Ojo Njagakne Endhoge Si Blorok

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Beberapa waktu yang lalu saya pesan mobol untuk jarak jauh, biaya lebih kurang 150 rb (via aplikasi). Ternyata saya kenal drivernya, sebut saja Pak B; saya tanya apa mau menjemput saya lagi setelah tiga jam, kembali ke tempat yang sama; dengan charge sama 150 rb.

Biasanya siy cenderung mau. Karena kalau tidak lewat aplikasi tidak ada potongan 20% dan biaya layanan 5 rb. Artinya dia dapat utuh hanya kepotong BBM saja.

Urusan itu sudah beres. Karena saya memerlukan lagi beberapa hari kemudian, saya menanyakan pas balik apakah Pak B bisa antar jemput saya ke tempat yang sama di hari S. Dia bilang spontan bisa. Saya bilang oke dan akan WA hari S min 1.

Pikir saya, kalau sudah tahu orang dan model nyetirnya lebih mudah. Toh di aplikasi saya yo bayar lebih kurang segitu. Sekalian jadi jalan rezeki orang yang kita kenal.

Ealah, baru besoknya Pak B memberi tahu saya kalau tidak bisa mengantar saya karena ada pekerjaan mengantar rombongan piknik 2 hari. Saya bilang ya oke saja, tidak ada masalah. Tapi dia bilang sudah telepon temannya untuk antar jemput saya.

Saya, pengguna ojol dan mobol hampir 80 persen untuk transportasi sehari-hari dalam jarak maksimal 60 km pp. Pake aplikasi itu, saya juga bertemu orang yang tidak saya kenal; tapi sekurangnya identitasnya sudah tercatat di sistem, moda dan nomor kendaraan saya ketahui, No WA bisa diketahui, review pengguna bisa dilihat dan dibaca, rute perjalanan bisa dibagikan ke orang terdekat, dan kalau ada apa-apa bisa meminta bantuan dengan cepat. Sekurangnya dalam kondisi normal, lewat aplikasi keamanan dan keselamatan sudah lebih terjamin.

Sementara ini orang yang direkomendasikan; saya tidak kenal, tidak tahu mobilnya, tidak tahu gaya nyetirnya, tidak tahu kalau ada keribetan di jalan harus bagaimana; dan itu sebabnya saya menolak. Tapi Pak B agak ngotot karena merasa sudah menelponkan. Lha itu urusan dia sendiri. Urusan saya kan sama dia, terus batal ya sudah, selesai.

Saya tetap tegas menolak dan memintanya membatalkan. Saya orang yang mudah kompromi, tapi jelas bukan orang yang bisa seenaknya diatur atau dikendalikan orang lain.

Demi menghindari menunggu lama pas hari S, saya langsung pesan mobol terjadwal. Sudah aman. Terbayar. Dan wes gakjadi pikiran saya lagi. Nanti baliknya saya akan pake mobil dan driver yang sama kalau cocok, kalau enggak ya saya pesan terjadwal saat tiba di TKP. Urusan wes rampung.

Ealah pas hari S itu pagi buta, Pak B kirim WA ke saya kalau bisa antar jemput saya; karena piknik ditunda. Lah ya saya bilang wes pesan dan membatalkan pesanan hanya tinggal beberapa jam itu potongannya 50%. Tentu saya nggak mau.

Lalu saya terpikir cepat, ternyata ya rezeki itu sudah di depan mata, kalau bukan rezeki yo tetap nggak dapat. Lha wong dengan saya itu, Pak B jelas-jelas langsung bilang bisa, itu kan berarti belum ada kerjaan. Lalu ada gaweyan dengan charge lebih besar, langsung membatalkan saya. Yo wajar siy, tapi serasa njagakne endhoge si blorok. Padahal sudah dinasihati peribahasa Jawa: ojo njagakne endhoge si blorok.

Secara harfiah artinya “jangan berharap pada telurnya ayam blorok.” Tapi tentu saja, ini bukan soal ayam semata, melainkan sindiran yang penuh makna. Ayam blorok itu ayam yang bulunya nggak seragam, warnanya bercampur-campur. Dalam peribahasa ini, “si blorok” diibaratkan sebagai orang, sesuatu yang nggak bisa dipercaya, belum bisa dipastikan, nggak konsisten, mudah berubah-ubah, dan tidak jelas sikapnya. Telurnya dianggap nggak bisa diandalkan, nggak bisa diharapkan akan menetas atau memberi hasil.

Peribahasa ini memberi nasihat agar kita nggak menggantungkan harapan pada orang atau sesuatu yang nggak bisa dipercaya atau nggak bisa dipastikan. Ya seperti kasusnya Pak B tadi, dia melepaskan “telur kecil” yang pasti dari saya demi mendapatkan “telur besar” yang belum pasti. Padahal di hari yang sama dia berkendara 2 jam saja, full dapat 300 rb. Dikurangi BBM untuk 30 km pp ya lebih kurang 50 rb, masih utuh 250 rb. Hayaaah, gaji dosen anyaran sehari mung 100 rb masih dikurangi operasional transport dan makan siang.

Tapi bukankah begitu kebanyakan dari kita? Itu sebabnya kalau saya wes ada gaweyan kruncilan kecil-kecilan, terus jebret tiba-tiba ada gaweyan yang kayaknya gong besar; itu saya lempeng saja jawabnya. Pak, Bu, saya masih ada gaweyan sampai tanggal sekian. Kalau berkenan, monggo setelah itu kita jumpa. Kalau tidak sabar, silakan panggil penulis lain. Begitu juga soal jadwal-jadwal pelatihan, saya biasanya emoh pada mereka yang nyelow-nyelow dadakan, apalagi kalau saya kudu ngganti-ngganti jadwal yang sudah disusun dengan banyak pihak.

Biasanya siy, kalau memang rezeki saya mereka akan tunggu, bahkan kirim uang muka dulu agar saya nggak lari atau terima gaweyan lain. Tapi kalau enggak, sekurangnya saya nggak kehilangan telur-telur kecil yang sudah di tangan. Saya juga nggak perlu mencla mencle omong dengan pihak lain. Kalau A ya A, nggak njur diganti Z atau lainnya dengan sesukanya. Versi saya ini soal prinsip, soal keteguhan hati, dan tawakal kita pada yang memberi rezeki.

Kita memang perlu percaya pada orang lain, pada sesuatu, tapi juga harus bijak memilih kepada siapa kita menggantungkan harapan. Jangan mudah terbuai janji manis tanpa bukti. Jangan sampai kita berkali-kali kecewa karena menaruh harapan pada orang atau sesuatu yang salah.

Meskipun peribahasa ini mengajarkan kita untuk waspada, bukan berarti kita langsung menilai orang dari masa lalunya. Orang bisa berubah; kita lihat dari tindakannya, bukan hanya dari omongannya.

Mengikuti pesan dari “jangan berharap pada telurnya si blorok” bukan berarti kita jadi sinis pada setiap orang atau sesuatu. Tapi kita diajak untuk lebih bijaksana dan hati-hati. Pilih orang atau sesuatu yang benar dan pasti, agar sesuai dengan harapan kita.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *