Goes to Banyuwangi (7) Kawah Ijen, Sebelum Pendakian

Tongkat merah itu yang disebut tracking pole. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Sekejap saja rasanya dan alarm jam 11.30 malam wes bunyi. Biyuuu, saya dan Mbak Lita segera beberes. Bawa barang sesedikit mungkin untuk ke Ijen.

Di sini saya baru sadar, tas punggung parasut yang saya siapkan untuk ke Ijen, ternyata nggak kebawa. Beuuh, rasanya kek nyesel banget. Karena kalau tas punggung itu ringan, bisa dilipat, tapi kuat dan muat cukup banyak barang tanpa kelihatan gendut.

Dipake di punggung juga memudahkan pendakian di jalan-jalan curam. Ya sudahlah, terpaksa saya bawa tas bahu. Rasanya kurang nyaman, tapi mo gimana lagi. Saya perlu bawa air, obat-obatan, snack kering, sarung tangan, topi, masker, HP, uang, copy identitas, dll yang nggak mungkin saya tenteng tangan.

Jam 12 an teng hampir semua peserta rombongan sudah di loby hotel. Kami segera membereskan administrasi dan biaya sewa alat pendakian. Oh ya, barang yang disewakan cukup banyak; tracking pole, jaket tebal, masker gas, senter.

Sampeyan nggak harus sewa semuanya. Ambil saja yang perlu sesuai kondisi masing-masing. Tracking pole sangat penting, sebisa mungkin sewa kalau nggak bawa sendiri. Karena ini memudahkan pendakian dan mengatur langkah.

Usai persiapan, kami naik shuttle bus lagi menuju kawasan Ijen. Sekira sejam lebih. Jam dua kami sampai di basecamp. Tapi ya nggak bisa langsung naik. Masih cek ricek identitas, kartu sehat, alat-alat pendakian yang disewa, ke toilet, makan minum juga. Weish… namanya juga banyak orang 😁😂🙏

Masker gas yang biasa dipakai untuk ke Kawah Ijen. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Sampai di basecamp atau dekat pintu masuk kawah Ijen, saya mulai merasa ada yang salah dengan penyebutan “dingin”. Rasanya wes panas, gerah. Jaket tebal saya memperparah panas udara di tubuh saya, tapi nggak mungkin saya lepas karena nggak ada ruang lagi di tas bahu.

Jaket tetap saya pakai sambil ketawa dalam hati melihat semua kerubutan brukut pake topi, syal, sarung tangan biar nggak kedinginan. Yang kelainan memang saya sendiri, karena dingin versi saya itu kalau sudah di bawah 8 derajat C, baru kudu jaketan brukut. Kl 18-20 C aja, kayaknya kulit saya sudah kebal.

Sampai di basecamp, Mas Adit mengurusi administratif, ambil alat-alat pendakian yang disewa. Sebagian peserta tour ada yang makan-minum, ke toilet. Setelah itu ada briefing oleh guide lokal. Lebih kurang semuanya perlu waktu 1 jam an. Praktis, kami berangkat lebih kurang jam 3 dini hari.

Kami berangkat bersama-sama, baru nanti akan berpisah jadi 2 kelompok. 1 kelompok ke blue fire, 1 kelompok ke sunrise. Ada lebih kurang 7 pos dengan pintu utama yang harus kami lewati, sebelum menuju blue fire atau sunrise.

Di sini, ingatan saya tentang Kawah Ijen samar-samar mulai terbuka. Rasanya kami berangkat sudah terlalu siang untuk sampai ke pos terakhir sebelum ke blue fire atau sunrise.

Saat di basecamp itu saya yakin areal jalan menuju Kawah Ijen pasti sudah diperbaiki dan lebih kondusif untuk wisata umum dan massal. Tapi jelas kondisi alam aslinya yang terjal, curam, berbatu tajam, sempit, kiri kanan jurang kawah itu nggak akan berubah.

Bagi mereka yang biasa mendaki mungkin 3-4 km dengan medan rumpil begitu 1 jam sudah cukup. Mereka masih bisa dapat api biru atau matahari dengan tenang. Tapi bagi orang awam, jelas butuh lebih dari 2.5 jam untuk sampai pos terakhir. Dan itu berarti sekira jam 5.30 an sampai pos terakhir dan terlewat sudah blue fire ataupun sunrise.

Kalau berangkatnya jam 1 dini hari, untuk orang awam dan sehat, insyaallah bisalah kalau beruntung dapat blue fire atau sunrise. Tapi pikir saya, let see aja. Mungkin saya salah itung prediksi waktu. Bisa jadi lebih cepat karena ada guide lokal profesional (Mas Rizky dan Mas Imam) yang memandu jalan. TLnya Mas Adit dan fotografernya Mas Alvin juga ikut mengawal. Pasti sudah diperhitungkan semuanya.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *