“Senang dong Mbak Ari jadi penulis. Banyak nganggur. Kerja bisa seenaknya. Jalan-jalan terus. Uang datang sendiri.”
Sebenarnya, saya sudah agak ‘naik emosi’ membaca pesannya. Saya singkirkan saja pesan tersebut. Dia bukan penulis. Tidak perlu direspon.
Ya, jadi penulis memang banyak senangnya. Setidaknya, kerja bisa di rumah. Tidak harus ke kantor dan termakan kemacetan jalanan. Waktu fleksibel. Lebih lentur bekerja. Bisa memilih jenis tulisan.
Kalau mau dapet duit banyak tinggal nulis lebih rajin. Belum lagi kalau bukunya tiba-tiba terpilih proyek yang nilainya besar. Atau buku dan scriptnya hits, megabestseller di pasaran, pasti banyak bonusnya.
Sungguh tidak benar kalau penulis banyak nganggurnya. Kerja bisa seenaknya. Uang datang sendiri. Penulis sebenarnya pekerjaan yang (tidak) ringan. Otak harus terus bekerja dengan kreatif.
Menulis juga harus sesuai dengan aturan dan kesepakatan-kesepakatan yang —sangat banyak— dan kadang-kadang sangat ribet dengan berulang kali revisi. Royalti walaupun dikirim langsung oleh penerbit, bukan diberikan secara gratis. Itu hasil kerja keras. (Tidak) sehari dua hari, tapi berbulan-bulan.
Ya, yang bukan penulis mungkin tidak pernah tahu, bagaimana kadang buku yang dikerjakan berbulan-bulan, di akhir periode laporan royalti uangnya tak lebih dari sekian puluh ribu saja.
Yang bukan penulis juga mungkin tak pernah tahu, skenario yang sudah digarap dan direvisi berulang-ulang, akhirnya gagal diproduksi dan tidak dibayar. Padahal penulisnya sudah banyak mengeluarkan energi, waktu, biaya, dan pemikiran. Siapa yang peduli? Tidak ada skenario yang beres, ya tidak dibayar.
Belum lagi kalau minta royalti ke penerbit atau nagih ke produsernya aja pakai ngotot-ngototan atau dipingpong sana-sini. Atau bahkan ada juga lho penerbit dan produser yang ngemplang royalti dan honornya penulis. Berbagai kesulitan teknis yang dihadapi penulis. Revisi berulang. Deadline yang ketat. Pajak yang tinggi.
Campur tangan berbagai pihak yang membonsai dan mengkerdilkan kreativitas. Macet menulis. Tidak bisa menulis. Naskah yang dihargai dengan sangat tidak layak. Kondisi kesehatan yang tidak prima tanpa ada penjamin biaya kesehatan.
Naskah-naskah yang digarap istimewa toh jeblok juga di pasaran. Belum lagi begitu banyaknya penulis yang terlibat utang dengan penerbit dan produser. Pasti bukan maunya, tapi lebih sering karena hasil menulis tidak mengcover seluruh kebutuhan hidupnya.
Sedih saya kalau mendengar cerita-cerita miris seputar kehidupan penulis. Apalagi kalau mendengar langsung dari penerbit atau produser yang menyebut si A, si B, si ini si itu terlilit utang hanya karena putusan yang tidak tepat.
Jadi, memang jadi penulis tidak hanya ada senangnya. Ada juga (tidak) senangnya. Jadi penulis harus hati-hati. Bijaksana. Memanajemeni uangnya dengan baik. Menimba pengetahuan dan mau terus belajar. Mau rendah hati dan mendengar kata orang lain. Biar tidak mengambil putusan-putusan yang akan memberatkan dirinya di kemudian hari.
Alhamdulillah, saya jadi penulis baik-baik saja. Jatuh bangunnya menjadi penulis hanya seputar penolakan naskah di masa belia. Saya bersyukur berulang-ulang pada Allah dipertemukan dengan media, penerbit, produser, dan klien yang baik-baik.
Menulis (tidak) selalu gampang. Kadang begitu melelahkan jiwa raga. Kadang menulis juga terasa menjadi sangat “rutinitas” yang ingin saya tinggalkan. Ada masanya saya sangat malas menyentuh laptop atau bahkan sekedar membalas email dan inbox-inbox seputar penulisan. Tapi itu semua harus diatasi dan diselesaikan.
Hidup terus berjalan. Biaya hidup tidak mungkin dihentikan. Tidak ada yang menjamin hidup penulis. Harus lebih banyak berkarya untuk simpanan masa pensiun.
Tetapi bahwa, ada pihak yang bisa saya tanya dengan mudah; ada yang memback up saya dengan segala totalitasnya, adalah anugerah yang tidak bisa saya nilai dengan uang. Tentu saja, termasuk pembayaran yang mudah.
Selalu ada pasang surut dalam penerimaan penghasilan. Yang saya yakini bahwa selama kita bekerja sebaik yang kita bisa, rezeki akan selalu datang dengan caranya yang ajaib.
Mari bijaksana memandang pekerjaan penulis. Ini seperti pekerjaan lainnya. Penuh aturan. Penuh kompetisi. Penuh kedinamisan. Yang bukan penulis, jangan asal bicara yang bikin merah telinga.
Percayalah, saya tidak akan merespon. Tapi anda tidak akan selalu bertemu dengan penulis yang “sudah kebal” dengan omongan orang seperti saya. Bisa saja omongan anda yang asal itu dibalas dengan omelan yang tak kalah sengit oleh penulis lainnya.
Happy Writing, Be A Good Writer 😍
*Jadi Penulis Fiksi? Gampang Kok!
*Jadi Penulis Skenario? Gampang Kok!
*Jadi Penulis Produktif? Gampang Koq!
*Jadi Penulis Nonfiksi? Gampang Kok!
Pesan buku wa.me/6281380001149.
Ari Kinoysan Wulandari
#ariwulandari #arikinoysanwulandari #kinoysanstory #dibalikbuku