
Buku sarana belajar yang praktis, mudah, dan bisa dibawa ke mana-mana. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.
Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai momen penting untuk mengenang jasa Ki Hadjar Dewantara dan perjuangannya dalam membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Namun, peringatan ini mestinya bukan sekadar seremoni. Hardiknas seharusnya menjadi refleksi pribadi dan masyarakat: Sudahkah kita benar-benar memahami makna pendidikan?
Dengan beragam hiruk-pikuk membenahi sistem, kurikulum, dan fasilitas, kita kerap lupa bahwa pendidikan sejati tidak hanya berlangsung di ruang kelas dan ruang koridor pendidikan formal. Pendidikan dimulai dari dalam diri setiap individu.
Sebelum menjadi guru bagi orang lain, sebelum menuntut anak untuk belajar, sebelum menyalahkan generasi muda yang dinilai “kurang sopan” atau “kurang rajin”—tanya diri kita: Sudahkah aku mendidik diriku lebih dulu?
Ki Hadjar Dewantara berkata, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Kalimat ini menegaskan bahwa pemimpin sejati memberi teladan. Dan memberi teladan hanya bisa dilakukan jika kita telah menempa diri terlebih dahulu.
Mendidik diri berarti mengasah kesabaran, membentuk karakter, menumbuhkan empati, serta menjadi pembelajar seumur hidup. Pendidikan bukan hanya soal buku dan angka, melainkan tentang menjadi manusia yang utuh—yang berpikir jernih, berperilaku bijak, dan berkontribusi bagi sesama dan semesta.
Di tengah perkembangan teknologi dan derasnya arus informasi, anak-anak kita menghadapi tantangan yang berbeda dari masa lalu. Mereka butuh bukan hanya guru dan orang tua yang pandai, tapi sosok dan figur yang mampu menjadi panutan hidup.
Maka, sebelum kita menuntut anak untuk rajin membaca, mari kita lebih dulu membaca hati dan pikiran sendiri. Sebelum menyuruh anak berperilaku baik, mari kita koreksi tindakan dan kata-kata kita sehari-hari.
Hardiknas adalah saat yang tepat untuk kembali ke akar: bahwa pendidikan bukan tentang siapa yang diajar dan mengajar, tapi siapa yang mau terus belajar. Dan murid terbaik adalah mereka yang terus belajar dari kesalahan, memperbaiki diri, dan menginspirasi perubahan lewat tindakan nyata. Pun guru terbaik adalah mereka yang memberi kontribusi nyata perbaikan dengan teladan.
Jadi, dalam semangat Hardiknas ini, mari kita mulai dengan satu langkah sederhana tapi berarti: didik dirimu lebih dulu. Karena dari sanalah, perubahan besar bisa dimulai.
Ari Kinoysan Wulandari