Membangun Perasaan Kaya secara Pribadi

Salah satu kotak uang di rumah saya dan dibuka jelang lebaran seperti ini. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Alhamdulillah, saya menganggap diri sendiri wes kaya; dengan standar pribadi. Kaya versi saya itu kebutuhan sebagai manusia wes banyak terpenuhi.

Sekurangnya kita sebagai manusia ada tiga kebutuhan, yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Nah, kalau kebutuhan primer dan sekunder sudah terpenuhi, sebenarnya orang sudah boleh berasa “kaya”. Tapi mungkin karena kultur kita itu kebanyakan “sambatan”, “berkeluh kesah”, kadang orang kaya pun rela “memiskinkan” diri demi bansos, BLT, dll bantuan yang tidak seberapa.🙏

Kalau saya, alhamdulillah kebutuhan dasar (primer) –sandang, pangan, papan layak: sudah terpenuhi; keinginan pertama (sekunder) –sekolah tinggi, investasi ilmu pengetahuan, investasi dasar, tabungan: mayoritas terpenuhi; keinginan kedua (tersier) –haji, umroh, keliling Indonesia, keliling dunia, dll hobi bercharge tinggi: beberapa terpenuhi, beberapa sedang diusahakan. Dan yang penting, saya tidak punya utang-utang yang membebani.

Kondisi dan situasi itulah yang jadi dasar saya menyebut diri “kaya”, kecukupan dalam banyak hal. Syukur terimakasih ya Allah atas segala nikmat dan karunia-Mu❤️🙏

Pun kalau ada situasi tidak terduga, tidak ada penghasilan (seperti masa pandemi kemarin), sekurangnya saya masih bisa survive hidup layak selama beberapa tahun. Tanpa perlu menjadi tanggungan pihak lain atau berhutang. Dengan catatan semuanya normal, artinya saya dalam keadaan sehat; tidak ada penyakit yang memerlukan biaya tinggi.  

Yach, kondisi merdeka finansial yang saya bangun sedari saya punya penghasilan dan tahu persis bahwa kurang garam sesendok pun, kita tetap harus beli dan bayar pakai uang. Tentu dengan gaya hidup yang tidak amburadul sakarepe dhewe saat membelanjakan uang.

Karena sifat uang itu, ketika masih berupa angka kayaknya besar, tapi begitu dipegang dan diatur ini itu tahu tahu loooos, kok sudah habis 😀🙏

Kondisi saya tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan orang lain. Dengan saudara-saudara dan ipar-ipar saya saja, rasanya saya paling miskin kalau dihitung dari kepemilikan aset dan uang. Apalagi kalau dibandingkan orang-orang yang kaya-kaya dengan kekayaan trilyunan. Wes jelas gak ada apa-apanya.

Tapi ya, hidup saya bukan hidup mereka. Saya bekerja, menikmati proses jatuh bangunnya, dan menikmati hasilnya dengan suka cita. Saya tidak terlalu ambil pusing dengan gaya hidup yang ameh-aneh. Versi saya, hiduplah sesuai dengan kemampuan, cari yang aman, nyaman, dan bikin happy. Itu prinsip yang saya anut.

Jadi, saya tidak pernah terganggu ketika saudara atau ipar saya beli (lagi dan lagi) rumah, tanah, mobil, saham-saham, atau aset lainnya. Pun dengan teman-teman dekat yang terus menambah kekayaan. Atau dengan tetangga tetangga yang beli ini itu yang bersifat menambah aset. Saya justru ikut mensyukurinya, turut senang dengan kegembiraan mereka, dan tidak tergoda ikut-ikutan membeli (apalagi memaksakan diri) sesuatu yang pada dasarnya tidak saya perlukan.

Mungkin itulah yang membuat hidup saya tenang. Tidak kemrungsung. Tidak terobsesi menghalalkan segala cara demi uang. Bisa bekerja dengan tenang. Mengerjakan apa yang saya senangi dan menghasilkan uang. Tidak terpengaruh dengan provokasi nggak wajar demi mendapatkan uang. Dan tetap senang kalau saya harus mengeluarkan uang untuk berderma atau sedekah dalam batas batas yang telah saya tentukan.

Yach, hidup saya memang sebegitu biasa-biasa saja. Sampai saya merasa kok hidup begini-begini saja ya, mengerjakan segala rutinitas yang sepertinya sudah saya kenali dengan baik. Mengerjakan segala hal dengan gembira, perlahan, tenang, rampung, dan menyenangkan.

Nah sebenarnya; ketenangan hidup itu versi saya bisa dilakukan dengan membangun perasaan kaya. Percayalah, kalau ada pertanyaan siapa yang kaya di kelas ini, misalnya, pasti tidak akan ada yang mau tunjuk jari atau menyebut nama.

Kalau saya menyebut sudah kaya dengan kriteria yang telah saya sebutkan. Memiliki perasaan kaya inilah salah satunya yang membuat kita ringan dan senang mengeluarkan uang. Lalu karena kita gembira, energi positif, ya uang datang datang lagi. Kalau sebaliknya orang pelit makin melarat. Karena uang akan malas datang dan malah semakin banyak kebutuhan tidak terduga karena adanya energi negatif merasa miskin. 

Kita bisa melakukan hal-hal berikut ini untuk membangun perasaan kaya.

Pertama, syukur yang melimpah. Apapun keadaan hidupmu bersyukurlah yang banyak. Bahkan kalau nggak ada uang, syukuri saja keberadaan pasangan, anak-anakmu, sekolahmu, pekerjaanmu, rumahmu, dll yang bisa membuatmu menyungging senyum bahagia.

Kedua, anggarkan di depan untuk sedekah berderma. Islam punya aturan zakat 2.5 persen dari penghasilan atau kekayaan. Tapi saya memilih 10-20 persen dari penghasilan untuk segala jenis derma ini. Lumayan banyak dan bikin perasaan saya serasa orang kaya ❤️

Ketiga, bangun situasi kaya. Di rumah saya, ponakan saya pernah bertanya kenapa di rumah Bude Ari di mana mana ada tempat uang (yang ada isinya). Yach karena ini memberi pikiran di bawah sadar saya kalau saya banyak uang. Jadi kalau ada uang yang dikeluarkan untuk hal tidak terduga, pikiran saya; tenang saya masih punya uang di sana sini.

Bisa pakai celengan yang diisi uang dengan besaran tertentu. Saya memiliki celengan recehan, 2000-an, 5000-an, 10.000-an, 20.000-an, 50.000-an, sampai 100.000-an. Semua ada isinya meskipun selembar. Saya letakkan di tempat tempat yang berbeda. Pokoknya kena ingatan saya, di sana sini ada uang.

Kamu boleh memilih cara yang berbeda yang bikin dirimu merasa banyak uang.

Keempat, belanja hati hati tapi dengan gembira. Maksudnya ya cek cek kebutuhan, mana yang lebih murah terjangkau, mana yang diskon, dll. Tapi saat berbelanja jangan njegadul lihat tagihan yang beranjak ke dua digit misalnya, happy aja. Alhamdulillah ini semua kebutuhan terpenuhi. Nanti duit datang lagi.

Kelima, rajin rajin cari kerjaan tambahan. Iya, ini bener lho. Kita sering tidak cukup hanya dari satu sumber penghasilan. Lakukan saja yang bisa dan senang. Suka jualan ya berdagang, suka ngontent ya bikinlah yang bagus, suka masak ya boleh buka PO masakan dll. Intinya, mendapatkan penghasilan lain di luar “pokok” itu juga bikin kita berasa kaya.

Keenam, cek gaya hidupmu. Yach, percuma juga kalau penghasilan nambah terus, tapi gaya hidupnya juga makin tinggi. Biaya gaya hidup yang mahal, yang besar bisa bikin orang merasa miskin dadakan.

Ketujuh, jangan baperan. Saudara beli rumah baru ketiga, iri. Tetangga beli tas branded njur kesal, kawan arisan beli berlian malah dengki, dll. Yach beli saja saat rezekinya cukup dan sesuai. Baperan ini lho yang bikin orang sering menghalalkan segala cara demi tidak kalah tampil “wah” dan dianggap kaya. Hayaaa… saya siy ogah.

Kedelapan, hidup sederhana. Yach ini bukan berarti hidup ala orang miskin miskin ya. Jelas bukan. Hidup sesuai kemampuan.  Saya tidak masalah pake tas, baju, sepatu, dll enggak merek branded; tapi kualitasnya prima, nyaman, aman, dan selamat dipakai 😀❤️🙏

Kesembilan, miliki hobi yang produktif. Artinya, kalau di luar pekerjaanmu kamu masih punya hobi yang menghasilkan; percayalah kamu akan irit waktu untuk ngerumpi, ghibah, iri dengki, julid, dll yang bawa energi negatif itu. Tapi akan lebih fokus untuk bertekun pada hobi yang menghasilkan uang.

Kesepuluh, ya dekat dengan Tuhan. Minta dijadikan kaya lahir batin dunia akhirat. Karena sejatinya kekayaan adalah segala hal yang kita nikmati, kita pake, kita gunakan untuk kebaikan hidup; bukan segala sesuatu yang kita miliki. Rumahmu boleh sepuluh, tapi pasti yang kamu tinggali ya satu rumah. Itu pun kalau kamu tidur, ya pasti cuma satu ruang kamar. Iya kan?

Mari kita nikmati hidup dengan sukacita. Bersyukur dengan segala kekayaan yang kita miliki. Karena sering, yang kita anggap “tidak berharga” itu adalah “kekayaan yang besar” bagi orang lain.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *