Merawat Rezeki Recehan: Uang Kecil yang Diterima dengan Besar Hati

Sapi kurban saya tahun ini; uang untuk membelinya juga saya kumpulkan dari rezeki-rezeki “recehan”. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Survive sebagai penulis lepas (freelance writer) di tengah gempuran kemajuan teknologi dan membludaknya teknologi AI, sungguh nggak mudah. Banyak sekali pekerjaan kreatif penulisan (dan kerja kreatif lainnya) yang diambil alih dengan semena-mena oleh AI.

Saya sebagai penulis, perlu sekurangnya 30-60 menit untuk menulis artikel 2-3 hlm standar. Itupun masih perlu editing cek ricek sekitar 30-60 menitan. Yach anggaplah 2 jam kerja. Dengan fee beragam antara 250 rb sd 5 juta per artikel tergantung klien yang bayar.

Tapi dengan teknologi AI, orang bisa minta artikel hanya dalam hitungan menit dan cliiing… jadilah sudah. Meskipun hasil artikel dari AI sering diklaim bahasanya mesin, nggak ada perasaan, toh itu artikel sudah jadi. Gratis pula. Tentu orang awam akan memilih ini daripada “mahal-mahal” bayar penulis.

Hadirnya AI sempat juga bikin saya waswas. Biyuuu, njur bagaimana nasib saya sebagai penulis? Di situlah kemudian saya belajar, bahwa AI tetaplah mesin, piranti, alat, wujud kemajuan teknologi yang harus diterima sebagai kemajuan zaman. Dan setelah tahu bahwa AI tetap nggak bisa mengalahkan pola pikir, nilai rasa, pilihan kata, penggunaan metafora, gaya bahasa seorang penulis manusia; saya menerima AI sebagai bentuk alat yang bisa mempermudah kinerja penulisan.

Dan memang, ada cukup banyak pekerjaan yang dulunya bertahun-tahun saya kerjakan, sekarang klien sudah nggak memperpanjang kontrak lagi. Ya mereka menggunakan AI dan memperbaikinya, tanpa perlu membayar saya lagi. Ya wes nggak apa-apa. Rezeki saya lewat mereka sudah berakhir, selesai. Harus cari lahan baru untuk rezeki baru.

Untunglah, sepanjang karir saya sejak belia sebagai penulis, saya tetap menghargai rezeki recehan. Nggak pernah sekalipun saya meremehkan recehan. Kayaknya siy biasa saja kalau koin 5 ratus, 1 ribu atau bahkan uang kertas 2 ribu dianggap “nggak seberapa”. Jadinya uang-uang itu ditaruh sembarangan, tercecer di berbagai tempat, atau malah numpuk di laci sebagai sesuatu yang dipandang “nggak bernilai”.

Padahal, siapa sangka, rezeki besar sering dimulai dari rezeki kecil. Dari recehan yang dianggap sepele, bisa terkumpul jadi sesuatu yang luar biasa. Bukan cuma buat nabung, tapi juga jadi pengingat: rezeki itu bukan soal jumlah, tapi berkaitan dengan rasa syukur dan cara merawatnya.

Dengan situasi yang nggak menentu seperti sekarang ini, rezeki-rezeki “recehan” itulah yang justru sering jadi penyelamat hidup sehari-hari saya. Gaweyan tulisan kecil-kecil yang bernilai beberapa ratus ribu saja per item, tapi terus-menerus dan berulang, akhirnya ya bukit juga, lumayan banyak. Terasa kecilnya kalau menghitung per item, kalau berkumpul ya tetap banyak.

Sama seperti royalti buku, kalau terjual 1 buku mungkin uangnya hanya 2 ribu saja, tapi kalau buku terjual 100 rb eksemplar, tentu ya nggak sedikit lagi jumlahnya. Karena itu saya tetap menghargai rezeki recehan-recehan yang akan menjadi rezeki besar saat berkumpul rame-rame.

Coba ingat-ingat, pernah nggak kamu iseng masukin uang receh ke celengan tiap hari? Hari ini 1 ribu, besok 2 ribu, dst. Tanpa terasa, sebulan bisa jadi puluhan ribu. Setahun? Bisa ratusan ribu atau bahkan sejuta lebih. Kalau sudah terkumpul ya lumayan. Bisa buat traktir orang tua makan di luar, beliin hadiah kecil untuk pasangan, atau bantu temen yang lagi susah.

Merawat rezeki recehan ini bukan soal besarannya, tapi tentang kesadaran bahwa uang kecil juga punya potensi besar kalau dikumpulin dengan konsisten. Sering kita ngeluh rezeki seret, tapi kerjaan receh ditolak serampangan. Di sini letak pentingnya mindset: kalau kita bisa menghargai uang 1 ribu, kita akan lebih siap menerima rezeki yang lebih besar.

Karena Allah pun suka kepada hamba-Nya yang pandai bersyukur dan bisa dipercaya menjaga rezeki kecil sebelum diberi rezeki besar. Gimana mau dikasih rezeki 10 juta kalau yang 1 ribu diabaikan?

Rezeki recehan bisa bermakna besar kalau kita menghargainya. Ada kisah tukang parkir yang bisa naik haji dari uang receh. Ada juga warung kecil yang terus hidup karena sabar nyimpen kembalian 5 ratusan. Bahkan banyak bisnis gede yang lahir dari modal kecil, serba ngirit, telaten ngatur duit, dan mulainya ya dari merawat “recehan”.

Kuncinya bukan jumlah uangnya, tapi lebih pada konsistensi dan niat baiknya. Mulai dari sekarang, kita bisa kok menghargai dan memanfaatkan uang receh. Coba simpan semua koin dan uang kecil di satu tempat khusus. Niatkan misalnya, ini buat sedekah, buat orang tua, atau buat mimpi tertentu.

Jangan malu bawa recehan. Eh, kasir supermarket pun pasti terbantu waktu kita bayar pas. Setiap kali dapat rezeki recehan dari gaweyan kecil-kecil, ucapkan syukur: “Alhamdulillah, dapat rezeki.”

Merawat rezeki recehan bukan cuma soal uang, tapi latihan menjaga hati dan tawakal kita. Supaya kita jadi pribadi yang menghargai rezeki kita, besar ataupun kecil. Bisa jadi, saat kita mulai bersyukur atas rezeki kecil, hidup kita diam-diam sedang disiapkan untuk rezeki yang lebih besar.

Rezeki receh itu memang kecil, tapi nilainya besar… kalau kita tahu cara merawatnya. Jangan pernah menyepelekan gaweyan dengan rezeki receh, karena sering kali rezeki kakap muncul di balik recehan itu.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *