
Saya memahami bahwa berbuat baik itu harus kita lakukan terus menerus. Termasuk saat kita umroh. Bisa jadi umroh kita diterima Allah bukan karena ritual wajib yang besar, tapi justru dari kebaikan-kebaikan kecil yang berlipat.
Ritual umroh cukup dikerjakan dalam 4-5 jam. Sudah pasti ada saja ujiannya untuk setiap orang secara berbeda-beda. Ada yang tiba-tiba sakit. Tidak bisa sholat di mesjid. Terpisah dari rombongan. Tertinggal. Lelah yang berkepanjangan. Tidak bisa ke Raudah. Tidak bisa makan tidur enak. Tidak bisa melihat Ka’bah. Tiba-tiba doyan shopping. Ribut terus dengan teman-teman. Dan masih banyak lagi ujian lainnya sesuai kapasitas iman masing-masing.
Ujian lain di luar ritual wajib umroh itulah yang justru lebih besar selama prosesi umroh 10 harian atau sesuai waktu yang kita pilih. Kesadaran sedang “ibadah” inilah yang membuat saya menahan kemarahan, melepaskan keinginan mendamprat orang, tidak mencela apapun, tidak bersangka buruk, tetap sabar, dll.
Tapi sungguh, manusia biasa seperti saya; tetap saja ada yang terlewat. Banyak kesalahan yang masih terjadi dan kadang tidak bisa saya kendalikan, meskipun tidak sampai saya lisankan beragam kekesalan itu.
Kesadaran banyak dosa itulah, yang membuat saya sebisa mungkin terus berbuat baik. Ini bukan untuk pamer, tapi bagaimana saya berusaha menyeimbangkan antara keburukan dan kebaikan; berusaha agar kebaikannya lebih besar.
Ada orang sakit, minta obat ini itu ya kalau ada, saya kasih saja. Sampai obat warung saya itu nyaris habis untuk orang.
Alhamdulillah saya sehat dan hanya perlu beberapa paracetamol untuk menghilangkan nyeri kaki karena terlalu lelah jalan.
Ada banyak ibu yang nggak bisa mengaktifkan Internet nya, wes saya kayak tukang HP dadakan. Mengecek satu per satu paket internet dan roaming mereka. Sampai aktif. Namun ada juga yang gagal, karena saya nggak ngerti pengaturan di HP-nya.
Ada orang minta diantar ke sini situ, ya saya antar saja selama bisa. Orang minta ditungguin karena takut ketinggalan rombongan ya saya temenin. Pokoknya sebisa saya.
Sempat juga saya kesal karena bantuin orang. Ada 4 orang ibu-ibu usai sa’i berteriak keras agar saya nungguin. Saya yang semula bersama beberapa orang, berhenti dan menunggu 4 orang itu. Begitu mereka beres pakai sepatu, salah satu bilang, “Bu Ari, kita ke mesjid, nggak pulang ke hotel.” Dan mereka langsung balik arah ke mesjid.
Saya terjeda dalam hati, “What? Gue suruh pulang sendiri?”
Mereka berempat sudah tidak terlihat. Kelompok saya yang sebelumnya (ke arah hotel) juga sudah tidak tampak. Saya menelepon Bu B. Dia mengatakan kalau dia dan suami sudah hampir sampai hotel. Nggak mungkin saya minta nungguin.
Percayalah, di tempat asing saat tiba-tiba sendiri; itu juga sempat menimbulkan was-was di hati saya. Entah pikiran 4 ibu-ibu tadi itu kepiye, saya nggak paham.
Saya mengaktifkan detect lokasi dan mengisikan arah tujuan ke hotel. Syukurlah, karena sendiri saya bisa jalan cepat dan wes sebentar saja wes sampai hotel.
Pas kepulangan karena kita harus download isi-isi form beacukai, kesehatan, nomor imei, ya wes saya isikan yang memerlukan. Saya pandu ini itu isian sampai beres. Ini banyak yang saling membantu, karena isiannya ya rada rinci.
Ada orang tersesat, ya saya telponkan TL-nya dan menunggu sampai dia dijemput. Wes, jamaah Indonesia memang banyak yang “super” kalau belanja, sampai tertinggal, terpisah rombongan.
Ada orang minta-minta kalau pas ada duit yang saya kantongi; saya kasih aja. Saya diwanti-wanti sama Ustad Sule, TL; jangan buka tas atau dompet saat ada orang minta-minta. Bisa aja nanti dompetnya jatuh, diambil orang, barang tercecer, dll.
Terus pastiin memberinya uang itu cepat. Kalau lama, tahu-tahu rombongan peminta-minta bisa berdatangan. Dan mereka nggak akan pergi kalau nggak kita kasih uang.
Versi saya, ibadah umroh yang sesungguhnya itu justru menyelesaikan ujian-ujian di luar ritual wajib dan terus berbuat baik selama waktu umroh. Bisa jadi itu bagian “pahala” terbesar yang harus kita lakukan demi sempurnanya umroh.
Saya yakin tiap orang yang umroh akan diuji dengan banyak hal, sesuai kapasitas dan kualitas iman masing-masing.
Konon makin baik kualitas iman seseorang, makin besar juga ujiannya. Jadi teruslah berbuat baik, agar ujian-ujian berat selama umroh tetap terasa ringan.
Ari Kinoysan Wulandari