Tulisan ini sudah pernah saya share di sosmed pada awal pandemi tahun 2020. Namun ini saya share dan tulis repro di web pribadi agar tidak hilang. Sebagai jawaban praktis untuk keresahan rutin ibu ibu setiap kali jelang Ramadan, Lebaran, Liburan. Semua harga kebutuhan pokok merangkak naik setingginya, sesukanya. Kalau kita terbiasa dengan model ketahanan pangan di rumah (sesempit apapun halaman rumah kita), pasti tidak terlalu terpengaruh dengan kenaikan harga yang suka datang tiba-tiba dan biasanya nggak pernah turun lagi 😆
Keberadaan pandemi dengan wabah corona (Maret 2020 sd Juni 2022) telah sedikit banyak mengubah kebiasaan kita. Ada banyak orang yang selama ini tidak “menanam”, tidak “beternak” njur bergerak. Bahkan institusi yang punya banyak lahan; TNI, Polri dll pun bergerak memberdayakan “lahan lahan nganggur” mereka untuk ketahanan pangan. Tentu akan jadi baik kalau tetap berlanjut. Biar kita tidak tergantung impor pangan dan tidak melulu makan beras, eh nasi😀
Kalau saya melihat soal ketahanan pangan dari ibu saya sejak kecil. Rumah yang tak seberapa luas itu; muka dan belakang tetap disisakan tanah kosong. Di depan untuk menanam aneka empon empon, pohon mangga, cabe, tomat, nanas, ketela, dan ada kolam lele 2x5x2 meter. Kapasitas ikan 1000 ekor. Semua orang tetangga kiri kanan sudah kebagian sepanjang waktu. Kl berlebih, ibu akan membawanya ke pasar dan pulang membawa 200rb pun sudah besar dari penjualan empon empon 😀
Di belakang rumah untuk piara ayam kampung maksimal 25 ekor; tapi sekarang ibu piara 5 ekor saja yang bertelur tiap hari. Kalau tidak ada anak, mantu, cucunya yang pulang dan makan telur itu, dibagikan tetangga kiri kanan. Sebagian dibeli bakul jamu. Biasanya ibu juga piara ayam ayam kecil, nanti kalau ayam besar sudah tidak bertelur akan dijual dan ayam kecil pun tiba masanya bertelur.😀
Jadinya ikan, telur, dan daging ayam akan tetap tersedia di rumah kami 😍 Sesekali kami menyembelih ayam itu kalau harga daging ayam tinggi dan kami pingin makan ayam. Mungkin itu sebabnya anak anak ibu saya (termasuk saya) kuat sekolah tinggi; kebutuhan protein untuk mikir tetap tercukupi walaupun sedang tidak punya uang😎
Dalam kondisi seperti ini, tentu saya harus mengacungi jempol untuk ibu. Saat terjadi pandemi ya tetap anteng, mengikuti anjuran pemerintah di rumah saja. Pun kalau terjadi lonjakan harga barang kebutuhan pokok, tetap tidak beribetan ikut mengisruh. Tidak ada panic buying dalam konsep ibu saya, tidak ada rasa khawatir tidak ada lauk dan sayur, tidak menimbun sembako. Karena hidup sudah begitu bertahun tahun.
Ada banyak keluarga yang baru mikirin ketahanan pangan dari rumah pas wabah ini atau juga di berbagai kondisi krisis keluarga. Tidak apa apa. Semoga diteruskan karena sistem ketahanan pangan keluarga itu sangat membantu kita semua untuk tetap survive di saat krisis atau kondisi darurat lainnya, seperti harga kebutuhan pokok yang mendadak tinggi.
Ada banyak alasan untuk kita tidak menanam atau beternak, terutama karena nggak ada halaman/lahan kosong dan tentu saja tidak ada waktu karena kesibukan kerja. Tapi sebenarnya di era modern ini kita sudah punya banyak cara untuk tetap menanam dan beternak dengan praktis. Sistem hidroponik, menanam dalam pot, beternak dalam wadah tertentu atau ruang terbatas, dll strategi untuk ini sudah banyak. Tinggal kita mau atau tidak.
Kalau kita mau sedikit “repot” dan “ribet” menanam dan beternak, ke depannya kita punya banyak cadangan pangan yang tidak perlu beli. Karena kita sudah punya di rumah kita masing-masing. Tidak mudah, karena ini sangat berkaitan dengan mind set dan etos kerja serta karakter masing masing orang.
.
Ari Kinoysan Wulandari