Ramadan kayaknya nggak lengkap tanpa buka bersama. Mulai dari keluarga, kerabat, tetangga, instansi, perusahaan, yayasan, komunitas, dll mengadakan buka bersama. Kemasan dan modelnya pun beragam. Ada yang di hotel, di resto, di rumah, di fasum, di taman, di tempat wisata, dll tempat yang memungkinkan. Menunya pun beragam, dari yang model angkringan sampai elit ala bintang lima.
Dulu ketika saya jadi mahasiswa S1, betapa senangnya dapat undangan buka bersama. Meskipun itu undangan dari kampus dan harus ikut bayar (kecil saja) karena disubsidi kampus. Senang, gembira, makan minum sepuasnya dan jumpa alumni lintas bidang, lintas angkatan, dan semua sesepuh kampus hadir.
Lalu bekerja, undangan buka bersama saya pun bertambah. Makin tahun seiring bertambahnya pekerjaan dan relasi, undangan ini pun terus bertambah. Lalu menjadi beberapa catatan kebiasaan saya; diundang buka bersama berarti harus bawa sesuatu “buah tangan” untuk tuan rumah. Dan ini sering jadi problem tersendiri, saat waktu begitu mepet dan buru buru.
Karena kebiasaan itu, saat bekerja itu sebelum Ramadan saya wes nyiapin “buah tangan” yang akan saya bawa kalau datang ke undangan buka bersama.
Tidak semuanya begitu. Saya hanya menandai kebiasaan di kalangan tertentu. Makin ke sini, undangan yang saya terima makin banyak. Dan karenanya saya wes mulai “mangkir”, “melipir”, tidak datang karena bersamaan jadwal, tidak terlalu kenal, tidak ada “unsur gaweyan” dll pertimbangan.
Tibalah masanya saya resign dari PH sebagai pekerja tetap dan kembali jadi freelancer. Duuus, jumlah undangan buka bersama saya pun terjun bebas. Hanya beberapa biji dan senang bisa menghadirinya. Yach, konon makin penting, makin sibuk, makin kaya seseorang, makin banyak relasi undangan buka bersamanya. Pun sebaliknya.
Saya kembali ke dunia freelancer yang tidak banyak undangan buka bersama dan atau undangan kondangan hajatan; kecuali yang benar benar mengenal atau ya ada urusannya dengan gaweyan. Sepertinya menyenangkan untuk beberapa saat. Toh, ya tambah luas lingkungan dan relasi, tambah pula undangan buka bersamanya.
Lalu saya membuat aturan untuk diri sendiri, mana saja undangan buka bersama yang saya harus datang.
- Mengenal betul pihak pengundang dan memiliki hubungan yang baik.
- Undangan datang lebih dulu. Kalau ada yang bersamaan jadwal, yang belakangan harus ditinggalkan. Apalagi kalau yang awal sudah dikonfirmasi hadir.
- Tempat dan jaraknya terjangkau. Kalau malam tidak riskan untuk perempuan pulang tanpa pengawalan. Ada undangan dari orang-orang yang saya kenali baik, tapi karena tempatnya jauh dan riskan kakau pulang malam, saya pilih menyampaikan maaf tidak hadir.
- Undangan orang-orang dekat (keluarga, kerabat, tetangga, sekitaran yang dekat). Kalau tidak ada ujur atau sudah menyanggupi hadir di tempat lain, wajib datang.
- Undangan buka bersama yang tergabung dengan rapat, meeting perusahaan, instansi, atau klien. Nah ini jelas kudu hadir, karena sebenarnya urgensinya meetingnya itu; bukan buka bersamanya.
- Pertimbangan lain berkaitan dengan kedekatan dan orang-orang yang diundang. Kalau tidak terlalu kenal, ya skip aja.
- Jangan takut mengatakan tidak hadir kalau menurut anda banyak hal yang membawa “masalah”. Misalnya anda diundang A yang baik, tapi di sana ada potensi anda jumpa Z yang jadi musuh bebuyutan karena dendam keluarga, ya tidak usah datang. Daripada gegeran di acara buka bersama orang. Eeh, saya pernah melihat kejadian setipe ini.
- Pertimbangkan kesehatan. Kelihatannya mung makan minum, jumpa haha hihi, tapi beneran lho tiap hari datang ke buka bersama itu bisa lelah jiwa raga. Jadi kalau memang berasa memberatkan secara pribadi, boleh tidak hadir.
Dll pertimbangan yang kadang hanya bisa diambil pas dekat hari H undangan buka bersama. Misalnya hujan badai atau bencana lainnya, mendadak sakit, dll. Jangan takut mengatakan tidak hadir, kalau memang memberatkan. Hadirlah kalau anda yakin bisa senang dan sukacita.
Tahun ini, saya menerima undangan buka bersama tidak banyak, sekitar 15-an dan 9 atau 10-an yang saya hadiri. Itu saja rasanya sudah “lelah” betul. Hanya makan minum bae, sekali datang butuh waktu 3-5 jam. Berangkat lepas ashar jam 15.30 an, ramah tamah, buka puasa, sholat maghrib, pulang nyampe rumah wes jam 20 atau 21 tergantung jauh dekatnya. Belum macetnya. Belum persiapannya.
Mana begitu besoknya kerja nggak libur… malem harus bangun sahur pula… biyuuu… biyuuu… kalau nggak inget pertimbangan di atas, saya memilih mangkir absen kok. Lha daripada buang waktu, kan kalau buka di rumah 30 menit wes cukup.
Apapun itu, saya tetap senang dengan semangat buka bersama pas Ramadan. Tidak selalu jadi pengalaman yang menyenangkan, tapi itu jadi bukti bahwa kita ini masih bagian dari masyarakat dan ada yang mengenali kita untuk diajak silaturahmi. Itu siy yang paling berharga. Dan ya orang kita kan masih senang grubyak grubyuk, orang lain bikin apa, ya ngikut bae lah… hehe…
Bagaimana cerita buka bersama anda? Pasti banyak yang berkesan, entah pahit atau manis. Entah menyenangkan atau membagongkan 😀🙏
Lebaran tinggal beberapa hari. Wes penuh mall dengan orang belanja, makin berkurang orang yang tarawih di mesjid. Semoga kita nggak lupa justru di saat saat terakhir Ramadan banyak pahala istimewa, terutama malam lailatul qadar. Semoga Allah memberikan kita kesempatan mendapatkannya, menerima semua amal ibadah kita, mengampuni semua dosa, dan mengabulkan semua doa kita sepanjang Ramadan. Amin.
Ari Kinoysan Wulandari