
Maluku. Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.
Pernah nggak siy kamu duduk termenung dan merasa hidupmu berjalan begitu-begitu aja? Bangun pagi, beraktivitas, kerja, makan, tidur, ulangi lagi.
Nggak ada hal luar biasa yang terjadi, nggak ada pencapaian besar, dan rasanya kamu hanya bertahan hidup dari hari ke hari. Kalau kamu sedang merasakannya, kamu nggak sendiri.
Saya pun mengalaminya. Sempat terpikir, kok hidup saya gitu gitu aja. Nggak ada pencapaian tertentu, apalagi prestasi besar. Apa yang salah?
Banyak orang yang mungkin sama seperti saya, ngerasa hidupnya biasa-biasa aja. Nggak terlalu sukses, tapi juga nggak terlalu gagal. Mungkin nggak terlalu bahagia, tapi juga nggak benar-benar menderita. Berada di dunia “tengah”, sekelompok kaum mendang mending kalau dibandingkan dengan golongan bawah atau kismin.
Seolah kita niy sedang berada di zona netral yang bikin semuanya terasa datar. Namun, apa iya hidup yang biasa-biasa aja nggak bagus? Saya jadi mikir banyak untuk introspeksi.
Setelah lama bengong ngelamun, saya seperti diingatkan. Oh, hidup yang biasa-biasa aja itu wajar kok. Nggak semua orang ditakdirkan jadi tokoh besar, artis, publik figur, atau influencer dengan jutaan pengikut. Mayoritas dari kita ini ya orang-orang yang hidup dalam ritme sederhana. Dan pastinya kisah kita nggak mungkin ditulis dalam buku sejarah (makanya nulis dong😀), tapi hidup kita jelas punya arti yang mendalam.
Media sosial seringkali bikin kita ngerasa tertinggal. Kita lihat teman-teman flexing pencapaian, liburan, atau gaya hidup glamor, dan tiba-tiba hidup kita terasa membosankan. Padahal, apa yang terlihat di layar hanyalah potongan kecil dari kehidupan orang lain—biasanya bagian terbaiknya saja.
Oh haha, sebagai contoh saya nggak mungkin toh memposting betapa “berdarahdarahnya” capek lelah nyaris putus asanya saat studi lanjut? Yang diposting kan seremoni ujian dan wisuda. Senang-senangnya, happynya, bengepnya nggak diceritakan. Pun untuk buku buku bestseller saya, nggak mungkin banget saya posting bolak-balik revisinya, tengah malam harus bangun untuk wawancara tokoh yang di belahan dunia siang sementara kita malam, dll. Ini hanya bagian kecil sudut pandang pengalaman yang nggak terdokumentasi sosmed.😃
Saya pikir, yang bikin hidup terasa ‘biasa’ sebenarnya bukan rutinitasnya, tapi kurangnya penghargaan yang kita berikan pada rutinitas itu. Bangun pagi bisa terasa membosankan kalau kamu melihatnya sebagai ‘kewajiban’. Tapi bisa terasa berharga kalau kamu memulainya dengan rasa syukur bahwa kamu masih diberi satu hari lagi untuk hidup. Eh, di detik yang sama banyak lho orang mati. Alhamdulillah kita masih hidup.
Saya coba perhatikan kembali hidup sehari-hari yang saya jalani dan bertanya:
Apa saya sudah benar-benar hadir dalam setiap aktivitas?
Apa saya menikmati sarapan atau hanya menelannya sambil memikirkan tugas kantor?
Apa saya mendengarkan orang-orang yang berbicara dengan saya atau sekadar menunggu giliran bicara?
Oh ternyata perubahan kecil dalam cara memandang ini bisa bikin kita ngelihat hal-hal biasa terasa luar biasa. Ada kutipan terkenal dari Fred Rogers: “You don’t have to do anything sensational to be loved.”
Ini mengingatkan kita bahwa jadi berarti nggak selalu datang dari hal-hal besar. Merawat keluarga, menjadi pendengar yang baik, membantu teman, atau sekadar menyapa orang lain dengan senyuman—itu semua adalah hal kecil yang berdampak besar.
Mungkin kita bukan CEO perusahaan besar. Tapi kita bisa jadi seseorang yang selalu ada untuk sahabat kita saat dia butuh. Mungkin kita belum meraih mimpi-mimpi besar. Tapi bisa jadi kita adalah alasan seseorang tertawa bahagia hari ini. Dan itu rasanya sudah cukup.
Di sisi lain, jika kamu merasa hidup biasa-biasa saja karena kamu menyimpan potensi yang belum dikeluarkan, maka itu pertanda baik. Artinya ada api kecil yang masih menyala di dalam dirimu, menandakan bahwa kamu ingin lebih dari sekadar bertahan hidup.
Kamu ingin tumbuh. Kamu ingin berkembang. Kamu ingin menjalani hidup yang lebih penuh.
Pertanyaannya sekarang: Apa yang bisa kamu lakukan untuk menyalakan kembali semangat itu? Jawabannya bisa panjang banget.
Kita sering terjebak dalam pola yang sama setiap hari: kerja, pulang, tidur. Cobalah hal baru, sekecil apa pun. Baca buku di luar genre favoritmu. Ikut kelas online. Berkenalan dengan orang baru. Lakukan sesuatu yang memecah rutinitas.
Kamu nggak perlu langsung mengejar mimpi besar. Cukup mulai dengan tujuan sederhana: berolahraga tiga kali seminggu, baca satu buku per bulan, atau menulis jurnal harian. Tujuan kecil yang konsisten bisa membawa perubahan besar dalam jangka panjang.
Ingatlah, hidup nggak hanya tentang sampai ke tujuan, tapi juga tentang siapa kamu selama perjalanan itu. Jangan menunggu hidup jadi luar biasa baru kamu bahagia. Bahagialah dalam proses menjadikannya luar biasa.
Kadang, hidup yang terasa biasa menyimpan pelajaran luar biasa. Hidup yang nggak dipenuhi gemerlap dan sorotan justru bisa lebih tenang, lebih stabil, dan lebih damai. Dalam hidup yang sederhana, kita belajar bersyukur. Dalam rutinitas yang tenang, kita belajar mengenal diri.
Jangan remehkan kekuatan hidup yang sederhana. Orang yang hidupnya ‘biasa’ pun bisa jadi inspirasi—justru karena ia tahu cara bertahan, cara mencintai tanpa koar-koar, cara memberi tanpa pamrih.
Selalu ingat bahwa hidup bukan perlombaan. Ini bukan tentang siapa yang lebih dulu sukses, siapa yang lebih terkenal, atau siapa yang lebih ‘wah’. Kita semua hidup di jalan yang berbeda, pada waktu yang berbeda, dan dengan tantangan yang berbeda pula. Kamu nggak terlambat. Kamu hanya sedang berada di titik istirahat sebelum melangkah lagi.
Kalau hidupmu terasa biasa-biasa aja, mungkin itu bukan pertanda kegagalan. Mungkin itu justru ruang kosong yang bisa kamu isi dengan makna, syukur, dan harapan.
Bukan soal seberapa banyak sorotan yang kamu dapat. Tapi seberapa dalam kamu menikmati dan mensyukuri dirimu sendiri, lalu membagikan kebaikan di sekitarmu.
Karena sesungguhnya, hidup yang tenang, stabil, dan penuh cinta adalah salah satu bentuk hidup paling luar biasa yang bisa dimiliki manusia.
Ari Kinoysan Wulandari