Berjuanglah…!

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

BERJUANGLAH…!
.
.
“Jadi Bu Ari sepakat kalau orang miskin karena UKT mahal nggak perlu kuliah?”
.
Wes kalau menjawab pertanyaan DM-DM kaum pesimis seperti itu bisa bikin saya “emosi jiwa” sendiri lho 😂 Jadi saya menjawabnya yo wes selow-selow saja. Sebagian nggak saya respon karena banyak “memburukkan” saja.
.
Ya, kalau sudah tahu miskin, semestinya malah berjuang lebih keras, lebih banyak usaha untuk bisa kuliah. Karena pendidikan tinggi itu satu-satunya cara tercepat untuk memangkas garis kemiskinan. Masalahnya, kadang yang miskin itu nggak mau keluar dari kondisinya karena merasa wes jalan nasibnya begitu. Ya repot laaah.
.
Dan sekarang dengan UKT yang (hampir semua) tinggi di banyak perguruan tinggi, kita tidak bisa semena-mena menuntut agar diturunkan; apalagi digratiskan. Karena PTN-PTN berstatus otonomi atau PTNBH (berbadan hukum) itu harus cari duit sendiri untuk membiayai operasional pendidikan tinggi yang nggak murah itu. Silakan cek tulisan; Saya Mendukung Pendidikan Tinggi Murah dan Mudah di FB saya.
.
Nggak dapat kita pungkiri, jumlah kaum miskin di Indonesia masih ada 30-35% dari total lebih kurang 300 juta penduduk. Artinya sekitar 90-105 juta orang berada di garis miskin; yang mereka ini layak mendapatkan segala bantuan langsung dari pemerintah. Meskipun realitanya sering bantuan itu justru salah sasaran. Sampeyan pasti sudah banyak melihat di lapangan.
.
Lalu sekitar 50-60% penduduk kita masuk golongan menengah. Ini semestinya sudah tidak memerlukan bantuan-bantuan langsung dari pemerintah. Namun karena inflasi yang tinggi, dampak pandemi, gaya hidup yang aduhai itu, sebagian dari sini ada sekitaran 50% dari golongan menengah yang wes rentan masuk golongan miskin; tapi nggak bisa minta klausul atau status sebagai orang miskin.
.
Misalnya mereka yang kerja sebagai pegawai tetap, PNS, dll kerjaan tetap baik pemerintah atau swasta di level bawah. Status mereka gajian tiap bulan, tapi karena gaji rendah; realitanya duit nggak pernah cukup untuk kebutuhan hidup sebulan dengan harga-harga yang terus membubung. Celakanya juga mereka ini, kalau punya anak-anak mau kuliah nggak bisa minta keringanan karena status kerja ortunya yang pegawai tetap.
.
Nah kalau yang riil kelas menengah cenderung ke atas ya wes ra masalah. Biasanya mereka wes kuat secara ekonomi, nggak dibantu ya oke, dibantu ya lebih baik. Sementara golongan atas nggak usah dibahas. Ini biasanya mereka inilah penyumbang pajak-pajak terbesar dan jumlahnya 5-10% saja dari total penduduk. Beberapa yang sangat tinggi kekayaannya malah bisa dihitung dengan jari.😀
.
Jadi bagaimana kalau kita di posisi miskin? Yo berjuang ekstra, hidup-hidupan. Saya dengan lima bersaudara, kuliah S-1 juga dalam keadaan ruwet. Saking miskinnya kami itu, ibarat kata hari ini bisa makan, besok embuh; jadi kok berani-beraninya mikirin sekolah tinggi.
.
Itu karena saya sadar kalau ijazah SMA dan saya kerja sebagai editor buku digaji 70-100 rb sebulan di Jogja (tahun 1997). Tapi kalau S-1 gaji saya bisa 250-400 rb sebulan. Ini saja sudah bikin saya mikir, piye caranya bisa dapat ijazah S-1.
.
Dan begitu Bapak memberitahu saya di semester 3 (tahun rusuh 1998) kalau saya harus pulang atau kalau kuliah cari duit sendiri, saya tetap memilih ngotot tinggal di Jogja. Pikir saya, masih ada tabungan (meskipun sedikit, kebiasaan menabung tetap penting), saya bisa nulis, bisa kerja, sehat fisik mental. Mosok sudah masuk UGM njur DO, apa kata dunia 😂
.
Jadi begitulah, saya menemui bapak ibu kos saya. Mau minta duit setahun kos yang baru saya pake sebulan, agar saya pindah ke kos yang lebih murah biar bisa lebih panjang masa. Tapi karena beliau guru besar, saya beruntung. Tetap boleh kos, kalau telat bayar pun oke. Wes amanlah saya. Meskipun pada realitanya saya nggak pernah telat bayar, hanya meminta bayar bulanan, nggak tahunan. Diperbolehkan sampe saya lulus.
.
Berjibaku kerja sambilan macem macem saya. Yo dagang, yo jadi guru les anak SD, SMP, yo nulis, yo jaga wartel, yo nerjemahin, yo jadi guide dadakan.
Westalah pokmen tidur saya mung 3-4 jam sehari. Belum kalau kegiatan mahasiswa yang saya ikuti ada event, wes waktu tidur saya makin sedikit.
.
Eeh, meskipun banyak gaweyan serabutan gitu, saya yo tetap aktif ikut kegiatan mahasiswa di UKM-UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang cocok. Yo melu demo juga… hihi… pokoknya ya kerja keras tenan, tapi saya happy saja. Mungkin karena kultur Jogja yang sederhana dan nggak glamour pamer, saya yo berasa sama aja dengan temen temen saya yang sebenarnya kaya dan kuat finansial.
.
Tapi ya itu bagian dari perjuangan. Dan begitu lulus, tenan saya berasa plong. 3 tahun 1 bulan yang melelahkan itu tunai terbayar saat wisuda 22 November 2000. Nilai? Cumlaude-lah. Mosok saya bekerja begitu keras, Allah nggak bantu kuliah saya? Itu saja prasangka baik saya. Dan kuliah cepet saya itu bukan karena saya pinter atau buat gagah-gagahan, tapi ben gak bayar biaya kuliah lagi. Kalau kamu kuliah berjibaku cari uangnya seperti saya, pasti akan sangat tenanan atau serius kuliah dan nggak mau lama-lama. Ituuu….!
.
Tanggal 1 Desember 2000 (toga saja belum saya balikin), saya wes ngantor jadi editor buku. Gajinya 350 rb dll tambahan wes jadi 550-600 rb sebulan; saat kos di Jogja rerata masih 50-100 rb. Nggak lama di situ, saya di-hire PH di Jakarta yang gapoknya saja wes 10 juta tahun 2000-an. Jadi berasa sebagai fresh graduate, saya mendadak kaya raya. Dan itu yang bikin saya percaya, kalau pendidikan tinggi adalah jalan cepat memangkas kemiskinan. Alhamdulillah.
.
Nah, karena saya kuliah begitu rupa; saya yo bisa mendesak adik-adik saya kudu kuliah. Wes embuh caranya nanti. Yang penting lolos seleksi PTN dulu, bayar uang kuliah dll semester pertama; lainnya yo berjibaku melawan waktu. Kudu kerja sambilan, kudu jualan, kudu cari beasiswa.
.
Adik saya ada yang cuti kuliah dulu, buat kerja ngumpulin duit SPP. Ada yang sampe nggak berani pulang kos karena wes telat bayar 3 bulan dan pintu kos ditungguin ibu kos galak. Ada yang 3 km jarak kosnya kudu jalan kaki kalau nggak ada temen yg se-jam kuliah. Dll macam perjuangan kami.
.
Alhamdulillah kok ya embuh piye caranya, kami semua sarjana. Dan tenan, dengan ragam gaweyan yang berbeda, hidup kami lebih baik daripada bapak ibu kami. Sekurangnya anak-anak kami bebas makan, bebas main, bebas boleh milih sekolah. Kami juga tidak berasa itu beban, karena itu bagian tanggung jawab sebagai orang tua.
.
Bayangpun kalau dulu saya nggak ngotot kuliah sampe lulus. Saya nggak punya “power” untuk mendorong saudara-saudara saya kuliah. Dan pasti dengan pendidikan kurang dari S-1, kami jelas nggak bisa mengakses gaweyan-gaweyan berpenghasilan baik.
.
Jadi bagaimana pilihanmu terhadap pendidikan tinggi, itulah yang akan jadi jalan perubahan masa depanmu. Tuhan menyuruh kita berusaha, bukan sukses. Tapi kalau usaha kita mati-matian sampe titik maksimal, kayaknya nggak mungkin juga dengan KASIH SAYANGNYA yang Agung, Tuhan nggak membantu kita.
.
Kalau sadar diri miskin, justru kita harus berjuang lebih keras dari mereka yang sudah punya label cukup. Tuhan hanya mengubah nasib orang yang mau memperbaiki dirinya sendiri. Bukan yang menggantungkan bantuan orang. Dan yang penting, jangan protes melulu. Sebagian besar protes, tidak berfungsi dengan baik di tengah kekuasaan pihak lain.
.
.
.
Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *