Berbagi Rasa Tentang SERTIFIKASI PENULIS

Gambar hanya sebagai Ilustrasi. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari

Saya menuliskan ini, karena menjawab pertanyaan salah satu warga grup WA Penulisan yang saya buat. Tentang Sertifikasi Penulis yang lagi banyak komentar (lagi) belakangan ini. Antara pro dan kontra dengan sejuta alasan dan pendapat masing-masing. Sah-sah aja, berbeda pendapat itu soal biasa. Apalagi di dunia kreatif. Beberapa hal yang ingin saya catatkan di sini:

1. Sertifikasi Penulis itu bukan issue ya. Ini sudah ada sejak sebelum 2018. Sejak itu semua pihak yang berkepentingan dan berkaitan, beributan dan konflik intrik polemik pun terbangun dengan adanya Sertifikasi Penulis dll pekerja kreatif; yang nggak murah tapi celakanya tidak mengcover mereka yang beneran mumpuni di bidangnya.

2. Saya mengikuti Sertifikasi Penulis tahun 2020 dan karena hanya 3 tahun masanya, serta karena tidak ada apapun yang saya peroleh dari Sertifikasi itu, saya tidak mengikuti lagi. Lha duit jutaan lebih (demi kertas yang versi saya nggak nambah untung) mending duitnya saya pake piknik 😀🙏

3. Bahwa saya tidak sepakat dengan Sertifikasi itu urusan pribadi. Karena toh inisiator, penggiat, pelaku, pekerja, dan mereka yang dapat ratusan milyar dari proyek Sertifikasi itu yo kawan kawan saya juga. 😀Bahkan mereka bergembira bahagia karena terima duit-duit sebagai bagian dari kinerja Sertifikasi itu; mulai dari asesor, pengajar pra kerja, admin admin, penyelenggara, mentoring, dll. Cari aja cerita-cerita bahagia mereka karena duitnya segunung dengan penyelenggaraan sertifikasi itu. Bagi saya pribadi, berbeda pendapat dan haluan itu soal biasa. 😀

Anda boleh kok nggak ikut Sertifikasi kalau bekerja penuh menulis di industri kreatif yang nggak berurusan dengan pemerintah. Karena ya sungguh konyol berbagai hal yang berkaitan proyek penulisan dengan pemerintah kudu wajib Sertifikasi. Termasuk mereka yang ikut beragam penulisan buku sekolah, PT, buku referensi yang didanai pemerintah. Lha kalau nggak punya Sertifikasi? Ya nggak usah ikut 😂🙏Tapi duitnya 20 an juta per buku Bu Ari… Nah kalau begitu yo meluwa ikutlah Sertifikasi. Nggak usah ribut. 🙏

5. Versi saya selembar Sertifikasi tidak mengcover semua dari mereka pekerja kreatif yang mumpuni. Lha saya pas tes saja asesornya nulis buku baru beberapa dan saya yo embuh nggak tahu kok… piye jalll… (hanya karena dia itu punya Sertifikasi asesor yang chargenya juta-jutaan itu) 😆🫢Ini juga terjadi di dunia skenario, editor, kameramen, sutradara, dll. 😀🙏Jadi santai saja kalau nggak mau ikutan Sertifikasi. Yo jangan provokasi menolak beribut. Karena setidaknya ada Sertifikasi mengurangi karya-karya yang di bawah standar yang dibiayai pemerintah. 🙏Coba baca aja buku buku yang dirilis pemerintah untuk SD, SMP, SMA, pun PT di masa lalu 😂😁kualitasnya masih embuh dan itu milyaran dananya. Semoga dengan Sertifikasi itu rada mengurangi kebobrokan literasi kita.

6. Jadi saya nggak membahas apapun ketika beributan isu banyak yang menolak Sertifikasi… ya karena ini. Kalau kamu perlu ikutlah, kalau nggak yo wes sini piknik atau nulis saja sama saya 😀🙏

7. Di waktu saya mengikuti Sertifikasi itu, saya pikir nantinya kami ini akan secara otomatis mendapatkan porsi pekerjaan penulisan dari pemerintah bekerja sama dengan Penerbit sesuai major atau bidang yang disertifikasikan. Ternyata enggak tuh.

Mereka yang mo ikutan proyek penulisan pemerintah, masih kudu seleksi administrasi, coaching, dll proses yang jelas lebih ribet daripada sekedar menulis dan menerbitkan buku. Dapat dananya berapa? Range antara 8 sd 50 juta per buku (CMIIW). Tentu saja peminatnya yo membludak melihat angka perolehannya untuk tiap naskah; dibanding katakanlahdi Jogja 1 naskah bisa hanya dihargai 1.5 juta saja. Hei, tapi itu jelas bukan kerja seminggu, berbulan-bulan dan beribet proses yang nggak sederhana. Gayanya saja mereka kayak plesiran piknik di hotel dengan dana pemerintah, yang diambil juga dari bagian pajak-pajak royalti dan buku-buku saya 😀🙏

8. Asesor asesor yang versi saya hanya sekedar punya karya dan ikutan tes dengan charge jutaan itu, mestinya diganti dengan mereka yang direkomendasikan oleh Industri Kreatif, baik Penerbit , PH, dll yang berkaitan; tentang siapa yang layak jadi asesor dan bukannya asal ikut Sertifikasi Asesor 😆🫢Ngenes tenan jadinya kualitas kreativitas kita kalau hanya berdasarkan ujian inyik-inyik bayar lalu bergelar asesor.

Percayalah, gawe disertasi saya di S3 Linguistik FIB UGM itu jauh lebih ekstrem sulitnya daripada sekedar ujian asesor lalu mereka merasa berhak meluluskan atau tidak meluluskan mereka yang mau Sertifikasi Penulis. Nalar logikanya pun nggak jalan di otak saya.

Sekali lagi pro kontra itu biasa. Saya sebagai pribadi nggak memerlukan Sertifikasi Penulis; tapi kalau Penerbit, Media, PH, Sponsor, Klien tempat saya bernaung kerja memerlukan keberadaan Sertifikasi Penulis itu untuk kelangsungan proyek tertentu, pasti saya akan ikuti. Tentu mereka harus sembodo mbayari. Semoga menambah wawasan. Ora usah ribut gegara selembar Sertifikasi. Sertifikasimu bejibun kalau kamu nggak menulis, nggak punya karya yang dijual massal secara bebas; pada hakikatnya di industri kreatif kamu tidak dianggap sebagai penulis, atau pastinya kamu bukan seorang penulis. Naaah….!

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *