Kadang-kadang saya gemas betul lho kalau mendengar hitung-hitungan orang atas royalti penulis. Hitung-hitungan yang sering kali salah kaprah dan berdasarkan teori matematis semata. Secara umum royalti penulis di Indonesia berada pada kisaran 5-12% dari harga jual buku. Yang umum adalah 10% dari harga jual buku dikurangi pajak 15%.
Gampangnya, kalau seorang penulis memiliki 1 buku dengan harga jual 50 ribu dengan jumlah eksemplar cetak 5 ribu, maka secara teori royalti yang diterima adalah 10% x 50,000 x 5000 = 25,000,000 dikurangi pajak 15% (25,000,000 x 15% = 3,750,000). Jadi, secara teori royalti yang harus diterima penulis = 21,250,000 (lumayan to untuk satu buku lho!)
Itu secara teori dan sering kali orang tidak melihat realitanya. Hei, royalti yang dibayarkan penerbit kepada penulis itu berdasarkan jumlah buku yang laku setiap periode royalti (umumnya hanya 2-4 kali dalam setahun, ada yang 6 bulanan, 4 bulanan, atau 3 bulanan). Nah, masalahnya kalau bukunya laku semua dan dijual dalam harga yang riil (50 ribu) memang 21,250,000 itulah yang diterima oleh penulis.
Wah, tentu saya bahagia sekali kalau ternyata penerbit begitu buku saya terbit langsung membayar royalti saya sesuai jumlah cetaknya….. karena ini yang dihitung-hitung oleh orang dan saya tidak mau repot menjelaskan rinci selain ucapan terimakasih.
Alhamdulillah karena berarti itu saya kaya banget lah. Hitung saja, buku solo saya sudah 140 dan mayoritas terbit di penerbit major yang terus saja dicetak ulang. Alhamdulillah. Heheh….
Terus bagaimana kalau bukunya tidak semuanya laku? Dari lima ribu baru laku seribu? Ya seribu eksemplar itu yang dibayarkan. Kalau kurang dari itu? Ya yang terjual itu yang dihitung royaltinya.
Belum lagi kalau bukunya sudah lewat masa dan harus dijual dengan harga murah, jadi masalah lagi karena royalti akan lebih kecil. Selain itu juga ada permasalahan buku-buku yang dibeli proyek pemerintah, royaltinya hanya sekitar 2-5% sehingga besaran royaltinya juga menjadi sangat kecil. Miris?
Tidak apa, saya sudah biasa saja. Sudah mengalami menerima royalti per satuan buku cuma ribuan sampai yang puluhan juta. Jadi tak perlu kaget. Orang kagetan itu tanda kurang ilmu.
Itu kenapa juga ada banyak penulis yang males menulis dengan sistem royalti, lalu mereka pilih menulis dengan jual beli putus. Meski ini nilainya juga sangat rendah di industri kreatif kita. Satu halaman tulisan jadi yang sudah bagus standar dihargai hanya sekitar 20-50 ribu perak –bahkan banyak yang kurang dari itu, apalagi kalau lewat agensi-agensi yang pemiliknya seperti lintah darah menghisap kerja rodi penulis-penulisnya–, tidak terhitung berapa kali revisi. Jadi kalau menulis 100 halaman saja, duitnya ya 2-5 juta perak.
Tidak menyangka kan? Yach, itu realita dunia industri kreatif kita. Jadi maklumkanlah kalau kemudian pemerintah memberi charge beli putus buku antara 8 sd 50 juta per naskah itu pesertanya membludak, mesti dengan aturan administratif yang nggak ringan.
Makanya saya bersyukur banget kalau ketemu klien yang baik, “Sudah Mbak Ari, saya tidak tahu berapa harga tulisan. Saya sudah seneng dengan bab awalnya dan silakan tentukan harganya. Kalau kemahalan saya akan tawar, kalau tidak saya akan membayar saja.”
Bahagianya saya kalau begitu, dan itu sering saya anggap berkahnya menulis sebaik-baiknya. Toh ada juga lho yang kurang ajar, sudah dibikinkan contoh awalnya, lalu bilang kemahalan dan kabur…. meminta orang lain menulis, tapi bab awalnya punya saya dipake, nggak dibayar dan nggak ada omongannya. Ya wislah, itu akan jadi sandungan rezeki dia sendiri.
Karena begitu tidak pastinya kinerja penulis di Indonesia, waktu saya masih di Multivision Plus Jakarta —hei, di sini bayarnya banyak tapi kerjanya juga abis-abisan, salah satu bapak angkat saya yang ada di jajaran direksi BUMN, mendesak saya agar keluar dari MVP dan masuk BUMN lalu sekolah lagi, tapi saya menolak.
Di Jogja pun, setelah saya hengkang dari MVP dan sekolah lanjut atas keinginan dan biaya sendiri, orang tua angkat saya yang dokter dan punya beberapa klinik kecantikan mendesak agar saya membantunya di manajemen, tidak usah menulis. Aduuuh. Masih banyak lainnya. Yang terpenting sebenarnya, saya emoh “berhutang budi” sama siapapun. Gaweyan saja kok nebeng dicariin orang. Lha kita sekolah tinggi kan biar layak untuk dapat kerja secara mandiri 😀
Hidup adalah pilihan. Bekerja tidak semata-mata uang, tapi juga jangan karena menuruti keinginan lalu hidup miskin dan kere. Justru saya toh yang mesti membuktikan kalau menulis bisa digunakan untuk hidup sebaik-baiknya. Saya mengawal adik-adik saya sampai sarjana dengan menulis. Saya sekolah lanjut ya dari menulis. Bukan dibiayai orang tua angkat atau beasiswa atau bea instansi. Semua tinggal seberapa keras usaha kita.
Nah, sekarang bagaimana? Anda masih ingin jadi penulis? Pikirkan lagi….. lebih enak kerja kantoran to? Rajin nggak rajin, kerja keras atau sosmed-an di kantor, tiap bulan anda gajian…..
Itu kenapa jangan heran kalau saya rajin menyuruh orang mempromosikan bukunya —termasuk saya sendiri— ya karena royalti yang saya terima tergantung dari jumlah buku yang terjual. Jadi ada baiknya anda membantu saya dengan membeli buku-buku saya.
Tidak harus lewat saya, anda bisa langsung ke toko buku, ke toko toko online atau langsung ke penerbitnya. Pesan lewat yo boleh. Tinggal cari judul bukunya dan kirim pesan ke wa.me/6281380001149. Tentu jangan lupa transfer duitnya yaa….
Salam Happy Writing,
Ari Kinoysan Wulandari
#ariwulandari #arikinoysanwulandari #kinoysanstory #royalti #penulis