhan tidak memberikan seperti apa yang kita inginkan.

Ya, kita sering marah, kesal, kecewa, dll emosi negatif karena kita menginginkan sesuatu yang tidak dikehendaki Tuhan. Jadinya hidup kita begitu kemrungsung, ingin ini itu tidak pernah selesai. Kita sibuk mengejar semua hal yang kita inginkan, sampai lupa menikmati dan mensyukuri segala sesuatu yang sudah ada di depan kita.

Dalam hidup ini, keinginan kita yang tidak terkontrol itulah yang menyebabkan banyak masalah. Ada banyak orang terlibat utang berkepanjangan demi gengsi yang tidak pernah membuatnya puas. Ada banyak orang korupsi demi memenuhi ambisinya untuk dianggap sebagai orang kaya raya. Ada banyak kejahatan yang tidak beradab demi memenuhi nafsu angkara murka yang tidak pernah ada titik akhirnya.

Kesadaran bahwa keinginan seseorang tidak akan pernah terpuaskan, kecuali dirinya sendiri yang menghentikan itulah, yang membuat saya menjadi lebih sabar. Saya tidak lagi tergoda untuk iri dengki dengan rezeki orang lain. Saya lebih banyak menikmati hidup dengan segala yang sudah saya miliki. Alhamdulillah, hidup menjadi terasa penuh kebahagiaan dan hal baik.

Mengejar yang belum ada? Iya, pasti.  Karena orang hidup harus memiliki tujuan dan target-target agar bersemangat menyongsong hari baru. Saya pun berniat keras mencapai tujuan dan target tersebut dengan kapasitas terbaik saya.

Ketika saya sudah melakukan usaha mati-matian dengan I do my best, ternyata Tuhan tidak memberikannya, saya kalem saja. Oh, bukan rezeki atau belum rezeki. Semuanya menjadi ringan dan tidak berpikir untuk melakukan segala cara demi mendapatkan rezeki yang belum tentu baik bagi saya. Karena saya yakin, kalau sudah rezeki ya pasti akan sampai ke tangan saya. Kalau tidak rezeki, dikejar siang malam pun tetap saja melicin lepas dari genggaman saya.  

Hal seperti ini mudah dikatakan, mudah dituliskan. Tapi percayalah, tidak mudah dilakukan. Tidak segampang membalik tangan untuk menjalaninya. Saya belajar terus menerus untuk berusaha “ikhlas” dengan kehidupan. Ini merupakan proses pembelajaran seumur hidup.

Ada masanya juga saya begitu kesal dan marah, bahkan iri dengki dengan pihak lain yang versi saya —tidak bekerja maksimal, tapi mendapatkan banyak. Atau mereka yang terlihat tidak bekerja, tapi hartanya tidak pernah habis tujuh turunan.

Manusiawi? Wajar? Jelas. Ketika saya berusaha mengulik lebih banyak dan lebih dalam, oh, ternyata mereka melakukan banyak hal yang tidak saya tahu. Mereka berperan serta lebih bermanfaat bagi banyak orang daripada saya. Ketika menyadari hal itu, saya menjadi lebih bisa menerima keberuntungan orang lain.

Hidup kadang tidak selalu sesuai logika manusia. Apalagi kalau kita tinggal di lingkungan yang hedonis dan menakar segala sesuatu dengan harta benda. Mereka yang tidak kuat mental, akan cenderung mengikuti arus. Mereka akan mengusahakan dengan segala cara demi bisa pamer harta benda. Dan yang begini ini, tentu ada harga atau biaya yang harus dibayar.

Bagi mereka yang mampu, tentu oke saja. Kalau tidak mampu dan tidak kuat mental, ya pasti akan berusaha bagaimanapun caranya agar terlihat glamour dan mewah. Mereka bahkan tidak peduli kalau utangnya pecicilan di mana-mana. Jadilah saat gajian besar pun, mereka ini tetap tidak bisa tertawa bahagia.

Mengapa? Ya karena gajinya hanya numpang lewat. Begitu masuk rekening, sudah langsung didebet untuk aneka cicilan demi membayari hidupnya agar tampak mewah atau glamour tadi. Orang lain yang menyelamati atas kepemilikan harta kamu yang baru, apakah mereka ikut serta membayari cicilan kamu? Jelas tidak. Bahkan, mungkin mereka sudah tidak ingat lagi dengan harta barumu yang dia selamati. Sementara cicilanmu? Masih berpanjang tahun baru akan lunas.

Hidup adalah pilihan. Ada orang yang hidupnya sederhana, tapi tenang damai. Anak-anak mereka pun sekolah tinggi dan mapan. Mereka bahkan masih bisa membantu kiri kanan dengan banyak kebaikan.

Sementara ada orang yang hidupnya mewah glamour, ternyata tiap hari pusing memikirkan cicilan dan kartu kreditnya. Kadang harus ngutang kiri kanannya untuk nomboki utang lain yang jatuh tempo. Bekerja pun sudah digadaikan demi membayari utang-utang yang digalinya. Jangankan memikirkan untuk bersyukur dan menikmati hidup, mereka yang begini pasti akan selalu beributan cara “meraup banyak uang”.

Saya dengan banyak pengalaman membayar utang orang tua, termasuk yang emoh memikirkan utang dan cicilan. Kalau saya mampu ya beli. Kalau belum mampu ya tidak beli atau cari substitusinya. Prinsip itulah yang membuat hidup saya anteng, tenang damai. Seberapapun rezeki yang saya terima, saya syukuri dengan sukacita.

Bagi saya pribadi, bebas dari utang itu rasanya merdeka. Ya tentu, dalam kehidupan selalu ada masalah dan ujian. Terlebih kalau ada orang yang iyig mulai itung-itungan harta kekayaan. Belum lagi menghadapi kaum nyinyirens dan juliders yang ada di mana-mana.

Menghadapi mereka itu kalau tidak kuat mental, ya kolaps lho kita. Bayangkan, saya saja pernah harus menghadapi CS (customer service) bank yang iyig. Sudah jelas saya mengambil uang tabungan  —yang karena jumlahnya banyak, harus ada catatan penggunaan. Jadi ya saya catat: membeli rumah (tentu dengan alamat yang jelas). Dan embuh piye waktu itu kok dari teller saya dipindahkan ke CS.

Nah, si CS ini berulang kali meminta saya untuk tidak mengambil tabungan dan mengganti pembelian rumah dengan KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Wah, manis tenan bujuk rayunya.

“Bu Ari kan bisa memakai uang ini untuk keperluan lainnya. Sudah bisa dapat rumah dengan mendebet 6 jutaan setiap bulan. 20 tahun, nanti tahu-tahu lunas sendiri. Saya uruskan sekarang ya?! Bu Ari tinggal tanda tangan dengan jaminan sejumlah tabungan yang dibekukan.”

Dalam hati saya, mbahmu itu lunas sendiri. Saya berhitung cepat, berapa banyak uang hasil “kerja keras” yang harus saya setorkan ke bank kalau saya ambil KPR? Hampir 400% selama 20 tahun. Tentu saja saya menolaknya. Awalnya saya masih sabar, lama-lama habis waktu.

“Mbak, saya ini mengambil uang tabungan sendiri. Riwayat penabungan saya sedikit demi sedikit juga bisa dilacak dari transaksi bank. Saya mau KPR kalau harganya sama dengan harga sekarang, tanpa bunga, tanpa penalty. Kalau begitu, saya urus sekarang. Kalau tidak, keluarkan uang itu. Sampeyan menyalahi aturan melayani nasabah dengan ramah, cepat, praktis, efektif dan efisien.”

Akhirnya saya pun “dilepaskan” untuk mengambil uang tabungan. Petugas kok iyig. Saudara saya ngakak pas saya cerita hal ini. Kalau saya mau KPR, dia kan dapat komisi. Banknya dapat pendapatan rutin selama sekurangnya 20 tahun. Iya betul. Mereka itu sebenarnya memeras keringat kerja keras kita puluhan tahun dengan balutan kosakata yang aduhai manis sekali. Kita saja yang sering tidak berdaya menghadapi tuntutan gaya hidup, karena pemikiran yang kurang pas.

Saya pun kadang merasa hidup saya kok mung begitu-begitu saja ya?! Setelah saya hitung-hitung lagi, ya tidak begitu juga. Selalu ada penambahan-penambahan yang karena sedikit demi sedikit, menjadi tidak terasa. Saya bekerja dengan tenang, tidak ngoyo karena tidak ada tuntutan membayari cicilan atau utang.  

Nah, kamu jenis penerima rezeki yang mana? Yang selalu protes kalau dapat rezeki karena tidak sesuai dengan keinginanmu? Atau mensyukuri dan menikmati semuanya yang ada? Silakan cek diri masing-masing.

Mungkin saja, hidupmu selalu banyak masalah karena kamu kurang mensyukuri semua yang sudah ada. Kamu terlalu sibuk mengejar yang belum ada. Hidup adalah pilihan. Kalau pilihanmu tidak membuatmu bahagia, sepertinya kamu perlu melakukan evalusi mendalam. ****

Please follow and like us:

Ritual Saat Pernikahan Orang Jawa

Tulisan ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 6 Agustus 2022 dengan link berikut.

https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4314044873/ritual-saat-pernikahan-orang-jawa

NONGKRONG.COM —Prosesi pernikahan orang Jawa cukup memerlukan waktu, tenaga, dan biaya. Ada serangkaian ritual yang harus dilakukan oleh pihak pengantin dan keluarganya demi mengikuti acara ini. Setelah ritual sebelum pernikahan, pada saat prosesi pernikahan pun ada banyak ritual yang harus dilakukan. Berikut ini adalah ritual saat pernikahan orang Jawa.

Bagian A, Akad Nikah atau Janji Pernikahan.

Akad nikah atau janji pernikahan inilah sebenarnya kunci dan inti dari pernikahan. Akad nikah menyatukan lelaki dan perempuan yang semula terpisah menjadi sepasang suami istri. Mereka telah menikah dan membentuk rumah tangga baru.

Pada acara atau ritual ini, janji atau ikrar pernikahan dijalankan sesuai dengan aturan agama masing-masing. Pada saat ritual janji nikah ini harus ada calon pengantin lelaki dan calon pengantin perempuan, pihak yang menikahkan, orang tua pengantin dari kedua belah pihak, wali, saksi, dan tamu undangan.

Pada saat ritual ini, umumnya pakaian pengantin adalah pakaian adat Jawa. Beberapa pengantin memilih yang praktis. Mereka menggunakan pakaian internasional atau pakaian pernikahan yang lebih modern demi kemudahan prosesi.

Bagian B, Panggih.

Seperti sebutannya panggih berarti bertemu. Setelah acara akad nikah atau janji pernikahan, kedua pengantin telah resmi menikah. Mereka akan bertemu dengan orang tua kedua belah pihak dengan menggunakan ritual atau adat Jawa. Dalam ritual ini ada beberapa tahapan, sebagai berikut.

Kesatu, balangan gantal atau membalang sirih yang diikat dengan benang putih. Pengantin laki-laki melempar gantal pada dada pengantin perempuan. Ini merupakan tanda kalau ia telah mendapatkan hati sang pasangan. Sebaliknya pengantin perempuan melemparkan gantal ke arah lutut pengantin laki-laki. Ini sebagai bukti bahwa ia akan patuh dan taat kepada pasangannya.

Kedua, ngidak endhog atau menginjak telur. Telur ayam ditempatkan pada wadah tertentu yang sudah dihiasi dengan daun-daun. Selain itu juga disiapkan tempat air dengan gayungnya. Selanjutnya pengantin lelaki akan menginjak telur ayam tersebut dan pengantin perempuan bertugas membersihkan kaki suaminya.

Prosesi ini menunjukkan tanda bakti seorang istri kepada suaminya. Kalau suaminya melakukan kesalahan, sang istri harus turut serta membersihkan. Tindakan ini juga merupakan simbol kerja sama antara suami dan istri.

Selanjutnya sang suami akan membantu memberdirikan istrinya. Ini sebagai tanda bahwa sang suami menghargai usaha istrinya untuk turut menyokongnya. Saling menghargai dalam rumah tangga akan menghidupkan dan melanggengkan cinta pasangan suami istri.

Ketiga, sinduran. Setelah acara menginjak telur, prosesi berikutnya adalah sinduran yang berarti pengantin mengenakan kain sindur dan kemudian dibimbing oleh dukun manten atau yang mewakili menuju pelaminan. Kedua pengantin berjalan sambil berpegangan tangan.

Kain sindur berwarna putih dengan renda berwarna merah. Warna putih sebagai lambang kesucian cinta. Warna merah sebagai lambang keberanian menghadapi hidup. Kedua pengantin yang berjalan beriringan menuju pelaminan merupakan simbol kesiapan mereka menghadapi kehidupan yang baru.

Keempat, bobot timbang. Setelah sampai di kursi pelaminan, kedua mempelai akan didudukkan di atas pangkuan bapak dari pengantin perempuan. Lalu sang ibu dari pengantin perempuan akan bertanya kepada suaminya, siapa yang lebih berat di antara kedua pengantin laki-laki dan perempuan.

Jawaban dari sang bapak pengantin perempuan harus sama saja. Ini menunjukkan bahwa di dalam rumah tangga, keduanya berkedudukan sama, harus saling menyayangi dan menghargai satu sama lain agar dapat hidup bahagia.

Kelima, minum air degan atau air kelapa muda. Air kelapa muda sering dianggap sebagai air kehidupan. Dengan meminum air kelapa muda dari gelas yang sama untuk satu keluarga, diharapkan kehidupan keluarga pengantin dapat terus lestari sampai akhir zaman.

Pada prosesi ini, bapak dari pengantin perempuan akan menjadi orang pertama yang meminum air kelapa muda. Selanjutnya diteruskan kepada sang ibu, orang tua pengantin lelaki, hingga pada kedua pengantin.

Keenam, kacar kucur. Ini merupakan tindakan dari pengantin laki-laki untuk mengucurkan uang receh dan biji-bijian yang telah ditempatkan pada wadah tertentu kepada pengantin perempuan yang membawa wadah lainnya.

Kacar kucur merupakan simbol bahwa pengantin lelaki siap memberikan nafkah dan bertanggung jawab kepada pengantin perempuan. Sang lelaki bertugas mencari rezeki dan sang perempuan bertanggung jawab untuk mengelolanya dengan baik.

Ketujuh, dulangan atau saling menyuapi. Setelah acara kacar-kucur, pengantin lelaki dan perempuan akan diberikan makanan dalam satu wadah. Mereka harus saling menyuapi atau dulangan sebanyak tiga kali.

Dulangan ini merupakan simbol dan harapan agar kedua pengantin saling mengasihi, saling menghargai, saling menolong dan bekerja sama dalam menjalani kehidupan pernikahan.

Bagian C, Bubak Kawah.

Ini biasanya merupakan acara yang ditunggu-tunggu pada undangan. Karena pada saat ritual ini ada makanan dari gembili, uwi, aneka jajanan pasar, dan kadang diberikan uang —yang semuanya ditempatkan pada satu wadah seperti kendil atau gentong kecil.

Semua makanan tersebut akan diberkati atau didoakan demi keselamatan dan kebahagiaan pengantin bersama keluarga besarnya. Setelah itu, semua isi kendil akan dibagikan kepada tamu undangan yang hadir. Konon sebagian orang Jawa menganggap yang mendapatkan bagian akan ikut serta di kemudian hari merayakan pernikahan putra-putrinya seperti pernikahan yang dihadiri tersebut.

Acara ini ada di dalam pernikahan yang pertama dilakukan. Tidak selalu pernikahan dari anak pertama, tetapi hajatan mantu pertama di keluarga tersebut. Kalau yang menikah lebih dulu anak kedua atau ketiga, maka pada saat anak pertama atau kedua menikah, tidak ada acara bubak kawah.

Bagian D, Tumplak Punjen.

Tumplak punjen adalah acara penutupan pernikahan dari suatu keluarga. Artinya, kalau ada prosesi tumplak punjen ini berarti dalam keluarga tersebut sudah tidak akan mengadakan pernikahan lagi. Seluruh anak dari keluarga itu telah mentas atau menikah.

Tumplak punjen dengan ritual menumpahkan uang dan biji-bijian berarti orang tua telah melepaskan diri dari seluruh tanggung jawabnya. Ia telah menyelesaikan darmanya kepada semua anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.

Bagian E, Sungkeman.

Sungkeman berarti sungkem atau permohonan doa restu dari pengantin lelaki dan perempuan kepada orang tua kedua belah pihak. Ini dilakukan dengan cara berlutut di depan orang tua secara bergantian.

Biasanya acara ini menjadi haru biru dengan berbagai nasihat yang tidak semuanya bisa disampaikan dengan terang. Bagaimanapun kuatnya orang tua, sering kali melepaskan anak menikah bukanlah hal yang mudah, tetapi harus dijalankan sebagai darma orang tua kepada anaknya.

Bagian F, Kirab Pengantin.

Pada prosesi pernikahan adat Jawa yang masih komplit, setelah sungkeman ada acara kirab pengantin. Pengantin lelaki dan pengantin perempuan akan dibawa berkeliling tempat sekitarnya. Kirab pengantin bertujuan untuk memberitahukan kepada khalayak dan masyarakat sekitar, bahwa keduanya telah menikah. Mereka telah menjadi suami istri yang tidak perlu diganggu kalau bersama-sama.

Sementara di dalam pernikahan adat Jawa yang sudah lebih modern, biasanya kirab pengantin ini ditiadakan. Setelah sungkeman, pengantin dan orang tua kedua belah pihak akan berada di pelaminan untuk menerima salam dan ucapan selamat dari para tamu undangan. Mereka akan berada di tempat itu sampai batas waktu yang ditentukan atau sampai seluruh tamu undangan selesai memberikan doa dan ucapan selamat.

Seperti itulah rangkaian ritual saat pernikahan orang Jawa. Banyak sekali ubarampe dan persiapannya. Pernikahan semacam ini memerlukan banyak waktu, tenaga, dan biaya. Oleh karena itu, dalam beberapa pernikahan orang Jawa sering kali kita tidak menemukan semua prosesi tersebut.

Pernikahan orang Jawa masa sekarang lebih sering dipersingkat dengan acara akad nikah atau janji pernikahan dan resepsi sebagai bentuk syukuran serta memberitahukan pada khalayak luas bahwa mereka telah menikah. Apapun pilihannya, tradisi pernikahan di Indonesia memang merupakan tradisi megah. Jadi, perlu kesungguhan kalau ingin membuatnya benar-benar seperti prosesi aslinya.

Catatan:

Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. atau Ari Kinoysan Wulandari adalah peneliti budaya, dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

Please follow and like us:

Berkurban dengan Niat

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Jumat, tanggal 8 Juli 2022 dengan link berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063845978/berkurban-dengan-niat

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Dalam perjalanan hidup saya bersaudara, pernah ada masa yang sangat gelap. Jangankan memikirkan untuk lulus kuliah, besok makan apa saja, kami tidak tahu. Praktis setelah usaha bapak bangkrut, hidup kami menjadi tidak mudah. Banyak hal yang terbiasa ada, tiba-tiba hilang. Dan itu semakin parah ketika bapak meninggal, saat kami enam bersaudara masih semrawut, belum ada yang mentas (mapan).

Kami semakin tenggelam dalam duka mendalam, karena ternyata almarhum bapak meninggalkan utang-utang yang sangat banyak. Ibaratnya rumah satu-satunya yang dimiliki ibu (yang saat itu selamat dari penyitaan bank) karena tidak jadi agunan bank  —dijual pun tidak akan menutup semua utang bapak.

Semasa hidupnya, bapak dan ibu sengaja tidak memberitahukan semua hal itu kepada anak-anaknya, agar kami tidak ikut resah. Begitu bapak meninggal —rasanya kita tahu ya, harus diinformasikan penanggung jawab utang dari si mayit. Karena ibu saya masih ada, ya tentu utang-utang bapak menjadi tanggungan ibu saya. Dengan kondisi ibu sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja, hal itu tentu bukan sesuatu yang mudah.

Beberapa waktu setelah lewat masa berduka, ibu berpikir untuk menjual saja rumah miliknya untuk membayar utang bapak. Saya bersaudara ramai beribut, kalau rumah dijual harus tinggal di mana. Mengontrak rumah bukan urusan mudah, belum kalau harus pindah-pindah karena harga kontrakan yang terus naik.

Saya bersikukuh agar rumah tidak dijual dan bersama saudara membereskan utang-utang almarhum bapak. Saudara-saudara lainnya pun sepakat. Tahu kan ya, kalau rumah dijual dadakan, pasti harganya jatuh miring. Terlebih itu satu-satunya rumah yang ada kenangan bersama keluarga. Kalau dijual hilang pula memori keluarga kami.

Tidak mudah, karena yang baru lulus kuliah baru saya. Lainnya masih embuh, entah bisa sekolah atau tidak. Lha untuk urusan makan sehari-hari saja kami mumet. Namun janji Allah itu benar. Setelah kesulitan ada kemudahan. Ada banyak pertolongan yang tidak terduga.

Saya ditarik bekerja ke Multivision Plus yang memberikan ruang penghasilan besar. Saudara saya ada yang mendapatkan beasiswa kuliah penuh. Saudara saya yang lain memutuskan bekerja sambil kuliah. Sementara yang tinggal di rumah masih sekolah, harus turut membantu menjaga ibu kalau para penagih utang datang.

Sedikit demi sedikit utang bapak berkurang. Karena jumlahnya besar dan kami harus berjibaku tetap harus kuliah dan hidup, maka pembayaran utang-utang itu memakan waktu sepuluh tahun. Tentu tidak mulus begitu saja. Ada banyak “caci maki” dan “cercaan” yang mengerikan. Terlebih kalau utang itu pada bank plecit atau rentenir yang menerapkan sistem bunga berbunga.

Karena menanggung utang-utang bapak dan biaya hidup rumah tangga orang tua, sebenarnya saat itu saya jelas tidak perlu berkurban. Hukum berkurban itu sunah muakad, sunah yang sangat penting —tetapi tetap tidak menghilangkan arti sunahnya. Kalau tidak mampu, ya tidak perlu berkurban.

Saat itu saya sudah berniat untuk berkurban. Karena penghasilan yang saya peroleh itu, kalau dihitung setiap tahunnya sudah lebih dari wajib untuk berkurban. Jadi begitu masuk kantor di Jakarta, saya menyisihkan sebagian uang saya berkurban. Malu rasanya saya diberi pekerjaan mudah, penghasilan besar, tapi tidak berkurban. Bahwa uangnya untuk beragam keperluan, itu kan tidak meninggalkan kenyataan saya mendapatkan penghasilan besar.

Bagaimana cara dulu berhemat untuk berkurban? Misalnya harusnya saya beli makan 50 ribu, saya memilih yang 40 ribu atau kurang, sehingga ada sedikit sisa untuk masuk “kantong kurban”. Sepanjang proses pembayaran utang-utang dan mengawal saudara-saudara saya kuliah, ya mung kambing itu yang bisa saya kurbankan.

Dasar pertimbangan saya, memohon kemudahan membereskan urusan yang banyak  dan tidak muda itu. Syukur alhamdulillah semua dapat beriringan. Alhamdulillah, dengan jatuh bangun dan bergandengan tangan bersaudara; rumah ibu ya tetap utuh, kami semua sarjana atau lebih, utang-utang bapak ya lunas.

Setelah itu, saya mulai menambah porsi berkurban. Kalau sebelumnya kambing, lalu ikut sapi untuk bertujuh, terus seekor sapi. Saya kadang merasa tidak fair menaruh seekor sapi di satu tempat. Jadi saya mengikuti keumuman berkurban  rata-rata, seekor sapi dibagi bertujuh. Tapi saya lakukan di tujuh tempat berbeda. Kalau dihitung total ya tetep seekor sapi dengan ruang pembagian yang lebih luas. Saya tetep berprinsip harus mengutamakan berkurban di tempat tinggal, baru ke daerah yang jauh-jauh.

Nah, dari pengalaman saya itu, saat ditanyain kawan tentang pilihan berkurban atau bayar utang dulu, saya kembalikan pada pertimbangannya. Tentu saja dalam pemahaman awam sebagai orang yang tidak ahli urusan agama Islam dan hukum ibadahnya dengan detail, maka saya mengatakan kalau versi saya; bayar utang dulu, baru berkurban.

Pemikiran saya itu berkaitan dengan pemahaman kalau orang mati, bila dia memiliki utang, dia bisa tidak disholatkan sebelum ada yang bersedia menanggung utang-utangnya. Seorang yang mati syahid pun terampuni semua dosa-dosanya, kecuali utangnya. Jadi, bayar utang jelas wajib hukumnya.

Sementara hukum berkurban yang saya pahami adalah sunah muakad, artinya ibadah yang sunah yang sangat disarankan. Mengingat aturan ada sunahnya ini, tentu berkurban ini diperuntukkan bagi yang mampu berkurban. Berkurban kan harus dengan binatang ternak yang diperbolehkan, yaitu kambing, sapi, kerbau, unta. Padahal binatang-binatang ternak ini, cukup ada harganya yang harus dibayar oleh mereka yang hendak berkurban.

Keumuman berkurban di Indonesia menggunakan kambing atau sapi. Harga kambing di Indonesia saat ini kisaran 2.5 sampai 5 juta per ekor. Sementara harga sapi yang umum kisaran 20-35 juta per ekor. Makin besar bobotnya, biasanya harganya juga akan semakin besar. Semakin mendekati hari raya kurban atau Idul Adha, kadang-kadang harga kedua binatang ternak itu semakin mahal. Itulah sebabnya untuk berkurban di Indonesia yang paling banyak adalah berkurban seekor kambing atau seekor sapi yang ditanggung oleh tujuh orang.

Kalau seseorang sudah berniat untuk berkurban, sebaiknya dari satu tahun sebelumnya sudah memikirkan biayanya. Apakah ia harus menabung dulu, melakukan penggemukan kambing atau sapi, beriuran dengan saudara atau teman ataukeluarga, mencicil harga kambing atau sapi, dst. Banyak pilihan yang bisa disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Terus, bagaimana mereka yang memiliki utang? Tentu harus membayar utang lebih dulu sebelum berkurban. Dalam pemikiran saya, semestinya setiap orang bisa memikirkan mana yang terbaik bagi dirinya. Masing-masing memiliki tanggungan dan kepentingan keuangan yang berbeda-beda. Tidak bisa disamaratakan.

Bisa saja dia masih punya banyak utang, tapi memutuskan berkurban  —seperti yang saya lakukan di masa lalu. Ada juga kondisi seseorang tidak punya utang, tapi tidak sanggup berkurban. Ada yang kondisinya pas-pasan saja, tapi bersikeras menabung untuk membeli hewan kurban. Ada yang menitipkan kambing atau sapi pada peternak dengan membeli anakannya dan membayar biaya perawatan sampai tiba hari penyembelihan binatang kurban.

Ada pula yang berombongan tujuh orang dan beriuran menanggung harga seekor sapi selama satu tahun. Misalnya seekor sapi dibandrol 35 juta. Dari harga 35 juta untuk seekor sapi berarti setiap orang menanggung 7 juta, yang dicicil selama 12 bulan. Berarti setiap bulan setiap orang cukup mencicil 400-500 ribu. Tidak akan terasa berat bagi mereka yang punya penghasilan rutin gajian standar menengah 5-10 juta tiap bulan. Kalau harga sapi lebih rendah di kisaran 25 juta, maka iuran bulanannya bisa lebih kecil. Nanti mendekati hari H Idul Adha, rombongan bertujuh ini tinggal membeli sapi dengan menambah kekurangan biayanya. Namun untuk hal seperti ini, pengelolanya harus amanah dan bisa dipercaya lho ya. Jangan sudah mencicil tertib, tahu-tahu yang pegang duit kabur. Wah, bisa celaka dua belas kalau begitu!

Masing-masing bisa mengukur dan menakar kemampuannya. Tidak pernah ada pemaksaan untuk berkurban. Menurut saya, boleh saja kok seseorang “ngotot” untuk berkurban. Hal ini akan mendorongnya untuk bekerja lebih baik. Biasanya siy, yang saya rasakan secara langsung, urusan-urusan sulit jadi lebih mudah. Apakah itu dampak dari rutin berkurban, saya tidak tahu.

Petunjuk bahwa berkurban sangat baik, itu yang saya terima dengan totalitas. Kalau saya bisa mengerjakan, ya saya lakukan. Kalau tidak bisa, ya tidak saya kerjakan. Membawa ringan hati saja urusan seperti ini. Karena saya tahu, Islam itu mudah dan memudahkan.

Tentu kita tidak boleh mencari pembenaran sesuka kita. Seperti karena berkurban ini sifatnya sunah muakad, jadi menganggap tidak wajib. Sudah punya banyak rumah bertingkat dengan mobil bermerek jejer-jejer di garasinya, eh tetap saja tidak mau berkurban. Atau kalau mau berkurban pakai pecicilan ngatur minta bagian ini itu pada panitia. Biyuuu…. bikin ruwet ribet aja mereka yang begitu. Apakah ada? Banyak. Cek saja kalau anda jadi panitia kurban. Kalau seperti itu ya, jangan menyesal kalau Allah sewaktu-waktu mengambil semua kekayaan.

Saya sering mengingat kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tentang berkurban. Alangkah Maha Bijaksana Allah SWT. Kurbannya diganti dengan kambing gibas. Bayangkan kalau aturan berkurban yang diminta anak sulung laki-laki, betapa tragisnya. Nyatanya yang diminta seekor kambing atau sapi setiap tahun. Itupun dengan sukarela dan kesadaran masing-masing.

Akhirnya, mau berkurban atau tidak, mau berkurban atau bayar utang dulu; semua kembali pada pertimbangan masing-masing. Saya mengajak kepada siapa saja, kalau mau berkurban niatkan saja dulu. Bismillah minta dimudahkan rezeki untuk membeli hewan kurban. Insyaallah nanti ada saja tambahan rezeki tidak terduga untuk melakukan kurban.

Kalau masih punya utang, berniat saja dulu. Biar bisa bayar utang dan berkurban bersamaan. Allah itu sesuai persangkaan hamba-Nya. Kalau kita berpikiran dan bertekad baik, Allah akan memudahkan perwujudan kebaikan itu dari berbagai arah. Praktikkan dan buktikan saja. Tidak usah kebanyakan nanya dalil dan teorinya. Malah bisa-bisa nggak jadi berkurban nanti!

Selamat Idul Adha 1443 H. Selamat berkurban. Kalau tahun ini belum berkurban, niatkan sungguh-sungguh agar tahun depan bisa berkurban. Bagi mereka yang sudah mampu berkurban tahun ini atau dari tahun-tahun sebelumnya, semoga tetap bisa istikomah berkurban setiap tahun sepanjang hayat. Amin Yaa Rabbal Alamin.****

Please follow and like us:

Ritual Sebelum Pernikahan Orang Jawa

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 30 Juli 2022 dengan link sebagai berikut.

https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4314014904/ritual-sebelum-pernikahan-orang-jawa

NONGKRONG.CO —Pernikahan merupakan hal yang penting bagi orang Jawa.  Tradisi yang berlangsung berkaitan dengan pernikahan dalam adat Jawa sangat banyak. Tahapan sebelum pernikahan di kalangan orang Jawa ada dua macam, yang tidak menggunakan ritual dan yang menggunakan ritual.

Tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang tidak menggunakan ritual ada tiga macam, yaitu (1) pembicaraan pernikahan, (2) pembentukan saksi-saksi, dan (3) pembentukan panitia hajatan. Ketiga tahapan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama, Pembicaraan Pernikahan.

Pembicaraan pernikahan pada prinsipnya merupakan pertemuan kedua keluarga yang akan menikahkan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Keluarga mereka bertemu, berkenalan secara resmi, melakukan prosesi lamaran, hingga pembicaraan lain yang berkaitan dengan pernikahan putra putri mereka. Ubarampe dan kelengkapan dalam kegiatan ini sesuai kemampuan masing-masing. Ada yang sangat praktis modern, ada pula yang semuanya menggunakan pakaian adat Jawa.

Kedua, Pembentukan Saksi-saksi.

Keberadaan saksi-saksi pernikahan merupakan hal penting. Pembentukan saksi-saksi ini adalah permintaan orang-orang di luar keluarga, bisa tetangga dekat atau kerabat dekat untuk menjadi saksi prosesi pernikahan.

Pembentukan atau penentuan saksi-saksi ini tidak memerlukan ritual. Hanya permintaan dan kesediaan sebagai saksi kegiatan sebelum pernikahan. Kesaksian diperlukan pada empat acara, yaitu (a) srah-srahan, (b) peningsetan, (c) asok tukun, dan (d) gethok dina.

Keempat acara ini biasanya memerlukan ritual, terutama pada acara srah-srahan. Srah-srahan adalah penyerahan perlengkapan sarana dan prasarana untuk pernikahan, seperti cincin, makanan tradisional, pakaian wanita, uang, perhiasan, bahan pangan, dll sesuai aturan dan kesepakatan.

Peningsetan adalah acara tukar cincin antara pihak calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Asok tukon berarti menyerahkan sejumlah uang kepada calon mertua dari pihak calon pengantin laki-laki. Gethok dina adalah menetapkan hari untuk akad nikah dan resepsi dan lain-lain yang berkaitan.

Ketiga, Pembentukan Panitia Hajatan.

Pembentukan panitia hajatan bertujuan untuk memperlancar acara mantu. Panitia ini biasanya melibatkan keluarga dan orang dekat dari kedua belah pihak calon pengantin. Kalau acara mantunya besar-besaran, panitia hajatan ini dibentuk secara khusus di luar pihak keluarga atau orang dekat dari kedua belah pihak.

Itulah tiga tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang tidak menggunakan ritual. Sementara tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang menggunakan ritual ada sepuluh, yaitu (1) pasang tratag, (2) membuat kembar mayang, (3) pasang tuwuhan, (4) sungkeman, (5) siraman, (6) adol dawet, (7) potong tumpeng dan dulang pungkasan, (8) menanam rambut dan melepas ayam, (9) midodareni, dan (10) srah-srahan.

Pertama, Pasang Tratag.

Pasang tratag berarti memasang tenda di depan rumah dengan tarub dan hiasan alami di depan pintu masuk. Pemasangan ini sebagai penanda bahwa keluarga tersebut sedang merayakan pernikahan.

Orang Jawa umumnya menggunakan janur lengkung kuning. Janur lengkung kuning ini menandakan permohonan kesejahteraan dan keberkahan bagi calon pasangan pengantin dan keluarga besarnya. Selain itu sebagai perwujudan syukur kepada Tuhan bahwa anak-anak mereka telah dewasa dan akan menikah.

Kedua, Membuat Kembar Mayang.

Kembar mayang dibuat dari akar, batang, daun, buah, dan bunga. Daun kembar mayang ditekuk dan dimasukkan ke batang pisang. Bentuknya mirip gunung, cambuk, payung, kering, burung, dan belalang. Kembar mayang merupakan lambang kebijaksanaan dan motivasi hidup bahagia.

Ketiga, Pasang Tuwuhan.

Pasang tuwuhan atau menanam buah-buahan di dekat tempat siraman. Buah yang ditanam biasanya pisang raja satu tundun. Pasang tuwuhan melambangkan tanda kemantapan pasangan pengantin dalam pernikahan. Selain itu juga ada harapan agar pasangan pengantin segera memiliki anak.

Keempat, Sungkeman.

Ritual sungkeman berarti permohonan doa restu dari calon pengantin kepada orang tua kedua belah pihak. Sungkeman juga merupakan penanda terimakasih anak kepada orang tuanya telah membesarkan dan mendidik mereka sebelum menikah. Ritual ini biasanya ditandai dengan pemberian sesuatu dari calon pengantin kepada orang tua sebagai bukti cinta.

Selain permohonan doa restu dan pemberian tanda cinta, acara sungkeman juga diikuti dengan permohonan maaf atas segala kesalahan baik dari pihak anak maupun orang tua. Permohonan maaf ini demi memperbaiki hubungan orang tua dan anak yang mungkin saja ada kesalahan.

Kelima, Siraman.

Siraman berarti mandi sebelum pernikahan. Siraman ini dilakukan oleh pasangan pengantin. Siraman dilakukan dengan pakaian adat lengkap dengan beberapa aturan khusus. Air yang digunakan untuk siraman berasal dari tujuh sumber mata air dengan tujuh bunga yang harum; seperti mawar, melati, kenanga, kaca piring, sri tanjung, magnolia, dan wijaya kusuma.

Air untuk siraman dicampur dengan semua bunga yang telah dipersiapkan dan diendapkan sekurangnya 1 malam agar wanginya menguar kuat. Siraman dilakukan oleh tujuh orang keluarga dekat sang pengantin. Terakhir siraman dilakukan oleh orang tua pengantin.

Siraman ini merupakan simbol pembersihan diri dari segala kekotoran jiwa raga. Dengan jiwa raga yang bersih dan suci, pasangan pengantin diharapkan dapat memulai kehidupannya dengan baik dan bahagia.

Keenam, Adol Dawet.

Ritual adol dawet dilakukan oleh orang tua kedua calon pengantin. Dawet adalah salah satu minuman tradisional Jawa yang menyegarkan. Orang tua pengantin harus menjual dawet tersebut kepada para hadirin atau tamu undangan.

Uang yang digunakan dalam acara ini adalah kreweng atau mata uang dari pecahan genting tanah liat. Semua tamu harus membeli dawet yang dijual, tidak boleh ada tamu yang terlewat tidak membeli dawet tersebut.

Adol dawet merupakan simbol dari kesejahteraan dan cara orang Jawa memenuhi keperluan hidupnya. Berdagang merupakan simbol pekerjaan yang bisa dilakukan oleh siapa saja untuk mandiri.

Ketujuh, Potong Tumpeng dan Dulang Pungkasan.

Pada acara potong tumpeng dan dulang pungkasan ini, harus ada nasi tumpeng lengkap dengan ingkung ayam. Nasi tumpeng nantinya akan dipotong dan dimakan bersama-sama (kenduri) para undangan.

Sementara bagian nasi tumpeng yang dipotong akan diberikan kepada orang tua kedua pengantin untuk disuapkan kepada calon pengantin. Ini adalah simbol tanggung jawab orang tua terakhir kali sebelum putra putri mereka menikah.  

Kalau sebelum menikah calon pengantin lelaki dan calon pengantin perempuan masih jadi tanggungan orang tua, setelah menikah mereka harus mandiri. Mereka tidak lagi disuapi oleh orang tuanya, tetapi harus mengarungi hidup baru secara mandiri. Mereka harus bertanggung jawab pada kehidupan keluarga barunya.

Kedelapan, Menanam Rambut dan Melepas Ayam.

Kedua pengantin dipotong sebagian rambutnya. Rambut ini akan ditanam di tanah. Tujuan dari penanaman rambut ini adalah menjauhkan hal buruk yang mungkin terjadi dalam kehidupan pernikahan.

Berikutnya, orang tua pengantin akan melepaskan ayam hitam secara bebas. Ayam hitam yang dilepaskan hidup bebas ini merupakan simbol keikhlasan orang tua melepaskan anaknya untuk menikah. Anak-anak yang sebelumnya hidup dalam buaian orang tua, kini telah dilepaskan untuk hidup mandiri dalam pernikahan.

Kesembilan, Midodareni.

Midodareni merupakan ritual pelepasan masa lajang bagi anak perempuan. Pada saat ini, calon pengantin perempuan tidak boleh bertemu dengan calon pengantin laki-laki. Waktu yang ditentukan adalah jam 18 sampai 24 WIB atau dari lepas Maghrib sampai tengah malam.

Biasanya di rumah pengantin perempuan, si calon pengantin perempuan didampingi oleh ibunya dan para sesepuh. Mereka memberikan nasihat dan petuah tentang kehidupan setelah pernikahan. Tujuannya memberikan bekal dan pandangan yang cukup bagi calon pengantin perempuan yang akan menikah.

Kesepuluh, Srah-Srahan.

Srah-srahan berarti menyerahkan berbagai barang keperluan kehidupan dari calon pengantin lelaki kepada calon pengantin perempuan. Bentuk srah-srahan ini sangat beragam, dan biasanya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Dalam kebiasaan orang Jawa modern, barang srah-srahan ini sering pula dibeli bersama-sama oleh pihak pengantin lelaki dan perempuan dengan tanggungan si pihak lelaki. Pihak perempuan hanya menentukan jenis barangnya, agar saat diserahkan nanti semuanya bermanfaat dan tidak ada yang terbuang.

Srah-srahan dilakukan oleh pihak calon pengantin lelaki kepada pihak calon pengantin perempuan pada malam midodareni. Adanya srah-srahan ini menandakan bahwa pihak pengantin lelaki sudah menerima tanggung jawabnya atas pengantin perempuan yang akan dinikahinya. Mereka sudah siap menjalani kehidupan berumah tangga.

Seperti itulah tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang menggunakan ritual. Tidak setiap keluarga yang menikahkan anaknya menggunakan seluruh ritual tersebut. Namun secara umum, mereka yang masih memegang tradisi Jawa akan menjalankan keseluruhan ritual tersebut. Selain sebagai tanda syukur atas pernikahan putra putrinya, juga semangat untuk ikut melestarikan tradisi Jawa.

Catatan:

Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. atau Ari Kinoysan Wulandari adalah peneliti budaya, dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

Please follow and like us:

Hargai Waktumu…!

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, tanggal 7 Juli 2022 dengan link berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063838683/hargai-waktumu

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Suatu hari, saya duduk menulis di suatu kafe. Tentu dengan makanan dan minuman yang sudah terhidang di meja. Saya tidak sedang menunggu orang. Tiba-tiba seorang ibu datang dan bertanya kepada saya, apakah dia bisa bergabung di meja saya.

Saya mempersilakannya, meskipun sempat menoleh kiri kanan dan melihat meja-meja yang masih kosong. Mestinya dia bebas memilih meja di ruangan itu. Masih pagi. Sang ibu mengatakan ia tidak terlalu senang menunggu sendirian. Saya pun maklum, dan meneruskan pekerjaan saya menulis.

Sang ibu bertanya lagi, apa yang saya kerjakan. Daripada nanti ditanya-tanya lagi, saya pun memperkenalkan diri secara lengkap. Nama, aktivitas, domisili, dan karya-karya. Saya pun memberikan alamat sosmed kepadanya agar dia dapat mencermati tulisan-tulisan saya. Lalu dengan meminta maaf, saya mengatakan sedang bekerja dan harus merampungkan deadline.

Ibu paroh baya yang kelihatan berkelas dan berduit itu pun menerima perkenalan saya. Dia juga menyebutkan nama dan tempat tinggalnya. Lalu dia sudah asyik dengan handphonenya. Mungkin memeriksa tulisan-tulisan dan karya-karya saya. Saya pun tenggelam dalam penulisan. Tidak memperhatikan apa yang dilakukannya.

Saya sudah menulis sekira tujuh halaman —berarti lebih kurang satu jam saya menulis; ketika mendengar si ibu menelpon dengan nada tidak senang. “Saya sudah menunggu lama. Sebaiknya kita batalkan saja rencana kerja sama. Kalau ada tagihan karena diskusi atau pembicaraan sebelumnya, silakan kirim ke asisten saya. Biar nanti ditransfer. Terimakasih.”

Saya tidak tahu dia berbicara dengan siapa dan dengan urusan apa. Dia pun berkata kepada saya, “Mbak Ari, saya minta waktu sebentar,” begitu katanya.

Singkat jelas, dia menceritakan bahwa sebenarnya dia sedang menunggu tim penulis yang akan mengerjakan buku biografinya. Sebelum-sebelumnya mereka sudah bertemu dengan asistennya dan mengirim format kerja sama. Hari ini mereka berjanji akan ketemu langsung dengan dirinya. Mereka yang menentukan jadwal dan dia sudah oke, tidak meminta pergantian waktu dan tempat. Nyatanya mereka yang mangkir janji tidak tepat waktu. Kalau urusan waktu saja tidak bisa menepati janji sendiri, ia khawatir bukunya tidak akan selesai tepat waktu.

Karena dia bertemu saya yang juga penulis, dan versinya dia cocok dengan gaya tutur saya, dia bertanya apakah saya bersedia menuliskan untuk dirinya. Sebenarnya saya sudah menolak halus dengan mengatakan fee saya cukup banyak dan tidak bisa ditawar. Saya lupa, bagi orang-orang tertentu, harga itu menjadi nomor sekian setelah cocok dan percaya.

Begitulah. Saya menerima gaweyan itu. Menyelesaikan dalam satu tahun. Menerima bayaran yang cukup besar dengan kerja yang mudah. Saya sebut mudah, karena sang ibu ini sangat disiplin, runtut berpikir, dan jelas apa yang diinginkannya dari suatu tulisan sejak awal hingga akhir. Saya ibaratnya tinggal mengawal ceritanya dalam versi tertulis dengan mengalir saja.

Itu adalah kerja dadakan saya karena rajin mojok nongkrong nulis di kafe. Dampak kebiasaan kurang baik saya, menulis berpindah dari satu tempat ngopi ke tempat ngeteh, atau lainnya. Kalau dihitung-hitung operasionalnya menjadi cukup banyak. Saya mengenali karakter kebosanan yang cukup tinggi, jadi ya biasa saja bagi saya.

Dalam pengerjaan gaweyan menulis, biaya itu sudah saya masukkan dalam hitungan charge yang harus dibayar oleh klien. Kalau tidak ada gaweyan, baru itu jadi masalah. Dan betul, selama pandemi yang mengharuskan kita kerja dari rumah itu, saya beberapa kali terkena psikosomatis. Masalah psikologis karena kebosanan yang akut berada di satu tempat yang sama pada waktu yang lama.

Dari apa yang saya ceritakan tersebut, terlihat jelas kalau saja si Tim Penulis yang pasti sudah repot sebelumnya bikin penawaran, proposal, dll nego dengan asisten si ibu itu tepat waktu; pasti pekerjaan itu tetap akan jadi milik mereka. Karena telat dan entah apapun alasannya, gaweyan bernilai ratusan juta itu melayang begitu saja.

Kejadian itu, menjadikan saya lebih menghargai waktu. Lebih teliti menggunakan waktu. Kalau menurut saya tidak akan menambah kontribusi kebaikan, lebih baik saya tinggalkan. Selain itu, mungkin karena lingkungan keluarga saya adalah wiraswasta, pengusaha, pekerja informal; jadi disiplin waktu itu sudah jadi urusan masing-masing. Kalau saya tidak disiplin menulis, ya kapan saya dapat duit. Kalau saya tidak tepat waktu mengirim karya, ya pasti lewat jadwal publikasi. Sedari kecil, saya dilatih untuk memeriksa jadwal sendiri dan mematuhinya atau menanggung konsekuensinya.

Masuk kampus biru, ya mau tidak mau saya terimbas dengan kedisiplinan lingkungan. Jarang sekali di tempat ini undangan jam sepuluh tidak dimulai jam sepuluh. Karena undangan jam sepuluh, semua sudah bersiap sedari jam sembilan atau setengah sepuluh. Bahkan terakhir, ketika ada acara dan saya sebagai moderator webinar, lalu jaringan internet saya bermasalah, acara tetap dimulai jam sepuluh dengan moderator pengganti. Ketika saya sudah bisa kembali ke ruang webinar, moderator pengganti menyerahkan seluruh acara kembali kepada saya untuk saya pimpin sampai akhir.

Artinya, lingkungan sudah membentuk saya untuk disiplin soal waktu. Pada waktu bekerja di PH pun demikian. Kalau sampai program saya tidak tayang tanpa alasan yang force majeur, maka PH harus membayar denda 200% dari biaya produksi. Kebayang kalau biaya per episode 700 juta, sampai program tidak tayang berarti harus bayar ke stasiun penyiar sebanyak 1,4 milyar. Biyuuu…, saya bisa digantung produser kalau sampai hal ini terjadi.

Oleh karenanya jadwal kapan skenario ditulis, kapan diserahkan ke bagian produksi, kapan diterima dalam bentuk video atau file jadi, kapan diserahkan ke stasiun, kapan tayang, dll itu menjadi sangat ketat dan harus diperhatikan. Lepas sehari saja di urusan skenario, semua jadwal pasti akan terganggu.

Ketika berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswa yang selonong boy seenaknya keluar masuk di kelas atau kuliah saya, saya langsung memintanya keluar kelas. Lebih baik tidak masuk kelas kalau sudah lewat setengah jam. Apalagi kalau sebelumnya sudah dibuat perjanjian kapan jam kelas dimulai setelah toleransi waktu. Orang yang berhasil kebanyakan tertib waktunya dan tidak banyak bikin alasan.

Tapi ya, tiap tempat beda karakter soal waktu saja. Saya stres dan sempat protes ketika undangan jam sepuluh, ternyata baru dimulai jam sebelas lewat. Ini si pembuat acara tidak menghitung kerugian riil. Anggap saja sejam setiap orang menggunakan kuota internet 0,5 GB dikalikan yang sudah menunggu sekitar 200-an orang, berapa banyak kerugiannya? Waktunya? Jelas 1 jam x 200 yang berarti 200 jam hampir 20 hari kerja terbuang.

Undangan dari mahasiswa? Bukan. Tingkat pejabat-pejabat kampus dan dosen-dosen. Tidak sekali dua kali. Tapi berulang kali. Undangan jam 7 s/d 10. Riilnya jam 7.38 s/d 12 siang. Sangat tidak bisa memperhitungkan waktu. Yang salah siapa? Yang bikin jadwal dan acara. Pengisinya kan bisa diingatkan waktunya terbatas, bukan ngombro-ombro kelamaan bicara, dll.

Jadi, saya berpikir kalau kemudian mahasiswa seenaknya bikin acara telat mulai sejam dan telat berakhir dua jam, itu seperti biasa saja. Bagi saya jelas tidak biasa dan merugikan. Tapi yang bisa mengubah habits begini, kan yo mulai dari atas-atas to, mosok yang krucukan bisa?

Beberapa senior mengingatkan saya agar tidak terlalu idealis. Astaga….! Soal tepat waktu saja kok dibilang idealis. Mau maju dan unggul, tapi telatan terus… ya mana bisa?! Pada titik-titik tertentu, akhirnya saya berdamai saja dengan sikon tersebut. Kalau sudah tahu habits begitu, tinggal saya menyiapkan piranti kerja tambahan agar jam-jam kemoloran dari acara mereka itu bisa saya gunakan untuk mengerjakan gaweyan yang tetep kudu dibereskan. Kalau yang krucukan telat, dipotong-potong pendapatan, tapi mereka bikin acara telat, santai lempeng saja.

Time is money. Begitu kata orang-orang Barat. Demikian menghargainya mereka terhadap uang, waktu pun bisa dihitung dengan uang. Versi saya, waktu adalah kehidupan. Kita yang masih hidup ini, berarti masih punya jatah waktu di dunia. Kalau sudah tidak punya waktu lagi, ya berarti mati. Selesai kehidupan di dunia.

Sumber daya yang sering kita sia-siakan dalam hidup ini adalah waktu dan kesehatan. Banyak orang beribetan di akhir waktu, karena tidak bersiap di awal waktu. Banyak orang mengabaikan kesehatan di masa muda, lalu menjadi beribet urusan kesehatan di masa tua.

Setiap orang punya pandangan yang berbeda tentang waktu. Ada yang menganggap waktu itu urusan sepele. Hadeuuuh, lha kalau kamu terbiasa bekerja dengan hitungan jam dengan charge besar, mungkin tidak akan menyepelekan waktu lagi. Karena waktu adalah satu-satunya sumber daya yang tidak bisa kita beli ulang. Begitu pula dengan kesehatan. Kalau kamu tidak mau menginvestasikan kesehatan di masa muda (olahraga, makan sehat, hidup sehat, dll) siap-siaplah sedari paroh baya hidup dengan obat-obatan.

Karenanya saya sebagai penulis profesional sejak bertemu klien sudah berhitung dan berdiskusi tentang waktu. Kalau pekerjaan secara umum perlu waktu 6 bulan, tapi si klien ngotot 3 bulan; saya menawarkan dua opsi: dia membayar 2 kali lipat (sehingga saya bisa membayar lebih banyak orang untuk lembur-lembur) atau menambahkan orang-orang untuk saya yang bekerja membantu membereskan gaweyan. Mereka akan memilih opsi tersebut atau tetap sama dalam waktu 6 bulan.

Lalu pekerjaan pun akan berlangsung dengan lancar. Salah satu hal yang saya syukuri sebagai penulis adalah, saya berhak menentukan dan mengatur apakah saya menerima atau menolak pekerjaan. Saya juga berhak mengatur lalu lintas pekerjaan yang harus diikuti oleh klien dan semua pihak yang terlibat kerja demi suksesnya gaweyan. Alhamdulillah, karena saya berusaha keras disiplin, ndilalah selama ini ketemu klien dan tim kerja yang juga senang berlari cepat dan disiplin, sehingga semuanya boleh dikatakan selesai dengan baik.

Bagaimana denganmu? Apakah kamu sudah menghargai waktumu? Atau kamu lebih sibuk bernyinyiran dan berjulidan di mana-mana, tapi gaweyan pokokmu dengan standar minimal saja tidak terpenuhi? Atau kamu merasa bahwa waktu berulang setiap hari, kenapa begitu ribetnya? Silakan merenungkan sesuai dengan pemahaman masing-masing. ****

Please follow and like us:

Aqiqah: Selamatan Bayi versi Islam

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 9 Juli 2022 dengan link berikut ini.

https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313826245/aqiqah-selamatan-bayi-versi-islam

NONGKRONG.CO —Kalau membicarakan aqiqah, maka secara umum kita secara mayoritas mengetahui bahwa itu adalah selamatan bayi versi orang Islam. Dalam selamatan aqiqah ini orang terbiasa mengingat bahwa selamatan itu identik dengan pemotongan kambing. Kalau bayi laki-laki, maka akan dipotong kambing jantan dua ekor. Kalau bayi perempuan, maka kambing yang dipotong sebanyak satu ekor.

Hal ini sesuai dengan hadist yang artinya, Siapa dari kalian yang suka menyembelih atas kelahiran anak maka lakukanlah, anak laki-laki dua ekor kambing yang cukup syarat, anak perempuan dengan satu ekor.” (HR Ahmad, Abu Dawun, An-Nasaa-i).

Selanjutnya dari daging kambing tersebut akan dimasak menjadi sate dan gule atau jenis masakan lainnya sesuai dengan kesenangan tuan rumah atau orang tua si bayi. Masakan kambing tersebut akan digabungkan dengan masakan lain, lalu diwadahi dalam tempat tertentu dan diidentifikasi sebagai nasi berkat aqiqahan.

Sebagian nasi berkat tersebut dinikmati saat kenduri dan sebagian lainnya akan dibawa pulang oleh tamu-tamu acara aqiqah, dan sebagian lagi akan diantarkan kepada tetangga kiri kanan dan sanak kerabat yang tidak hadir pada acara kenduri.

Dalam bahasa Arab aqiqah itu berasal dari kata al qat’u yang berarti memotong. Pengertian aqiqah secara harfiah berarti memotong rambut bayi yang baru lahir. Adapun secara umum berarti memotong binatang ternak pada hari ketujuh setelah bayi dilahirkan. 

Binatang ternak yang boleh dipotong pada saat aqiqah sebenarnya tidak hanya kambing, tetapi bisa juga sapi atau unta. Bagi mereka yang menggunakan unta atau sapi, cukup 1 ekor unta atau 1 ekor sapi untuk 1 orang anak. Namun yang umum adalah menggunakan kambing karena sesuai dengan hadist tentang aqiqah. Selanjutnya tradisi yang mendunia di kalangan orang Islam tentang binatang ternak untuk aqiqah adalah memotong kambing.

Pada prinsipnya hukum pelaksanaan aqiqah adalah sunnah muakad atau ibadah penting dan diutamakan. Oleh karena itu bagi orang tua yang mampu, aqiqah sebaiknya diselenggarakan sesegera mungkin atau pada saat si anak masih bayi. Namun bila belum mampu mengadakan aqiqah, hukumnya tetap tidak berdosa.

Dalam riwayat Al-Hasan dari Sammuroh rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Semua anak tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelihkan pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberikan nama. (HR Ahmad 20722, At-Turmudzi 1605 dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Hadist tersebut merupakan dasar hukum pelaksanaan aqiqah. Aqiqah juga menjadi acara selamatan bayi yang umum di kalangan orang Jawa, karena mayoritas mereka beragama Islam. Jadi, selain selamatan bayi versi orang Jawa seperti brokohan, sepasaran, selapanan, telonan, pitonan, dan setahunan, mereka juga mengadakan aqiqahan. Bagi sebagian orang Jawa yang menganggap aqiqahan merupakan perintah agama, sedangkan selamatan lainnya bukan; mereka lebih mementingkan acara aqiqahan ini.

Pelaksanaan aqiqah cenderung dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Setiap bayi digadaikan oleh aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hati ketujuh, lalu dicukur dan diberi nama. (HR. An-Nasa’i)

Pelaksanaan aqiqah pada umumnya sesuai dengan kemampuan orang tua masing-masing si bayi. Kalau orang tuanya tidak mampu, tidak berdosa bila tidak menyelenggarakan aqiqahan. Selanjutnya seseorang boleh mengaqiqahi dirinya sendiri ketika dewasa dan memiliki kemampuan untuk itu.

Prosesi pelaksanaan aqiqah yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

  1. Penyembelihan Kambing.

Dalam proses penyembelihan kambing ini tidak boleh mematahkan tulang dari sembelihan. Ini merupakan simbol atau gambaran agar si anak juga selamat anggota tubuhnya sepanjang waktu.

  • Pembuatan Masakan atau Nasi Berkat.

Setelah penyembelihan akan dilakukan pemasakan daging kambing. Di Indonesia, umumnya dibuat sate dan gule. Lalu ditambahkan dengan nasi, sayur, lauk pauk, buah, dll sesuai kebiasaan masyarakat di daerah tersebut.

  • Mencukur Rambut Bayi dan Pemberian Nama.

Setelah doa bersama, akan dilakukan kenduri dengan makan bersama nasi berkat aqiqahan, dan membagikan nasi berkat kepada keluarga dan tetangga yang tidak hadir di acara kenduri. Setelah itu, orang tua si bayi harus mencukur rambut si bayi dan memberikan nama yang baik untuk anaknya. Nama itu kemudian diumumkan kepada para hadirin kenduri acara aqiqahan.

Setelah memotong rambut si bayi dan pemberian nama, dilanjutkan dengan memasukkan sesuatu yang manis ke mulut si bayi. Biasanya berupa madu atau kurma yang telah dikunyah lembut. Makanan manis merupakan sumber kekuatan fisik untuk si bayi. Kebiasaan ini sudah berlangsung umum bagi mereka yang mengadakan aqiqah.

Sebenarnya prosesi aqiqahan sudah selesai setelah pemberian nama. Semua orang yang hadir di acara aqiqahan boleh pulang dengan membawa berkat masing-masing. Syarat selamatan dan pemberian nama versi orang Islam pun sudah memenuhi syarat.

Sebagian orang Jawa ada pula yang memberikan bahan aqiqahan dalam versi mentah. Harapannya si penerima bisa mengolahnya sesuai selera. Selain itu, bahan mentah diharapkan juga lebih bermanfaat dalam waktu yang lama. Kalau sudah berupa nasi berkat matang, kalau tidak segera dimakan pasti akan segera basi atau tidak enak dimakan.

Bagi anak yang orang tuanya tidak mampu dan saat dewasa sudah memiliki kemampuan finansial,dapat melakukan aqiqah secara mandiri. Menurut pendapat sebagian ulama, bila orang tuanya dulu tidak mampu, maka ia tidak punya kewajiban untuk melakukan aqiqah. Dengan kata lain, kewajiban aqiqah itu sudah gugur pada saat orang tuanya dulu tidak mampu mengadakan aqiqah.

Namun sebagian ulama yang lain menganggap, ketika si bayi yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya karena tidak mampu, kalau dia sudah dewasa dan mampu menyelenggarakan aqiqah, dia berkewajiban mengadakan aqiqah untuk dirinya sendiri. 

Sebagian ulama yang lain menganggap kewajiban si anak yang telah dewasa ini khusus untuk mereka yang pada waktu bayi dulu orang tuanya dalam keadaan mampu, tetapi belum menyelenggarakan aqiqah untuk dirinya.

Anda mau mengikuti prinsip yang mana, silakan saja sesuai dengan pemikiran dan pemahaman masing-masing. Ada yang merasa lebih mantap kalau dirinya belum diaqiqahi oleh orang tuanya menjalankan aqiqah secara mandiri. Ada pula yang menganggap tidak wajib karena itu adalah tugas orang tuanya, bukan kewajiban dirinya.

Ada pandangan yang menyatakan, “Jika seseorang anak tidak diaqiqahi, maka ia tidak akan memberi syafaat kepada orang tuanya pada hari kiamat nanti.”

Sementara Imam Asy Syafi’i menyarankan aqiqah tetap dilaksanakan walaupun anak sudah cukup umur. “Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, kewajiban orang tua menjadi gugur. Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak.” (Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)

Seperti itulah tata cara dan hal-hal yang berkaitan dengan aqiqah. Di kalangan orang Jawa yang beragama Islam, mereka menjalankan juga aqiqahan ini di luar selamatan bayi lahir yang bermacam-macam itu. Artinya, bagi mereka yang mampu untuk menyelamati bayi, ada cukup banyak pengeluaran atau dana yang harus dipersiapkan.

Mereka yang sangat “Jawa” dan juga memegang agama Islam dengan kuat, biasanya menyelenggarakan semua selamatan tersebut. Mereka senang berbagi dan berkumpul dengan orang-orang dekatnya.

Sementara bagi sebagian yang menganggap bahwa selamatan bayi versi orang Jawa itu tidak ada tuntunan sesuai dengan agama Islam, kecenderungannya mereka hanya menyelenggarakan acara aqiqahan di awal kelahiran bayi; sehingga mereka bisa menghemat dan meringkas banyak acara. Cukup satu kali selamatan seumur hidup bayi sampai dewasa.

Bagaimanapun juga setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda. Ini adalah bentuk penerimaan dan akulturasi budaya Jawa dengan tradisi Islam. Orang Jawa dengan penganut Islam mayoritas, menjadi terbiasa dengan selamatan bayi versi orang Jawa ditambah dengan selamatan aqiqahan. Anda mau mengikuti yang mana, semua tergantung pandangan dan pertimbangan masing-masing.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

Please follow and like us: