Target dan Deadline

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.


Bagi freelancer, target dan deadline itu sudah jadi keseharian. Ada masanya target sangat banyak dan deadlinenya begitu ketat. Dalam kondisi prima; semua material oke, kayaknya tidak ada masalah. Apalagi kalau rate fee nya juga tinggi 😀

Saya berguru pada banyak orang tentang menulis dan hal yang berkaitan dengan industrinya. Sekali waktu saya bertemu mentor yang sangat high pressure terhadap to do list. Setiap siswa dikenai to do list yang panjang untuk diselesaikan tepat waktu. Tercapai target? Yes. Happy? Tentu saja, saya tidak happy.

Saya pribadi jenis orang yang moody. Kalau males nya kambuh bisa sebulan lho do nothing yang berkaitan dengan kerja menulis. Sehari-hari saya tetap beraktivitas, mencatat pengalaman atau kisah-kisah yang saya temui. Bagaimana dengan target dan deadline saya?

Saya sudah sejak lama tidak pake to do list yang bikin tidak happy. Dalam kerangka kerja tahunan, saya melihat target dan deadline. Ada yang panjang, menengah, pendek. Itu saja yang saya catat lalu bekerja dengan sederhana.

Setiap hari saya melangkah kecil sedikit demi sedikit. Menulis, membaca, nonton, menganalisis, mendiskusikan, mengedit, menyempurnakan naskah. Kapan saja bisa diinterupsi atau dijadwal ulang. Yang tidak bisa dijadwal ulang kalau meeting, mengisi kelas, traveling-writing, dll program yang melibatkan pihak lain; apalagi dengan banyak orang.

Apakah target saya tercapai? Yes. Happy? Absolutly. Dan tidak kemrungsung, harus dari sini ke sini, begini terus begitu. Saya mengatur diri lebih pada bagaimana mengelola tanggung jawab dan kepercayaan. Dan saya pasti menulis, karena kalau tidak ada karya baru berarti tidak ada ATM baru 😍

Tiap orang punya role kerja yang berbeda. Temukan model kerja anda dan jangan berpikir itu buruk karena tidak sesuai dengan model manajemen. Yang terpenting target dan deadline anda terpenuhi.

Versi saya bekerja sedikit demi sedikit dan happy itu hasilnya lebih baik daripada bekerja di bawah tekanan deadline. Hehe… cek lagi deh target dan deadline, serta cara kerja anda. Kan sedih juga kalau malah bikin to do list yang cuma dilist tidak di-to-do! 😂

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Bunuh Diri Itu (Nggak) Gampang

Gambar hanya sebagai Ilustrasi.


Sebagai penulis, kadang ada aja curhatan yang keluar jalur. Seperti dulu pas saya terima telepon seseorang yang bilang mau bunuh diri. Alih-alih mencegahnya, saya justru mendorongnya untuk segera bertindak.

Ya sudah, bunuh diri saja kalau memang sudah mantap. Tapi sebelum itu, pastikan hal ini sudah terpenuhi.

1. Kamu nggak ada utang yang belum kamu lunasi, baik utang uang, janji, dll. Jangan sampe matimu pun dikutuki mereka yang kamu utangi dan belum kamu bayar.

2. Kalau kamu masih punya dendam, balaskan saja dendammu itu. Bahkan kalau sampe ekstrem, dia mati toh kamu juga akan mati bunuh diri.

3. Kalau kamu punya tanggungan; pastikan kamu sudah menyediakan biaya hidup mereka sekurangnya 2 tahun. Jadi kalau kamu bunuh diri, mereka nggak jadi peminta-minta atau pengemis dadakan.

4. Siapkan biaya penguburan mayatmu berikut biaya selamatan sampai seribu hari. Ingat, banyak orang yang nggak mau nguburin orang bunuh diri. Tapi kalau kamu sudah siapkan biayanya, mungkin beda cerita.

5. Kamu sudah nggak ada keinginan lagi di dunia yang belum kesampean. Karena kalau kamu sudah mati, nggak bisa balik ke dunia lagi.

Kalau wes semua itu ada, tinggalkan pesan ke orang-orang dekat. Kasih tahu di mana kamu mau dikubur dan simpanan biaya untuk keseluruhan itu. Abis itu, bunuh dirilah dengan tenang.

Kisah ini sudah bertahun lewat. Dan saya nggak pernah dengar kabarnya bunuh diri. Kadang orang terlalu fokus pada masalah hidup, dan merasa gelap putus harapan. Lalu merasa bunuh diri adalah solusi. Ya kali bunuh diri bisa hidup lagi. 😊🙏

Peduli pada orang-orang depresi, stres, linglung, gangguan jiwa, dll sebutan; kadang hanya dengan bersepakat dan memintanya untuk memikirkan rencana tindakannya. Biasanya siy kalau gitu malah tenang. Kalau dilarang-larang kebanyakan malah bablas.

Ini reminder buat saya. Dan buat Teman-teman yang masih diuji beragam masalah, ada Allah sebaik-baik tempat mengadu. Sebagai muslim saya pernah dinasehati: kalau hidupmu beribet terus, coba perbaiki SHOLAT dan NGAJIMU. Nanti Allah akan perbaiki urusanmu satu per satu dengan caraNya yang super ajaib.😍💖

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Berbagi Rasa Tentang SERTIFIKASI PENULIS

Gambar hanya sebagai Ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari

Saya menuliskan ini, karena menjawab pertanyaan salah satu warga grup WA Penulisan yang saya buat. Tentang Sertifikasi Penulis yang lagi banyak komentar (lagi) belakangan ini. Antara pro dan kontra dengan sejuta alasan dan pendapat masing-masing. Sah-sah aja, berbeda pendapat itu soal biasa. Apalagi di dunia kreatif. Beberapa hal yang ingin saya catatkan di sini:

1. Sertifikasi Penulis itu bukan issue ya. Ini sudah ada sejak sebelum 2018. Sejak itu semua pihak yang berkepentingan dan berkaitan, beributan dan konflik intrik polemik pun terbangun dengan adanya Sertifikasi Penulis dll pekerja kreatif; yang nggak murah tapi celakanya tidak mengcover mereka yang beneran mumpuni di bidangnya.

2. Saya mengikuti Sertifikasi Penulis tahun 2020 dan karena hanya 3 tahun masanya, serta karena tidak ada apapun yang saya peroleh dari Sertifikasi itu, saya tidak mengikuti lagi. Lha duit jutaan lebih (demi kertas yang versi saya nggak nambah untung) mending duitnya saya pake piknik 😀🙏

3. Bahwa saya tidak sepakat dengan Sertifikasi itu urusan pribadi. Karena toh inisiator, penggiat, pelaku, pekerja, dan mereka yang dapat ratusan milyar dari proyek Sertifikasi itu yo kawan kawan saya juga. 😀Bahkan mereka bergembira bahagia karena terima duit-duit sebagai bagian dari kinerja Sertifikasi itu; mulai dari asesor, pengajar pra kerja, admin admin, penyelenggara, mentoring, dll. Cari aja cerita-cerita bahagia mereka karena duitnya segunung dengan penyelenggaraan sertifikasi itu. Bagi saya pribadi, berbeda pendapat dan haluan itu soal biasa. 😀

Anda boleh kok nggak ikut Sertifikasi kalau bekerja penuh menulis di industri kreatif yang nggak berurusan dengan pemerintah. Karena ya sungguh konyol berbagai hal yang berkaitan proyek penulisan dengan pemerintah kudu wajib Sertifikasi. Termasuk mereka yang ikut beragam penulisan buku sekolah, PT, buku referensi yang didanai pemerintah. Lha kalau nggak punya Sertifikasi? Ya nggak usah ikut 😂🙏Tapi duitnya 20 an juta per buku Bu Ari… Nah kalau begitu yo meluwa ikutlah Sertifikasi. Nggak usah ribut. 🙏

5. Versi saya selembar Sertifikasi tidak mengcover semua dari mereka pekerja kreatif yang mumpuni. Lha saya pas tes saja asesornya nulis buku baru beberapa dan saya yo embuh nggak tahu kok… piye jalll… (hanya karena dia itu punya Sertifikasi asesor yang chargenya juta-jutaan itu) 😆🫢Ini juga terjadi di dunia skenario, editor, kameramen, sutradara, dll. 😀🙏Jadi santai saja kalau nggak mau ikutan Sertifikasi. Yo jangan provokasi menolak beribut. Karena setidaknya ada Sertifikasi mengurangi karya-karya yang di bawah standar yang dibiayai pemerintah. 🙏Coba baca aja buku buku yang dirilis pemerintah untuk SD, SMP, SMA, pun PT di masa lalu 😂😁kualitasnya masih embuh dan itu milyaran dananya. Semoga dengan Sertifikasi itu rada mengurangi kebobrokan literasi kita.

6. Jadi saya nggak membahas apapun ketika beributan isu banyak yang menolak Sertifikasi… ya karena ini. Kalau kamu perlu ikutlah, kalau nggak yo wes sini piknik atau nulis saja sama saya 😀🙏

7. Di waktu saya mengikuti Sertifikasi itu, saya pikir nantinya kami ini akan secara otomatis mendapatkan porsi pekerjaan penulisan dari pemerintah bekerja sama dengan Penerbit sesuai major atau bidang yang disertifikasikan. Ternyata enggak tuh.

Mereka yang mo ikutan proyek penulisan pemerintah, masih kudu seleksi administrasi, coaching, dll proses yang jelas lebih ribet daripada sekedar menulis dan menerbitkan buku. Dapat dananya berapa? Range antara 8 sd 50 juta per buku (CMIIW). Tentu saja peminatnya yo membludak melihat angka perolehannya untuk tiap naskah; dibanding katakanlahdi Jogja 1 naskah bisa hanya dihargai 1.5 juta saja. Hei, tapi itu jelas bukan kerja seminggu, berbulan-bulan dan beribet proses yang nggak sederhana. Gayanya saja mereka kayak plesiran piknik di hotel dengan dana pemerintah, yang diambil juga dari bagian pajak-pajak royalti dan buku-buku saya 😀🙏

8. Asesor asesor yang versi saya hanya sekedar punya karya dan ikutan tes dengan charge jutaan itu, mestinya diganti dengan mereka yang direkomendasikan oleh Industri Kreatif, baik Penerbit , PH, dll yang berkaitan; tentang siapa yang layak jadi asesor dan bukannya asal ikut Sertifikasi Asesor 😆🫢Ngenes tenan jadinya kualitas kreativitas kita kalau hanya berdasarkan ujian inyik-inyik bayar lalu bergelar asesor.

Percayalah, gawe disertasi saya di S3 Linguistik FIB UGM itu jauh lebih ekstrem sulitnya daripada sekedar ujian asesor lalu mereka merasa berhak meluluskan atau tidak meluluskan mereka yang mau Sertifikasi Penulis. Nalar logikanya pun nggak jalan di otak saya.

Sekali lagi pro kontra itu biasa. Saya sebagai pribadi nggak memerlukan Sertifikasi Penulis; tapi kalau Penerbit, Media, PH, Sponsor, Klien tempat saya bernaung kerja memerlukan keberadaan Sertifikasi Penulis itu untuk kelangsungan proyek tertentu, pasti saya akan ikuti. Tentu mereka harus sembodo mbayari. Semoga menambah wawasan. Ora usah ribut gegara selembar Sertifikasi. Sertifikasimu bejibun kalau kamu nggak menulis, nggak punya karya yang dijual massal secara bebas; pada hakikatnya di industri kreatif kamu tidak dianggap sebagai penulis, atau pastinya kamu bukan seorang penulis. Naaah….!

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Promosi Buku di Sosial Media

Series Panduan Penulisan yang Praktis. Pesan buku cetak bisa wa.me/6281380001149

Promosi buku di media sosial (medsos) adalah strategi yang sangat efektif untuk mencapai audiens yang lebih luas dan membangun komunitas pembaca yang aktif. Sering kali kita sebagai penulis buku merasa enggan untuk mempromosikan karya sendiri.

Hal yang paling sering terdengar saat saya mengajak para penulis buku untuk mempromosikan karya, mereka menolak dengan beragam alasan. Mereka beralasan kalau posting buku atau karya mereka di sosmed, minim tanggapan, nggak ada like, tanda cinta, apalagi komentar. Bahkan sering kali dilewatkan begitu saja.

Padahal sejatinya nggak ada identitas jejak yang tertinggal itu bukan berarti mereka (kawan-kawan dan followers kita di sosmed) itu nggak baca. Mereka mungkin nggak memerlukan atau postingan itu nggak berkaitan dengan sama kepentingan mereka. Tapi dengan promosi, menshare kenalkan karya kita, sekurangnya itu akan mereminder kawan-kawan dan followers bahwa kita itu ada lho. Dan kita nggak sekedar hidup, tapi juga punya karya. Itu…!

Saya pribadi nggak berambisi bahwa setiap postingan akan direspon dengan baik. Tugas saya selesai ketika sudah memposting, menuliskan sesuatu yang versi saya harus dishare. Termasuk promosi buku.

Masalah apakah nanti direspon, ada transaksi, ada permintaan-permintaan lain; itu sangat tergantung pada rezeki masing-masing. Usaha wajib, doa harus, rezeki itu urusan Tuhan yang bagi-bagi. Tapi toh, semua pasti percaya bahwa rezeki itu selalu ada sebab musababnya karena kita semua manusia biasa. Bukan manusia sekelas nabi yang setiap doa terangkat langsung dijawab sempurna.

Jadi, ini ada beberapa tips yang biasa saya lakukan untuk promosi buku di sosmed. Santai saja, nggak usah punya target ini itu. Ntar hidupmu tambah mumet. Nulis saja sudah nggak mudah, hidup banyak urusan, lha kok ketambahan target njelimet. Kapan bahagiamu?!

1. Buat Postingan yang Menarik

Rencanakan postingan yang menarik dan bervariasi. Sertakan cuplikan buku, kutipan menarik, dan informasi unik tentang proses penulisan.

Gunakan visual yang eye-catching seperti desain grafis, video pendek, atau ilustrasi untuk menarik perhatian pembaca potensial.

2. Gunakan Hashtag Khusus:

Ciptakan hashtag khusus untuk buku Anda. Hal ini membantu dalam melacak interaksi dan memudahkan pembaca untuk berpartisipasi dalam percakapan tentang buku tersebut.

Manfaatkan hashtag yang populer di komunitas buku atau industri penerbitan untuk meningkatkan jangkauan dan kehadiran buku Anda di platform medsos.

3. Bangun Komunitas Pembaca:

Buat grup atau halaman khusus di media sosial untuk membahas buku Anda. Hal ini memungkinkan pembaca berbagi pendapat, memberikan ulasan, dan saling bertukar ide. Yang bisa saja anda lakukan. Sekali lagi, nggak usah memaksa. Tapi kalau niat serius, pasti ada banyak postingan tentang buku.

Lakukan acara live chat, tanya jawab, atau diskusi online secara berkala untuk berinteraksi langsung dengan pembaca. Ini wes sering saya lakukan saat mengisi workshop, talkshow, diskusi buku, bedah buku, dll.

4. Manfaatkan Platform Visual:

Gunakan platform visual seperti Instagram atau Pinterest untuk berbagi visual menarik tentang buku Anda. Posting gambar sampul, ilustrasi, dan foto terkait buku dapat memancing minat pembaca.

Buat teaser trailer buku atau video singkat yang memberikan gambaran tentang isi buku dan mempromosikannya di platform seperti YouTube atau TikTok. Tentu kalau Anda punya akun nya ya… Kalau nggak punya, yo ndak apa-apa. Saya juga nggak ada akun ini.

5. Lakukan Giveaway atau Kontes:

Promosikan buku Anda dengan mengadakan giveaway dengan cara peserta harus melakukan beberapa tindakan seperti mengikuti akun, membagikan posting, atau menandai teman. Ini dapat membantu meningkatkan visibilitas buku Anda di media sosial.

Selenggarakan kontes menulis atau fan art terkait buku untuk melibatkan pembaca secara kreatif dan membangun komunitas yang lebih kuat. Pokoknya pilih-pilih cara yang Anda bisa dan tentu saja Anda harus senang melakukannya.

6. Berkolaborasi dengan Influencer atau Blogger Buku:

Identifikasi dan ajak kerja sama dengan influencer atau blogger buku yang memiliki pengikut yang relevan dengan audiens target Anda.

Minta mereka untuk memberikan ulasan atau mengadakan sesi tanya jawab tentang buku Anda. Rekomendasi dari sumber yang terpercaya dapat meningkatkan kepercayaan pembaca.

7. Gunakan Pengiklanan Berbayar:

Manfaatkan iklan berbayar di platform medsos, seperti Facebook Ads atau Instagram Ads, untuk meningkatkan visibilitas buku Anda di antara audiens yang lebih besar.

Sesuaikan target iklan Anda agar mencakup demografi dan minat yang sesuai dengan pembaca potensial. Ini karena iklan berbayar, hitung-hitung pengeluaran dan pemasukan Anda dari transaksi jual beli buku ya…

8. Perbarui secara Konsisten:

Aktiflah di media sosial secara konsisten dengan posting yang terjadwal. Jangan hanya mempromosikan buku, tetapi juga bagikan konten yang relevan dengan minat pembaca Anda, seperti berita industri, ulasan buku, atau tips menulis.

Tanggapilah dengan cepat terhadap komentar, pertanyaan, atau ulasan dari pembaca. Interaksi yang aktif dapat meningkatkan keterlibatan dan kepercayaan.

Hayaaa…. Responden saya hampir nggak ada kalau saya posting buku dll yang berkaitan; toh tetap ada transaksi-transaksi buku dll sekitarnya. Tapi kalau piknik, dolan, makanan, horror, dll kisah drama kehidupan, tahu-tahu responnya banyak… ya kita ambil di tengah-tengah agar semua senang. Win win solution.

9. Gunakan Analytics:

Manfaatkan alat analitik yang disediakan oleh platform medsos untuk melacak kinerja kampanye promosi Anda.

Evaluasi metrik seperti interaksi, jangkauan, dan konversi untuk memahami apa yang berhasil dan membuat penyesuaian yang diperlukan di masa mendatang. Ini agak mumet, Anda bisa belajar dari pakar. Saya mengerti tapi agak kesulitan kalau harus menjelaskan pada orang lain.

10. Lakukan yang Bisa:

Ada banyak cara orang untuk mempromosikan buku atau karyanya di medsos. Mumpung medsos kita free dan boleh posting apa saja, meski dengan beragam aturan dan ketentuan dari platform yang harus kita patuhi.

Lakukan yang bisa. Pilih-pilih yang menurut Anda bisa dan mampu dilakukan dengan beragam kesibukan yang lain. Hal terpenting adalah anda mempromosikan buku atau karya anda, sesuai dengan gaya dan cara masing-masing. Tanpa itu, percayalah sedikit demi sedikit keberadaan kita bisa hilang begitu saja.

Pun, Anda nggak harus memaksa untuk memakai semua jalur promosi. Karena terlalu banyak promosi, akan menambah charge atau pengeluaran. Akan baik-baik saja kalau buku anda laris manis, tapi kalau tidak, anda bisa nyesek sendiri lalu patah semangat dan nggak mau promosi lagi.

Prinsip saya untuk semua hal yang harus saya lakukan: sedikit demi sedikit dan terus menerus saja. Sebisanya. Semampunya. Terlebih kalau promosi anda tidak disokong dana pihak lain, alias kudu bayar dhewe.

Dengan merencanakan dan melaksanakan strategi promosi di media sosial dengan cermat, Anda dapat membangun kehadiran buku Anda secara efektif, meningkatkan penjualan, dan memperkuat hubungan dengan pembaca.

#arikinoysanwulandari #ariwulandari #arikinoysantips #promosibuku #sosmed

Please follow and like us:

Selamat Tahun Baru 2024

Aneka Makanan: Boleh Berharap Tahun 2024 Ada Banyak Kebaikan dan Sukacita

Tahun Baru 2024 ❤️

Saya sudah tidak ingat, sejak kapan berhenti dari kebiasaan keluar rumah dan ikut tradisi pesta perayaan tahun baru. 🙏

Jalanan yang penuh kendaraan dengan kelakuan yang tidak semua tertib lalu lintas. Warung kaki lima hingga resto bintang lima yang antri panjang. Parkiran yang jadi melebar ke mana-mana. Tempat wisata sungguh ekstrem kepadatannya.

Hotel harga standar pun berlipat. Tiket transportasi yang jadi berasa sah untuk berbeda harga. Areal-areal untuk pelepasan kembang api tahun baru pun, dijejali beragam anak bangsa entah dari mana saja. Di banyak tempat; jutaan keluarga, kelompok, komunitas, institusi, dll berasa harus sekali “bakar-bakar” demi merayakan tahun baru.

Saya menikmati semua itu hingga di tahun-tahun awal saya bekerja. Dengan banyak kawan dan sahabat. Lalu waktu berlalu, semua jadi seperti rutinitas yang tidak lagi baru. Perlahan durasi waktu saya berada di hiruk pikuk keramaian malam tahun baru berkurang, dan semakin berkurang.

Akhirnya saya merasa biasa aja berada di rumah tanpa keributan perayaan tahun baru. Bahkan tidak jarang, saya dkk masih berjuang merampungkan deadline yang tayang 1 Januari. Dan tentu saya baik-baik saja. Orang sekitaran saya oke-oke saja. Waktu terus berjalan dengan atau tanpa perayaan tahun baru.

Pun tahun ini, 30-31 Des 2023 dan 1 Jan 2024 saya masih banyak gaweyan. Ada duo bocil, Mail dan Fara yang sukses bikin rumah seperti kapal pecah. Bikin saya sempat tereak karena mereka ribut lelarian gedebukan hingga dini hari ini; sementara saya pas harus konsen menulis.

Perayaan? Kami makan berame, boleh menghabiskan makanan yang tersedia. Plus doa permohonan terbaik untuk masa satu tahun. Mohon maaf dan memaafkan secara batin kepada semua pihak, semua peristiwa baik buruk yang sudah terlewati. Dan tahun baru pun datang dengan suara jlederan kembang api dan riuh petasan di luaran yang rada jauh dari rumah.

Jadilah baik hari-hari di Tahun 2024 ❤️ Berikan semua keberlimpahan berkah, sehat, panjang umur, murah rezeki, damai dan bahagia untuk warga semesta ❤️ Selamat Tahun Baru 2024 ❤️❤️

#arikinoysanwulandari#ariwulandari#kinoysanstory

Please follow and like us:

Alhamdulillah, Terimakasih 2023; Lebih Happy 2024

Mawar Merah Muda: Simbol Harapan untuk Kehidupan yang Lebih Baik

Hiruk pikuk bikin resolusi sering menyertai saat sebagian kita sibuk persiapan perayaan Natal, libur sekolah-tahun baru, agenda tahunan; camp, piknik, kunjungan, dll.

Saya? Lama jadi freelancer bikin saya “kalem” atas hidup. Target-target ada, tapi lentur dengan beragam situasi. Yo mosok, saya wes bikin target buku untuk penerbit dengan sistem royalti yang embuh kapan terbit dan dapat berapa; tetep harus saya dulukan saat ada gaweyan biografi yang jelas rampung dibayar? Tentu saya harus kompromi😀🙏

Pun tentang jumlah buku terbit, eps script yang ditulis, film yang diurus, judul yang disupervisi, dll. itu bagi saya jadi kurang signifikan. Kenapa harus ribut dengan jumlah karya, kl misalnya 1 biografi yang dikerjakan 6 bulan bisa untuk hidup layak 5 tahun? 😀🙏

Toh saya pekerja keras–versi saya lho 😅 Kl dijadwalkan, ya selesai. Gaweyan dadakan itu saya sebut rezeki tak terduga 💝 Tetap dengan kontrol terbaik; ada manajer, editor, proof reader, sutradara, produser, dll yang gak bakalan yo wes saja, salah kudu dibenerin, gak bagus kudu diganti, dst. Itu bikin saya terbiasa “terbaik”. Kerja beneran. Kl malas, mager, cuti saja.

2023 alhamdulillah; 3 buku terbit, ratusan artikel pop, 5 artikel ilmiah, ngisi embuh berapa workshop lupa, ngurus script lbh banyak, supervisor proyek buku beragam yang bikin saya ke Papua, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa; kayak alap-alap, bolakbaliknya hectic. Stres itu kl gak biasa pergi. Apalagi? Umroh Istimewa ❤️ Memetik matoa, durian dari pohonnya. Watersport ❤️

2024? Gaweyan standar. Kontrak dengan satu brand besar Tiongkok dll kerja penulisan, insyaallah pasti bikin 2024 lebih banyak berkah dan happy ❤️

Jujurly saya gak pernah beneran bikin resolusi. Saya bekerja keras-cerdas, terbuka, berdoa, sedekah, dll yang versi saya jadi jalan kemudahan sesuai aturan Islam. Monggo yang mo bikin resolusi 2024, bikin yang realistis, yang bikin anda happy saat merayakan tahun baru 2025 nanti. Catatan ini di web pribadi saya sebagai perangkum satu tahun 2023 yang supersibuk. Semoga tahun 2024 dengan lebih banyak tangan, lebih mudah untuk aktif mengisi web pribadi ini.

Selamat berlibur. Selamat Tahun Baru 2024. Semoga kita semua berlimpah berkah di Tahun Naga Kayu 😀

#ariwulandari#arikinoysanwulandari#resolusi#kinoysanstory#tahunbaru#bersyukur

Please follow and like us:

Sok Sibuk atau Produktif?

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Jumat, 29 Juli 2022 dengan link sebagai berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2064008440/sok-sibuk-atau-produktif

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Sehari semalam waktu kita sama 24 jam. Toh urusan kita tidak pernah sama. Kalau urusan mengukur “produktif” bagi mereka yang bekerja menetap dengan gaji bulanan, biasanya jauh lebih mudah. Di setiap institusi pemerintah atau non pemerintah, umumnya sudah ada aturan dan ketentuannya. Standar untuk memeriksanya pun sudah ada batas minimal yang harus dipenuhi.

Bagaimana untuk mengukur produktivitas kerja freelancer atau mereka yang bekerja di ranah informal? Jawabannya tergantung pada masing-masing orang. Bagaimana cara seseorang mengukur produktivitasnya, cenderung berhubungan dengan karakter pribadi dan keperluan hidupnya.

Mereka yang memiliki keperluan hidup lebih banyak dalam hidupnya, bekerja sebagai freelancer justru akan memompa kemampuan atau kapasitas terbaiknya. Mereka akan menghasilkan banyak, sehingga hasil kerjanya dapat dikomersialkan. Arti dari dikomersialkan berarti dapat dikonversikan dengan uang atau sejenis yang dapat dipertukarkan secara ekonomis (emas, ternak, sawah, tanah, hak eksploitasi, dollar Singapura atau Amerika, hak kelola, dll).

Sebagai freelancer, menyadari bahwa saya bukan orang gajian tiap bulan —bisa berulang kali menerima fee, honor, royaltie, share hasil, dll dalam jumlah besar, tapi juga bisa dalam masa tertentu saya hanya mendapat penghasilan tidak besar. Oleh karena itu, manajemen duit saya kudu bener.

Bukan berarti saya tidak menikmati hidup lho. Hidup saya sangat baik dan happy sesuai dengan standar pribadi. Saya hidup sewajarnya sepatutnya orang hidup. Itu pun ya sudah jauh di atas rata-rata kebanyakan orang. Saya nyaris tidak berkonflik dengan pengaturan uang pribadi.

Sekurangnya kalau saya mau dolan jauhan sedikit, saya tidak perlu merasa bersalah melihat charge yang harus saya bayar. Atau kalau saya sedang kalap memborong kain-kain khas daerah (wastra nusantara), saya pun tidak ada perasaan piye-piye. Atau berhari-hari saya ngepos di hotel ya tidak merasa sayang.  Duit-duit saya sendiri, kalau nggak saya nikmati atau saya gunakan untuk sesuatu yang bermanfaat, kalau saya mati ya tidak saya bawa.

Dengan kondisi tersebut, dengan sadar saya kudu bikin aturan kerja secara mandiri. Pada awalnya tidak mudah. Apalagi sebelumnya saya bekerja menetap dengan sistem gajian dan bonus. Bekerja dengan ritme deadline yang ketat yang sudah ditentukan bersama, membuat saya sudah tinggal menjalani. Seperti berlari dari satu tayangan ke tayangan lain. Ya begitulah kalau mengurusi sinetron dan film di Multivision Plus Jakarta.

Saat melepaskan pekerjaan itu, saya seperti jobless dan limbung mau ngapain, bingung. Mulailah saya memetakan pekerjaan, klien, sponsor, relasi, dll yang berkaitan dengan penunjang kinerja saya. Dari sana saya pun mulai mengatur waktu. Saya memastikan jam hidup saya adalah 03 pagi sampai 23 malam waktu WIB. Lainnya untuk tidur. Dari sekian banyak waktu itulah yang saya gunakan untuk semua aktivitas. Termasuk urusan gaweyan.

Kalau di Jakarta saya terbiasa bekerja dari pagi sampai pagi lagi, maka kembali ke Jogja adalah menikmati hidup yang selow-selow. Jogja tidak bisa dibuat saklek on time seperti Jakarta. Lha prinsipnya saja alon-alon waton kelakon, pelan-pelan asal terlaksana. Mayoritas orang-orangnya tidak bisa diajak berlari kencang.

Kalau di Jogja, mengajak orang lembur dari jam 18 ke 20 WIB saja sulit. Ada saja alasannya untuk cepat pulang. Akhirnya, untuk gaweyan-gaweyan yang rawan lembur-lembur, saya mengajak mereka yang terbiasa dengan ritme kerja di Jakarta. Nggak rampung gaweyan, nggak bayaran! Jadi saya tidak perlu berbual mulut untuk memastikan deadline terpenuhi.

Seiring waktu, saya kembali menikmati hidup di Jogja yang santai. Segala kuliner dan aneka tempat wisata bisa saya nikmati dengan murah. Beberapa kali saya sering syok, dengan harga-harganya yang sering versi saya tidak masuk akal. Hidup di Jakarta dengan segala fasilitas kantor yang mudah, penghasilan besar sekaligus biaya-biaya hidup yang tidak ringan, membuat saya terbiasa dengan “harga mahal” itu.

Jadi, biaya makan saya saja di Jakarta, wis bisa untuk hidup dengan layak saya bersama anak-anak asuh yang semuanya sekolah. Istilahnya, saya bekerja tetap dengan standar hitungan Jakarta, tapi untuk biaya hidup di Jogja. Ya jelas makmur. Meskipun tentu, dalam beberapa hal saya tetap harus bekerja mengikuti ritme Jakarta. Kadang-kadang saya harus bekerja dari pagi sampai pagi beberapa hari demi mengawal pekerjaan-pekerjaan urgent yang kudu naik layar.

Di hari yang lain, saya bisa selow tenan. Rebahan, nonton, baca, ngrusuhi ponakan-ponakan saya, nginguk teman-teman, nyambangi panti asuhan dan anak-anak asuh, pesantren, ngopeni tanduran, atau ibut menata buku dan souvenir yang sudah rapi diganti formasi, dll aktivitas yang sama sekali nggak ada duitnya. Itulah yang menghidupkan saya.

Sibuk? Iya. Setelah kembali ke Jogja, saya ya lebih banyak menulis buku, mengurusi anak-anak sekolah penulisan, dll yang tidak terlalu menguras energi fisik dan mental. Sekurangnya sekarang saya sudah ada 125 judul buku yang terbit di penerbit mayor.

Terbit di penerbit mayor itu artinya semua naskah tersebut sudah lolos seleksi standar penerbitan. Saya tidak perlu bayar biaya produksi, tinggal mengawal saja sampai terbit dan beredar di toko buku offline maupun online. Seterusnya saya perlu membantu promosi dengan maksimal, dan tiap enam bulan terima royalti.

Dengan 125 judul buku tersebut saya tulis dalam masa 20 tahun sejak saya mempublikasikan buku saya pertama di tahun 2002. Bukan dadakan langsung jleb ujug-ujug sebanyak itu. Sedikit demi sedikit. Kadang satu, dua, tiga, lima, atau maksimal dalam satu waktu bersamaan terbit enam judul buku.

Sekarang dengan adanya pembaruan untuk membuat semua buku akan dialihkan dalam versi digital atau ebook, jelas potensi pasar yang luar biasa. Kalau secara kasar dibilang, tidak perlu bekerja lagi pun, saya wis bisa hidup layak di Jogja ini. Ya karena royalti buku akan dibayarkan terus menerus selamanya —selama buku masih terjual. Lha kepenak to dadi penulis buku? 😀  

Tapi kan hidup kalau mung thenguk-thenguk ya nggak produktif. Sehari-hari saya tetap bekerja. Menulis, mengajar, mengawal kelas, mendampingi penulis, mengikuti berbagai program kerja PH, dll. Semuanya saya pilih yang menyenangkan. Ada yang (tidak/belum) ada duitnya, ada yang duitnya tidak banyak, ada yang duitnya banyak, sering pula ada duitnya sangat banyak. Saya bersyukur dengan semua berkat Tuhan.

Sebagai penulis yang sering dilabeli produktif dengan jumlah buku banyak hingga saat ini, saya hanya tersenyum. Kalau dihitung jumlah, mungkin iya produktif. Tapi apakah bagi saya ukuran produktif itu hanya jumlah karya baru?

Tentu tidak. Bagi saya pribadi, produktif berarti menghasilkan uang secara riil dari hasil karya. Itu berarti harus banyak buku terjual, sinetron yang rating, film yang box office, share hasil yang banyak, dll. sehingga menghasilkan uang yang melimpah.

Kalau tidak, berarti produktivitas itu hanya semu. Saya sebagai freelancer profesional berhitung berapa banyak uang yang dihasilkan. Dengan demikian, ada lebih banyak waktu untuk ongkang-ongkang tanpa bingung uang.

Jadi, kalau kamu merasa seharianmu sudah sibuk sedari bangun tidur sampai mau tidur —rasanya untuk selaw-selaw tidak bisa, coba cek aktivitasmu. Coba sekali saja, data kegiatanmu dalam satu hari penuh. Mungkin saja waktumu banyak terbuang untuk hal sia-sia.

Misalnya terlalu ngurusi kehidupan orang lain. Scrolling medsos tanpa henti tanpa tujuan. Nonton video-video dan cuplikan-cuplikan pendek yang hanya sekian detik, tahu-tahu sudah sejam. Bolak-balik update status di sosmed padahal nggak penting-penting amat. Bagian dari kaum juliders dan nyinyirens yang mengganggu perasaan orang lain. Terlibat dalam gosip dan perdebatan —baik di dunia nyata atau sosmed; ngobrol ke sana sini tanpa arah; dll yang saya yakin setiap pembaca bisa memetakan dengan baik.

Saya kalau pas selow, bisa mung rebahan dengan nonton saja seharian. Apalagi sekarang ada platform film murah-murah yang bisa diakses dari rumah. Asal internetmu lancar jaya, sehari semalam mo nonton ya bisa. Ini kelihatannya tidak produktif, bagi saya ya tetap produktif. Begitu rampung nontonnya, saya akan bikin ulasannya untuk media, PH, klien atau sponsor. Dan tentu sajaa dibayar, dapat duit.

Kalau berkaitan dengan produktif, saya yakin setiap orang bisa memetakan kemampuan riilnya. Kemampuan ini tidak hanya keahlian lho ya. Termasuk di dalamnya kesempatan, waktu, akses ke sumber daya, jejaring kerja, dll yang bisa menjadi sarana percepatan produktivitas.

Misalnya sampeyan ibu rumah tangga dan sudah sepakat dengan pasangan untuk ngurusi rumah dan anak-anak. Sementara suami bekerja keras memenuhi semua kebutuhan keluarga. Sebenarnya sampeyan punya skill menulis, menggambar, melukis, fotografi, dll. yang bisa dikomersialkan. Karena kesibukan mengurusi anak-anak dan rumah tangga itu ibaratnya 27 jam sehari, ya tidak usah ngoyo ingin  produktif seperti mereka yang profesional bekerja di bidang tersebut.

Dalam kasus-kasus seperti ini, saya biasanya menyarankan untuk membuat jadwal  sehingga kemampuannya tidak hilang. Misalnya bisa menulis, ya isi saja blog pribadi setiap hari secara rutin. Tidak usah memikirkan hal besar, ambil saja dari sesuatu yang dialami atau dilakukan. Ini merupakan hal yang mudah. Selain gampang dilakukan, juga bisa menjadi sarana untuk pereda stress menghadapi keriuhan anak-anak super yang kadang kelakuannya bikin lelah jiwa raga.

Nah, dari ulasan saya di atas silakan menghubungkan dengan kondisi riil masing-masing. Silakan ngecek peta kapasitas atau kemampuan dan tentukan target yang wajar sesuai dengan situasi dan kondisi. Karena versi saya, produktif berkarya sekalipun kalau nggak menikmati hidup, ya tidak ada gunanya. Hidup kalau hanya untuk grundelan urusan gaweyan ya jelas mengganggu.

Pilihlah apa saja yang memungkinkan sampeyan semua agar produktif versi masing-masing. Sungguh tidak masuk akal kalau ada yang berteriak atau bilang, nggak bisa apa-apa. Yach, kecuali mereka yang sudah terbaring dengan begitu banyak selang pembantu hidup di ruang ICU, baru itu benar.

Kalau anda sehat, keluarga baik-baik, terdidik, punya lingkungan yang baik, lalu bilang tidak bisa apa-apa, saya tidak percaya. Mungkin sampeyan tipikal orang yang sok sibuk dan tidak mau produktif. Sampeyan pilih yang mana?. ****

Please follow and like us: