Wonderful Umroh (16) “Mbak, Saya Ikut! Saya Jangan Ditinggal!”

Pintu 84 atau King Abdul Azis Gate, salah satu pintu yang biasa kami gunakan keluar masuk areal Ka’bah. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Ibadah terakhir dari Dewangga adalah thawaf wada’ atau thawaf perpisahan. Acara ini dilakukan di pagi hari. Seluruh jamaah diminta berkumpul usai Shubuh di depan WC 6.

Malamnya sebelum tidur, saya dan Bu B menanyai Bu X akan ikut atau tidak. Karena jawabannya nggak jelas, kami pun tidur.
Pagi-pagi, saya dan Bu B wes bersiap. Kami bertanya lagi pada Bu X, dijawabnya nggak ikut thawaf wada’.

Saya memberitahu Ustad Sule tentang Bu X, dan kami pun berangkat ke Masjidil Haram. Ibadah sampai Shubuh, lalu berkumpul di depan WC 6.

Ealah, uraian Ustad Sule di WAG itu wes sangat jelas; tapi ya tetep aja ada yang bandel. Bikin acara sendiri, minta dijemput di dekat areal Ka’bah, ada yang di areal masjid tapi bingung di mana, ada yang masih di sekitaran hotel. Biyuuu…. mbokya wes keluar dulu, bergabung rombongan. Suwe maneh nungguinnya.

Tiba-tiba, ujug-ujug Bu X muncul mau ikut thawaf. Saya menegur, “Bu, gimana siy? Katanya nggak ikut, ini kok malah datang? Tiwas saya wes lapor Ustad.”

Bu X, entah menjawab apa seperti nggeremeng nggak jelas. Saya laporan Ustad Sule. Niy Bu X ikut thawaf wada’ tanpa kursi roda. Kalau pingsan, jatuh di areal Ka’bah yang full byuuuk orang itu; bisa bikin gawe. Bikin repot semua jamaah.

Saya nggak mau ikut disalahkan kalau ada kasus begitu. Karena mulutnya jamaah rombongan saya yang cukup tajam.
Ustad Sule sabar sekali. Menerima laporan saya dengan senyum dan berdoa semoga semua sehat. Saya wes lebih tenang.

Setelah tunggu-tungguan cukup lama, kami pun berangkat ke areal Ka’bah. Ustad Sule dan Ustad Jordan wes menertibkan dan wanti-wanti kami agar tidak terpisah dari rombongan.

Pas awal-awal, saya yakin betul kalau saya mengikuti rombongan. Pas mau ke arah Ka’bah itu, saya nggak tahu bagaimana ujug-ujug terpisah dari rombongan. Saya celingak celinguk wes nggak ada anggota rombongan.

Saya sempat galau, tapi seperti ada yang mengingatkan saya untuk ke Ka’bah. Tiba-tiba saja saya merasa ada yang memegang pinggang dan tangan saya kuat kuat, sambil teriak, “Mbak, saya ikut! Saya jangan ditinggal!”

Saya menoleh, melihat ibu-ibu dan jelas orang Indonesia, teringat ibu saya. “Oh ya Bu, sini!”

Saya mengawal ibu ini agar bisa maju, berusaha menghalau orang-orang tinggi besar yang menghalangi jalan kami ke Ka’bah. Saya sambil terus menerus berdoa mohon dimudahkan sampai Ka’bah dan bisa berdoa di depan Ka’bah.

Tiba-tiba saja itu jalan seperti terbuka dan tahu-tahu kami berdua sudah di depan Ka’bah. Saya menangis sejadinya. Bisa menyentuh, memegang kuat, mencium, mengusapkan seluruh permukaan tas yang saya bawa ke Ka’bah; agar aroma Ka’bahnya tidak hilang.

Saya berdoa sekomplitnya. Sebisanya di tengah terpaan rasa haru yang luar biasa. Saya merasa tempat itu beneran hening, sunyi, adem, damai, bahagia, sukacita; seperti bukan areal Ka’bah yang membara. Apakah seperti itu kelak suasana surga? Wallahua’lam.

Saya terus berdoa. Sementara si ibu menangis sejadi-jadinya. Bolak-balik menciumi Ka’bah. Saya mengingatkan untuk berdoa, tapi saya malah mendengar isak tangisnya yang lebih keras. Lama rasanya kami di situ.

Saya mengajak si ibu ke Multazam. Wes ini versi saya beneran perjuangan. Orang-orang tinggi-tinggi besar berada di sekitaran kami dan rasanya begitu sulit untuk mengambil celah.

Saya seperti diingatkan kalau ibu ini sangat ingin ke Multazam. Akhirnya saya berdoa dimudahkan sambil menarik tangan ibu tersebut. “Ayo Bu, sini!”

Tapi langkah saya terhalang tangan-tangan yang sedang menggapai-gapai Multazam. Beberapa berusaha menyingkirkan kami. Saya keukeuh berdoa dan tahu-tahu tangan si ibu sudah bisa memegang Multazam. “Berdoa, Bu!” seru saya saat mendengar ibu itu malah menangis lagi.

Alhamdulillah, saya di samping ibu itu bisa memegang Multazam dan berdoa, sekhusyuk yang saya bisa. Sama rasanya saat menciumi Ka’bah. Saya merasakan hening, sunyi, adem, damai, bahagia, sukacita.

Saat saya rasa sudah cukup berdoa, saya ada niat membawa ibu ini ke Hajar Aswad. Tapi melihat tempat itu dipenuhsesaki lelaki tinggi-tinggi besar dan rapat padat sekali, saya wes jiper duluan.

Saya melihat ke sekeliling; wes nggak tampak satu pun jamaah dari rombongan saya. Pas melihat arloji, saya menghitung waktu dari mulai thawaf, mestinya rombongan saya sudah di hotel. Waduh, bisa ribet ntar kalau diteriakin, diomelin jamaah lainnya gegara telat.

Sesaat saya galau, jadi saya tanya si ibu. Mau ke Hajar Aswad atau enggak, dia bilang manut saya. Ya wes, saya menarik tangan ibu itu untuk mendekat ke Hajar Aswad, tentu sambil berdoa; tapi kami malah terdorong menjauh. Saya paham, berarti tidak diizinkan.

Saya memutuskan untuk meninggalkan Ka’bah karena pertimbangan waktu. Untuk ke pinggir ke pintu 79 atau 84, tentu kami harus “miyak” ribuan orang dengan melawan arus. Sementara kami masih beberapa jengkal saja dari Ka’bah.

Saya terus berdoa agar dimudahkan. Beneran, jalan kayak terbuka sendiri; tahu tahu kami sudah di pinggiran sekitaran pintu 79 atau 84 itu. Kami sholat sunnah dua rakaat, baru kemudian keluar areal mesjid. Si ibu entah kenapa menangis lagi dan memeluk saya kuat-kuat.

“Terimakasih ya Mbak, sudah mau saya ikuti! Alhamdulillah. Alhamdulillah saya bisa mencium Ka’bah. Masyaallah. Saya seperti menemukan Allah. Masyaallah, Masyaallah.”
Masih dengan menangis sesenggukan.

Haish, saya malah bingung kudu ngapain. Iya saya mengerti harunya, perasaan guncang saat pertama menyentuh, mencium, memeluk Ka’bah, berdoa dengan jarak begitu rapat di depannya, seperti mendapatkan anugerah berlimpahan yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Sudah, Bu. Alhamdulillah. Ayo kita balik. Saya wes ketinggalan rombongan.”

Baru ibu itu mau melepaskan pelukannya dan berhenti menangis. Matanya pun masih memerah. Saya wes memastikan si ibu baik-baik saja dan kembali ke rombongannya.
Saya memberitahu Ustad Sule di WAG posisi saya. Mendapatkan jawaban singkat agar saya langsung ke ruang makan. Saya setengah berlari ke hotel. Nggak sampe 10 menit wes sampai 😆😅

Di restoran, rombongan saya tinggal beberapa orang yang makan. Saya menghitung waktu, rupanya lumayan lama juga saya di depan Ka’bah tadi. Alhamdulillah. Di luar itu, Alhamdulillah saya karena nggak telat jadwal dan nggak jadi sasaran omelan jamaah lain.

Saya yakin, tiap orang yang umroh punya pengalaman spiritual yang berbeda-beda. Beneran, setiap kali berada di areal yang makbul untuk berdoa itu; saya seperti tersedot pusaran arus, lalu dibawa di ruang yang begitu menyejukkan dan mendamaikan jiwa.

Ruang yang terbebas dari segala kekhawatiran dunia. Ruang yang begitu indah dan hening sunyi; padahal kiri kanannya orang ramai berthawaf. Wallahua’lam.

Ya Allah, saya wes rindu lagi ke rumahMu yang Agung. Bawa saya ke sana lagi ya Rabb. Amin YRA.

Ari Kinoysan Wulandari
Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *