Kemarin lepas ngisi talkshow di Penerbit Andi, saya sempat ngobrol dengan Mbak Anna dan Mbak Nita tentang kerieweuhan industri buku sekarang ini. Model dan gaya baca buku yang sudah berubah. Aneka platform baca non komersial. Aneka platform penulisan yang nggak berbayar. Monopoli toko pasar. Kebijakan perusahaan. Kelakuan penulis. Dan banyak hal.
Ya, dunia industri kreatif buku telah berubah. Saya masih mengalami zaman keemasan sebagai penulis kesayangan; itu bisa lho begitu tanda tangan kontrak cetak buku langsung 25 ribu eksemplar. Beberapa bahkan ada yang 50 ribu eksemplar dan langsung ilang dari display dalam sebulan saja; itu berarti harus cetak ulang lagi.
Lalu beranjak mulai pasar fiksi turun, tapi ya nggak ngedrop banget. Sekurangnya tiap tanda tangan kontrak saya dengan penerbit, sekali cetak 5 atau 10 ribu eksemplar masih kepegang. Dan jumlah cetakan inilah yang selanjutnya jadi acuan umum penerbit besar untuk setiap kontrak penerbitan buku massal.
Model, selera pasar berubah. Fiksi yang jenuh itu mendorong penerbit mengeksplorasi pasar nonfiksi habis-habisan. Saya dengan mainstream fiksi, pun harus belajar cepat nulis nonfiksi. Untuk bisa menulis buku nonfiksi yang bagus. Untuk dapat uang baru. Untuk survive. Dan ya kemudian saya beradaptasi cepat dengan segala perubahan industri perbukuan; termasuk kalau harus “menulis yang tidak sehati” dalam beberapa kasus.
Saya mendengar banyak penulis yang “to much” permintaannya macem macem pada penerbit. Masih bagus kalau bukunya laku, lha kebanyakan yang berulah itu justru yang buku bukunya jeblok di pasaran. Jadinya kan penerbit ya males ngurusin naskah mereka. Apalagi kalau penerbitan jalur standar dibiayai penerbit.
Penulis berulah itu kayak apa siy? Banyak. Di antaranya tidak terima dengan perubahan sistem. Sekarang buku diterbitkan, dicetak terbatas (50-200 eks), lalu ada sistem POD, ebook, nggak masuk toko buku mayor itu sebenarnya hal biasa. Tapi penulis yang nggak paham teriak teriak penerbit mayor kok sistem POD.
Lha kalau dicetak ribuan eks nggak laku, kamu mau gantiin duitnya? Mikir dong. Wes gitu penulisnya lempeng pula nggak mau bantuin promosi. Haish, saya bae sebel sama penulis yang begitu. Apalagi penerbit yang ngeluarin duit.
Makanya saya waktu diminta ditanya, apakah mengizinkan seluruh buku saya diformat versi ebook dan pembaruan kontrak? Saya langsung bilang oke. Nyetak buku itu gampang, njualnya itu lho yang nggak mudah. Dan versi ebook adalah salah satu cara yang lebih mudah, lebih murah memasarkan buku.
Penulis berulah juga minta minta honor untuk jatah promosi. Piye to… nggak tahu ya kalau penerbit bikin acara itu wes modal buat bantuin ngiklanin bukunya, situ malah minta honor. Eeh situ waras? 😆😅
Penulis berulah juga ngejar ngejar terus kapan naskahnya terbit. Biyuuu… nggak tahu ya ada naskah saya antri 7 tahun baru terbit? Kenapa? Ya karena penerbit harus duluin buku buku yang sudah jelas duitnya. Bayar pegawai itu pake duit, bukan pake daun…
Penulis berulah banyaklah jenisnya; ntar bisa sebuku sendiri nyeritain kelakuan minus penulis pada penerbit. Dan itu semuanya bikin orang di penerbitan kesal. Biasanya males beribet ya wes blacklist saja dari penerbit. Kalau nggak bayar biayaiin sendiri no publish. Yach versi saya siy serem.
Saya mungkin bukan penulis yang seluruh bukunya hits di rangking teratas. Saya belum pernah terima royalti 1 milyar. Tapi jelas buku buku saya banyak yang bertahan lebih dari 10 tahun dengan terus menerus memberi uang penjualan. Dan masih bisa dengan enteng menyambung menerbitkan buku buku baru.
Percayalah itu tidak akan pernah terjadi kalau saya jenis penulis yang berulah. Saya sadar betul bahwa industri itu tentang perolehan uang. Dan hukum pasar berlaku, siapa yang menguntungkan itu yang akan terus kita ikuti.
Jadi penulis masuk industri, ya kita harus kompromi, membantu, mengikuti sistem. Bukan sakarepe dhewe. Kalau mo terbitan pake duitmu sendiri siy terserah, tapi kalau pake duit penerbit, distribusi juga, marketing iya, dll itu ya ikuti aja aturan mainnya.
Harus saya sampaikan kepada para penulis, yang pengin buku bukumu laris bestseller itu nggak cuma kamu penulisnya; tapi semua komponen industri penerbitan. Karena kalau bukumu laris, itu mensupport banyak orang yang bekerja di balik layar. Jadi baik baiklah, kompromi, kerja sama, membantu promosi, itu bagian dari tugas penulis buku-buku bestseller.
Ari Kinoysan Wulandari