Wonderful Umroh (12) Jaga Mulutmu…!

Merlion Park, Singapore. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Saya bertanya-tanya, kenapa grup umroh kali ini mulutnya kejam dan tajam. Saya yang anteng nggak usilan, nggak bikin salah pun kena semprot beberapa kali.

Setelah mengulik lebih dalam, saya menemukan beberapa alasan yang mungkin jadi penyebab.

  1. Situasi lelah, capek, panas, mungkin juga kurang tidur, kurang makan; sehingga mudah emosional dan berkata kasar.
  2. Bisa jadi mereka masih mengalami “keras” dan “kejamnya” kehidupan, sehingga sulit untuk berkata halus.
  3. Apa yang terjadi, tidak sesuai harapannya. Ingat, bagi mayoritas orang Jogja, biaya umroh dll itu nggak ringan. Bahkan ada yang nabungnya wes 20 tahun, ada yang masih punya utang ini itu, dll. Jadi begitu ada yang memicu emosi dikit aja, langsung nyolot.
    Wallahua’lam.

Berikut ini ucapan-ucapan yang masih saya ingat, tapi jelas sudah saya maafkan.

Pertama, pas di bus dengan ibu jamaah yang mengomel menyalahkan saya gegara dianggap tidak peduli dengan Bu X. Karena langsung, ya saya jawab tegas.

Kedua, ketika sedang antri lift karena saya mendahulukan para sepuh, pas giliran saya; jadi tidak muat (meskipun tidak ada tanda bunyi overload), seorang ibu jamaah nyolot saja, “Ya itu gegara tasnya kebesaran jadi nggak muat.”

Dia mengomentari tas backpack saya yang memang saat itu wes isi boneka unta, kelihatan besar, tapi yo tetap ringan saya gendong. Daripada ribut, saya wes langsung keluar lift. Tunggu antrian berikutnya saja.

Ketiga, pas antrian di lift juga. Saya sendiri karena menjauh dari kerumunan emak-emak, tiba-tiba seorang jamaah berseru, “Aku ke sana aja nemenin Bu Ari. Kasihan dia sendiri.”

Begitu dia mendekat, saya balas, “Bu, nggak usah kasihan sama saya. Santai aja.”

Kenapa saya balas? Karena di hukum energi “kasihan” itu buruk banget energinya. Jadi saya menolaknya.

Kalau misal kita nengok orang sakit parah, terus ngomong “kasihan ya dia.” Itu bukannya bikin ringan, tapi malah memperparah sakitnya.

Lagipula, itu jamaah apa perlunya kasihan sama saya? Saya umroh bukan dia yang bayarin, saya jalan bukan dia yang nuntun, nggak ngerepotin dia.

Bukannya mestinya saya yang bilang kasihan; suami istri, tapi dia berangkat sendiri; itu kalau nggak masalah finansial nggak cukup untuk berdua, kurang komunikasi, nggak akur, ya pasti ada sesuatu dalam rumah tangganya.

Sampai pas sa’i aja, dia itu VC sama suaminya kenceng keras-keras seolah biar semua orang tahu. Wheleh. Rumah tangga yang solid, nggak perlu validasi orang luar.

Keempat, saat sa’i saya pakai sandal karena telapak kaki yang sensitif. Sejak umroh pertama saya wes memastikan dari Ustad Pembimbing dan guru ngaji saya bahwa itu boleh.

Lhah pas kami harus break sa’i untuk sholat, ibu-ibu entah nggak tahu namanya, langsung meneriaki saya sambil nunjuk-nunjuk, “Lepas itu! Lepas sandal kamu! Ini tempat suci!”

Saya terkaget-kaget, tapi langsung menunjuk ke orang-orang yang masih sa’i dan memakai sandal atau sepatu. Entah siapa yang memberitahu dia soal boleh pakai alas kaki saat sa’i. Minta maaf? Melenggang begitu saja.

Kelima, pas kami sedang menunggu bus untuk tour; saya duduk-duduk saja bersisian dengan sekelompok bapak-bapak. Lalu mereka bertanya asal usul saya dan menanyakan jumlah anak saya.

Ketika saya jawab saya belum menikah, mereka malah tertawa rame. “Pasti Bu Ari terlalu milih-milih.” Dll ungkapan setipe.

Kalau saya masukkan hati pasti bikin luka; jadi saya jawab selow, “Iya Pak, beli kurma saja saya milih-milih apalagi jodoh.” Baru mereka diam.

Keenam, pas kami mau umroh kedua; seperti biasa ibu-ibu ngerumpi sana sini. Ngomongin belanjaan apa saja. Terus ada satu yang nanya, “Bu Ari belanja apa?” Saya lempeng saja jawab nggak belanja.

Mestinya kan yo diam to sudah dijawab gitu. Eh malah nyeletuk, “Kenapa nggak belanja? Nggak ada uang ya Bu?”

Lalu cerita semangat banget dia beli ini itu, untuk ini itu, yang versi saya semuanya ada di Indonesia. Kalau saya nggak besar hati, pasti wes perang mulut itu.

Ketujuh, pas di areal museum. Pas di depan gerbang itu nggak ada siapa-siapa, selain saya dan seorang bapak. Saya tahu dia dari grup kami. Saya memintanya baik-baik untuk memotretkan karena saat itu fotografer tidak disekitaran, TL dan Ustad Sule juga nggak ada. Dan itu bukan permintaan yang berat.

Tahu nggak jawabannya? “Nggak bisa, Bu. Panas banget, foto HP juga pasti gelap nggak kelihatan.”

Lhoh, dia belum tahu HP saya, belum pegang wes mengomentari begitu. Saya wes males aja, terus dalam hati cuman mikir, “Ya Allah, pertolongan besar apa yang Kau hilangkan karena dia nggak mau kasih pertolongan kecil?”

Entah kenapa, si bapak ini jadinya mau mengambilkan foto untuk saya, tapi yo percuma. Motretnya cuma kena separuh badan sebelah kanan, tulisan nggak kena.

Kedelapan, di rombongan ada suami istri yang masih muda. Mungkin sedang bulan madu atau perayaan pernikahan. Saya nggak kenal. Versi saya yo wes benlah mereka romantis, banyak kemesraan; itu lho ada juga yang nyeletuk tajam, “Kayak cuma dia aja yang punya suami. Pamer kemesraan sana sini.” Ya Gusti, geleng-geleng saya.

Kesembilan, pas di Singapura. Teman sekamar saya tanya sudah menikah atau belum. Begitu saya jawab belum, langsung komentnya. “Kenapa belum menikah? Pasti Bu Ari sulit diatur ya? Nggak mau nurut sama lelaki?”

Saya cuma bengong beberapa saat, sebelum menjawab. “Ya Bu, nanti saya cari yang bisa mengatur saya.”

Untungnya saya sudah terlalu kebal dengan aneka omongan yang kalau dimasukkan hati cuma bikin kesal. Tapi itu lho, mulut-mulut kok ya nggak direm sejenak saja. Padahal sedang ibadah.

Ya sudahlah, saya sudah memaafkan semuanya. Saya wes gak ingat lagi wajah-wajahnya. Kalau meditasi, saya buangin itu semua kenangan yang tidak menyenangkan.

Tentu nggak fair kalau saya hanya mencantumkan yang buruk. Ada juga ucapan-ucapan baik yang saya terima, dan saya syukuri betul. Alhamdulillah.

Pertama, pas di kamar, Bu B bilang semua foto saya tertawa lebar. Gembira, bebas, lepas. Dia bertanya apa saya pernah pakai behel, kawat gigi. Menurutnya gigi saya rapi sekali dan bentuknya kecil-kecil rata (orang Jawa bilang dengan pujian: untune miji timun). Saya bilang enggak. Aslinya begitu. Dia bilang wah, bagus.

Saya seperti disentil oleh Tuhan, bahkan hal yang versi saya biasa saja itu bisa “istimewa” bagi orang lain. Gigi saya tidak putih karena pengaruh obat setep (panas kejang waktu kecil). Pas saya wes kerja mapan, saya ke dokter untuk memutihkan gigi. Dokter bilang bisa, tapi nanti lapisan pelindung gigi ilang; bikin gigi ngilu kalau makan panas atau dingin. Saya nggak jadi memutihkan gigi dan mematuhi saran dokter; sikat gigi 2-3x sehari, bersihin karang gigi 6-12 bulan sekali.

Kedua, ketika ibu-ibu ada yang bilang; “Bu Ari, enteng banget langkahnya. Gembira terus. Seperti nggak habis-habis energinya.”

Masyaallah, tentu saya yo capek seperti mereka. Mungkin karena wes biasa jalan atau lari; dan syukur saya yang berlimpahan karena dipanggil umroh lagi, jadi terlihat gembira saja.

Ketiga, pas ibu-ibu masih banyak yang beribetan soal paket internet; ada yang terdengar keras. “Kamu kok wes bisa WA-nan. Katanya Internet belum aktif?”

“Aku nanya Bu Ari, dibantuin terus langsung bisa. Ke dia aja, semua pasti bisa.”

Saya tahu itu hiperbola. Jelas saya nggak bisa semua hal. Cuman ya gegara itu, saya lupa memaketkan roaming Internet berapa banyak HP dan membuat ibu-ibu gembira; karena sudah bisa komunikasi dengan keluarga di tanah air. Hal kecil yang menghangatkan hati.

Keempat, pas di Singapore; TL kami Pak Rusli, mengatakan saya kecil-kecil cabe rawit. Full energy dan berani eksplor tempat wisata tanpa kehilangan kewaspadaan. (Ini saya nggak tahu, dia lihat dari mana; cuman karena saya ikut rombongan: saya sadar soal waktu, kiri kanan, orang-orang sekitar, lihat arah, dan posisi atau lokasi TL-nya; jadi nggak bikin kasus dengan orang lain).

Pak Rusli menanyai saya, apakah umroh ikut semua agenda. Dia juga sudah pernah umroh beberapa kali, dan sampai Singapore itu sudah klenger, nggak ada energi. Tapi saya terlihat masih full baterai.

Saya bilang, kalau waktunya makan, saya makan; waktunya tidur, saya tidur; banyak minum. Itu kunci menjaga energi. Tentu sebulan sebelum umroh, semestinya tiap jamaah kudu wes jalan atau lari sekurangnya 5-7 km tiap hari. Lebih kurang sama dengan jarak putaran thawaf dan sa’i.

Kami pun tertawa bersama. Sadar, kalau mayoritas orang Indonesia; nggak punya kebiasaan olahraga.

Alhamdulillah. Ucapan-ucapan yang baik, lebih menghangatkan hati. Itu kenapa, sekesal apapun saya; lebih baik saya diam, meskipun di hati yo ngomel-ngomel; tapi sekurangnya saya nggak bikin konflik eksternal. Konflik internalnya nanti saya bersihkan dengan meditasi.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *