Wonderful Umroh (14) Umroh Kedua Bu X

Di Jabal Rahmah. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Selama di Mekkah, saya tidak dekat Bu X, menghindari emosi buruk. Di hotel kami di Mekkah nggak ada hairdryer, jadi si emak rempong ini mung nyuci pakaian dalamnya. Tahu sendiri bau penguknya baju yang dipakai berhari-hari kena debu, angin, keringat, kotoran campur aduk; untuk tidur pulak.

Selain itu, versi saya kan pakaian mungkin wes kena kotoran, najis; karena kepijak-pijak pas jalan, dibawa ke kamar mandi atau toilet umum; apakah masih terjaga kebersihannya, sebagai salah satu bagian syarat sah sholat atau ibadah lainnya? Entahlah.

Wes, perkiraan saya Bu X bawa 2 baju njur beli di Madinah atau Mekkah ambyar saat tahu itu. Untuk jemaah perempuan yang baru mau umroh, jangan sekali bawa baju seperti itu ya. Sekurangnya 8 gamis/setel untuk 10 hari.

Kecuali seperti teman yang pernah saya tuliskan, dia bawa baju yang di badan, pakaian dalam secukupnya, lalu beli baju/abaya di sana, selesai pakai dibuangnya. Cuman itu berlaku untuk orang dengan postur tubuh sesuai ukuran pasar yang standar, S, M, L, XL, dst nya pasti cocok. Kalau posturnya kek saya, beli baju jadi kalau nggak kekecilan ya kegedean, jelas repot. Jadi ya memang kudu bawa baju yang jelas nyaman dipakai dari rumah.

Kalau nggak ganti-ganti baju gitu, bisa jadi temennya yang kebauan; cuman emoh bilang aja. Lagipula kan tidak nyaman to baju dipakai berhari-hari? Jadinya kalau terpaksa di dekat Bu X, masker saya ikat rapat-rapat.

Dewangga memberikan 2x umroh setiap jamaah di rombongan saya. Umroh ini siang hari setelah city tour; karena kami kan harus ambil miqat atau niat dulu.

Namanya city tour ya pasti capek. Sebenarnya saya tidak terlalu antusias dengan city tour, karena selain masih begitu saja; ya lebih baik hemat energi. Cuman ngapain juga bengong di bus sendirian?

Pas ke Jabal Rahmah, tahun lalu masih boleh naik, tahun ini sudah enggak. Bus parkir jauh dari lokasi bukit. Wes panas, capek banget jalannya. Terus pedagangnya, ampun nawarinnya sampai ngotot-ngotot gitu. TL sudah melarang kami belanja di sini, karena biasanya tawar menawar njur tertinggal.

Dan ya beneran, ada saja yang tertinggal sampai kita nungguin lama. Ustad Sule juga yang balik turun bus nyariin. Embuhlah kenapa ini jamaah sulit banget disuruh patuh sama TL dan ingat waktu. Berasane lagi di Beringharjo po ya?

Karena waktu yang banyak terbuang, beberapa tujuan seperti Jabal Tsur, Padang Arafah, Muzdalifa, Mina, terus beberapa masjid yang mestinya dikunjungi hanya dilewati saja.

Kami pun ambil miqot umroh kedua di Masjid Aisyah. Menghindari kepadatan di Ji’ronah. Hari Sabtu karena libur, konon banyak warga lokal yang mengambil umroh di hari-hari itu. Jadi lebih banyak orang yang datang.

Umroh kedua ini bersifat bebas, boleh ikut, boleh enggak. Boleh umroh untuk diri sendiri, boleh untuk badal orang lain yang sudah meninggal. Kalau sampeyan punya cukup uang, juga bisa membatalkan umroh keluarga yang sudah meninggal. Tarifnya beragam, antara 1.5 sd 2.5 juta per orang. Kalau badal haji biasanya lebih mahal, antara 3.5 sd 5 juta per orang.

Saya dan Bu B sudah mengingatkan Bu X kalau mau ikut umroh kedua, kudu pesan kursi roda cepat-cepat karena nggak bisa dadakan. Petugas selalu kerja. Ini sudah kami bilang pas umroh pertama. Dianya iya iya aja dan kami pikir ya sudah pesan.

Ealah baru pas city tour itulah Bu X pesan. Ya wes telat, nggak bisa umroh kedua hari itu. Nggak ada petugas yang nganggur. Dikiranya pesan gofood di Jogja apa ya? Lah pesan makanan online di libur nataru gini saja, biasanya 15 menit sampai kudu nungguin 1 jam lebih dan nggak boleh protes kok 😅 Jadi Ustad Sule memastikan bahwa besoknya Bu X baru bisa umroh sendiri dengan kursi roda.

Sudah begitu, wes ngerti harganya kursi roda kok ya nggak cepetan dibayar atau ditransfer. Weish, ini orang. Gitu aja kalau cerita sama Bu B, anaknya kerja di LN duitnya sahohah, tapi keceplosan sendiri pas cerita sama saya kalau anaknya (entah ini anak yang sama atau anak yang berbeda dengan anak yang di LN) kerja di Bali akan balik ke Jogja, dan dia mau ikutan liburan ke Bali meskipun bayar tiket dan urus makan sendiri.

Saya mung bengong, lah kok gitu amat ya kudu bayar tiket dan urus makan sendiri? Saya bae, mungkin duit saya nggak sehohah, tapi kalau ibu saya sampai bilang mau pergi ke mana; westalah, pasti saya usahakan semuanya saya bayarin dan urus sebaik-baiknya.

Pikir saya kalau anaknya kaya dan hubungannya baik-baik, nggak mungkin Bu X yang wes lansia, nggak sehat, pelupa akut, banyak bikin masalah dengan jamaah itu umroh sendirian. Pasti ada orang yang diminta mendampingi. Wallahua’lam karena saya yo nggak tahu background keluarganya.

Umroh yang kedua ini versi saya lebih ringan. Kan wes terlatih pas umroh pertama. Alhamdulillah. Yang belum kesampaian oleh saya, mandi air zamzam. Kalau dari areal tahalul terus keluar masjid, itu pasti melewati areal sumur zamzam. Di sinilah kita boleh ambil air zamzam banyak-banyak sepuas kita. Ada banyak laki-laki yang mandi pun.

Beuh, saya nyesel bener saat itu. Karena saya kan bawa mantel hujan. Kenapa nggak saya bawa pas umroh kedua ini? Kalau saya bawa mantel, kan saya bisa mandi air zamzam dari ujung rambut ke ujung kaki, lalu pakai mantel hujan. Jadi bentuk tubuh yang tercetak akibat mandi air zamzam, bisa tertutup oleh mantel hujan. Haish, ini juga yang bikin saya wes pingin balik Mekkah lagi ❤️🙏

Setelah umroh kedua, kami bebas istirahat. Agenda tinggal thawaf wada dll city tour, belanja, dan balik ke Tanah Air via Singapura.

Keesokan harinya pagi-pagi sekali, Bu X wes bersiap untuk umroh kedua. Setelah semalem beributan nyari bolpoin untuk nyatet rekening transfer Pak Ustad. Sampai saya dipaksanya membongkar tas karena saya bilang ada bolpoin. Itupun dia transfernya nggak langsung full, padahal pasti sudah tahu harga 1.5 juta untuk kursi roda dan pengantar sekali umroh. Tapi wes embuhlah. Itu urusan dia.

Untuk Teman-teman yang tidak biasa bekerja dengan buku dan bolpoin, saat umroh pastikan juga bawa ya. Ini untuk mencatat hal-hal darurat; contact TL, muthowib, alamat dan no tlp hotel, no darurat keluarga yang bisa dihubungi, no paspor, ktp, visa, boarding, dll. Semua ada di HP? Iyes, tapi kita tidak pernah tahu kapan membutuhkan dan tetiba saja HP kita bermasalah. Kadang cara tradisional itu bisa nyelametin kita dari berbagai keribetan.

Pas malamnya saat saya mau tidur, kok ya ndadak Bu B itu cerita ke saya. Pas itu Bu X belum di kamar, mungkin masih belanja. Bu B tanya ke Bu X, berapa ongkos taksi dari hotel ke Ji’ronah pp ke Masjidil Haram. Karena kan itu nggak masuk biaya 1.5 juta. Bu X dengan enteng bilang, “Nggak tahu, dibayari ustadnya.”

Ya ampun Gusti, bisa tekor dadakan ini ustadnya mbayari pp taksi yang jelas ada harganya. Versi Bu B, sudah mengingatkan Bu X untuk tanya ustadnya dan bayar, tapi dia kayaknya sambil lalu nggak mau tahu atau nggak peduli. Duh, maafkan saja salah satu jamaahmu itu ya, Ustad.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *