Kalau Kamu Harus Jadi Generasi Sandwich

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Seseorang sebut saja A curhat kepada saya bahwa dia merasa “sakit hati” dengan ucapan kawan kawan sejawatnya yang mengatakan bahwa dirinya kerja bertahun-tahun (sudah lebih dari lima tahun) tapi nggak punya apa-apa. Bahkan motornya pun masih motor lama yang dibeliin bapaknya untuk kuliah dulu. Mereka nggak tahu kalau dirinya menanggung ibunya yang sakit (sekarang tinggal kontrol rutin dan beli obat) dan adiknya yang masih kuliah di luar kota.

 Yach, dialah tulang punggung keluarga setelah bapaknya meninggal (tentu tanpa pensiunan) dan ibunya tidak bisa lagi berdagang karena sakit). Itu sudah sejak adiknya kelas dua SMA dan kini hampir selesai kuliah.

Intinya kalau istilah sekarang, kondisi dia ini disebut generasi sandwich, orang yang bekerja dengan tanggungan ganda di luar dirinya.

Dia meminta saran masukan saya untuk menghilangkan sakit hati dan kejengkelannya itu. Duuuz, kisahnya mengingatkan pada saya kisah yang juga saya alami tahunan silam. Jadi alih alih langsung memberikan saran ABCDZ saya memilih menceritakan pengalaman hidup saya.

Saat bapak saya meninggal (tentu tanpa pensiunan atau warisan), keluarga saya beneran terpuruk. Kami berenam saudara (mestinya bertujuh, satu sudah meninggal) belum ada yang kerja mapan, belum mentas, masih kemruwet sekolah, hutang bapak ibu banyak dan di mana-mana, dan tentu saja ibu yang nggak bekerja. Keluarga besar? Ehm, bukankah lumrah ya kalau kita terpuruk mereka justru menjauh? Silakan terjemahkan sendiri keadaan itu.

Saya sebagai anak sulung kayak dibanting jatuh terhempas dari pohon kelapa yang tinggi. Sakit, remuk, bingung, putus asa. Kerja pun dengan duit yang belum seberapa, untuk menopang makan kami sehari hari saja tidak cukup.

Itu yang membawa saya melamar ke Kompas karena saat itu gapoknya wes standar Jakarta 5 jutaan (tahun 2000-an) dengan lain lain fasilitas bisa terima 7 juta tiap bulan. Kayaknya lebih cukup daripada gaji saya sebagai editor buku di Jogja yang mung kisaran 700 rb an setiap bulan. Eeh, tapi Jogja memang begitu sejak dulu ya. UMR rendah yang sampai sekarang pun belum sampai 2 juta. Sudah hampir 25 tahun dari saya mulai kerja saat itu. Pokoknya kalau cari uang, Jogja bukan pilihan.

Pikir saya, kalau saya dapat 7 juta, dengan biasa hidup 700 rb an, lainnya bisa memback up ibu dan adik adik saya. Tapi yo takdir Allah, saya gagal karena sakit parah dan nggak bisa datang ke wawancara. Oh ternyata ini jalan Allah untuk bawa saya ke Multivision Jakarta. Wes gak pake test, gak pake ribet ini itu, dan gajinya lebih besar dari harapan saya saat melamar di Kompas.

Yo wes, hidup lebih “terjamin” nggak cuma buat saya, tapi seluruh adik dan ibu saya. Itu pun masih sering kami jungkir balik. Adik saya ada yang berhari hari terpaksa tidur pindah pindah mesjid, di stasiun, di terminal, nebeng temennya karena nggak berani ke kos; lantaran belum bayar kos beberapa bulan.

 Adik saya yang lain ada yang harus cuti kuliah dan kerja dulu, demi saudara lainnya tetep bisa sekolah.  Yach karena duit saya itu harus dibagi-bagi, mana yang beneran urgent dan nggak bisa ditunda. Beneran ruwet mumet. Belum lagi tahu-tahu adik saya yang lain sakit dan butuh biaya tidak sedikit.

Teror penagih hutang, DC, rentenir pun tidak kurang kurang jadi momok mengerikan bagi kami. Sampai ada yang kelewatan dan itu pas saya di rumah. Saya mengatakan kalau ibu saya tidak lari, tidak kabur. Semua jelas. Rumahnya ada. Orangnya ada. Anak anaknya ada. Hanya memang belum ada uang untuk bayar hutang dan tidak ada barang berharga yang bisa diberikan.

Kalau dia berlebihan kelewatan mengancam keselamatan ibu dan saudara, saya akan lapor polisi sebagai teror dari rentenir. Ya kan rentenir ini bank plecit tidak berizin, yang sebenarnya bisa dipidanakan. Saya bilang, saya yang menanggung hutang-hutang ibu dan pasti akan saya bayar. Lagipula belum dibayar kan dia juga tetep ngitung bunganya. Kenapa ribet banget.

Pokoknya banyaklah keribetan saat itu. Tapi ya syukurlah kami rukun tidak beributan antar saudara. Lalu satu adik saya lulus kuliah, kerja, ikut memback up lainnya. Berikutnya lulus lagi saudara yang lain, bekerja dan turut membantu. Begitu seterusnya sampai si bungsu lulus sarjana.

Sekurangnya saya ada di masa itu selama 15 tahun; sampai semua hutang bapak ibu lunas. Termasuk menyelamatkan rumah ibu yang bertahun tahun sertifikatnya ada di tangan pemberi hutang.

Baru setelah itu semua, saya mulai “menata” hidup saya sendiri. Sekolah, keliling Indonesia, menapaki jalan untuk keliling dunia, menekuni hobi yang lain. Tidak terpikir ada beban untuk ibu atau adik adik saya lagi. Mereka sudah mandiri, ibu juga lebih terjamin; karena salah satu adik laki laki saya menanggung hidupnya setiap bulan. Tentu saya dan saudara lainnya juga tidak lepas dari mengirim uang untuk ibu secara rutin. Tidak jadi pikiran. Tidak ada yang perlu dicemaskan.

Yang perlu saya garis bawahi; kadang kita memang harus “terpaksa” jadi generasi sandwich dengan beragam sebab alasan atau keadaan. Tapi dari pengalaman saya:

1. Memberi batas yang tegas pada diri saya; kuatkan diri secara layak baru membantu. Ya kerja di Multivision memberi saya lebih dari cukup dana untuk hidup saya dengan baik dan menanggung lainnya. Selama kerja, saya tidak pernah utang dari kantor ataupun menarik uang dari kartu kredit untuk urusan ini. Semua murni dari penghasilan yang memang boleh dihabiskan.

Seperti standar keamanan penerbangan saat kondisi darurat, pake maskermu dulu sebelum pasangkan masker orang. Selamatin dirimu dulu, sebelum nolongin orang lain.

2. Fokus untuk menyelesaikan masalah, bukan mendengar omongan orang. Juliders tidak terhitung, pencaci maki banyak, yang suka menghina, meremehkan tidak terhitung. Tapi kalau fokus solusi, tidak akan ambil pusing dengan beragam omongan yang tidak membantu tapi malah merusuh hati itu.

3. Membuat dealing dengan yang ditanggung, sampai kapan harus dibantu. Saya memberi batasan saudara-saudara saya 3 bulan setelah lulus kuliah, semua fasilitas kiriman dihentikan. Jadi mereka harus mandiri dan kerja sebelum masa kiriman dihentikan.

4. Menghitung seluruh utang dan menanyakan semua pihak pemberi utang, bagaimana toleransi mereka atas utang utang itu. Ada beberapa yang membebaskan, kami nggak perlu bayar. Ada yang boleh dicicil. Ada yang boleh  dibayar kapan saja ada uang. Ada yang maksa harus cepet dibayar. Ada yang bunganya tinggi sekali. Ada yang bunganya ringan. Jadi dengan tahu itu semua, kami bisa menentukan prioritas yang harus dibayar dulu.

5. Saya dan saudara juga melarang ibu utang dengan alasan apapun, dan siapapun pemberi utang tanpa sepengetahuan kami, tidak akan kami tanggung pengembaliannya. Tujuannya biar nggak ada utang tambahan atau utang baru.

6. Untuk masalah utang utang ini, saya bersyukur betul karena kuliah. Jadi sekurangnya wawasan hukum, birokrasi, aturan ini itu cukup ngerti dan bisa cari info yang bener.

Orang ngancam begini begitu, ya kita balas dengan kasih tahu aturan yang berlaku. Lhah kita itu nggak ada niatan mangkir bayar utang, cuma duitnya belum ada.

7. Yang dibantu juga harus dimandirikan secara finansial dan sadar untuk survive. Kalau saya, karena memandang satu satunya cara untuk memangkas kemiskinan itu sekolah tinggi; ya sekurangnya sarjana itu jadi modal dasar untuk bisa kerja layak. Jadi, yang saya usahakan bagaimana saudara saudara saya sarjana. Ya, setelah itu mereka bisa kerja sesuai kelayakan masing masing.

8. Di luar pekerjaan saya di Multivision saat itu, di hari sela atau liburan, saya tetap menulis, menerjemahkan, dan tentu belajar untuk upgrade ilmu keterampilan. Biar tetap update dan bisa menambah uang dari jalur non pekerja tetap.

Uang dari sinilah yang sebagian saya tabung untuk diri sendiri, seberapapun besar dan berat tanggungan saya untuk keluarga. Intinya tetap menabung untuk diri sendiri.

9. Berdoa dan meminta Tuhan ambil alih semua beban, saat semua terasa begitu berat. Nangis keras pas usai tahajud pun boleh. Karena curhat sama Tuhan pasti didengar dan tidak akan bocor oleh mulut ember.

10. Setelah semua beres, saya tidak pernah lagi beribetan ini itu. Saudara saya sama kuatnya satu sama lain. Semuanya sarjana. Semuanya kerja sesuai pilihan masing-masing.

 Bahkan mereka sekarang jauh lebih mapan dan kaya (versi saya) dibandingkan saya. Dan tentu saja, saya juga tidak jadi tanggungan mereka. Saya ya tetap kerja mandiri. Tidak minta ini itu pada saudara. Saya mensyukuri semua itu sebagai pengalaman yang menguatkan kami semua.

Saya mengatakan pada si A, mungkin dari pengalaman saya; dia bisa bersepakat dengan adik satu satunya; bagaimana ke depannya. Asal dengan saudara rukun aja, masalah seberat apapun pasti bisa selesai. Tidak usah terlalu menghiraukan omongan orang. Kita menanggung ujian masing masing. Menolong orang tua dan saudara, pasti berbalas langsung. Saya sekarang toh yo baik baik saja, yo tetep hidup layak sesuai standar umum.

Ini adalah bagian dari perjalanan hidup saya. Alhamdulillah, semua sudah lewat. Terimakasih ya Allah atas penyertaan-Mu yang istimewa ❤ Terimakasih dan cinta untuk semua saudara saya yang luar biasa ❤ Terimakasih untuk cinta dan doa Ibunda yang tidak pernah berhenti menyemangati kami semua ❤ Bagi saya, hidup memanglah untuk menyelesaikan masalah satu demi satu dengan bergantung kuat pada sang Maha Pencipta ❤

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

2 Balasan untuk “Kalau Kamu Harus Jadi Generasi Sandwich”

  1. Kisah inspiratif yang sangat memotivasi.
    Perjuangan adalah fase yang nilainya tak terlupakan di hidup kita masing-masing

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *