
Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.
Kapan itu saya sempat chitchat dengan Bu Monitz tentang postingan lebih kurang pernikahan tanpa pesta, yang ternyata direspon banyak oleh fansnya dengan kebaperan pertanyaan, “Apakah menikah tidak boleh pesta?”
Saya tertawa. Niy yang bertanya pasti tidak melihat sesuatu secara objektif. Bahwa postingan itu menceritakan pernikahan sesuai kemampuan. Semuanya terasa lebih mudah dan tidak merepotkan banyak pihak.
Kalau kamu menikah dan mau pesta geden (bahkan sampai ngutang-ngutang dan atau minta sumbangan sana sini) ya itu urusanmu, sakarepmu. Dan ini biasanya terjadi karena perasaan “nggak enak” sama keluarga, tetangga, orang-orang; keinginan tampil wah, nggak mau kalah dari si A, si B, dll.
Lha memang kalau kamu sulit ekonomi gegara duitmu habis untuk pesta, mereka ikut nanggung biaya hidupmu? Tentu enggak kan? Hari gini, yang realistis aja urusan perduitan.
Saya termasuk yang netral dalam hal ini. Menikah dengan pesta, itu versi saya boleh dan wajib asal sesuai kemampuan. Syukuran pernikahan agar banyak orang datang, banyak doa berkat kehidupan.
Cuman kalau sampai ngutang, minta sana sini, jelas big no. Karena pernikahan yang mestinya happy, habis pesta mumet mikirin tagihan jelas bukan hal yang menyenangkan. Habis menikah ki ya senang-senang. Bulan madu. Piknik. Ke mana-mana menikmati hidup dengan pasangan tanpa keribetan finansial.
Di dunia ini, kita banyak melihat orang yang merasa hidupnya penuh tekanan. Uang selalu kurang, waktu terasa sempit, pikiran lelah terus, dan bahagia seperti barang langka. Tapi benarkah hidup ini sesulit itu? Atau jangan-jangan, yang bikin rumit adalah gaya hidup kita sendiri?
- Ingin Terlihat “Wow” di Mata Orang Lain
Media sosial sering kali membuat kita merasa harus hidup dengan standar tertentu—punya barang branded, nongkrong di kafe hits, liburan mewah, dan sebagainya. Padahal, tidak semua itu perlu.
Banyak orang rela berutang demi pencitraan, padahal hatinya sendiri kosong. Hidup jadi berat bukan karena kebutuhan, tapi karena gengsi. Makan tuh gengsi!
- Beli Bukan Karena Butuh, Tapi Karena Ingin
Godaan diskon dan belanja impulsif sering jadi jebakan. Kita merasa bahagia sesaat setelah membeli sesuatu, lalu menyesal setelah tagihan datang. Gaya hidup konsumtif ini seringkali membuat keuangan berantakan. Padahal, kebutuhan hidup sebenarnya cukup sederhana.
- Kurang Bersyukur, Selalu Membandingkan
Kita sering membandingkan hidup kita dengan orang lain yang tampak lebih sukses, lebih kaya, lebih bahagia.
Padahal, setiap orang punya perjalanan hidup masing-masing. Kurang bersyukur membuat kita merasa hidup ini tidak adil, padahal mungkin kita sudah punya cukup banyak.
- Terlalu Sibuk Mengejar “Lebih”
Tidak salah punya ambisi, tapi kalau sampai melupakan kesehatan, keluarga, dan kebahagiaan pribadi, apakah itu layak?
Kadang kita terlalu sibuk mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Akhirnya, hidup terasa seperti perlombaan tanpa garis akhir.
- Tidak Punya Prioritas
Saat semua hal ingin dilakukan dan semua keinginan terasa wajib dipenuhi, akhirnya kita kewalahan sendiri.
Padahal, dengan memilah mana yang penting dan mana yang bisa ditunda, hidup bisa lebih ringan. Fokus pada hal yang benar-benar berarti akan mengurangi beban yang tidak perlu.
Sederhanakan, Nikmati, Syukuri
Hidup sebenarnya tidak serumit yang kita bayangkan. Jika kita bisa menyesuaikan gaya hidup dengan kemampuan dan kebutuhan, menurunkan ekspektasi yang tidak realistis, serta lebih banyak bersyukur, maka hidup bisa jadi lebih tenang dan bahagia.
Jadi, sepertinya bukan hidup yang sulit. Mungkin, gaya hidup kita yang terlalu ribet. Hidup itu mudah kalau sesuai kemampuan kita. Yang bikin sulit itu kalau kita hidup di luar batas kemampuan.
Ari Kinoysan Wulandari