Goes to Banyuwangi (9) Kawah Ijen, Blue Fire atau Sunrise

Kawah Ijen dari sisi sunrise. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

“Ibu mau ke matahari terbit atau api biru? Ini sudah pos terakhir,” kata Mas A.

“Api biru,” jawab saya sambil turun dari tandu.

“Api birunya itu di sana, Bu. Ini turun lagi sekitar 800 an meter. Sekilo lah gampangnya. Pas turun itu masih terasa ringan, tapi nanti baliknya itu lebih berat. Karena naik.”

Si Mas A ini melihat ke sekeliling, lalu bilang, “Bu, sebenarnya ini kalau ngelihat waktu sudah telat untuk bisa dapat api biru. Sudah siang. Mestinya kalau memang mau ke api biru dari jam 2 sudah start berangkat dan ibu harus jalan cepat atau langsung pake tandu.”

Di dekat Kawah Ijen dari arah turunan menuju blue fire. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

“Jadi baiknya gimana?” Saya balik bertanya karena nggak menemukan seorang pun dari rombongan saya. TL, fotografer, guide lokal juga nggak nampak.

“Saya terserah ibu. Kalau mau ke api biru, saya antar turun. Kalau ke matahari terbit juga bisa.”

“Kalau dari sini aja apa yang bisa dilihat?”

“Ya kawahnya, Bu. Itu!” Dia menunjuk ke depan, tapi versi saya hanya gelap dan kabut. “Nanti kalau sudah terang baru kelihatan kawahnya. Ibu bisa tungguin di sini.”

Penampakan blue fire di Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Oh, saya pantang menyerah. “Turun aja, Mas. Semampunya saya ke arah api biru. Nanti kalau nggak kuat ya baru berhenti dan lihat kawah.”

Mas A menurut dan ngetutne saya jalan turun. Biyu, di sini jalanannya lebih rumpil, curam, sempit, makin ke bawah makin tajam sudut kecuramannya dan nggak ada pagar pelindung. Asap belerang makin kuat bikin sesak tenan kalau nggak pake masker. Kabut juga masih tebal. Rasanya seperti gelap di mana-mana, meskipun senter-senter pendaki berpendaran di semua sudut.

Lama-lama semakin jalanan menurun, kaki saya nggregeli. Beberapa kali badan saya juga lhiyat-lhiyuut hampir jatuh. Ternyata kantuk saya belum sepenuhnya ilang. Ya ampun Gusti Yang Agung, baru kali ini saya merasa ngantuk luar biasa. Padahal rasanya ya wes cukup tidur.

Sisi lain Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya masih mau jalan lebih turun lagi, tapi malah gasruk. Saya nyaris jatuh. Saya bukan orang yang gampang menyerah pada keadaan, tapi kini memang harus angkat tangan. “Wes kene bae, Mas. Saya nungguin terang biar bisa lihat kawahnya.”

Saya duduk ngejengkruk gitu. Tapi ya masih gelap, nggak tampak apapun. Kecuali orang-orang yang lalu lalang untuk naik balik ke pos terakhir. Mereka sudah dari blue fire. Bisa melihat api birunya.

Haish, bikin saya kepo tapi tubuh fisik mata nggak mau kompromi. Dan kalaupun maksa turun ya wes ilang api birunya. Hiiih, nggak banget niy situasinya.

Asap belerang di mana-mana dan menutup Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Pas duduk saya tanya sama Mas A, apa bisa balik sekarang aja daripada ntar kesiangan. Karena turunnya aja kek gitu berat rasanya, apalagi naiknya. Saya pun berjalan tertatih tatih tenan pas ke atas nya itu.

Dan ngantuk saya sungguh ampun nggak tertahankan. Pinginnya wes tidur aja di situ. Jadi saya yo break berhenti lagi. Saya Shubuhan di areal depan kawah itu.

Sudah mulai sedikit terang, tapi kabut, angin menutup areal kawah dan kembali. Berkali-kali begitu. Tapi saya gembira melihat aslinya Kawah Ijen yang memukau.

Nyaris saya nggak ingat foto, kalau Mas A nggak ngingetin. “Ibu belum foto. Harus ambil foto di sini. Nanti orang nggak percaya ibu sudah ke sini kalau nggak ada fotonya.”

Biasanya penambang lokal membawa belerang seperti itu naik turun Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Ya weslah, dia fotoin saya di beberapa sisi. Sampai disindirin teman-teman sesama pembawa tandu; disebutnya plus-plus. Karena si A ini ya bawa tandu, ya jadi guide dadakan, ketambahan jadi fotografer dadakan.

“Nggak usah didengerin, Bu. Saya bantu aja. Sayang kalau ibu nggak ada foto di sini.”

Begitulah. Saya mendapatkan beberapa foto di sekitaran Kawah Ijen. Situasi nggak mendukung. Kabut, angin, bolakbalik menghilangkan pemandangan Kawah Ijen.

Sampai di dekat pos terakhir, saya ketemu guide lokal. Mas Rizky. Dia mengajak saya untuk naik lagi untuk foto bersama. Tapi saya menolak karena kaki saya rasanya wes lemes tenan turun naik areal blue fire itu.

“Nggak apa-apa, Bu. Jalannya pelan-pelan saya temani.”

Ini arah jalan naik dari areal blue fire. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya tetap menolak, karena tahu kondisi pribadi. Saya bilang akan menunggu di pos saja. Akhirnya Mas Rizky pun pergi. Kalau saya nggak ada di foto grup pas di Kawah Ijen itu bukan salah TL, fotografer, ataupun guidenya. Saya yang wes gak sanggup untuk jalan lagi ke tempat foto grup.

Saya tetap bersyukur dengan effort yang lebih banyak bisa sampai juga ke Kawah Ijen di usia yang nggak lagi belia. Bagi saya foto-foto penting, tapi pengalaman pribadi perjalanan itu jauh lebih penting daripada sekedar tampilan “foto keren”.

Saya berterimakasih pada seseorang yang menawarkan untuk memotret saya di dekat pos terakhir (saya lupa tanya namanya). Mungkin dia melihat saya di sekitaran pos terakhir mung thenguk-thenguk gabut melihat kawah.

Iya, saya menyaksikan angin bertiup kencang dan membawa kabut plus asap belerang yang sekejap saja menutupi seluruh kawasan Kawah Ijen. Hal seperti ini saja, mungkin sepele dan nggak diperhatikan pengunjung lain, tapi bagi saya sungguh pengalaman istimewa.

Saya baru mengerti bagaimana kabut, asap, angin bisa membuat pesawat terbang hilang kendali dan menabrak lalu terjatuh. Karena saat itu beneran semua hanya “putih susu” dan tidak terlihat apapun. Kabut, asap, angin ternyata belum sanggup ditembus radar pemindai di pesawat.

Versi saya, nikmatilah piknikmu, jangan terlalu terobsesi dengan foto-foto bagus untuk “menyenangkan” orang lain yang lihat sosmedmu.😀 Tapi sosmed di negeri kita yang bebas non kontrol atau batasan, bener-bener meracuni para pemakainya untuk pamer apapun dengan lebih massif. Termasuk foto-foto piknik. Hingga banyak juga kita dapat berita orang mati demi foto atau konten heroik yang kelewat berbahaya.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *