Bentuk Tubuh Kita Memang (Nggak) Sempurna, Terimalah dengan Syukur

Ketidaksempurnaan adalah tanda bahwa kita manusia. Berbahagialah selalu. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Setiap kita pasti pernah bercermin, melihat figur yang “serupa” dengan diri kita. Sama persis. Lalu apa yang keluar dari hati, pikiran, batin, mulut kita? Pasti beragam.

Umumnya, kecenderungannya, kita langsung “mencela” kurang ini, kebanyakan itu, kok ya kebesaran ini, kelebihan itu, dll yang intinya “protes” klaim atas semua yang ada di tubuh kita. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sampeyan masih begitu?

Dulu, saya juga seperti itu. Tapi seiring kesadaran dan melihat dunia secara lebih luas, bertemu dengan lebih banyak orang; saya mengubah persepsi saya. Saya baik-baik saja dengan bentuk tubuh fisik yang nggak sempurna itu. Sekarang kalau bercermin, spontan saja berucap: Alhamdulillah, tubuhku sehat, jiwaku kuat, anggota badanku lengkap sempurna, wajahku sebaik-baik pemberian Allah.

Saya wes nggak pernah protes lagi dengan kondisi fisik. Menerima dengan sukacita semuanya. Dulu bahkan saya kesal dengan ukuran tubuh saya yang nggak tinggi; karena nggak bisa ikut paskibraka sebagai (versi saya) jalur cepat masuk istana negara. Oh, tapi dengan kemampuan yang lain, Allah membawa saya keluar masuk istana dengan mudah; tentu saja dengan peran dan tugas yang lebih penting.

Saya pernah nggak senang dengan suara saya yang alto besar, bukan suara khas perempuan. Suara yang sering jadi bahan ledekan dan becandaan teman-teman saya dari SD hingga perguruan tinggi. Lho, tapi dengan suara yang khas itu, teman-teman yang lama nggak jumpa langsung bisa mengidentifikasi keberadaan saya hanya dari mendengar suara saya di balik tembok yang tinggi. Amazing banget.

Pun itu suara yang sangat diperlukan untuk mereka yang harus banyak berbicara. Saya nggak perlu “mengeluarkan banyak energi” untuk bersuara besar saat harus membagikan materi pelatihan penulisan dengan audiens dalam jumlah besar. Hemat energi nggak sampai kehabisan suara.

Pun, saya pernah nggak suka banget sama gigi saya yang berwarna kuning akibat obat kejang waktu kecil. Sementara gigi orang putih-putih cemerlang. Makanya saya rajin betul sikat gigi, bisa 3x sd 4x sehari agar bersih terus. Lho tapi itu gigi yang dipuji banyak orang karena rapi, berderet mungil tanpa perlu ditata (aslinya yo begitu), tanpa pernah sakit beribetan (kecuali 4x operasi gigi belakang yang nggak kebagian tempat) dan alhamdulillah sehat kuat. Saya bisa tersenyum dan tertawa lebar tanpa khawatir dengan bentuk gigi saya. Gigi-gigiku sayang, teruslah sehat sampai akhir hayat.

Jadi dari situ pun saya belajar. Mungkin “nggak sempurna” itu kadang hanya persepsi kita. Kurangnya syukur kita. Setelah kita menerima dengan syukur, rasanya semua kok baik-baik saja. Seperti yang saya alami. Tapi untuk sadar dan menerima, ya perlu proses nggak ujug-ujug.

Terlebih di zaman sekarang, media sosial dipenuhi dengan wajah dan tubuh yang terlihat “sempurna”, seperti perut rata, kulit mulus, tubuh tinggi langsing, dan senyum yang selalu terlihat bahagia. Standar-standar kecantikan ini bisa dengan mudah membuat kita merasa bahwa tubuh kita “kurang” atau “nggak ideal”. Padahal kenyataannya, nggak ada satu pun tubuh manusia yang benar-benar sempurna. Dan ya, kita itu nggak harus sempurna kok untuk bisa bahagia.

Setiap lekuk tubuh, bekas luka, stretch mark, warna kulit, atau bentuk wajah yang kita miliki adalah bagian dari perjalanan hidup. Mungkin perut kita lebih buncit, habis melahirkan. Coba ingat, ada jutaan perempuan yang ingin melahirkan anak, tapi belum kesampaian.

Mungkin tangan kita berotot karena sering menggendong anak atau banyak membantu pekerjaan berat di rumah. Coba ingat mereka yang nggak punya anak, yang nggak ada rumah. Mungkin kita punya pipi tembem yang selalu jadi bahan candaan keluarga, tapi justru itu yang bikin kita terlihat awet muda.

Bentuk badan kita bukanlah sebuah kekurangan. Itu cerminan dari siapa kita sebenarnya. Bukankah jauh lebih indah menghargai tubuh yang bisa bikin kita bergerak bebas, bernapas lega, bekerja total, mencintai dan dicintai, merasakan dan menjalani hidup ini dengan totalitas?

Bersyukur atas tubuh yang kita miliki bukan berarti berhenti merawat diri. Tapi ini tentang menerima kenyataan bahwa tubuh kita punya kekuatan, punya cerita, dan layak dihargai apa adanya. Rasa syukur membuat kita berhenti menyiksa diri dengan perbandingan yang melelahkan. Rasa syukur menjadikan kita lebih ramah, lebih cinta pada diri sendiri, dan lebih ringan dalam menjalani hidup.

Kita bisa merawat diri, makan sehat, olahraga, dan tampil bersih, rapi dan cantik; bukan untuk memenuhi standar orang lain, tapi karena kita mencintai diri sendiri. Dan cinta sejati itu nggak butuh syarat harus langsing dulu, putih dulu, atau mulus dulu, dll.

Percayalah, hampir semua orang pernah merasa minder dengan tubuhnya. Tapi banyak juga orang yang akhirnya menemukan kedamaian saat mereka berhenti berusaha menjadi “sempurna” dan mulai mencintai diri mereka yang sebenarnya.

Jadi, yuk mulai hari ini, lihat cermin dan katakan: “Inilah diriku. Dengan segala kekurangan dan kelebihanku, aku bersyukur. Alhamdulillah. Terimakasih ya Allah.” Karena tubuh kita bukan untuk dibandingkan, tapi untuk dijaga, dirawat, dihargai, dan disyukuri sepenuhnya.

Bisa jadi bentuk tubuh kita memang nggak sempurna. Tapi hidup jadi jauh lebih ringan dan indah kalau kita bisa menerimanya dengan syukur.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *