Goes to Banyuwangi (8) Kawah Ijen, Siapkan Fisik Mental dan Duitmu

Saya di pintu keluar masuk Kawah Ijen, setelah pendakian. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya sangat semangat mau lihat blue fire ini. Hanya ada beberapa orang yang mau ke sini. Karena medannya lebih sulit dan berbahaya. Saya pribadi yakin dalam kondisi sehat jiwa raga. Meskipun saya minta surat sehat dari biro, Senin atau 5 hari sebelum keberangkatan saya juga cek kesehatan standar.

Denyut nadi, tensi, asam urat, kolesterol, gula darah, kondisi mata-telinga-hidung dan kondisi fisik secara umum. Dokter bilang oke, nggak masalah saya eksplore Banyuwangi termasuk ke Kawah Ijen. Cek-cek catatan dolan saya lainnya; saya memastikan diri sehat sebelum ikut OT karena itu bentuk syukur dan jaga diri.

Jangan sampai di OT justru bikin ribet diri sendiri dan pihak lain. Kalau dokter bilang nggak oke, biasanya saya pilih mundur atau tetap ikut dengan tidak mengikuti kegiatan berisiko yang menghabiskan energi. Intinya, ketahuilah kondisi kesehatanmu secara pasti untuk ikut trip-trip yang menguras energi

Ke Kawah Ijen ini versi saya, core atau inti OT yang diadakan Afrindo. Kita butuh nggak cuman semangat, tapi energi tubuh fisik mental spiritual yang kuat. Kudu sehat tenan dan wes biasa jalan mendaki.

Aiiih, saya nggak kebayang bisa enggaknya kalau harus ke Rinjani (lagi) sekarang dengan medan Leter L yang sungguh berbahaya itu. Keinginan siy sekarang ya nggak ada, tapi kekepoan dan uji nyali kadang-kadang bikin saya nekat jalan 😂😁🙈

Ke Kawah Ijen ini saya ya berniat jalan seperti lainnya. Dari pintu gerbang ke pos 1, masih amanlah. Berasa di kaki karena tinggi. Berhenti beberapa kali, saya wes ditawar-tawari para pendorong tandu. Saya masih bertahan. Ada Mbak Dinna dan kawannya, saya masih merasa aman.

Lalu dari pos 1 ke pos 2, mulailah saya merasa menggos-menggos. Berat tenan. Ngantuk. Capek. Pingin tidur. Panas. Pokmen jadi nggak mudah buat saya. Di pos 2 saya berhenti, minum air dan multivitamin biar melek mata. Asli, saya nggak tahu kenapa itu rasanya ngantuk sekali dan pingin tidur aja.

Mas Adit masih nungguin saya di pos 2, tapi karena saya kelamaan mager dia bilang jalan duluan dan akan nunggu saya di pos 3. Saya bilang oke.

Untunglah di sini saya dibantu Pak Wanto. Beliau menunggui saya karena ternyata tinggal saya doang yang terakhir dari rombongan Afrindo. Biyuuu… nggak pernah kejadian kek gini di areal pendakian.

Di dekat perhentian jasa tandu saat turun dari Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Pas saya sudah mau jalan, Pak Wanto bilang agar saya pake langkah pendek-pendek biar nggak cepet capek dan pake tracking pole di tangan kanan. Oh iya, saya bukan kidal tapi untuk beberapa aktivitas fisik tangan kiri saya rasanya lebih kuat daripada tangan kanan. Tapi saya menuruti saja.

Wah mulai berasa beneran ngantuk dan lelahnya saya. Akhirnya saya melambaikan tangan. Menyerah di jarak pos 2.5 an. Naik tandu. Kalau mikirin ngantuk dan lelah, kayaknya saat itu saya milih tidur aja. Tapi sudah nyebur jalan gini, ya kudu diselesaikan. Bagi saya kalau memulai sesuatu sebaiknya ya dirampungkan semampunya.

Naik tandu saya diangkut 2 orang laki-laki, sebut aja Mas A dan Mas B. Saya ketawa dalam hati ketika mereka rerasan dengan bahasa Madura. Berangkat kerja awal dapat 1 penumpang dengan harga tolong menolong, semoga nanti dapat yang harga full. Begitulah harapan mereka.

Sewa tandu di sini kalau PP 1.5 sd 2 juta. Naik ke atas saja 1 sd 1.5 juta, turun saja 500rb sd 1 juta. Saya ingat pesan Mas Andre, monggo ditawar saja. Terus pas kasak kusuk di basecamp, biasanya harga tandu cenderung turun kalau orangnya kecil mungil. Tapi kalau orang normal size atau over size ya bayar penuh.

Jadi saya pede aja nawar 1 juta karena size saya kayaknya di bawah normal deh. Dan ya dibolehkan itu dengan sebutan harga tolong menolong. Wah, lha ini sudah lebih mahal daripada biaya trip 3 hari lhooh. Pokoknya inget-inget aja, kalau mau ke Kawah Ijen, siapkan fisik mentalmu dan duitmu 😁😂

Di pos 3 saya jumpa teman-teman satu rombongan. Bu Mur dan Bu Sarmini (dua Ibu sepuh) akhirnya ikut naik tandu juga. Karena ini memang medannya wes berasa berat. Tapi pasti nggak seberapalah buat yang biasa naik gunung.

Usai pos 3 itu, saya wes langsung tertidur. Wkwk… jadi saya nggak kuat jalan itu gegara wes capek dan masih ngantuk. Dan tahu-tahu dibangunin Mas A pas sudah di pos terakhir. Whelah cepet tenan. Baru jam 4-an pagi. Masih gelap.

Mas A dan Mas B itu bawa orang ditandu sambil lari aja. Cepet dan nggak terasa gitu di saya karena saya tertidur. Wes jelas kalau gak bawa duit, pasti saya nyesel nggak sampai puncaknya.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *